Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Di Indonesia

0 views
Skip to first unread message

Edward

unread,
Aug 3, 2024, 2:12:23 PM8/3/24
to ntesmeverlo

Didirikan pada tahun 2003, Star Energy Geothermal adalah produsen energi panas bumi terbesar di Indonesia dan memimpin dalam bidang energi terbarukan. Saat ini, Star Energy Geothermal mengelola dan mengoperasikan pembangkit listrik tenaga panas bumi di Indonesia dan lapangan uap dengan kapasitas bruto sebesar 886 MW.

Dengan keahlian tak tertandingi dibidang pembangkit listrik tenaga panas bumi dan kemitraan yang kuat antar pemangku kepentingan, Star Energy Geothermal berkomitmen untuk memajukan Indonesia dan dunia menuju bentuk energi yang lebih ramah lingkungan.

Menciptakan hari esok yang lebih cerah dimulai dengan memberdayakan aset terkuat kami: sumber daya manusia kami. Karena ketika mereka berhasil, maka kami juga berhasil. Ketahui lebih lanjut cara mencapai masa depan yang lebih cerah bersama kami.

Di Star Energy Perusahaan Geothermal Indonesia, kami selalu berpikir bahwa kami lebih dari apa yang kami kelola dan operasikan, bukan sekedar pencapaian kinerja pembangkit listrik tenaga panas bumi, maupun lapangan uap dan kapasitas kami.

Energi Panas bumi merupakan salah satu energi alternatif yang bisa digunakan untuk pembangkit listrik. Energi yang berasal dari panas bumi termasuk dalam kategori ramah lingkungan, karena hanya mengeluarkan sedikit gas rumah kaca jika dibandingkan dengan energi yang dihasilkan dari pembakaran fosil. Tujuan utama penggunaan energi panas bumi yakni diharapkan bisa meminimalisasi risiko pemanasan global yang kian meningkat seiring berjalannya waktu.

Energi panas bumi berasal dari dalam bumi. Cara yang dilakukan untuk mendapatkan energi panas bumi ialah dengan memompa air ke bumi. Kemudian panas dari bumi akan menghasilkan uap. Ini merupakan suatu bentuk konversi energi di mana energi panas dari dalam bumi diambil dan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti pemanas air, memasak, pembangkit listrik dan penggunaan lainnya.

Langkah pertama yaitu membuat sumur dan mengebor kebawah tanah untuk mengalirkan uap dan air yang sangat panas. Uap dan air panas inilah yang kemudian dibawa ke permukaan untuk digunakan dan dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan sehari-hari seperti pembangkit listrik, penggunaan langsung, serta pemanasan ataupun pendinginan.

Sebagai pemasok pembangkit listrik terbesar, energi panas bumi menghasilkan listrik secara konsisten, beroperasi 24 jam per hari / 7 hari per minggu, terlepas dari kondisi cuaca. Ia juga memiliki kemampuan untuk menghasilkan lebih banyak listrik selama periode waktu yang sama daripada batu bara, gas alam, nuklir atau pembangkit listrik tenaga air.

Tenaga panas bumi dianggap sebagai sumber energi terbarukan karena ekstraksi panasnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan muatan panas bumi. Emisi karbondioksida pembangkit listrik tenaga panas bumi saat ini kurang lebih 122 kg CO2 per megawatt-jam (MWh) listrik, kira-kira seperdelapan dari emisi pembangkit listrik tenaga batubara.[4]

Indonesia dikaruniai sumber panas Bumi yang berlimpah karena banyaknya gunung berapi di Indonesia. Dari pulau-pulau besar yang ada, hanya pulau Kalimantan saja yang tidak mempunyai potensi panas Bumi.

Untuk membangkitkan listrik dengan panas Bumi dilakukan dengan mengebor tanah di daerah yang memiliki potensi panas Bumi untuk membuat lubang gas panas yang akan dimanfaatkan untuk memanaskan ketel uap (boiler) sehingga uapnya bisa menggerakkan turbin uap yang tersambung ke generator. Untuk panas bumi yang mempunyai tekanan tinggi, dapat langsung memutar turbin generator, setelah uap yang keluar dibersihkan terlebih dahulu.

Eksplorasi dan eksploitasi panas bumi untuk pembangkit energi listrik tergolong minim. Untuk menghasilkan energi listrik, pembangkit listrik tenaga panas bumi hanya membutuhkan area seluas antara 0,4 - 3 hektare. Sedangkan pembangkit listrik tenaga uap lainnya membutuhkan area sekitar 7,7 hektare.[5] Hal ini menjawab kecemasan masyarakat mengenai dampak lingkungan eksploitasi panas bumi, terutama isu penebangan hutan di daerah yang memiliki potensi panas bumi.

Pada abad ke-20, permintaan akan listrik membuat tenaga panas bumi dipertimbangkan sebagai sumber penghasil listrik. Pangeran Piero Ginori Conti menguji coba pembangkit listrik tenaga panas bumi yang pertama pada tanggal 4 Juli 1904 di Larderello, Italia. Pembangkit tersebut berhasil menyalakan empat buah bola lampu.[7] Kemudian pada tahun 1911 pembangkit listrik tenaga panas bumi komersial pertama dibangun pula di situ. Pembangkit-pembangkit uji coba dibangun di Beppu, Jepang dan di Kalifornia, Amerika Serikat pada tahun 1920, namun hingga tahun 1958 hanya Italia satu-satunya pemilik industri pembangkit listrik tenaga panas bumi.

Pada tahun 1958, Selandia Baru menjadi penghasil listrik tenaga panas bumi terbesar kedua setelah Pembangkit Wairakei dioperasikan. Wairakei merupakan pembangkit pertama yang menggunakan teknologi flash steam.[8]

Pada tahun 1960, Pacific Gas and Electric mulai mengoperasikan pembangkit listrik tenaga panas bumi pertama di Amerika Serikat di The Geysers, Kalifornia.[9] Turbin aslinya bertahan hingga 30 tahun dan menghasilkan daya bersih 11 megawatt.[10]

Pembangkit listrik tenaga panas bumi dengan sistem siklus biner pertama kali diuji coba di Rusia dan kemudian diperkenalkan ke Amerika Serikat pada tahun 1981,[9] akibat krisis energi tahun 1970-an dan perubahan-perubahan penting dalam kebijakan regulasi. Teknologi ini memungkinkan penggunaan sumber panas yang bersuhu lebih rendah dari sebelumnya. Pada tahun 2006, sebuah pembangkit dengan sistem siklus biner di mata air panas Chena, Alaska, Amerika Serikat mulai beroperasi, menghasilkan listrik dari sumber dengan rekor suhu terendah 57 C.[11]

Pembangkit listrik tenaga panas bumi sampai dengan baru-baru ini hanya dapat dibangun pada sumber panas bumi dengan suhu yang tinggi dan berada dekat dengan permukaan tanah. Pengembangan pembangkit dengan sistem siklus biner dan peningkatan dalam teknologi pengeboran dan penggalian memungkinkan dibuatnya Sistem Panas Bumi yang Ditingkatkan (Enhanced Geothermal Systems) dalam rentang geografis yang lebih besar.[12] Proyek demostrasi sudah beroperasi di Landau-Pfalz, Jerman, and Soultz-sous-Forts, Prancis, sementara percobaan awal di Basel, Swiss dibatalkan setelah mengakibatkan gempa bumi. Proyek-proyek demonstrasi lainnya sedang dibangun di Australia, Inggris, dan Amerika Serikat.[13]Efisiensi termal pembangkit listrik tenaga panas bumi pada umumnya rendah, berkisar 10-23%,[14] karena fluida panas bumi bersuhu lebih rendah dibandingkan dengan uap dari ketel uap. Berdasarkan hukum termodinamika suhu yang rendah ini membatasi efisiensi mesin kalor dalam memanfaatkan energi saat menghasilkan listrik. Panas sisa menjadi terbuang, kecuali jika dapat dipergunakan langsung secara lokal, misalnya untuk rumah kaca, kilang gergaji, atau sistem pemanasan distrik. Efisiensi sistem tidak memengaruhi biaya operasional sebagaimana pada pembangkit batubara atau pembangkit bahan bakar fosil lainnya, namun tetap berpengaruh terhadap kelangsungan hidup pembangkit. Untuk dapat menghasilkan energi lebih dari yang dipakai oleh pompa pembangkit, dibutuhkan ladang panas bumi bersuhu tinggi dan siklus termodinakmika khusus. Karena pembangkit listrik tenaga panas bumi tidak bergantung pada sumber energi yang berubah-ubah, seperti misalnya tenaga angin atau surya, faktor kapasitasnya (capacity factor) bisa cukup besar, pernah ditunjukkan dapat mencapai hingga 96%.[15] Namun, rata-rata global faktor kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi adalah 74,5% pada tahun 2008 menurut IPCC.[16]

Muatan panas bumi adalah sekitar 1031 Joule.[2] Panas ini secara alami akan mengalir ke permukaan lewat konduksi dengan laju 44.2 terawatt (TW)[17] dan diisi kembali oleh peluruhan radioaktif dengan laju 30 TW.[18] Laju tenaga ini lebih dari dua kali konsumsi energi manusia saat ini yang berasal dari sumber utama, tapi sebagian besarnya terlalu tersebar (perkiraan rata-rata 0.1 W/m2) untuk dapat dipulihkan. Kerak bumi secara efektif bertindak sebagai selimut isolasi tebal yang harus ditembus dengan saluran fluida (mis. magma, air atau lainnya) untuk melepaskan panas di bawahnya.

Pembangkit listrik tenaga panas bumi membutuhkan sumber panas bersuhu tinggi yang hanya dapat berasal dari jauh di bawah tanah. Panas tersebut harus dibawa ke permukaan lewat sirkulasi fluida, baik melalui saluran magma, mata air panas, sirkulasi hidrotermal, sumur minyak, sumur bor, atau gabungan dari contoh-contoh tersebut. Sirkulasi ini terkadang muncul secara alami pada tempat dimana kerak bumi tipis. Saluran magma membawa panas dekat ke permukaan, dan mata air panas membawanya ke permukaan. Jika tidak tersedia mata air panas maka sumur harus dibor untuk menjadi akuifer air panas. Jika jauh dari batas lempeng tektonik, gradien panas bumi di sebagian besar tempat adalah 25-30 C per kilometer kedalaman, sehingga membuat sumur menjadi harus beberapa kilometer dalamnya untuk dapat membangkitkan listrik.[2] Jumlah dan mutu sumber daya panas yang dapat dipulihkan meningkat sebanding dengan kedalaman pengeboran dan kedekatan dengan batas lempeng tektonik.

Pada tanah yang panas dan kering, atau dimana tekanan air tidak memadai, fluida dapat disuntikkan untuk merangsang produksi. Pengembang akan menggali dua lubang di calon lokasi, dan memecah batu di antara keduanya dengan bahan peledak atau air bertekanan tinggi. Kemudian memompakan air atau karbon dioksida cair ke salah satu lubang galian, sehingga keluar di lubang galian lainnya dalam bentuk gas.[12] Pendekatan ini disebut hot dry rock geothermal energy di Eropa atau enhanced geothermal systems di Amerika Utara. Pendekatan ini dapat menghasilkan potensi yang jauh lebih besar dibandingkan dengan jika dihubungkan secara konvensional ke akuifer alami.[12]

Perkiraan potensi pembangkit listrik dari tenaga panas bumi bervariasi dari 35-2000 GW tergantung pada skala penanaman modal.[2] Ini tidak termasuk panas non-listrik yang dipulihkan oleh pembangkit co-generation, pompa kalor panas bumi atau penggunaan langsung lainnya. Sebuah laporan tahun 2006 oleh Institut Teknologi Massachusetts (MIT), yang mengikutsertakan potensi dari sistem panas bumi yang ditingkatkan (enhanced geothermal systems), memperkirakan bahwa investasi sebesar 1 miliar dolar AS untuk penelitian dan pengembangan selama 15 tahun lebih akan memungkinkan tercapainya kapasitas pembangkitan listrik sebesar 100 GW pada tahun 2050 di Amerika Serikat saja.[12] Laporan MIT memperkirakan bahwa lebih dari 200 zettajoule (ZJ) akan dapat dihasilkan, dengan potensi untuk ditingkatkan hingga lebih dari 2.000 ZJ dengan perbaikan teknologi - cukup untuk memenuhi kebutuhan energi seluruh dunia saat ini selama beberapa milenium.[12]

c80f0f1006
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages