Penulisan sejarah tentang Perang Salib sampai hari ini masih menyisakan
banyak pertanyaan yang belum terjawab. Salah satunya tentang peranan
kaum Hashyashyin, sebuah sekte (ordo) khusus pembunuh dari
kelompok Ismailiyah-Qaramithah, salah satu cabang dari kelompok Syiah di bawah Dinasti Fathimiyah.
Hashyashyin (Asassins) “guru” bagi Knights Templar
Konon, Hashyashyin ini merupakan “guru” dari Knights Templar yang
dibentuk oleh Ordo Sion di tahun 1118 Masehi. Keduanya — Hashyashyin
maupun Templar-memiliki banyak kemiripan. Mulai dari struktur
organisasi, pembangkangan terhadap agama (bid’ah) dan bahkan dianggap
agnostik (tidak meyakini agama apapun kecuali doktrin pemimpinnya),
kepandaiannya dalam berperang, membunuh, serta keterampilan dalam hal
pengunaan racun, serta adanya ritual-ritual khusus yang penuh dengan
warna mistis-paganistik.

Bahkan banyak penulis sejarawan modern menganggap Sekte Syiah
Qaramithah—asal muasal gerakan Assassins — sebagai kelompok Bolsyewisme-Islam atau
cenderung komunistis. Pendiri sekte ini bernama Hamdan al-Qarmath,
seorang Irak yang gemar pada ilmu-ilmu perbintangan dan kebatinan, mirip
dengan pengikut Kabbalah (Hitti, History of the Arabs: From the
Earliest Times to the Present, 2002).Templar sendiri sesungguhnya
pengikut Kabbalah, walau mereka mengaku sebagai pemeluk Kristen pada
awalnya.
Penaklukkan Jurusalem Oleh Dinasti Fatimiyah
Sebab itu, banyak sejarawan Barat yang menuding di antara
kedua sekte khusus pencabut nyawa ini sesungguhnya terjalin satu
kerjasama dalam bentuk yang tersembunyi. Salah satu yang memunculkan
dugaan ini adalah Prof. Carole Hillenbrand, Guru Besar Studi Islam dan
Bahasa Arab University Edinburgh, Skotlandia. Skotlandia sendiri dikenal
sebagai wilayah basis dari Freemasonry yang lahir di darah ini selepas
penumpasan Templar oleh Raja Perancis, King Philipe le Bel, yang dibantu
Paus Clement V di tahun 1307 M.
[b][Profesor Hillenbrand /B]dalam bukunya “The Crusade, Islamic Perspective” (1999)
menulis bahwa setahun sebelum pasukan salib gelombang pertama yang
dikomandani Godfroi de Bouillon tiba di pintu Yerusalem di tahun 1099
dan merebutnya, Yerusalem diserang oleh pasukan dari Dinasti
Fathimiyah-Syiah yang berpusat di Mesir dan merebutnya dari tangan
kekuasaan Dinasti Abbasiyyah yang beraliran Sunni.
Jadi, ketika pasukannya Godfroi tiba di pintu kota Yerusalem, kota suci
itu sebenarnya telah berada di bawah kekuasaan Bani Fathimiyah.
Atas kejadian ini, Hillebrand mempertanyakan tidak adanya catatan khusus
dari para sejarawan Muslim. “Serangan tiba-tiba yang dilakukan
al-Afdhal (Wazir dari Dinasti Fathimiyah Mesir) ke Yerusalem, dengan
waktu yang amat tepat, memerlukan penjelasan yang belum diberikan para
sarjana Islam. Mengapa al-Afdhal melakukan serangan ini? Apakah karena
ia telah tahu lebih dulu soal rencana para Tentara Salib? Bila demikian,
apakah ia merebut Yerusalem untuk kepentingan Tentara Salib, yang
sebelumnya telah menjalin aliansi dengannya?” tulis Hillebrand.
Salah satu hipotesis yang dikemukakan peraih The King Faisal
International Prize for Islamic Studies ini adalah, bahwa pasukannya
al-Afdhal telah dikhianati oleh Godfroi de Bouillon, karena sesungguhnya
Kaisar Byzantium—Kristen Timur yang bertentangan secara ideologi dengan
Kristen Barat yang mengirimkan Tentara Salib—telah memberitahu
al-Afdhal bahwa pasukan Salib Kristen Barat akan segera tiba di
Yerusalem. Pemberitahuan ini diberikan Kaisar Byzantium tidak lama
berselang setelah Konsili Clermont usai.
Bisa jadi, demikian Hillebrand, al-Afdhal menginvasi Yerusalem agar
Godfroi menahan pasukannya dan bisa berbagi kekuasaan, karena al-Afdhal
mengira Tentara Salib atau ‘Bangsa Frank’ menurut Hillenbrand bisa
dijadikan sekutu yang baik menghadapi Muslim Sunni.
Namun yang terjadi tidak demikian. “Tentara Salib hendak menguasai
Yerusalem untuk dirinya sendiri, ” tulisnya. Lantas di mana peranan
Assassins dalam hal ini?
Peran Tersembunyi Assassins
Menjelang Perang Salib pertama, dunia Barat dan Timur masing-masing
mengalami perpecahan (schisma) yang hebat. Dunia Barat setidaknya
menjadi dua kekuatan besar: Kristen Timur yang berpusat di Byzantium dan
Kristen Barat yang berpusat di Roma. Secara diam-diam, Sekte Gereja
Yohanit yang sesungguhnya agnostik-paganistik menyusup ke Vatikan dan
menyusun kekuatannya.
Di sisi lain Dunia Islam juga terbagi menjadi dua kekuatan besar yang juga saling memusuhi yakni Kekhalifahan Abbasiyah yang sunni dan Kekhalifahan Fathimiyah yang syiah yang berpusat di Mesir.
Carole Hillenbrand menulis, “Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun,
sejak 1092 M, terjadi rentetan pembersihan semua pemimpin politik
terkemuka Dunia Islam dari Mesir hingga ke timur. Tahun 1092, seorang
menteri terkemuka Dinasti Seljuk sunni bernama Nizam al-Mulk terbunuh
(belakangan diketahui Assassins-lah yang melakukan itu). ”
Tahun 1092 M Dijuluki Tahun Kematian
Tiga bulan kemudian, Sultan Maliksyah, sultan ketiga Seljuk
yang telah berkuasa dengan gemilang selama duapuluh tahun juga meninggal
dengan sebab-sebab yang mencurigakan. Kuat dugaan ia juga telah diracun
Assassins. Tak lama kemudian, permaisuri dan cucu-cucunya pun meninggal
dengan cara yang tak lazim. Para sejarawan Islam memandang tahun 1092 M
sebagai “Tahun Kematian”.
Apalagi dengan peristiwa meninggalnya Khalifah Fathimiyah
Syiah di Mesir, al-Muntanshir, musuh besar Seljuk, yang juga terjadi
pada tahun itu. Dua tahun kemudian, 1094, Khalifah Abbasiyah alMuqtadhi
juga meninggal.
Rentetan perubahan yang berjalan amat cepat ini oleh
Hillenbrand disamakan dengan terjadinya Perestroika di Uni Soviet yang
mengakibatkan kehancuran dan perpecahan. Berbagai sekte dan negara
kecil-kecil memisahkan diri dan menjadi kekuatannya masing-masing. Dunia
Islam menjelang Konsili Clermont di tahun 1096 sudah berubah menjadi
dunia yang penuh kekacauan dan anarki.
Asassin Bertugas Menciptakan Perpecahan Di Kalangan Islam
Hillenbrand mengajukan pertanyaan: “Momentum ini bagi pasukan
Salib sungguh menguntungkan. Apakah saat itu pasukan Salib telah
diberitahu bahwa saat itu merupakan momentum yang sangat bagus untuk
menyerang Yerusalem?”
Jika di balik, pertanyaan Hillenbrand sebenarnya bisa lebih menukik,
seperti: “Adakah kekacauan di Dunia Islam ini telah diatur? Assassins
bertugas menimbulkan perpecahan di kalangan Islam dengan melakukan
serangkaian pembunuhan di berbagai dinasti Islam yang kuat, dan di lain
sisi Ordo Yohanit (Peter The Hermit dan Godfroi de Bouillon
sebagai dua tokohnya) di saat yang sama menyusup ke Vatikan dan
memprovokasi Paus agar mengobarkan Perang Salib untuk merebut Yerusalem.
Apalagi sejarah mencatat bahwa hanya setahun sebelum pasukan Salib tiba
di depan gerbang Yerusalem, kota suci itu telah jatuh ke tangan Dinasti
Fathimiyah. Adakah ini merupakan persekongkolan antara Assassins dengan
Ordo Yohanit di mana keduanya memang diketahui cenderung kepada
ilmu-ilmu ramalan, perbintangan, sihir, dan sebagainya yang menjurus
pada ajaran Kabbalah.
Dengan kata lain, adalah semua kejadian besar itu merupakan hasil
konspirasi yang dilakukan Ordo Kabbalah dengan pembagian kerja:
Assassins bekerja di Dunia Islam, sedangkan Yohanit (Ordo Sion dan
kemudian Templar) bekerja di Dunia Kristen?
Bukan rahasia umum lagi bila Assassins dan Templar di kemudian hari
benar-benar melakukan kerjasama. Templar sering mengorder Assassins
untuk membunuh musuh-musuh politiknya. Salah satu korban dari Assassins
adalah Richard The Lion Heart. Salahuddin al-Ayyubi sendiri pernah menerima terror dari Assassins.
Target Asassins : Richard The Lion Heart dan Salahuddin Al-AyyubiT
Suatu pagi, Salahuddin terbangun dari tidur di dalam tendanya
dan menemukan sepotong kue yang telah diracun di atas dadanya dengan
tulisan, “Anda berada dalam kekuasaan kami. ” Sejak itu Salahudin makin
yakin bahwa dia tidak bisa meremehkan Assassins. Dan hal ini terbukti
kemudian, setelah membebaskan Yerusalem, Salahudin terus melakukan
pembebasan hingga ke Benteng Alamut, markas besar Assassins di Persia,
sebelum akhirnya ke Mesir untuk melakukan pembersihan terhadap sekte
Syiah.
Sebutan Hashyashyin atau dalam lidah orang Barat “Assassins”
berasal dari catatan Marcopolo. Pelaut ternama dari Venesia ini pada
tahun 1271-1272 melintasi daerah Alamut, sebuah benteng besar di atas
karang yang sangat kuat dan memiliki taman yang sangat indah di
dalamnya, di wilayah Persia.
Dalam catatannya tentang Benteng Alamut dan aktivitas sekte
Syiah pimpinan Hasan al-Sabbah, yang diistilahkan oleh Marcopolo sebagai
kaum Assassins, pelaut Italia ini menulis:
“…Beberapa pemuda yang berumur duabelas hingga duapuluh tahun yang
memiliki semangat tarung yang tinggi, dibawa masuk ke dalam taman yang
berada di tengah-tengah benteng. Mereka dibawa masuk bergiliran, sekitar
empat, enam, atau sepuluh pemuda. Sebelumnya, mereka disuguhi minuman
keras dan candu yang membuat mereka mabuk berat atu tertidur pulas. Baru
setelah itu mereka diangkat dan dipindahkan ke dalam taman.
Ketika bangun, para pemuda itu mendaati dirinya berada di tengah
taman yang sangat indah. Mereka dikelilingi para gadis-gadis perawan
yang mengenakan pakaian sungguh menggoda. Para gadis itu menghibur,
merayu, dan melayani keinginan para pemuda tersebut. Mereka
sungguh-sungguh dimanjakan.
Para pemuda itu menyangka mereka sedang berada di surga. Sehingga ketika Hasan al-Sabbah sebagai pimpinan tertinggi Hashyashyin memberi tugas atau perintah kepada mereka maka mereka akan dengan senang hati akan melaksanakannya.
“Surga” yang sangat indah telah menantikan para pemuda tersebut
jika tugasnya selesai. “Saat kau kembali, bidadari-bidadariku akan
membawamu ke surga. Dan jika pun kau mati, kau pun akan pergi juga ke
surga, ” ujarnya.
Penggunaan candu atau Hashyishy inilah yang oleh Marcopolo, kelompok ini disebut kaum Hashyashyin.
Namun,
kunjungan Marco Polo dianggap fiktif karena basis pertahanan assassin
tersebut telah dihancurkan oleh tentara mongol pada tahun 1256 M.
Old Man of the Mountain
Freya Stark, seorang wartawati Inggris berdarah campuran
Perancis-Italia, ketika menjabat sebagai Staf Redaksi Bagdad Times di
Bagdad, Irak, banyak melakukan perjalanan jurnalistiknya. Perempuan yang
menguasai bahasa Arab dan Parsi ini atas izin Shah Iran di tahun
1930-1931 mengunjungi sisa-sisa Benteng Alamut di Persia. Stark
merupakan perempuan asing pertama yang menjejakkan kakinya di wilayah
bekas pusat kekuasaan kaum Assassins ini.
Stark membuat peta baru yang terperinci atas wilayah tersebut
dan catatan perjalanannya menjadi sebuah buku yang sangat menarik
berjudul “The Valley of the Assassins”.
Dalam bukunya, Stark menulis tentang latar belakang dan
perkembangan kelompok Assassins. Stark berpedoman kepada
literatur-literatur tertua dalam Dunia Islam.“Assassins itu sebuah
sekte Parsi. Cabang dari aliran Syiah Ismailiyah, yang memuliakan Ali
bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad, beserta Imam-Imam turunan dari
garis Ali, ” demikian Stark (hal. 159).
Asassins dan Komunisme
Aliran Ismailiyah memisahkan diri dari aliran-aliran lainnya
sepeninggal Imam ke-7, Imam Jafar al-Shadiq. Walau mengaku sebagai Syiah
dan pengikut Ali, namun berlainan dengan aliran lainnya, maka Assassins
tidak mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan sebagainya. Pandangan
‘keagamaan’ Assassins juga unik karena lebih condong kepada Komune (pada
abad ke-20 dikenal sebagai paham Komunisme)—penyamarataan sosial.
Bahkan di dalam beberapa ritual religinya, Assassins juga melakukan
ritus-ritus yang kerap ditemukan pada pengikut paganisme-Kabalis.
Seperti halnya ritus di dalam Taman Alamut yang nyaris serupa dengan
ritus pesta seks Caligula atau Nero di zaman Romawi.
Tulisan Stark yang dikutip oleh Joesoef Sou’yb dalam ‘Sejarah
Daulat Abasiah’ Jilid III (Bulan Bintang, 1978) menyatakan,
[Kelompok
Assassins dipimpin oleh sebuah keluarga Persia yang kaya raya namun
gila perang. Mereka itu menyerahkan hidupnya untuk merongrong dan
menghancurkan secara berangsur-angsur terhadap segala jenis keimanan
Islam dengan suatu sistem pentahbisan (inisiasi) secara halus dan
pelan-pelan, melalui beberapa tahap (marhalah), menusukkan
kesangsian-kesangsian terhadap agama Islam, hingga kemudian si anggota
menjadi seseorang yang mendewa-dewakan pemikiran bebas dan bersikap
bebas pula (liberal). ” (hal. 61)
Paparan Stark di atas merupakan alat utama pengrusakkan
agama-agama samawi yang dilakukan oleh kaum Kabbalis. Seperti yang telah
diulas dalam banyak sekali literatur,
ketiga agama samawi yang dirusak oleh kaum Kabbalah ini adalah Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Ke dalam agama Yahudi yang sesungguhnya memiliki Kitab Taurat
yang diturunkan kepada Nabi Musa a. S., kaum Kabbalah ini menyisipkan
ayat-ayat palsu sehingga Taurat menjadi rancu dan berantakan. Lantas
kaum Kabbalah ini membuat satu kitab yang dikatakan sebagai ‘titah
Tuhan kepada Nabi Musa yang tidak tercatat’ (seperti halnya Hadits Qudsi
di dalam agama Islam, hanya saja Hadist Qudsi merupakan sesuatu yang
benar berasal dari Allah SWT), yang disebutnya sebagai Kitab Talmud.
Kitab Talmud ini pun akhirnya menjadi ‘lebih suci dan tinggi’ ketimbang
Taurat, sehingga kaum Yahudi ini menjadi kaum yang dimurkai Allah SWT.
Ke dalam agama Nasrani, kaum Kabbalah memasukkan seorang Yahudi Talmudian bernama Paulus dari Tarsus.
Paulus ini yang tidak pernah bertemu dengan Yesus karena zaman
kehidupannya jauh berbeda, membuat Kitab Perjanjian Baru, yang
disebutkan sebagai penggenapan Bibel Perjanjian Lama (Taurat). Ke dalam
Perjanjian Lama pun-seperti halnya Taurat Musa—disisipkan ayat-ayat
palsu sehingga mustahil untuk kita menemukan mana yang asli dan mana
yang tidak.
]Lalu ke dalam agama Islam, kaum Kabbalah ini memasukkan
seorang Yahudi juga yang berpura-pura sebagai orang Islam bernama
Abdullah bin Saba. Abdullah bin Saba inilah yang memecah umat Islam
ke dalam dua kutub besar yakni Sunni dan Syiah, sesuatu yang tidak ada
saat Rasulullah SAW masih hidup.
Sesuatu yang bukan kebetulan, ujar Stark, bahwa keluarga
Persia tersebut memusatkan aktivitasnya di Mesir atas nama Dinasti
Fathimiyah. Mesir sejak zaman purba merupakan salah satu pusat
berkembangnya ajaran Kabbalah.
Salah satu tonggak Kabbalah di Mesir Kuno adalah di masa
kekuasaan para Firaun, yang berkuasa ditopang oleh “Dua Kaki” yakni
Militer dan Penyihir. Di masa Nabi Musa as., para penyihir ini sebagian
ada yang meninggalkan ajaran Kabbalah dan kembali ke Islam. Namun Dewan
Penyihir Tertinggi (Majelis Ordo Kabbalah) tetap memusuhi Nabi Musa a. S
dan menyusupkan seorang anggotanya ke dalam umatnya Nabi Musa untuk
memalingkan kaumnya dari ketauhidan. Al-Qur’an mencatat orang yang
disusupkan itu bernama Samiri.
Di Mesir, cikal bakal Assassins ini menyusup ke semua lini
dan menguasai posisi-posisi penting. Salah seorang dai Ismailiyah yang
berasal dari kota Rayy di Persia bernama Hassan al-Sabbah muncul sebagai
tokoh di Mesir. Hassan al-Sabbah inilah yang kemudian mendirikan sekte
Assassins dan memegang jabatan sebagai Pemimpin Agung yang pertama dari
kelompok tersebut (The First Grandmaster of the Assassins).
Kharisma dan kebrutalan Hassan al-Sabbah menjadikannya dai
yang amat disegani. Ia kemudian menciptakan ideologi bagi kelompoknya
sendiri, melaksanakan pelatihan-pelatihan militerisme dan intelijen
secara sembunyi-sembunyi, dan sebagainya.
“Ia menciptakan suatu penemuannya sendiri, membawa ide baru
ke dalam dunia politik pada masanya itu. Prinsip pembunuhan yang cuma
karena haus darah telah dikembangkannya menjadi satu alat politik
berasaskan sumpah, ” tulis Sou’yb. Dan tentu saja, proyek-proyek
pembunuhan diam-diam terhadap lawan-lawan politik pihak yang memesannya
telah menjadi ladang usaha yang sangat menguntungkan. Assassins pun
menangguk keuntungan material yang sangat besar dari usahanya.
The Secret Garden of Assasins
The Secret Garden atau Taman Rahasia yang terletak di tengah
Benteng Alamut di Persia, merupakan tempat inisiasi para anggota baru
yang kisahnya telah dipaparkan di atas. Ritual yang dilakukan Assassins
di Taman Rahasia tersebut mirip dengan yang dilakukan para Templar di
Rosslyn Chapel atau di kuil-kuil mereka, yakni berakhir dengan pesta
seks yang disebutnya sebagai penyatuan suci menuju Tuhan.

Reruntuhan Benteng Alamut, Markas Pembentukan Asassins
Hassan al-Sabbah merupakan pendiri sekaligus Grandmaster
Assassins. Hasan berasal dari daratan Persia. Ferdinand Tottle dalam
bukunya berjudul Munjid fil Adabi (1956) menulis bahwa Hassan dikirim
oleh Ibnu Attash di tahun 1072 M ke Mesir untuk menemui Khalif
al-Muntashir dari Daulah Fathimiyah yang beraliran Syiah.
Mesir kala itu dikuasai kelompok syiah, di mana Perguruan
Tinggi Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan ternama kaum Syiah. Hasan
menuntut pendidikan di lembaga tersebut.
Sepuluh tahun kemudian, dalam usia ke-31, Hasan kembali ke
Persia. Ketika Ibnu Attash wafat, Hassan menggantikan kedudukannya.
Sebelum Hassan kembali ke Persia, Assassins masih menjadi gerakan bawah
tanah yang belum berani menampakkan diri di atas permukaan. Dan ketika
Hassan telah kembali, maka Assassins baru menampakkan diri sebagai satu
gerakan dalam Sekte Syiah Ismailiyah yang beda dengan sekte-sekte
lainnya.
Asassins Aliran Sesat Ciptaan Yahudi
Assassins sebenarnya bukan hanya beda di permukaan, tapi
memiliki perbedaan secara substansial dan doktrinal. Secara akidah
sebenarnya Assassins tidak lagi bisa dipandang sebagai bagian dari kaum
Muslimin karena mereka tidak mewajibkan sholat, zakat, dan puasa,
sesuatu yang sangat esensial di dalam Islam.
Sekembalinya Hassan ke Persia, gerakan Assassins mulai
memperluas pengaruhnya ke seluruh penjuru Persia dengan merebut
wilayah-wilayah strategis. Wilayah Iran Utara sampai pesisir Laut
Kaspia, yang sejak zaman Romawi banyak berdiri kota-kota benteng menjadi
sasaran utama. Beberapa kota benteng yang kokoh berdiri di antaranya
Alamut, Girdkuh, dan Lamiasar berhasil dikuasai.
Benteng Alamut merupakan benteng terkuat karena berdiri di
atas puncak pegunungan di mana hanya ada satu jalan untuk keluar dan
masuk, itu pun sangat sulit dan terjal. Di dalam benteng yang merupakan
peninggalan dari Kaisar Romawi Trajanus (98-117M) terdapat
ruangan-ruangan yang membingungkan dan sebuah taman rahasia di
tengahnya, di mana tidak setiap orang bisa mengaksesnya. Oleh Hassan
al-Sabbah, Benteng Alamut digunakan sebagai markas besar kelompok
tersebut.
Dari Alamut inilah kelompok Assassins menyebarkan terror ke
seluruh lapisan kerajaan, baik dari pihak Syiah maupun lawannya
Sunni-Abasiyah dan Seljuk. Masa-masa itu dikenal sebagai masa The Great
Terror. Kekuatan Assassins ini demikian melegenda hingga menjadi
pembicaraan kaum Salib Eropa.
Ditumpas Shalahuddin al-Ayyubi
Selain Tentara Salib dengan Ksatria Templar dan
Hospitaller-nya, pasukan Shalahuddin Al-Ayyubi juga harus menghadapi
kelompok Assassins. Shalahuddin tidak bisa melupakan bagaimana Assassins
pernah mengancam dirinya dengan menaruh kue beracun di atas dadanya
saat dia tengah tertidur.Sebab itu, setelah membebaskan Yerusalem dengan
mengalahkan Tentara Salib di tahun 1187, Shalahuddin tidak berhenti.
Panglima pasukan Islam itu terus menyusuri ke utara, membebaskan
daerah-daerah lainnya hingga mengejar kaum Assassins ke Benteng Alamut.
Pasca serangan yang dilakukan pasukannya Shalahuddin, kemudian
pasukannya Mongol, kelompok Assassins menyebar ke berbagai wilayah,
utamanya Lebanon, Persia, dan Suriah. Bertahun-tahun kemudian, kelompok
ini tidak lagi terdengar dan istilah “Asassins” telah mengalami
perubahan makna menjadi “Pembunuh Bayaran”. Dalam budaya pop, istilah
ini diangkat ke dalam novel-novel dan layar perak.
==================================================================================================
Hashashin, Kelompok Penebar Teror di Dunia Islam
Artikel
kali ini akan membahas sebuah kelompok yang begitu sangat
ditakuti dikawasan Timur Tengah pada abad XI M sampai abad XIII M.
Kelompok ini ditakuti karena sering menimbulkan teror dan pembunuhan
terhadap lawan-lawannya khsususnya tokoh-tokoh penting dalam jajaran
politik. Kelompok ini bernama Hashashin/Hashishin. Bahkan saking
terkenalnya kelompok ini, konon kata assassin yang berarti pembunuh
dalam bahasa Inggris diambil dari kelompok ini. Sebelum mengenal lebih
lanjut tentang kelompok ini, akan diterangkan lebih dahulu sebab musabab
timbulnya kelompok ini.
Ada banyak aliran atau golongan di dalam Islam seperti apa yang diramalkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
di dalam hadits bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan. Salah
satu golongan atau aliran dalam Islam yang terkenal adalah golongan
Syiah. Insya Allah,
penulis
akan membahas secara panjang lebar tentang aliran syiah ini di dalam
situs ini sehingga pembaca lebih mengetahui lebih jelas tentang aliran
ini. Namun secara ringkas, golongan syiah merupakan golongan yang
berkeyakinan bahwa Ali bin Abu Thalib merupakan penerus kekhalifahan
setelah Rasulullah wafat dan tidak mengakui tiga khalifah sebelumnya
yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan sebagai khalifah
sebagaimana keyakinan sunni. Sunni merupakan kata singkat dari kata Ahli
Sunnah wal Jama'ah atau biasa disingkat Ahli Sunnah yaitu mereka yang
senantiasa tegak di atas islam berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah yang
shahih berdasarkan pemahaman para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in.
Salah satu keyakinan sunni yaitu mengakui bahwa Khalifah sesudah
Rasulullah wafat adalah Abu Bakar, setelah itu Umar bin Khattab, sesudah
itu Utsman bin Affan dan kemudian Ali bin Abu Thalib. Akibat dari dua
keyakinan yang berbeda ini, sebagai akibatnya timbul keyakinan di dalam
aliran syiah bahwa kekhalifahan Ali telah dirampok dan dirampas oleh
sunni. Maka dari itu mereka sering mengadakan pemberontakan dan
kekacauan terhadap pemerintahan di mana pemerintahan itu dipegang oleh
kaum sunni yang pada saat itu di pegang oleh kekhalifahan bani Umayyah
dan bani 'Abbasiyah.
Perlu diketahui bahwa syiah pun terpecah menjadi beberapa sekte, di
antaranya yang terkenal adalah sekte Ismailiyah, Zaidiyah dan Imamiah
atau Istna 'Asyariyah (12 Imam) dan diantara sekte-sekte tersebut saling
bermusuhan satu sama lain. Sekte Ismailiyah di bawah pimpinan para
imamnya telah berhasil membangun gerakan rahasia bawah tanah yang
berkelanjutan terhadap kekhalifahan Abbasiyah. Mereka bermaksud
merealisasikan gagasan-gagasan revolusioner mereka dengan cara membangun
Negara Syiah pertama, Kerajaan Fathimiyyah, di sepanjang Mediterania
dan Levant, dengan ibukotanya Kairo pada Januari 910 M. Dengan demikian
di dunia islam terbagi menjadi dua kekuatan besar yang saling memusuhi
yaitu kekhalifahan Abbasiyah yang sunni yang berpusat di Baghdad dan
kekhalifahan Fathimiyyah yang syiah yang berpusat di Mesir. Namun
kekhalifahan Abbasiyah pada saat itu sudah banyak dipengaruhi oleh
bangsa Turki di bawah kendali Kesultanan Seljuk Raya sehingga
mengakibatkan kekhalifahan Abbasiyah hanyalah sebuah symbol belaka.
Peta Kekuasaan Kerajaan Fathimiyyah pada zaman keemasannya
Pada tahun 1094 M, ketika Khalifah Fatimiah VIII dan Imam kelompok
Ismailiyah Maad al-Mustansir Billah sakit di Kairo, Wazirnya yang
berpengaruh, Al-Afdal, mengambil alih kekuasaan negara dan menunjuk anak
bungsu khalifah, Al-Musta'i (ipar sang wazir) sebagai khalifah, dalam
sebuah kudeta di istana. Nizar, sang pewaris kekuasaan yang sebenarnya,
pergi ke Alexandria, di sana dia mendapat dukungan kuat dan kemudian
memimpin perlawanan, tetapi kemudian dikalahkan dan dibunuh atas
perintah saudaranya. Hal ini menyebabkan perpecahan di kalangan
Ismailiyah, dan para pendukung Nizar, yang dijuluki kaum Nizaris atau
Nizariyyah, pindah ke timur dan melanjutkan perjuangan mereka di bawah
pimpinan mereka si penyeru dari Persia yang kharismatik, Hassan-i
Sabbah. Hassan al-Sabbah merupakan pendiri sekaligus Grandmaster
Assassins. Hasan berasal dari daratan Persia. Ferdinand Tottle dalam
bukunya berjudul Munjid fil Adabi (1956) menulis bahwa Hassan dikirim
oleh Ibnu Attash di tahun 1072 M ke Mesir untuk menemui Khalifah
al-Muntashir dari Daulah Fathimiyah yang beraliran Syiah.
Mesir kala itu dikuasai kelompok syiah, di mana Perguruan Tinggi
Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan ternama kaum Syiah. Hasan menuntut
pendidikan di lembaga tersebut. Sepuluh tahun kemudian, dalam usia
ke-31, Hasan kembali ke Persia. Ketika Ibnu Attash wafat, Hassan
menggantikan kedudukannya. Sebelum Hassan kembali ke Persia, Assassins
masih menjadi gerakan bawah tanah yang belum berani menampakkan diri di
atas permukaan. Dan ketika Hassan telah kembali, maka Assassins baru
menampakkan diri sebagai satu gerakan dalam Sekte Syiah Ismailiyah yang
beda dengan sekte-sekte lainnya. Sekembalinya
Hassan ke Persia, gerakan Assassins mulai memperluas pengaruhnya ke
seluruh penjuru Persia dengan merebut wilayah-wilayah strategis. Wilayah
Iran Utara sampai pesisir Laut Kaspia, yang sejak zaman Romawi banyak
berdiri kota-kota benteng menjadi sasaran utama. Beberapa kota benteng
yang kokoh berdiri di antaranya Alamut, Girdkuh, dan Lamiasar berhasil
dikuasai.
Hassan-i Sabbah sebelumnya dikenal sebagai sebagai penyeru utama, Da'i,
di mesin propaganda rahasia kalangan Fatimiah di dalam kekhalifahan
Abbasiyah. Dia lalu memimpin kelompok perlawanan Nizariyyah, dan
berhasil mendapatkan dukungan dari mayoritas syiah Fatimiah di Levant,
Persia, Iraq, sekelompok pengikut bawah tanah di jantung kekhalifahan
Fatimiah, di Mesir, dan di Afrika Utara lainnya. Meski demikian, dengan
memisahkan diri dari kekhalifahan Fathimiyyah, para pengikut Hassan-i
Sabbah menjadi terkucil dan kalah kekuatan di wilayah musuh.
Tidak puas hanya bertahan, sebaliknya teguh untuk membangun suatu negara
impian yang baru, Kaum Nizariyyah merancang suatu strategi untuk
mengendalikan benteng-benteng yang secara strategis penting dengan
diam-diam meng'islam'kan para penduduk di dalam wilayah dan di sekitar
benteng-benteng strategis Ismailiyah. Mereka membangun suatu bentuk baru
'negara di dalam negara' yang mencakup beberapa 'pulau' pemukiman yang
dikelilingi tembok di wilayah, sekarang ini, Iran, Irak, Syria dan
Libanon. Awal yang resmi dari Federation of the Hashshassin adalah tahun
1090 M ketika Hassan-i Sabbah mendirikan basis pertamanya di Daylam, di
dalam benteng Alamut di selatan laut Kaspia. Alamut tetap menjadi
ibukota dari 'Federasi kaum Hashshasshin', dan tempat bermukim para
pemimpinnya, disebut penguasa Alamut, hingga keruntuhannya.
Lokasi Assasins
Ada beberapa pendapat tentang asal-usul nama Hashshasshin ini. Ada yang
berpendapat bahwa nama ini diambil dari kata arab yaitu Hashishin yang
berarti pengguna hashis (ganja). Kata ini diambil karena merujuk kepada
perbuatan kelompok ini yang sering menghisap ganja. Ada juga yang
berpendapat bahwa kata Hashashin itu sendiri berasal dari pemimpin
mereka yaitu Hasan-i Sabbah atau yang dijuluki sebagai The Old Man from
Mountain. Jadi Hashashin maksudnya adalah pengikut Hasan. Dan karena
kemahiran Hashashin untuk membunuh, maka Hashashin menjadi asal kata
dari Assasin. Namun menurut sejarawan Amin Malouf, Hasan-i Sabbah suka
menyebut pengikutnya dengan Asasiyun yang berarti asas (fondasi) dari
iman. Namun walaupun ketiga pendapat itu berbeda-beda, bisa ditarik
kesamaan bahwa Hashashin merupakan sebuah komunitas yang merupakan
pengikut dari Hasan-i Sabbah yang sangat taat kepadanya dan setiap calon
anggota atau pun anggotanya sering menggunakan ganja (hashis). Penyimpangan
total terhadap syariat islam dan keyakinan masyarakat syiah yang
mereka lakukan menjadi alasan para ulama syiah mendakwa mereka sebagai
orang-orang murtad dan sesat. Assassins sebenarnya bukan hanya beda di
permukaan, tapi memiliki perbedaan secara substansial dan doktrinal.
Secara akidah sebenarnya Assassins tidak lagi bisa dipandang sebagai
bagian dari kaum Muslimin karena mereka tidak mewajibkan sholat, zakat,
dan puasa, sesuatu yang sangat esensial di dalam Islam.
Dalam history of the Assasins, Amin Malouf menjelaskan bahwa
Hasan-i-Sabbah adalah master budaya dan penyair yang menguasai sains
modern. Hasan bin sabah berusaha keras membangun organisasi Assasins.
Dia adopsi teknik-teknik Darul Hikmat yaitu pusat pengajaran ilmu
kedokteran dan astronomi di kairo, Mesir. Dia berambisi memajukan
organisasi yang dipimpinnya itu. Terbukti, setelah dua abad lebih
kelompok assasins lihai membunuh musuh-musuhnya dengan racun dan
senjata. Kelompok-kelompok ini juga mahir melakukan serangan-serangan
bawah tanah yang pernah menjadi momok di kawasan timur tengah. Karena
tidak mampu membentuk satuan tentara konvensional, kaum Nizariyyah
membentuk peperangan asimetris yang mengubah tindakan pembunuhan politis
menjadi suatu sistem untuk bertahan hidup dan pertahanan terhadap
musuh-musuhnya. Mereka melatih pasukan komando tersamar yang sangat
terlatih (ahli dalam bahasa, ilmu pengetahuan, perdagangan dan
lain-lain, yang dikenal sebagai Fedayeen, yang secara diam-diam akan
menginfiltrasi posisi musuh dan selalu menyamar. Jika warga Nizari
menghadapi ancaman pembunuhan atau benteng mereka akan diserang,
Fedayeen diaktifkan untuk menghadapi serangan tersebut. Kaum
Hashshashin juga termasuk kelompok pertama yang menggunakan sinyal
pantulan cermin di siang hari untuk berkomunikasi dengan basis terdekat,
khususnya sekitar alamut dan di malam hari mereka menggunakan sinyal
api.
Fedayeen
menggunakan ketrampilan mereka yang termasyhur untuk tujuan-tujuan
politik tanpa harus membunuh; misalnya seorang korban, biasanya
berpangkat tinggi, di suatu pagi akan mendapati belati Fedayeen di atas
bantalnya di saat bangun pagi. Ini petunjuk yang jelas bagi orang
tersebut bahwa dia tidak lagi aman dimanapun, bahwa lingkaran dalam para
pelayannya telah diinfiltrasi oleh kelompok pembunuh tersebut, dan
bahwa tindakan apapun yang menyebabkannya berkonflik dengan kaum
Hashshashin harus dihentikan, jika ia ingin hidup. Di Persia mereka
menggunakan taktiknya secara langsung terhadap kaum Turki seljuk yang
membunuhi kaum Nizari. Saat membunuh tokoh tertentu, mereka sangat
hati-hati, melakukannya tanpa jatuhnya korban yang tidak perlu dan
hilangnya nyawa orang yang tak bersalah, meski mereka juga sengaja
membentuk reputasinya yang mengerikan dengan membantai korbannya di
depan umum. Umumnya, mereka mendekati dengan memakai samaran, atau telah
menjadi agen tersamar di suatu kelompok. Mereka lebih menyukai belati
atau pisau kecil yang tersembunyi, mereka menolak menggunakan racun,
panah atau alat lain yang bisa memungkinkan penyerangnya lolos dan
hidup. Di Levant diyakini bahwa Saladdin atau Salahuddin Al-Ayyubi, yang
kesal akibat beberapa serangan hashshashin yang hampir berhasil atas
dirinya, mengepung basis mereka di Syria, Masyaf, saat pengambilalihan
kembali Outremer di tahun 1176. Lalu ia mengakhiri pengepungan tersebut
setelah perjanjian, dan setelahnya berusaha menjaga hubungan baik dengan
sekte tersebut. Dari sekte itu sendiri tersiar kabar bahwa assassin
Rashid-ad Dinan menyelinap ke dalam tenda Saladdin, di tengah-tengah
kampnya, meninggalkan sepotong kue yang telah diberi racun dan selembar
surat bertuliskan "Anda berada dalam genggaman kami" yang ditaruh di
perut Saladdin saat dia tidur, dan kemudian menyelinap keluar lagi tanpa
suatu halangan.
Kaum Hasshashin seringkali menerima kontrak dari pihak luar. Richard the
Lionheart adalah salah satunya yang dicurigai membayar mereka untuk
membunuh Conrad de Montferrat. Dalam banyak kasus, kaum Hashshashin
digunakan untuk mempertahankan keseimbangan musuh mereka. Korban-korban
yang terkenal diantaranya Wazir Abbasiyah yang terkenal Nizam al-Mulk
(1092), Wazir Fatimiah al-Afdal Shahanshah (1122)(bertanggung jawab
memenjarakan kaum Nizari), Ibn al-Khashshab dari Aleppo (1125),
al-Bursuqi dari Mosul (1126), Raymond II dari Tripoli (1152), Conrad de
Montferrat (1192), dan pangeran Edward (kemudian menjadi Edward I dari
Inggris) terluka oleh pisau beracun Hashshashin di tahun 1271.
Dikarenakan kelihaian mereka untuk membunuh, tidak heran majalah Time memasukkan mereka ke dalam 10 Pasukan Elite terhebat sepanjang masa.
Pembunuhan terhadap Nizam Al-Mulk, wazir Seljuk oleh agen Hashashin
Benteng Alamut merupakan benteng terkuat karena berdiri di atas puncak
pegunungan di mana hanya ada satu jalan untuk keluar dan masuk, itu pun
sangat sulit dan terjal. Di dalam benteng yang merupakan peninggalan
dari Kaisar Romawi Trajanus (98-117M) terdapat ruangan-ruangan yang
membingungkan dan sebuah taman rahasia di tengahnya, di mana tidak
setiap orang bisa mengaksesnya. Oleh Hassan al-Sabbah, Benteng Alamut
digunakan sebagai markas besar kelompok tersebut. Dari Alamut inilah
kelompok Assassins menyebarkan terror ke seluruh lapisan kerajaan, baik
dari pihak Syiah maupun lawannya Sunni-Abasiyah dan Seljuk. Masa-masa
itu dikenal sebagai masa The Great Terror. Kekuatan Assassins ini demikian melegenda hingga menjadi pembicaraan kaum Salib Eropa.
Benteng Alamut
Benteng assassin di lembah alamut (Alamut = ‘istana’ kematian) yang
merupakan markas besar mereka menjadi salah satu legenda Persia yang
terkenal dengan sebutan surga dunia. Benteng ini dijuluki Eagele’s Nest
atau sarang Elang dibangun di sebuah gunung tinggi yang hampir mustahil
untuk diakses dan bahkan jika usaha dilakukan untuk mendaki Alamut, akan
memakan banyak waktu bagi orang untuk menuju ke puncak yang berarti
para prajurit di benteng tersebutmemiliki cukup waktu untuk mengunci dan
membunuh target mereka. Alamut terletak di Pegunungan Alborz pusat
dekat Propinsi Kazvin yang hanya ratusan kilometer dari Teheran, Iran.
Benteng dibangun oleh Hamdollah Mostowfi pada ketinggian 2.100 meter dan
hanya ada satu jalan yang mengakses ke benteng yang dijaga ketat oleh
tentara dan prajurit yang membuat rute yang mungkin untuk ditembus. Sisi
lain dari Alamut tentu terlindungi karena memiliki kemiringan yang
curam kerikil yang berarti bahwa tentara akan melalui rute yang
membuatnya jatuh ke lembah jika mereka kehilangan langkah. Benteng itu
terawat baik dan memiliki jaringan yang luar biasa, pasokan air dan
penyimpanan makanan untuk seluruh pasukan. Marco polo terkesan akan
kemegahan dan kemewahan benteng tersebut. Usai perjalanannya melintasi
benteng itu pada tahun 1271 M, dia menulis:
"Di lembah elok itu, diantara dua tinggi menjulang, dia (Hasan bin
Sabah) membangun taman-taman mewah. Didalamnya tumbuh semua pohon
berbuah ranum dan segala tumbuhan harum yang bisa dipetik. Istana-istana
dengan ragam luas dan bentuk dibangun di setiap hamparan taman yang
berbeda-beda. Istana-istana itu dihias batu emas. Di dinding-dindingnya
bergelantungan lukisan-lukisan. Di jendela-jendelanya bermacam kelambu
sutra mewah terpanjang. Di ruang-ruang istana, suguhan anggur, susu,
madu dan air bersih tersaji di setiap sudutnya. Penghuninya gadis-gadis
cantik molek. Mereka semua pandai bernyayi, memainkan berbagai macam
alat musik dan menari. Mereka semua manja serta memikat dengan musik.
Sebuah kastil kokoh, seolah mustahil dihancurkan menancap di gerbang.
Dia ingin tak seorang pun masuk ke "surga dunia” itu tanpa ijinnya.
Itulah pintu masuk menuju lembah elok itu. Beberapa pemuda yang berumur
dua belas hingga dua puluh tahun yang memiliki semangat tarung yang
tinggi, dibawa masuk ke dalam taman yang berada di tengah-tengah
benteng. Mereka dibawa masuk bergiliran, sekitar empat, enam, atau
sepuluh pemuda. Sebelumnya, mereka disuguhi minuman keras dan candu yang
membuat mereka mabuk berat atau tertidur pulas. Baru setelah itu mereka
diangkat dan dipindahkan ke dalam taman. Ketika bangun, para pemuda itu
mendaati dirinya berada di tengah taman yang sangat indah. Mereka
dikelilingi para gadis-gadis perawan yang mengenakan pakaian sungguh
menggoda. Para gadis itu menghibur, merayu, dan melayani keinginan para
pemuda tersebut. Mereka sungguh-sungguh dimanjakan. Para pemuda itu
menyangka mereka sedang berada di surga. Sehingga ketika Hasan al-Sabbah
sebagai pimpinan tertinggi Hashyashyin memberi tugas atau perintah
kepada mereka maka mereka akan dengan senang hati akan
melaksanakannya.“Surga” yang sangat indah telah menantikan para pemuda
tersebut jika tugasnya selesai. “Saat kau kembali, bidadari-bidadariku
akan membawamu ke surga. Dan jika pun kau mati, kau pun akan pergi juga
ke surga, ” ujarnya."
Penggunaan candu atau Hashyishy inilah yang oleh Marcopolo, kelompok ini
disebut kaum Hashyashyin. Namun, kunjungan Marco Polo dianggap fiktif
karena basis pertahanan assassin tersebut telah dihancurkan oleh tentara
mongol pada tahun 1256 M.
Reruntuhan Benteng Alamut
Arkun Daraul dalam karyanya A history of Secret Societies
membagi kelompok rahasia pengikut assassins menjadi tiga lapis yaitu
para misionaris (Dayes), para sahabat (Rafiq), dan murid-murid yang
teruji kesetiannya yaitu pecintanya (Muhibbin). Golongan terakhir adalah
para eksekutor terlatih. Para muhibbin mencirikan diri dengan topi
putih dan sepatu boot merah. Ketiga lapis kelompok assassins, selain
mahir menghujam belati di dada korbannya, mereka juga menguasai bermacam
bahasa. Ada kalanya mereka berdandan dan berperilkaku seolah pendeta.
Mereka juga berbaur dengan masyarakat dengan menjadi pedagang dan
serdadu. Intinya, mereka siap menyamar apa saja sebagai kedok demi
menjalankan misi dan meraih tujuan. Kata sandi anggota assassin adalah
“Dari Surga”. Setiap ada "surat perintah jalan” untuk misi, eksekutor
assassin akan mendapat pertanyaan “Dari mana asalmu?” Sang eksekutor pun
menjawab,"Dari Surga.” Setelah dipastikan, instruksi dimandatkan
“Bunuhlah fulan/fulanah. Setelah berhasil kau akan kembali menghuni
surga. Jemputlah kematian. Karena para malaikat tak sabar mengangkatmu
ke surga."
Pengaruh assassin menyebar ke seantero jagad hingga pertengahan abad 13.
Setelah Hasan bin Sabah terbunuh di tangan anaknya sendiri, Muhammad,
kelompok assasins mengalami kemunduran. Kemudian Muhammad juga dibunuh
anaknya sendiri. Tahun 1256/1257 markas besar assassin benteng Alamut
jatuh ke tangan mongol yang menandai akhir riwayat assasins. Pada tahun
1257, Benteng Assassin di Syria (Masyaf) jatuh ke tangan Sultan Baybars.
Tamatlah riwayat kekuatan militer assassin yang tak terkalahkan pada
masanya.
Benteng Assassin di Masyaf, Syiria
Walaupun Assassins sudah lenyap dari permukaan bumi, ada beberapa
rahasia yang masih tersembunyi di dalam organisasi assassins khususnya
mengenai hubungan antara assasins dengan ksatria templar dalam perang
salib. Insya Allah mengenai kstaria templar akan diulas dalam situs ini.
Namun Bukan rahasia umum lagi bila Assassins dan Templar di kemudian
hari benar-benar melakukan kerjasama. Templar sering mengorder Assassins
untuk membunuh musuh-musuh politiknya. Sebab itu, banyak sejarawan
Barat yang menuding di antara kedua sekte khusus pencabut nyawa ini
sesungguhnya terjalin satu kerjasama dalam bentuk yang tersembunyi. Hal
ini dikemukakan oleh Prof. Carole Hillenbrand, Guru Besar Studi Islam
dan Bahasa Arab University Edinburgh, Skotlandia. Apakah Assasins
bertugas menimbulkan kekacauan dan perpecahan di kalangan Islam dengan
melakukan serangkaian pembunuhan di berbagai dinasti Islam yang kuat
sebagaimana ordo yohanit (Benih-benih ksatria templar) di saat yang sama
menyusup ke Vatikan dan memprovokasi Paus agar mengobarkan Perang Salib
untuk merebut Yerusalem? Pertanyaan itulah yang sampai sekarang belum
terjawab.
Referensi: