Hashyashyin (Asassins)/Hashashin, Kelompok Penebar Teror

364 views
Skip to first unread message

ganis supriadi

unread,
Dec 11, 2011, 9:49:17 AM12/11/11
to Musl...@googlegroups.com
Penulisan sejarah tentang Perang Salib sampai hari ini masih menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Salah satunya tentang peranan kaum Hashyashyin, sebuah sekte (ordo) khusus pembunuh dari kelompok Ismailiyah-Qaramithah, salah satu cabang dari kelompok Syiah di bawah Dinasti Fathimiyah.

Hashyashyin (Asassins) “guru” bagi Knights Templar

Konon, Hashyashyin ini merupakan “guru” dari Knights Templar yang dibentuk oleh Ordo Sion di tahun 1118 Masehi. Keduanya — Hashyashyin maupun Templar-memiliki banyak kemiripan. Mulai dari struktur organisasi, pembangkangan terhadap agama (bid’ah) dan bahkan dianggap agnostik (tidak meyakini agama apapun kecuali doktrin pemimpinnya), kepandaiannya dalam berperang, membunuh, serta keterampilan dalam hal pengunaan racun, serta adanya ritual-ritual khusus yang penuh dengan warna mistis-paganistik.
Bahkan banyak penulis sejarawan modern menganggap Sekte Syiah Qaramithah—asal muasal gerakan Assassins — sebagai kelompok Bolsyewisme-Islam atau cenderung komunistis. Pendiri sekte ini bernama Hamdan al-Qarmath, seorang Irak yang gemar pada ilmu-ilmu perbintangan dan kebatinan, mirip dengan pengikut Kabbalah (Hitti, History of the Arabs: From the Earliest Times to the Present, 2002).Templar sendiri sesungguhnya pengikut Kabbalah, walau mereka mengaku sebagai pemeluk Kristen pada awalnya.

Penaklukkan Jurusalem Oleh Dinasti Fatimiyah

Sebab itu, banyak sejarawan Barat yang menuding di antara kedua sekte khusus pencabut nyawa ini sesungguhnya terjalin satu kerjasama dalam bentuk yang tersembunyi. Salah satu yang memunculkan dugaan ini adalah Prof. Carole Hillenbrand, Guru Besar Studi Islam dan Bahasa Arab University Edinburgh, Skotlandia. Skotlandia sendiri dikenal sebagai wilayah basis dari Freemasonry yang lahir di darah ini selepas penumpasan Templar oleh Raja Perancis, King Philipe le Bel, yang dibantu Paus Clement V di tahun 1307 M.

[b][Profesor Hillenbrand /B]dalam bukunya “The Crusade, Islamic Perspective” (1999) menulis bahwa setahun sebelum pasukan salib gelombang pertama yang dikomandani Godfroi de Bouillon tiba di pintu Yerusalem di tahun 1099 dan merebutnya, Yerusalem diserang oleh pasukan dari Dinasti Fathimiyah-Syiah yang berpusat di Mesir dan merebutnya dari tangan kekuasaan Dinasti Abbasiyyah yang beraliran Sunni.

Jadi, ketika pasukannya Godfroi tiba di pintu kota Yerusalem, kota suci itu sebenarnya telah berada di bawah kekuasaan Bani Fathimiyah.

Atas kejadian ini, Hillebrand mempertanyakan tidak adanya catatan khusus dari para sejarawan Muslim. “Serangan tiba-tiba yang dilakukan al-Afdhal (Wazir dari Dinasti Fathimiyah Mesir) ke Yerusalem, dengan waktu yang amat tepat, memerlukan penjelasan yang belum diberikan para sarjana Islam. Mengapa al-Afdhal melakukan serangan ini? Apakah karena ia telah tahu lebih dulu soal rencana para Tentara Salib? Bila demikian, apakah ia merebut Yerusalem untuk kepentingan Tentara Salib, yang sebelumnya telah menjalin aliansi dengannya?” tulis Hillebrand.

Salah satu hipotesis yang dikemukakan peraih The King Faisal International Prize for Islamic Studies ini adalah, bahwa pasukannya al-Afdhal telah dikhianati oleh Godfroi de Bouillon, karena sesungguhnya Kaisar Byzantium—Kristen Timur yang bertentangan secara ideologi dengan Kristen Barat yang mengirimkan Tentara Salib—telah memberitahu al-Afdhal bahwa pasukan Salib Kristen Barat akan segera tiba di Yerusalem. Pemberitahuan ini diberikan Kaisar Byzantium tidak lama berselang setelah Konsili Clermont usai.

Bisa jadi, demikian Hillebrand, al-Afdhal menginvasi Yerusalem agar Godfroi menahan pasukannya dan bisa berbagi kekuasaan, karena al-Afdhal mengira Tentara Salib atau ‘Bangsa Frank’ menurut Hillenbrand bisa dijadikan sekutu yang baik menghadapi Muslim Sunni.
Namun yang terjadi tidak demikian. “Tentara Salib hendak menguasai Yerusalem untuk dirinya sendiri, ” tulisnya. Lantas di mana peranan Assassins dalam hal ini?

Peran Tersembunyi Assassins

Menjelang Perang Salib pertama, dunia Barat dan Timur masing-masing mengalami perpecahan (schisma) yang hebat. Dunia Barat setidaknya menjadi dua kekuatan besar: Kristen Timur yang berpusat di Byzantium dan Kristen Barat yang berpusat di Roma. Secara diam-diam, Sekte Gereja Yohanit yang sesungguhnya agnostik-paganistik menyusup ke Vatikan dan menyusun kekuatannya.

Di sisi lain Dunia Islam juga terbagi menjadi dua kekuatan besar yang juga saling memusuhi yakni Kekhalifahan Abbasiyah yang sunni dan Kekhalifahan Fathimiyah yang syiah yang berpusat di Mesir.

Carole Hillenbrand menulis, “Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, sejak 1092 M, terjadi rentetan pembersihan semua pemimpin politik terkemuka Dunia Islam dari Mesir hingga ke timur. Tahun 1092, seorang menteri terkemuka Dinasti Seljuk sunni bernama Nizam al-Mulk terbunuh (belakangan diketahui Assassins-lah yang melakukan itu). ”  
 
 
Tahun 1092 M Dijuluki Tahun Kematian


Tiga bulan kemudian, Sultan Maliksyah, sultan ketiga Seljuk yang telah berkuasa dengan gemilang selama duapuluh tahun juga meninggal dengan sebab-sebab yang mencurigakan. Kuat dugaan ia juga telah diracun Assassins. Tak lama kemudian, permaisuri dan cucu-cucunya pun meninggal dengan cara yang tak lazim. Para sejarawan Islam memandang tahun 1092 M sebagai “Tahun Kematian”.

Apalagi dengan peristiwa meninggalnya Khalifah Fathimiyah Syiah di Mesir, al-Muntanshir, musuh besar Seljuk, yang juga terjadi pada tahun itu. Dua tahun kemudian, 1094, Khalifah Abbasiyah alMuqtadhi juga meninggal.

Rentetan perubahan yang berjalan amat cepat ini oleh Hillenbrand disamakan dengan terjadinya Perestroika di Uni Soviet yang mengakibatkan kehancuran dan perpecahan. Berbagai sekte dan negara kecil-kecil memisahkan diri dan menjadi kekuatannya masing-masing. Dunia Islam menjelang Konsili Clermont di tahun 1096 sudah berubah menjadi dunia yang penuh kekacauan dan anarki.

Asassin Bertugas Menciptakan Perpecahan Di Kalangan Islam

Hillenbrand mengajukan pertanyaan: “Momentum ini bagi pasukan Salib sungguh menguntungkan. Apakah saat itu pasukan Salib telah diberitahu bahwa saat itu merupakan momentum yang sangat bagus untuk menyerang Yerusalem?”

Jika di balik, pertanyaan Hillenbrand sebenarnya bisa lebih menukik, seperti: “Adakah kekacauan di Dunia Islam ini telah diatur? Assassins bertugas menimbulkan perpecahan di kalangan Islam dengan melakukan serangkaian pembunuhan di berbagai dinasti Islam yang kuat, dan di lain sisi Ordo Yohanit (Peter The Hermit dan Godfroi de Bouillon sebagai dua tokohnya) di saat yang sama menyusup ke Vatikan dan memprovokasi Paus agar mengobarkan Perang Salib untuk merebut Yerusalem.

Apalagi sejarah mencatat bahwa hanya setahun sebelum pasukan Salib tiba di depan gerbang Yerusalem, kota suci itu telah jatuh ke tangan Dinasti Fathimiyah. Adakah ini merupakan persekongkolan antara Assassins dengan Ordo Yohanit di mana keduanya memang diketahui cenderung kepada ilmu-ilmu ramalan, perbintangan, sihir, dan sebagainya yang menjurus pada ajaran Kabbalah.

Dengan kata lain, adalah semua kejadian besar itu merupakan hasil konspirasi yang dilakukan Ordo Kabbalah dengan pembagian kerja: Assassins bekerja di Dunia Islam, sedangkan Yohanit (Ordo Sion dan kemudian Templar) bekerja di Dunia Kristen?

Bukan rahasia umum lagi bila Assassins dan Templar di kemudian hari benar-benar melakukan kerjasama. Templar sering mengorder Assassins untuk membunuh musuh-musuh politiknya. Salah satu korban dari Assassins adalah Richard The Lion Heart. Salahuddin al-Ayyubi sendiri pernah menerima terror dari Assassins.

Target Asassins : Richard The Lion Heart dan Salahuddin Al-AyyubiT

Suatu pagi, Salahuddin terbangun dari tidur di dalam tendanya dan menemukan sepotong kue yang telah diracun di atas dadanya dengan tulisan, “Anda berada dalam kekuasaan kami. ” Sejak itu Salahudin makin yakin bahwa dia tidak bisa meremehkan Assassins. Dan hal ini terbukti kemudian, setelah membebaskan Yerusalem, Salahudin terus melakukan pembebasan hingga ke Benteng Alamut, markas besar Assassins di Persia, sebelum akhirnya ke Mesir untuk melakukan pembersihan terhadap sekte Syiah.

Sebutan Hashyashyin atau dalam lidah orang Barat “Assassins” berasal dari catatan Marcopolo. Pelaut ternama dari Venesia ini pada tahun 1271-1272 melintasi daerah Alamut, sebuah benteng besar di atas karang yang sangat kuat dan memiliki taman yang sangat indah di dalamnya, di wilayah Persia.

Dalam catatannya tentang Benteng Alamut dan aktivitas sekte Syiah pimpinan Hasan al-Sabbah, yang diistilahkan oleh Marcopolo sebagai kaum Assassins, pelaut Italia ini menulis:

“…Beberapa pemuda yang berumur duabelas hingga duapuluh tahun yang memiliki semangat tarung yang tinggi, dibawa masuk ke dalam taman yang berada di tengah-tengah benteng. Mereka dibawa masuk bergiliran, sekitar empat, enam, atau sepuluh pemuda. Sebelumnya, mereka disuguhi minuman keras dan candu yang membuat mereka mabuk berat atu tertidur pulas. Baru setelah itu mereka diangkat dan dipindahkan ke dalam taman.

Ketika bangun, para pemuda itu mendaati dirinya berada di tengah taman yang sangat indah. Mereka dikelilingi para gadis-gadis perawan yang mengenakan pakaian sungguh menggoda. Para gadis itu menghibur, merayu, dan melayani keinginan para pemuda tersebut. Mereka sungguh-sungguh dimanjakan.

Para pemuda itu menyangka mereka sedang berada di surga. Sehingga ketika Hasan al-Sabbah sebagai pimpinan tertinggi Hashyashyin memberi tugas atau perintah kepada mereka maka mereka akan dengan senang hati akan melaksanakannya.

“Surga” yang sangat indah telah menantikan para pemuda tersebut jika tugasnya selesai. “Saat kau kembali, bidadari-bidadariku akan membawamu ke surga. Dan jika pun kau mati, kau pun akan pergi juga ke surga, ” ujarnya.

Penggunaan candu atau Hashyishy inilah yang oleh Marcopolo, kelompok ini disebut kaum Hashyashyin.
 
Namun, kunjungan Marco Polo dianggap fiktif karena basis pertahanan assassin tersebut telah dihancurkan oleh tentara mongol pada tahun 1256 M.


Old Man of the Mountain

Freya Stark, seorang wartawati Inggris berdarah campuran Perancis-Italia, ketika menjabat sebagai Staf Redaksi Bagdad Times di Bagdad, Irak, banyak melakukan perjalanan jurnalistiknya. Perempuan yang menguasai bahasa Arab dan Parsi ini atas izin Shah Iran di tahun 1930-1931 mengunjungi sisa-sisa Benteng Alamut di Persia. Stark merupakan perempuan asing pertama yang menjejakkan kakinya di wilayah bekas pusat kekuasaan kaum Assassins ini.

Stark membuat peta baru yang terperinci atas wilayah tersebut dan catatan perjalanannya menjadi sebuah buku yang sangat menarik berjudul “The Valley of the Assassins”.
Dalam bukunya, Stark menulis tentang latar belakang dan perkembangan kelompok Assassins. Stark berpedoman kepada literatur-literatur tertua dalam Dunia Islam.“Assassins itu sebuah sekte Parsi. Cabang dari aliran Syiah Ismailiyah, yang memuliakan Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad, beserta Imam-Imam turunan dari garis Ali, ” demikian Stark (hal. 159).
 
 
Asassins dan Komunisme

Aliran Ismailiyah memisahkan diri dari aliran-aliran lainnya sepeninggal Imam ke-7, Imam Jafar al-Shadiq. Walau mengaku sebagai Syiah dan pengikut Ali, namun berlainan dengan aliran lainnya, maka Assassins tidak mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan sebagainya. Pandangan ‘keagamaan’ Assassins juga unik karena lebih condong kepada Komune (pada abad ke-20 dikenal sebagai paham Komunisme)—penyamarataan sosial. Bahkan di dalam beberapa ritual religinya, Assassins juga melakukan ritus-ritus yang kerap ditemukan pada pengikut paganisme-Kabalis. Seperti halnya ritus di dalam Taman Alamut yang nyaris serupa dengan ritus pesta seks Caligula atau Nero di zaman Romawi.

Tulisan Stark yang dikutip oleh Joesoef Sou’yb dalam ‘Sejarah Daulat Abasiah’ Jilid III (Bulan Bintang, 1978) menyatakan, [Kelompok Assassins dipimpin oleh sebuah keluarga Persia yang kaya raya namun gila perang. Mereka itu menyerahkan hidupnya untuk merongrong dan menghancurkan secara berangsur-angsur terhadap segala jenis keimanan Islam dengan suatu sistem pentahbisan (inisiasi) secara halus dan pelan-pelan, melalui beberapa tahap (marhalah), menusukkan kesangsian-kesangsian terhadap agama Islam, hingga kemudian si anggota menjadi seseorang yang mendewa-dewakan pemikiran bebas dan bersikap bebas pula (liberal). ” (hal. 61)

Paparan Stark di atas merupakan alat utama pengrusakkan agama-agama samawi yang dilakukan oleh kaum Kabbalis. Seperti yang telah diulas dalam banyak sekali literatur, ketiga agama samawi yang dirusak oleh kaum Kabbalah ini adalah Yahudi, Nasrani, dan Islam.

Ke dalam agama Yahudi yang sesungguhnya memiliki Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a. S., kaum Kabbalah ini menyisipkan ayat-ayat palsu sehingga Taurat menjadi rancu dan berantakan. Lantas kaum Kabbalah ini membuat satu kitab yang dikatakan sebagai ‘titah Tuhan kepada Nabi Musa yang tidak tercatat’ (seperti halnya Hadits Qudsi di dalam agama Islam, hanya saja Hadist Qudsi merupakan sesuatu yang benar berasal dari Allah SWT), yang disebutnya sebagai Kitab Talmud. Kitab Talmud ini pun akhirnya menjadi ‘lebih suci dan tinggi’ ketimbang Taurat, sehingga kaum Yahudi ini menjadi kaum yang dimurkai Allah SWT.

Ke dalam agama Nasrani, kaum Kabbalah memasukkan seorang Yahudi Talmudian bernama Paulus dari Tarsus. Paulus ini yang tidak pernah bertemu dengan Yesus karena zaman kehidupannya jauh berbeda, membuat Kitab Perjanjian Baru, yang disebutkan sebagai penggenapan Bibel Perjanjian Lama (Taurat). Ke dalam Perjanjian Lama pun-seperti halnya Taurat Musa—disisipkan ayat-ayat palsu sehingga mustahil untuk kita menemukan mana yang asli dan mana yang tidak.

]Lalu ke dalam agama Islam, kaum Kabbalah ini memasukkan seorang Yahudi juga yang berpura-pura sebagai orang Islam bernama Abdullah bin Saba. Abdullah bin Saba inilah yang memecah umat Islam ke dalam dua kutub besar yakni Sunni dan Syiah, sesuatu yang tidak ada saat Rasulullah SAW masih hidup.

Sesuatu yang bukan kebetulan, ujar Stark, bahwa keluarga Persia tersebut memusatkan aktivitasnya di Mesir atas nama Dinasti Fathimiyah. Mesir sejak zaman purba merupakan salah satu pusat berkembangnya ajaran Kabbalah.

Salah satu tonggak Kabbalah di Mesir Kuno adalah di masa kekuasaan para Firaun, yang berkuasa ditopang oleh “Dua Kaki” yakni Militer dan Penyihir. Di masa Nabi Musa as., para penyihir ini sebagian ada yang meninggalkan ajaran Kabbalah dan kembali ke Islam. Namun Dewan Penyihir Tertinggi (Majelis Ordo Kabbalah) tetap memusuhi Nabi Musa a. S dan menyusupkan seorang anggotanya ke dalam umatnya Nabi Musa untuk memalingkan kaumnya dari ketauhidan. Al-Qur’an mencatat orang yang disusupkan itu bernama Samiri.

Di Mesir, cikal bakal Assassins ini menyusup ke semua lini dan menguasai posisi-posisi penting. Salah seorang dai Ismailiyah yang berasal dari kota Rayy di Persia bernama Hassan al-Sabbah muncul sebagai tokoh di Mesir. Hassan al-Sabbah inilah yang kemudian mendirikan sekte Assassins dan memegang jabatan sebagai Pemimpin Agung yang pertama dari kelompok tersebut (The First Grandmaster of the Assassins).

Kharisma dan kebrutalan Hassan al-Sabbah menjadikannya dai yang amat disegani. Ia kemudian menciptakan ideologi bagi kelompoknya sendiri, melaksanakan pelatihan-pelatihan militerisme dan intelijen secara sembunyi-sembunyi, dan sebagainya.

“Ia menciptakan suatu penemuannya sendiri, membawa ide baru ke dalam dunia politik pada masanya itu. Prinsip pembunuhan yang cuma karena haus darah telah dikembangkannya menjadi satu alat politik berasaskan sumpah, ” tulis Sou’yb. Dan tentu saja, proyek-proyek pembunuhan diam-diam terhadap lawan-lawan politik pihak yang memesannya telah menjadi ladang usaha yang sangat menguntungkan. Assassins pun menangguk keuntungan material yang sangat besar dari usahanya.

The Secret Garden of Assasins


The Secret Garden atau Taman Rahasia yang terletak di tengah Benteng Alamut di Persia, merupakan tempat inisiasi para anggota baru yang kisahnya telah dipaparkan di atas. Ritual yang dilakukan Assassins di Taman Rahasia tersebut mirip dengan yang dilakukan para Templar di Rosslyn Chapel atau di kuil-kuil mereka, yakni berakhir dengan pesta seks yang disebutnya sebagai penyatuan suci menuju Tuhan.


Reruntuhan Benteng Alamut, Markas Pembentukan Asassins


Hassan al-Sabbah merupakan pendiri sekaligus Grandmaster Assassins. Hasan berasal dari daratan Persia. Ferdinand Tottle dalam bukunya berjudul Munjid fil Adabi (1956) menulis bahwa Hassan dikirim oleh Ibnu Attash di tahun 1072 M ke Mesir untuk menemui Khalif al-Muntashir dari Daulah Fathimiyah yang beraliran Syiah.

Mesir kala itu dikuasai kelompok syiah, di mana Perguruan Tinggi Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan ternama kaum Syiah. Hasan menuntut pendidikan di lembaga tersebut.

Sepuluh tahun kemudian, dalam usia ke-31, Hasan kembali ke Persia. Ketika Ibnu Attash wafat, Hassan menggantikan kedudukannya. Sebelum Hassan kembali ke Persia, Assassins masih menjadi gerakan bawah tanah yang belum berani menampakkan diri di atas permukaan. Dan ketika Hassan telah kembali, maka Assassins baru menampakkan diri sebagai satu gerakan dalam Sekte Syiah Ismailiyah yang beda dengan sekte-sekte lainnya.


Asassins Aliran Sesat Ciptaan Yahudi

Assassins sebenarnya bukan hanya beda di permukaan, tapi memiliki perbedaan secara substansial dan doktrinal. Secara akidah sebenarnya Assassins tidak lagi bisa dipandang sebagai bagian dari kaum Muslimin karena mereka tidak mewajibkan sholat, zakat, dan puasa, sesuatu yang sangat esensial di dalam Islam.

Sekembalinya Hassan ke Persia, gerakan Assassins mulai memperluas pengaruhnya ke seluruh penjuru Persia dengan merebut wilayah-wilayah strategis. Wilayah Iran Utara sampai pesisir Laut Kaspia, yang sejak zaman Romawi banyak berdiri kota-kota benteng menjadi sasaran utama. Beberapa kota benteng yang kokoh berdiri di antaranya Alamut, Girdkuh, dan Lamiasar berhasil dikuasai.

Benteng Alamut merupakan benteng terkuat karena berdiri di atas puncak pegunungan di mana hanya ada satu jalan untuk keluar dan masuk, itu pun sangat sulit dan terjal. Di dalam benteng yang merupakan peninggalan dari Kaisar Romawi Trajanus (98-117M) terdapat ruangan-ruangan yang membingungkan dan sebuah taman rahasia di tengahnya, di mana tidak setiap orang bisa mengaksesnya. Oleh Hassan al-Sabbah, Benteng Alamut digunakan sebagai markas besar kelompok tersebut.

Dari Alamut inilah kelompok Assassins menyebarkan terror ke seluruh lapisan kerajaan, baik dari pihak Syiah maupun lawannya Sunni-Abasiyah dan Seljuk. Masa-masa itu dikenal sebagai masa The Great Terror. Kekuatan Assassins ini demikian melegenda hingga menjadi pembicaraan kaum Salib Eropa.

Ditumpas Shalahuddin al-Ayyubi



Selain Tentara Salib dengan Ksatria Templar dan Hospitaller-nya, pasukan Shalahuddin Al-Ayyubi juga harus menghadapi kelompok Assassins. Shalahuddin tidak bisa melupakan bagaimana Assassins pernah mengancam dirinya dengan menaruh kue beracun di atas dadanya saat dia tengah tertidur.Sebab itu, setelah membebaskan Yerusalem dengan mengalahkan Tentara Salib di tahun 1187, Shalahuddin tidak berhenti. Panglima pasukan Islam itu terus menyusuri ke utara, membebaskan daerah-daerah lainnya hingga mengejar kaum Assassins ke Benteng Alamut.

Pasca serangan yang dilakukan pasukannya Shalahuddin, kemudian pasukannya Mongol, kelompok Assassins menyebar ke berbagai wilayah, utamanya Lebanon, Persia, dan Suriah. Bertahun-tahun kemudian, kelompok ini tidak lagi terdengar dan istilah “Asassins” telah mengalami perubahan makna menjadi “Pembunuh Bayaran”. Dalam budaya pop, istilah ini diangkat ke dalam novel-novel dan layar perak.
 
 
==================================================================================================
 
 

Hashashin, Kelompok Penebar Teror di Dunia Islam

  
                 
Artikel   kali ini akan membahas sebuah kelompok yang begitu sangat ditakuti dikawasan Timur Tengah pada abad XI M sampai abad XIII M. Kelompok ini ditakuti karena sering menimbulkan teror dan pembunuhan terhadap lawan-lawannya khsususnya tokoh-tokoh penting dalam jajaran politik. Kelompok ini bernama Hashashin/Hashishin. Bahkan saking terkenalnya kelompok ini, konon kata assassin yang berarti pembunuh dalam bahasa Inggris diambil dari kelompok ini. Sebelum mengenal lebih lanjut tentang kelompok ini, akan diterangkan lebih dahulu sebab musabab timbulnya kelompok ini.

Ada banyak aliran atau golongan di dalam Islam seperti apa yang diramalkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam hadits bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan. Salah satu golongan atau aliran dalam Islam yang terkenal adalah golongan Syiah. Insya Allah, penulis akan membahas secara panjang lebar tentang aliran syiah ini di dalam situs ini sehingga pembaca lebih mengetahui lebih jelas tentang aliran ini. Namun secara ringkas, golongan syiah merupakan golongan yang berkeyakinan bahwa Ali bin Abu Thalib merupakan penerus kekhalifahan setelah Rasulullah wafat dan tidak mengakui tiga khalifah sebelumnya yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan sebagai khalifah sebagaimana keyakinan sunni. Sunni merupakan kata singkat dari kata Ahli Sunnah wal Jama'ah atau biasa disingkat Ahli Sunnah yaitu mereka yang senantiasa tegak di atas islam berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih berdasarkan pemahaman para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in. Salah satu keyakinan sunni yaitu mengakui bahwa Khalifah sesudah Rasulullah wafat adalah Abu Bakar, setelah itu Umar bin Khattab, sesudah itu Utsman bin Affan dan kemudian Ali bin Abu Thalib. Akibat dari dua keyakinan yang berbeda ini, sebagai akibatnya timbul keyakinan di dalam aliran syiah bahwa kekhalifahan Ali telah dirampok dan dirampas oleh sunni. Maka dari itu mereka sering mengadakan pemberontakan dan kekacauan terhadap pemerintahan di mana pemerintahan itu dipegang oleh kaum sunni yang pada saat itu di pegang oleh kekhalifahan bani Umayyah dan bani 'Abbasiyah.

Perlu diketahui bahwa syiah pun terpecah menjadi beberapa sekte, di antaranya yang terkenal adalah sekte Ismailiyah, Zaidiyah dan Imamiah atau Istna 'Asyariyah (12 Imam) dan diantara sekte-sekte tersebut saling bermusuhan satu sama lain. Sekte Ismailiyah di bawah pimpinan para imamnya telah berhasil membangun gerakan rahasia bawah tanah yang berkelanjutan terhadap kekhalifahan Abbasiyah. Mereka bermaksud merealisasikan gagasan-gagasan revolusioner mereka dengan cara membangun Negara Syiah pertama, Kerajaan Fathimiyyah, di sepanjang Mediterania dan Levant, dengan ibukotanya Kairo pada Januari 910 M. Dengan demikian di dunia islam terbagi menjadi dua kekuatan besar yang saling memusuhi yaitu kekhalifahan Abbasiyah yang sunni yang berpusat di Baghdad dan kekhalifahan Fathimiyyah yang syiah yang berpusat di Mesir. Namun kekhalifahan Abbasiyah pada saat itu sudah banyak dipengaruhi oleh bangsa Turki di bawah kendali Kesultanan Seljuk Raya sehingga mengakibatkan kekhalifahan Abbasiyah hanyalah sebuah symbol belaka.


Peta Kekuasaan Kerajaan Fathimiyyah pada zaman keemasannya

Pada tahun 1094 M, ketika Khalifah Fatimiah VIII dan Imam kelompok Ismailiyah Maad al-Mustansir Billah sakit di Kairo, Wazirnya yang berpengaruh, Al-Afdal, mengambil alih kekuasaan negara dan menunjuk anak bungsu khalifah, Al-Musta'i (ipar sang wazir) sebagai khalifah, dalam sebuah kudeta di istana. Nizar, sang pewaris kekuasaan yang sebenarnya, pergi ke Alexandria, di sana dia mendapat dukungan kuat dan kemudian memimpin perlawanan, tetapi kemudian dikalahkan dan dibunuh atas perintah saudaranya. Hal ini menyebabkan perpecahan di kalangan Ismailiyah, dan para pendukung Nizar, yang dijuluki kaum Nizaris atau Nizariyyah, pindah ke timur dan melanjutkan perjuangan mereka di bawah pimpinan mereka si penyeru dari Persia yang kharismatik, Hassan-i Sabbah. Hassan al-Sabbah merupakan pendiri sekaligus Grandmaster Assassins. Hasan berasal dari daratan Persia. Ferdinand Tottle dalam bukunya berjudul Munjid fil Adabi (1956) menulis bahwa Hassan dikirim oleh Ibnu Attash di tahun 1072 M ke Mesir untuk menemui Khalifah al-Muntashir dari Daulah Fathimiyah yang beraliran Syiah.

Mesir kala itu dikuasai kelompok syiah, di mana Perguruan Tinggi Al-Azhar merupakan lembaga pendidikan ternama kaum Syiah. Hasan menuntut pendidikan di lembaga tersebut. Sepuluh tahun kemudian, dalam usia ke-31, Hasan kembali ke Persia. Ketika Ibnu Attash wafat, Hassan menggantikan kedudukannya. Sebelum Hassan kembali ke Persia, Assassins masih menjadi gerakan bawah tanah yang belum berani menampakkan diri di atas permukaan. Dan ketika Hassan telah kembali, maka Assassins baru menampakkan diri sebagai satu gerakan dalam Sekte Syiah Ismailiyah yang beda dengan sekte-sekte lainnya.
Sekembalinya Hassan ke Persia, gerakan Assassins mulai memperluas pengaruhnya ke seluruh penjuru Persia dengan merebut wilayah-wilayah strategis. Wilayah Iran Utara sampai pesisir Laut Kaspia, yang sejak zaman Romawi banyak berdiri kota-kota benteng menjadi sasaran utama. Beberapa kota benteng yang kokoh berdiri di antaranya Alamut, Girdkuh, dan Lamiasar berhasil dikuasai. Hassan-i Sabbah sebelumnya dikenal sebagai sebagai penyeru utama, Da'i, di mesin propaganda rahasia kalangan Fatimiah di dalam kekhalifahan Abbasiyah. Dia lalu memimpin kelompok perlawanan Nizariyyah, dan berhasil mendapatkan dukungan dari mayoritas syiah Fatimiah di Levant, Persia, Iraq, sekelompok pengikut bawah tanah di jantung kekhalifahan Fatimiah, di Mesir, dan di Afrika Utara lainnya. Meski demikian, dengan memisahkan diri dari kekhalifahan Fathimiyyah, para pengikut Hassan-i Sabbah menjadi terkucil dan kalah kekuatan di wilayah musuh.

Tidak puas hanya bertahan, sebaliknya teguh untuk membangun suatu negara impian yang baru, Kaum Nizariyyah merancang suatu strategi untuk mengendalikan benteng-benteng yang secara strategis penting dengan diam-diam meng'islam'kan para penduduk di dalam wilayah dan di sekitar benteng-benteng strategis Ismailiyah. Mereka membangun suatu bentuk baru 'negara di dalam negara' yang mencakup beberapa 'pulau' pemukiman yang dikelilingi tembok di wilayah, sekarang ini, Iran, Irak, Syria dan Libanon. Awal yang resmi dari Federation of the Hashshassin adalah tahun 1090 M ketika Hassan-i Sabbah mendirikan basis pertamanya di Daylam, di dalam benteng Alamut di selatan laut Kaspia. Alamut tetap menjadi ibukota dari 'Federasi kaum Hashshasshin', dan tempat bermukim para pemimpinnya, disebut penguasa Alamut, hingga keruntuhannya.


Lokasi Assasins

Ada beberapa pendapat tentang asal-usul nama Hashshasshin ini. Ada yang berpendapat bahwa nama ini diambil dari kata arab yaitu Hashishin yang berarti pengguna hashis (ganja). Kata ini diambil karena merujuk kepada perbuatan kelompok ini yang sering menghisap ganja. Ada juga yang berpendapat bahwa kata Hashashin itu sendiri berasal dari pemimpin mereka yaitu Hasan-i Sabbah atau yang dijuluki sebagai The Old Man from Mountain. Jadi Hashashin maksudnya adalah pengikut Hasan. Dan karena kemahiran Hashashin untuk membunuh, maka Hashashin menjadi asal kata dari Assasin. Namun menurut sejarawan Amin Malouf, Hasan-i Sabbah suka menyebut pengikutnya dengan Asasiyun yang berarti asas (fondasi) dari iman. Namun walaupun ketiga pendapat itu berbeda-beda, bisa ditarik kesamaan bahwa Hashashin merupakan sebuah komunitas yang merupakan pengikut dari Hasan-i Sabbah yang sangat taat kepadanya dan setiap calon anggota atau pun anggotanya sering menggunakan ganja (hashis).
Penyimpangan total terhadap syariat islam dan keyakinan masyarakat syiah yang mereka lakukan menjadi alasan para ulama syiah mendakwa mereka sebagai orang-orang murtad dan sesat. Assassins sebenarnya bukan hanya beda di permukaan, tapi memiliki perbedaan secara substansial dan doktrinal. Secara akidah sebenarnya Assassins tidak lagi bisa dipandang sebagai bagian dari kaum Muslimin karena mereka tidak mewajibkan sholat, zakat, dan puasa, sesuatu yang sangat esensial di dalam Islam.

Dalam history of the Assasins, Amin Malouf menjelaskan bahwa Hasan-i-Sabbah adalah master budaya dan penyair yang menguasai sains modern. Hasan bin sabah berusaha keras membangun organisasi Assasins. Dia adopsi teknik-teknik Darul Hikmat yaitu pusat pengajaran ilmu kedokteran dan astronomi di kairo, Mesir. Dia berambisi memajukan organisasi yang dipimpinnya itu. Terbukti, setelah dua abad lebih kelompok assasins lihai membunuh musuh-musuhnya dengan racun dan senjata. Kelompok-kelompok ini juga mahir melakukan serangan-serangan bawah tanah yang pernah menjadi momok di kawasan timur tengah. Karena tidak mampu membentuk satuan tentara konvensional, kaum Nizariyyah membentuk peperangan asimetris yang mengubah tindakan pembunuhan politis menjadi suatu sistem untuk bertahan hidup dan pertahanan terhadap musuh-musuhnya. Mereka melatih pasukan komando tersamar yang sangat terlatih (ahli dalam bahasa, ilmu pengetahuan, perdagangan dan lain-lain, yang dikenal sebagai Fedayeen, yang secara diam-diam akan menginfiltrasi posisi musuh dan selalu menyamar. Jika warga Nizari menghadapi ancaman pembunuhan atau benteng mereka akan diserang, Fedayeen diaktifkan untuk menghadapi serangan tersebut.
Kaum Hashshashin juga termasuk kelompok pertama yang menggunakan sinyal pantulan cermin di siang hari untuk berkomunikasi dengan basis terdekat, khususnya sekitar alamut dan di malam hari mereka menggunakan sinyal api.

Fedayeen menggunakan ketrampilan mereka yang termasyhur untuk tujuan-tujuan politik tanpa harus membunuh; misalnya seorang korban, biasanya berpangkat tinggi, di suatu pagi akan mendapati belati Fedayeen di atas bantalnya di saat bangun pagi. Ini petunjuk yang jelas bagi orang tersebut bahwa dia tidak lagi aman dimanapun, bahwa lingkaran dalam para pelayannya telah diinfiltrasi oleh kelompok pembunuh tersebut, dan bahwa tindakan apapun yang menyebabkannya berkonflik dengan kaum Hashshashin harus dihentikan, jika ia ingin hidup. Di Persia mereka menggunakan taktiknya secara langsung terhadap kaum Turki seljuk yang membunuhi kaum Nizari. Saat membunuh tokoh tertentu, mereka sangat hati-hati, melakukannya tanpa jatuhnya korban yang tidak perlu dan hilangnya nyawa orang yang tak bersalah, meski mereka juga sengaja membentuk reputasinya yang mengerikan dengan membantai korbannya di depan umum. Umumnya, mereka mendekati dengan memakai samaran, atau telah menjadi agen tersamar di suatu kelompok. Mereka lebih menyukai belati atau pisau kecil yang tersembunyi, mereka menolak menggunakan racun, panah atau alat lain yang bisa memungkinkan penyerangnya lolos dan hidup. Di Levant diyakini bahwa Saladdin atau Salahuddin Al-Ayyubi, yang kesal akibat beberapa serangan hashshashin yang hampir berhasil atas dirinya, mengepung basis mereka di Syria, Masyaf, saat pengambilalihan kembali Outremer di tahun 1176. Lalu ia mengakhiri pengepungan tersebut setelah perjanjian, dan setelahnya berusaha menjaga hubungan baik dengan sekte tersebut. Dari sekte itu sendiri tersiar kabar bahwa assassin Rashid-ad Dinan menyelinap ke dalam tenda Saladdin, di tengah-tengah kampnya, meninggalkan sepotong kue yang telah diberi racun dan selembar surat bertuliskan "Anda berada dalam genggaman kami" yang ditaruh di perut Saladdin saat dia tidur, dan kemudian menyelinap keluar lagi tanpa suatu halangan.

Kaum Hasshashin seringkali menerima kontrak dari pihak luar. Richard the Lionheart adalah salah satunya yang dicurigai membayar mereka untuk membunuh Conrad de Montferrat. Dalam banyak kasus, kaum Hashshashin digunakan untuk mempertahankan keseimbangan musuh mereka. Korban-korban yang terkenal diantaranya Wazir Abbasiyah yang terkenal Nizam al-Mulk (1092), Wazir Fatimiah al-Afdal Shahanshah (1122)(bertanggung jawab memenjarakan kaum Nizari), Ibn al-Khashshab dari Aleppo (1125), al-Bursuqi dari Mosul (1126), Raymond II dari Tripoli (1152), Conrad de Montferrat (1192), dan pangeran Edward (kemudian menjadi Edward I dari Inggris) terluka oleh pisau beracun Hashshashin di tahun 1271. Dikarenakan kelihaian mereka untuk membunuh, tidak heran majalah Time memasukkan mereka ke dalam 10 Pasukan Elite terhebat sepanjang masa.


Pembunuhan terhadap Nizam Al-Mulk, wazir Seljuk oleh agen Hashashin

Benteng Alamut merupakan benteng terkuat karena berdiri di atas puncak pegunungan di mana hanya ada satu jalan untuk keluar dan masuk, itu pun sangat sulit dan terjal. Di dalam benteng yang merupakan peninggalan dari Kaisar Romawi Trajanus (98-117M) terdapat ruangan-ruangan yang membingungkan dan sebuah taman rahasia di tengahnya, di mana tidak setiap orang bisa mengaksesnya. Oleh Hassan al-Sabbah, Benteng Alamut digunakan sebagai markas besar kelompok tersebut. Dari Alamut inilah kelompok Assassins menyebarkan terror ke seluruh lapisan kerajaan, baik dari pihak Syiah maupun lawannya Sunni-Abasiyah dan Seljuk. Masa-masa itu dikenal sebagai masa The Great Terror. Kekuatan Assassins ini demikian melegenda hingga menjadi pembicaraan kaum Salib Eropa.


Benteng Alamut

Benteng assassin di lembah alamut (Alamut = ‘istana’ kematian) yang merupakan markas besar mereka menjadi salah satu legenda Persia yang terkenal dengan sebutan surga dunia. Benteng ini dijuluki Eagele’s Nest atau sarang Elang dibangun di sebuah gunung tinggi yang hampir mustahil untuk diakses dan bahkan jika usaha dilakukan untuk mendaki Alamut, akan memakan banyak waktu bagi orang untuk menuju ke puncak yang berarti para prajurit di benteng tersebutmemiliki cukup waktu untuk mengunci dan membunuh target mereka. Alamut terletak di Pegunungan Alborz pusat dekat Propinsi Kazvin yang hanya ratusan kilometer dari Teheran, Iran. Benteng dibangun oleh Hamdollah Mostowfi pada ketinggian 2.100 meter dan hanya ada satu jalan yang mengakses ke benteng yang dijaga ketat oleh tentara dan prajurit yang membuat rute yang mungkin untuk ditembus. Sisi lain dari Alamut tentu terlindungi karena memiliki kemiringan yang curam kerikil yang berarti bahwa tentara akan melalui rute yang membuatnya jatuh ke lembah jika mereka kehilangan langkah. Benteng itu terawat baik dan memiliki jaringan yang luar biasa, pasokan air dan penyimpanan makanan untuk seluruh pasukan. Marco polo terkesan akan kemegahan dan kemewahan benteng tersebut. Usai perjalanannya melintasi benteng itu pada tahun 1271 M, dia menulis:

"Di lembah elok itu, diantara dua tinggi menjulang, dia (Hasan bin Sabah) membangun taman-taman mewah. Didalamnya tumbuh semua pohon berbuah ranum dan segala tumbuhan harum yang bisa dipetik. Istana-istana dengan ragam luas dan bentuk dibangun di setiap hamparan taman yang berbeda-beda. Istana-istana itu dihias batu emas. Di dinding-dindingnya bergelantungan lukisan-lukisan. Di jendela-jendelanya bermacam kelambu sutra mewah terpanjang. Di ruang-ruang istana, suguhan anggur, susu, madu dan air bersih tersaji di setiap sudutnya. Penghuninya gadis-gadis cantik molek. Mereka semua pandai bernyayi, memainkan berbagai macam alat musik dan menari. Mereka semua manja serta memikat dengan musik. Sebuah kastil kokoh, seolah mustahil dihancurkan menancap di gerbang. Dia ingin tak seorang pun masuk ke "surga dunia” itu tanpa ijinnya. Itulah pintu masuk menuju lembah elok itu. Beberapa pemuda yang berumur dua belas hingga dua puluh tahun yang memiliki semangat tarung yang tinggi, dibawa masuk ke dalam taman yang berada di tengah-tengah benteng. Mereka dibawa masuk bergiliran, sekitar empat, enam, atau sepuluh pemuda. Sebelumnya, mereka disuguhi minuman keras dan candu yang membuat mereka mabuk berat atau tertidur pulas. Baru setelah itu mereka diangkat dan dipindahkan ke dalam taman. Ketika bangun, para pemuda itu mendaati dirinya berada di tengah taman yang sangat indah. Mereka dikelilingi para gadis-gadis perawan yang mengenakan pakaian sungguh menggoda. Para gadis itu menghibur, merayu, dan melayani keinginan para pemuda tersebut. Mereka sungguh-sungguh dimanjakan. Para pemuda itu menyangka mereka sedang berada di surga. Sehingga ketika Hasan al-Sabbah sebagai pimpinan tertinggi Hashyashyin memberi tugas atau perintah kepada mereka maka mereka akan dengan senang hati akan melaksanakannya.“Surga” yang sangat indah telah menantikan para pemuda tersebut jika tugasnya selesai. “Saat kau kembali, bidadari-bidadariku akan membawamu ke surga. Dan jika pun kau mati, kau pun akan pergi juga ke surga, ” ujarnya."

Penggunaan candu atau Hashyishy inilah yang oleh Marcopolo, kelompok ini disebut kaum Hashyashyin. Namun, kunjungan Marco Polo dianggap fiktif karena basis pertahanan assassin tersebut telah dihancurkan oleh tentara mongol pada tahun 1256 M.


Reruntuhan Benteng Alamut

Arkun Daraul dalam karyanya A history of Secret Societies membagi kelompok rahasia pengikut assassins menjadi tiga lapis yaitu para misionaris (Dayes), para sahabat (Rafiq), dan murid-murid yang teruji kesetiannya yaitu pecintanya (Muhibbin). Golongan terakhir adalah para eksekutor terlatih. Para muhibbin mencirikan diri dengan topi putih dan sepatu boot merah. Ketiga lapis kelompok assassins, selain mahir menghujam belati di dada korbannya, mereka juga menguasai bermacam bahasa. Ada kalanya mereka berdandan dan berperilkaku seolah pendeta. Mereka juga berbaur dengan masyarakat dengan menjadi pedagang dan serdadu. Intinya, mereka siap menyamar apa saja sebagai kedok demi menjalankan misi dan meraih tujuan. Kata sandi anggota assassin adalah “Dari Surga”. Setiap ada "surat perintah jalan” untuk misi, eksekutor assassin akan mendapat pertanyaan “Dari mana asalmu?” Sang eksekutor pun menjawab,"Dari Surga.” Setelah dipastikan, instruksi dimandatkan “Bunuhlah fulan/fulanah. Setelah berhasil kau akan kembali menghuni surga. Jemputlah kematian. Karena para malaikat tak sabar mengangkatmu ke surga."

Pengaruh assassin menyebar ke seantero jagad hingga pertengahan abad 13. Setelah Hasan bin Sabah terbunuh di tangan anaknya sendiri, Muhammad, kelompok assasins mengalami kemunduran. Kemudian Muhammad juga dibunuh anaknya sendiri. Tahun 1256/1257 markas besar assassin benteng Alamut jatuh ke tangan mongol yang menandai akhir riwayat assasins. Pada tahun 1257, Benteng Assassin di Syria (Masyaf) jatuh ke tangan Sultan Baybars. Tamatlah riwayat kekuatan militer assassin yang tak terkalahkan pada masanya.


Benteng Assassin di Masyaf, Syiria

Walaupun Assassins sudah lenyap dari permukaan bumi, ada beberapa rahasia yang masih tersembunyi di dalam organisasi assassins khususnya mengenai hubungan antara assasins dengan ksatria templar dalam perang salib. Insya Allah mengenai kstaria templar akan diulas dalam situs ini. Namun Bukan rahasia umum lagi bila Assassins dan Templar di kemudian hari benar-benar melakukan kerjasama. Templar sering mengorder Assassins untuk membunuh musuh-musuh politiknya. Sebab itu, banyak sejarawan Barat yang menuding di antara kedua sekte khusus pencabut nyawa ini sesungguhnya terjalin satu kerjasama dalam bentuk yang tersembunyi. Hal ini dikemukakan oleh Prof. Carole Hillenbrand, Guru Besar Studi Islam dan Bahasa Arab University Edinburgh, Skotlandia. Apakah Assasins bertugas menimbulkan kekacauan dan perpecahan di kalangan Islam dengan melakukan serangkaian pembunuhan di berbagai dinasti Islam yang kuat sebagaimana ordo yohanit (Benih-benih ksatria templar) di saat yang sama menyusup ke Vatikan dan memprovokasi Paus agar mengobarkan Perang Salib untuk merebut Yerusalem? Pertanyaan itulah yang sampai sekarang belum terjawab.

Referensi:

Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages