Fatwa-Fatwa Para Ulama Tentang Pemilu

130 views
Skip to first unread message

ganis supriadi

unread,
Mar 22, 2014, 10:17:35 AM3/22/14
to Muslim-KL


dakwatuna.comPara ulama berbeda pendapat dalam hukum pemilu dan parlemen, sebagian melarang seperti Syeikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Syeikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Syeikh Abdul Malik Ramadhan Al-Jazairi, Syeikh Sayyid Quthb, Syeikh Abu Muhammad Al-Maqdisi, Syeikh Abu Bashir At Turthusi, Syeikh Sa’ad As-Suhaimi, dan lainnya. Bahkan ada di antara mereka yang sampai mengatakan kufur.

Sebagian besar membolehkannya secara bersyarat, sesuai pertimbangan maslahat dan mudharat, asalkan bukan untuk memperkaya diri, tetapi untuk memperjuangkan Islam dan hak kaum muslimin, seperti Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syeikh Al-Albani, Syeikh ‘Utsaimin, Syeikh Ali Al-Khafif, Syeikh Jum’ah Amin Abdul Aziz, Syeikh Shalih Fauzan, Syeikh Abdul ‘Aziz Alu Asy Syeikh, Syeikh Al-Qaradhawi, Syeikh Salim Al-Bahsanawi, Syeikh Abdurrahman As-Sa’di, Syeikh Abdullah ‘Azzam, Syeikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah Saudi Arabia seperti Syeikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Syeikh Abdullah Ghudyan, Syeikh Abdullah bin Qu’ud, para ulama di Al-Majma’ Al-Fiqhi Al-Islami, para ulama Al-Azhar seperti Syeikh Abu Zahrah, Syeikh Hasanain Makhluf, Syeikh Sayyid Ath Thanthawi, dan lainnya.

Tulisan ini hanya akan memaparkan pihak yang membolehkan saja, sebab untuk pihak yang melarang sudah cukup banyak  disampaikan oleh para pendukungnya di berbagai situs internet. Silakan mencarinya. Dalam hal ini seharusnya, kita berlapang dada atas perbedaan ini, jangan memaksakan kehendak, apalagi sampai menuduh sesat dan kafir, sebab ini masalah ijtihadiyah yang lapang sebagaimana dikatakan Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid dan Syeikh Shalih bin Ghanim Sadlan.

Berikut ini fatwa-fatwa mereka:

1. Asyh Syeikh Dr. Abdullah Al-Faqih Hafizhahullah

Beliau ditanya tentang hukum mencalonkan diri dalam parlemen untuk maslahat kaum muslimin, dan hukum memilih partai sekuler, Beliau menjawab:

فإنه لا يجوز التعاون مع الأحزاب العلمانية والشيوعية، لما تعتقده من أفكار إلحادية، فإن الترجمة الصحيحة للعلمانية هي: اللادينية أو الدنيوية، ومدلول العلمانية المتفق عليه يعني عزل الدين عن الدولة وحياة المجتمع، كما أن معنى الشيوعية يقوم على أساس تقديس المادة، وأنها أساس كل شيء، كما أنه مذهب فكري يقوم على الإلحاد، وعدم الاعتراف برب الأرض والسماوات، أما عن دخول المجالس النيابية عن طريق الانتخابات وغيرها، فالأصل أن نفع المسلمين بأي وسيلة لا تؤدي إلى الإثم أمر مشروع في الجملة، فمن كانت نيته بالترشيح لهذه المجالس خدمة المسلمين وتحصيل حقوقهم، فلا نرى مانعاً من ذلك، وقد بينا ذلك بإذن الله في الفتوى رقم:

5141.

Tidak boleh bekerjasama dengan partai-partai sekuler dan komunis, karena dasar pemikiran mereka adalah anti Tuhan. Penjelasan yang benar tentang sekulerisme adalah anti agama, dan yang disepakati tentang sekulerisme adalah menghapuskan agama dari negara dan kehidupan masyarakat. Sebagaimana makna komunisme yang merupakan pemikiran yang didasari sikap pemujaan kepada materi, dan materialisme merupakan pondasi semuanya, sama halnya dengan pemikiran yang ditegakkan oleh atheis, yang menghilangkan sama sekali pengakuan atas adanya Tuhannya bumi dan langit.

Ada pun masuk ke dalam majelis perwakilan (parlemen) melalui jalan pemilu dan selainnya, maka pada dasarnya melahirkan manfaat bagi kaum muslimin dengan cara apa saja yang tidak membawa pada dosa, itu merupakan cara yang diperintahkan syariat secara umum. Maka, siapa saja yang niat pencalonannya adalah untuk melayani kaum muslimin dan mengambil hak-hak mereka, maka kami memandang hal itu tidak terlarang. Kami telah jelaskan hal ini, dengan izin Allah, dalam fatwa No. 5141. (Fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyah, 1/565)

Beliau juga menasihati agar tidak sembarang memakai fatwa ulama sebuah negara untuk keadaan di negara lain, khususnya tentang larangan ikut serta dalam pemilu, karena masing-masing negara punya keadaan yang tidak sama. Maka, adalah hal aneh memaksakan pendapat ulama yang mengharamkan pemilu di negerinya, untuk diberlakukan disemua negara muslim. Dalam masalah ini dibutuhkan pemahaman tahqiqul manath,  kecerdasan berfiqih, bukan asal comot fatwa ulama, sebagaimana yang dilakukan banyak para pemuda yang semangat beragama, tapi mereka laksana Ar-Ruwaibidhah zaman ini. Ar-Ruwaibidhah adalah orang bodoh tapi sok membicarakan urusan orang banyak.

Asy Syeikh mengatakan:

لأن مبنى الأمر عندئذ على فقه المصالح والمفاسد، وأهل العلم من كل بلد هم أقدر الناس على تقدير هذه الأمور، فإنهم أدرى بملابسات بلادهم وأحوالها

Dikarenakan masalah ini dibangun atas dasar pemahaman maslahat dan mafsadat (kerusakan), dan setiap ulama di masing-masing negara adalah pihak yang paling tahu tentang ukuran hal-hal tersebut (maslahat dan mafsadat), dan mereka juga mengetahui keadaan negerinya dan hal-hal seputarnya. (Ibid, 7/4)

2. Asy Syeikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al-Khudhairi (Ulama Saudi, Anggota Hai’ah At Tadris di Universitas Islam Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh)

Beliau ditanya tentang kaum muslimin yang tinggal di Barat, bolehkah ikut pemilu di sana yang nota bene calon-calonnya adalah kafir.

المسلمون الذين يعيشون في بلاد غير إسلامية يجوز لهم على الصحيح المشاركة في

انتخاب رئيس للبلاد أو انتخاب أعضاء المجالس النيابية إذا كان ذلك سيحقق مصلحة للمسلمين أو يدفع عنهم مفسدة، ويحتج لذلك بقواعد الشريعة العامة التي جاءت بتحقيق

المصالح ودرء المفاسد، واختيار أهون الشرين، وعلى المسلمين هناك أن يقوموا بتنظيم

أنفسهم وتوحيد كلمتهم لكي يكون لهم تأثير واضح وحضور فاعل يؤخذ في الحسبان عند

اتخاذ القرارات الهامة التي تخص المسلمين في تلك البلاد أو غيرها.

Kaum muslimin yang tinggal di negeri non-muslim, menurut pendapat yg benar adalah boleh berpartisipasi dalam pemilihan presiden di berbagai negara, atau memilih anggota majelis perwakilan jika hal itu dapat menghasilkan maslahat bagi kaum muslimin atau mencegah kerusakan bagi mereka. Dan, hujjah dalam hal ini adalah adanya berbagai kaidah syariat umum yang memang mendatangkan berbagai maslahat dan mencegah berbagai kerusakan, dan memilih yang lebih ringan di antara dua keburukan, dan mestilah bagi kaum muslimin di sana mengatur diri mereka, menyatukan kalimat mereka, agar mereka memperoleh pengaruh yang jelas. Kehadiran mereka bisa memberikan kontribusi atas berbagai keputusan-keputusan penting khususnya bagi kaum muslimin di negeri itu dan lainnya. (Fatawa Istisyarat Al-Islam Al-Yaum, 4/506)

3. Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah

Beliau ditanya tentang pemilu di Kuwait, yang diikuti oleh para aktifis Islam, Beliau menjawab:

 

أنا أرى أن الانتخابات واجبة, يجب أن نعين من نرى أن فيه خيراً, لأنه إذا تقاعس أهل الخير من يحل محلهم؟ أهل الشر, أو الناس السلبيون الذين ليس عندهم لا خير ولا شر, أتباع كل ناعق, فلابد أن نختار من نراه صالحاً
فإذا قال قائل: اخترنا واحداً لكن أغلب المجلس على خلاف ذلك, نقول: لا بأس, هذا الواحد إذا جعل الله فيه بركة وألقى كلمة الحق في هذا المجلس سيكون لها تأثير

 

Saya berpendapat, bahwa mengikuti pemilu adalah wajib, wajib bagi kita memberikan pertolongan kepada orang yang kita nilai memiliki kebaikan, sebab jika orang-orang baik tidak ikut serta, maka siapa yang menggantikan posisi mereka? Orang-orang buruk, atau orang-orang yang tidak jelas keadaannya, orang baik bukan, orang jahat juga bukan, yang asal ikut saja semua ajakan. Maka, seharusnya kita memilih orang-orang yang kita pandang adanya kebaikan. Jika ada yang berkata: “Kita memilih satu orang tetapi kebanyakan seisi majelis adalah orang yang menyelesihinya.” Kami katakan: “Tidak apa-apa, satu orang ini jika Allah jadikan pada dirinya keberkahan, dan dia bisa menyatakan kebenaran di majelis tersebut, maka itu akan memiliki dampak baginya.” (Liqo Bab Al-Maftuuh kaset No. 211)

4. Syeikh Abdul Muhsin Al-Ubaikan Hafizhahullah

Beliau ditanya tentu ikut memberikan suara dalam pemilu sebagai berikut:

السؤال : السلام عليكم و رحمة الله و بركاته كيف حالك ياشيخ يا شيخ عندي سؤال وهو فيما يتعلق بالإنتخابات هل ننتخب أو لا وأرجو ان توضحو لي مرفوقين بالدليل أفتوني مأجورين إن شاء الله وارجو أن يكون في اقرب وقت لأنها لا تبقى عليها إلا 7 أيام فقط والسلام عليكم و رحمة الله و بركاته

الإجابة:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته. الدخول في الانتخابات مطلوب حتى لا يأتي أهل الشر فيستغلون هذه المناصب لبث شرورهم وهذا ما يفتي به سماحة الشيخ ابن باز والعلامة الشيخ ابن عثيمين رحمهم الله

 

Pertanyaan: Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh. Apa kabar Syeikh, Ya Syeikh saya da pertanyaan terkait pemilu, apakah kita mesti ikut pemilu? Saya harap Anda menjelaskan kepadaku dengan dalil-dalil, semoga Allah Ta’ala memberikan pahala, dan aku harap Anda menjawabnya secepatnya. Was Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Jawaban: Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Berpartisipasi dalam pemilu adalah suatu hal yang dituntut untuk dilakukan supaya orang yang jahat tidak bisa menjadi anggota dewan untuk menyebarluaskan kejahatan mereka. Inilah yang difatwakan oleh Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin”. (Sumber:http://al-obeikan.com/show_fatwa/619.html)

5. Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah

Al Lajnah Ad-Daimah adalah lembaga fatwa kerajaan Arab Saudi, fatwa ini dikeluarkan ketika masih diketuai oleh Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah. Mereka ditanya tentang hukum ikut pemilu di sebuah negeri yang negaranya tidak memakai hukum Allah Ta’ala. Mereka menjawab:

لا يجوز للمسلم أن يرشح نفسه رجاء أن ينتظم في سلك حكومة تحكم بغير ما أنزل الله، وتعمل بغير شريعة الإسلام، فلا يجوز لمسلم أن ينتخبه أو غيره ممن يعملون في هذه الحكومة، إلا إذا كان من رشح نفسه من المسلمين ومن ينتخبون يرجون بالدخول في ذلك أن يصلوا بذلك إلى تحويل الحكم إلى العمل بشريعة الإسلام، واتخذوا ذلك وسيلة إلى التغلب على نظام الحكم، على ألا يعمل من رشح نفسه بعد تمام الدخول إلا في مناصب لا تتنافى مع الشريعة الإسلامية.

Tidak boleh bagi seorang muslim mencalonkan dirinya, dengan itu dia ikut dalam sistem pemerintahan yang tidak menggunakan hukum Allah, dan menjalankan bukan syariat Islam. Maka tidak boleh bagi seorang muslim memilihnya atau selainnya yang bekerja untuk pemerintahan seperti ini, KECUALI jika orang yang mencalonkan diri itu berasal dari kaum muslimin dan para pemilih mengharapkan masuknya dia ke dalamnya sebagai upaya memperbaiki agar dapat berubah menjadi pemerintah yang berhukum dengan syariat Islam, dan mereka menjadikan hal itu sebagai cara untuk mendominasi sistem pemerintahan tersebut. Hanya saja orang yang mencalonkan diri tersebut, setelah dia terpilih tidaklah menerima jabatan kecuali yang sesuai saja dengan syariat Islam. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah No. 4029, ditanda tangani oleh Syeikh bin Baaz, Syeikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Syeikh Abdullah Ghudyan, Syeikh Abdullah bin Qu’ud)

 

6. Fatwa Al-Majma’ Al-Fiqhi Al-Islami, dalam pertemuan ke 19 Rabithah ‘Alam Islami, di Mekkah Pada 22-17 Syawwal 1428H (3-8 November 2007M)

Mereka menelurkan fatwa bahwa hukum pemilu tergantung keadaan di sebuah Negara, di antaranya:

 مشاركة المسلم في الانتخابات مع غير المسلمين في البلاد غير الإسلامية من مسائل السياسة الشرعية التي يتقرر الحكم فيها في ضوء الموازنة بين المصالح والمفاسد، والفتوى فيها تختلف باختلاف الأزمنة والأمكنة والأحوال.

Partisipasi seorang muslim dalam pemilu bersama non-muslim di negeri non-muslim, termasuk  permasalahan As-Siyasah Asy Syar’iyah yang ketetapan hukumnya didasarkan sudut pandang pertimbangan antara maslahat dan kerusakan, dan fatwa tentang masalah ini berbeda-beda sesuai perbedaan zaman, tempat, dan situasi. (selesai kutipan)

Jadi, tidak benar memutlakan keharamannya, sebagaimana tidak benar memutlakan kebolehannya, semuanya disesuaikan dengan situasi yang berbeda-beda. Di negeri Indonesia, inilah cara yang paling mungkin berpartisipasi bagi seorang muslim untuk memperbaiki keadaan pemerintahan negaranya. Di tambah lagi, negeri ini masih negeri muslim, bukan negeri kafir walau sistem dan hukum yang berlaku belum Islami.

 Dan, masih banyak lagi fatwa para ulama yang membolehkan pemilu.

Nasihat Ulama Terhadap Perselisihan Pendapat dalam Ijtihad

Berikut ini nasihat para imam Ahlus Sunnah dalam menyikapi berbagai perselisihan fiqih.

Nasihat Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah

Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri, sebagai berikut:

سفيان الثوري، يقول: إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.

“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim Al-Asbahany, Hilyatul Auliya’, Juz. 3, hal. 133)

 Pandangan Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu

Dalam kitab Al-Adab Asy Syar’iyyah:

وقد قال أحمد في رواية المروذي لا ينبغي للفقيه أن يحمل الناس على مذهبه .
ولا يشدد عليهم وقال مهنا سمعت أحمد يقول من أراد أن يشرب هذا النبيذ يتبع فيه شرب من شربه فليشربه وحده .

“Imam Ahmad berkata dalam sebuah riwayat Al-Maruzi (Al Marwadzi), tidak seharusnya seorang ahli fiqih membebani manusia untuk mengikuti madzhabnya dan tidak boleh bersikap keras kepada mereka. Berkata Muhanna, aku mendengar Ahmad berkata, ‘Barangsiapa yang mau minum nabidz (air perasan anggur) ini, karena mengikuti imam yang membolehkan meminumnya, maka hendaknya dia meminumnya sendiri.” (Imam Ibnu Muflih, Al-Adab Asy Syar’iyyah, Juz 1, hal. 212. Syamilah)

Para ulama beda pendapat tentang halal-haramnya air perasan anggur, namun Imam Ahmad menganjurkan bagi orang yang meminumnya, untuk tidak mengajak orang lain. Ini artinya Imam Ahmad bersikap, bahwa tidak boleh orang yang berpendapat halal, mengajak-ngajak orang yang berpendapat haram.

Imam Yahya bin Ma’in Rahimahullah

Imam Adz Dzahabi Rahimahullah berkata tentang Yahya bin Ma’in:

قال ابن الجنيد: وسمعت يحيى، يقول: تحريم النبيذ صحيح، ولكن أقف، ولا أحرمه، قد شربه قوم صالحون بأحاديث صحاح، وحرمه قوم صالحون بأحاديث صحاح.

Berkata Ibnu Al-Junaid: “Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata: “Pengharaman nabidz (air perasan anggur) adalah benar, tetapi aku no coment, dan aku tidak mengharamkannya. Segolongan orang shalih telah meminumnya dengan alasan hadits-hadits shahih, dan segolongan orang shalih lainnya mengharamkannya dengan dalil hadits-hadits yang shahih pula.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, Juz. 11, Hal. 88. Mu’asasah Ar-Risalah, Beirut-Libanon. Cet.9, 1993M-1413H)

Pandangan Imam Nawawi

Berkata Imam an Nawawi Rahimahullah:

وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ

“Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/131. Mawqi’ Ruh Al-Islam)

Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona ijtihadiyah, maka tidak bisa saling menganulir.

Pandangan Imam Jalaluddin As-Suyuthi

Ketika membahas kaidah-kaidah syariat, Imam As-Suyuthi berkata dalam kitab Al-Asybah wa An Nazhair

الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ ” لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As-Suyuthi, Al-Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285. Syamilah)

Demikian. Wallahu a’lam


------------------------------------------------------------------------------------------------------

Hukum Coblos dalam Pemilu (3)

May 02, 2012Muhammad Abduh Tuasikal, MScArtikel Terhangat, Jalan Kebenaran0


Saat ini kita akan melihat pendapat lainnya mengenai hukum contreng/ coblos atau memberikan suara dalam pemilu. Ternyata tidak sedikit dari para ulama yang membolehkannya jika ikut nyoblos. Namun mereka berpendapat demikian karena memandang maslahat dan memberikan syarat-syarat yang mesti diperhatikan. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi dan Al Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa di Saudi Arabia). Fatwa terakhir dari Syaikh Sholeh Al Munajjid akan lebih memperjelas masalah ini.

[1] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani –rahimahullah-, pakar hadits abad ini

Fatwa beliau ini adalah lanjutan dari jawaban beliau terhadap pertanyaan dari partai FIS Al Jazair.

Pertanyaan kedua: Bagaimana menurut hukum syar’i mengenai bantuan dan dukungan yang diberikan untuk kegiatan pemilu?

Jawab: Sekarang ini kami tidak menganjurkan siapapun saudara kita sesama muslim untuk mencalonkan dirinya menjadi anggota parlemen di negara yang tidak menjalankan hukum Allah. Sekalipun undang-undang dasarnya menyebutkan Islam sebagai agama negara. Karena dalam prakteknya hanya untuk membius anggota parlemen yang lurus hatinya. Dalam negara semacam itu, para anggota parlemen sedikitpun tidak pernah mampu merubah undang-undang yang berlawanan dengan Islam. Fakta itu telah terbukti di beberapa negara yang menyatakan Islam sebagai agama negaranya.

Jika berbenturan dengan tuntutan zaman maka beberapa hukum yang bertentangan dengan Islam sengaja disahkan oleh parlemen dengan dalih belum tiba waktu untuk melakukan perubahan!! Itulah realita yang kami lihat di sejumlah negara. Para anggota parlemen mulai menanggalkan ciri dan identitas keislamannya. Mereka lebih senang berpenampilan ala barat supaya tidak canggung dengan anggota-anggota parlemen lainnya. Orang ini masuk parlemen dengan tujuan memperbaiki orang lain, tapi malahan ia sendiri yang rusak. Hujan itu pada awalnya rintik-rintik kemudian berubah menjadi hujan lebat!

Oleh karena itu, kami tidak menyarankan siapapun untuk mencalonkan dirinya menjadi anggota parlemen.

Namun menurutku, bila rakyat muslim melihat adanya calon-calon anggota parlemen yang jelas-jelas memusuhi Islam, sedang di situ terdapat calon-calon beragama Islam dari berbagai partai Islam, maka dalam kondisi semacam ini, aku sarankan kepada setiap muslim agar memilih calon-calon dari partai Islam saja dan calon-calon yang lebih mendekati manhaj ilmu yang benar, seperti yang diuraikan di atas.

Demikianlah menurut pendapatku, sekalipun saya meyakini bahwa pencalonan diri dan keikutsertaan dalam proses pemilu tidaklah bisa mewujudkan tujuan yang diinginkan, seperti yang diuraikan di atas. Langkah tersebut hanyalah untuk memperkecil kerusakan atau untuk menghindarkan kerusakan yang lebih besar dengan memilih kerusakan yang lebih ringan. Kaedah inilah yang biasa diterapkan oleh para pakar fiqh.

Pertanyaan ketiga: Bagaimana hukumnya kaum perempuan mengikuti pemilu?

Jawab: Boleh saja, tapi harus memenuhi kewajiban-kewajibannya, yaitu memakai jilbab secara syar’i, tidak bercampur baur dengan kaum lelaki, itu yang pertama.

Kedua, memilih calon yang paling mendekati manhaj ilmu yang benar, menurut prinsip menghindarkan kerusakan yang lebih besar dengan memilih kerusakan yang lebih ringan, seperti yang telah diuraikan di atas.

[Disalin dari Madarikun Nazhar Fis Siyasah, Syaikh Abdul Malik Ramadlan Al-Jazziri, edisi Indonesia “Bolehkah Berpolitik?”, hal 45-46]

[2] Syaikh ‘Abdurrahman Al Barrok –hafizhohullah-, ulama senior di kota Riyadh Saudi Arabia dan terkenal keilmuannya dalam masalah akidah

Pertanyaan:

Wahai fadhilatusy Syaikh, sekarang banyak dikemukakan masalah pemilihan umum tingkat daerah. Apa pendapatmu mengenai keikutsertaan dalam pemilu seperti itu?

Jawab:

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah. Wa ba’du:

Munculnya cara pemilihan umum tingkat daerah dan semacamnya, atau pemilihan penguasa pada wilayah lainnya adalah di antara bentuk taqlid (sekedar ikut-ikutan) dan tasyabbuh (menyerupai orang kafir) yang dimasukkan atau diimpor ke tengah-tengah kaum muslimin.

Asalnya (yang benar), ulil amri (kepala negara) berijtihad untuk memilih orang yang capable (memiliki kemampuan) dan sholeh untuk mengurusi rakyat yang berada di bawah kekuasaannya. Ulil amri di sini meminta nasehat kepada orang-orang yang ahli di bidangnya dan menghendaki kebaikan bersama. Akan tetapi, jika rakyat diminta untuk menyumbangkan suara dalam pemilihan, maka hendaklah para penuntut ilmu (yang perhatian pada agamanya), juga orang-orang yang baik-baik ikut serta dalam memilih caleg yang baik dari sisi agama dan dunia. Hal ini dilakukan agar orang-orang bodoh, orang yang gemar bermaksiat (fasiq), dan orang yang sekedar mengikuti hawa nafsu tidak menang dengan memilih pemimpin yang sesuai dengan hawanya (keinginannya) dan orang yang sejenis dengan mereka. Jika orang-orang baik turut serta memilih, maka ini akan memperbanyak kebaikan, kejelekan pun berkurang sesuai dengan kemampuan yang ada. Sunggun Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At Taghaabun: 16). Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Az Zalzalah: 7)

Hikmah dari ini semua: Seorang hendaknya berusaha mewujudkan kebaikan sesuai dengan kemampuannya dan bukan kewajiban baginya untuk menyempurnakan tujuan.

Kita memohon kepada Allah untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin dan semoga Allah menjadikan pemimpin adalah orang-orang terbaik di antara mereka. Wallahu a’lam.

[http://www.shawati.com/vb/archive/index.php/t-12080.html]

[3] Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin –rahimahullah-, salah satu ulama besar di Saudi Arabia

Fadhilatusy Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin ditanya mengenai pandangan beliau terhadap keikutsertaan dalam pemilu baladiyah (semacam pemilu tingkat daerah) dengan mendaftarkan diri, mencalonkan diri dan memberikan suara.

Jawab: Jika dipandang dari pentingnya pemilu ini dan dampak yang muncul dengan bagusnya keadaan pemerintahan, serta bisa menentukan berbagai kebijaksanaan yang urgen dan manfaat bagi negera dan rakyat, maka kami menilai bahwa penting sekali untuk ikut serta dalam pemilu semacam ini, dan memilih calon yang terbaik dari sisi kemampuan, wawasan dan kapasitas sehingga dia dapat betul-betul mengabdi. Diharapkan pula bahwa yang terpilih nantinya adalah orang yang sholeh, dapat membuat inovasi baru dan membuat kebijakan-kebijakan yang menjadi sebab baiknya agama rakyat, serta memilih proyek-proyek yang sesuai dengan kondisi real. Demikian pula akan diangkat para pejabat yang sholeh dan reformis serta memiliki kapasitas dari kalangan orang-orang yang benar-benar beriman, mengharapkan kebaikan bagi penguasa dan rakyatnya. Oleh karena itu, jika yang mencalonkan diri adalah orang yang punya kemampuan, wawasan dan bagus agamanya sehingga dapat mengangkat bawahan dari kalangan orang-orang sholeh dan berpengetahuan, maka itulah yang terbaik untuk saat ini dan di masa yang akan datang. Wallahu a’lam.

[http://montada.echoroukonline.com/archive/index.php/t-16999.html]

[4] Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabiy–hafizhohullah-, murid senior Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dan pakar hadits

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,

Sebagian ulama dan masyaikh mengeluarkan fatwa tentang bolehnya penduduk Irak masuk dan ikut serta dalam pemilu di Irak. Jadi pertanyaanku –wahai Syaikh-: Bukankah engkau melihat bahwa fatwa semacam ini malah akan membuka pintu untuk berbagai kelompok (partai) agar masuk dalam parlemen dan ikut serta dalam pemilu dengan alasan karena ini adalah keadaan darurat, sedangkan keadaan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang.

Syaikh ‘Ali bin Hasan Al Halabi menjawab:

Keadaan ‘Irak saat ini begitu pelik dan ruwet. Dalam masalah pemilu –sebagaimana yang telah lewat- harus kita tinjau lebih mendalam lagi dan jika ingin diputuskan, maka perlu dilihat hakikat sebenarnya sebagaimana yang pernah aku isyaratkan padanya. Di markaz Al Imam Al Albani pun telah keluar fatwa mengenai bolehnya ikut serta dalam pemilu jika terpenuhi syarat-syaratnya. Begitu juga ada fatwa dari Syaikh ‘Ubaid Al Jabiriy mengenai bolehnya hal ini. Jika aku menilai, perkara ini amatlah ruwet (rumit). Kita harus melihat maslahat dan mafsadat. Tidak boleh kita legalkan secara mutlak atau pun kita larang secara mutlak.

[http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=2467]

[5] Para Ulama di Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhuts wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi)

Ada beberapa fatwa Lajnah Da’imah mengenai pemilu. Berikut adalah salah satunya.

Fatwa no. 14676

Pertanyaan: Sebagaimana yang kalian ketahui bahwa nanti di negara kami, Al Jaza-ir akan dilaksanakan Pemilu untuk memilih anggota DPR. Dalam pemilu tersebut, terdapat partai yang memperjuangkan hukum Islam. Namun ada juga partai yang menolak hukum Islam. Apa hukum memilih partai yang anti hukum Islam padahal dia tetap shalat?

Jawab: Wajib bagi setiap muslim di berbagai negeri yang berhukum dengan selain hukum Islam, agar mereka mencurahkan usaha mereka semampunya untuk berhukum dengan syari’at Islam. Oleh karena itu, hendaklah mereka saling bahu membahu dan menolong partai yang diketahui akan menegakkan syari’at Islam. Adapun menolong partai yang menolak penerapan hukum Islam, hal ini tidak diperbolehkan, bahkan pelakunya menjadi kafir. Hal ini berdasarkan firman Allah (yang artinya), “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (QS. Al Maa’idah: 49-50). Oleh karena itu, ketika Allah telah menyatakan bahwa orang yang berhukum dengan selain hukum Islam adalah kafir, maka Allah memperingatkan agar kita tidak menolong mereka atau menjadikan mereka sebagai wali (penolong). Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk bertakwa jika memang mereka beriman dengan sebenar-benarnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS. Al Ma’idah: 57)

Wa billahi taufik. Semoga shalawat dan salam dari Allah tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’

Anggota: ‘Abdullah bin Ghodyan

Wakil Ketua: ‘Abdur Rozaq ‘Afifi

Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz

[Maktabah Asy Syamilah]

[6] Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, ulama terkemuka di Mesir, murid dari Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, dan terkenal dengan ilmu tafsir dan haditsnya

Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah berkata, “Adapun memberikan suara dalam pemilu, maka ini kembali pada kaedah ‘memilih mudhorot (bahaya) yang lebih ringan’. Jika ada calon yang fasik dan ada calon yang sholeh, maka memberi suara ketika itu dalam rangka memilih bahaya yang lebih ringan (mengikuti pemilu termasuk mudhorot, tidak memilih calon yang sholeh termasuk mudhorot, maka ketika itu dipilihlah bahaya yang lebih ringan, pen). Jadi memberikan suara ketika itu dalam rangka memilih bahaya yang lebih ringan.” (Diambil dari video: http://www.youtube.com/watch?v=ce7JnGuyB_s)

[7] Syaikh Sholeh Al Munajjid, ulama Saudi Arabia dan di antaranya murid Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, juga menjadi pengelola website Al Islam Sual wal Jawab (Tanya Jawab Islam)

Dalam fatwa Al Islam Sual wal Jawab, Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah berkata, “Masalah memberikan suara dalam Pemilu adalah masalah yang berbeda-beda tergantung dari waktu, tempat dan keadaan. Masalah ini tidak bisa dipukul rata untuk setiap keadaan.

Dalam beberapa keadaan tidak dibolehkan memberikan suara seperti ketika tidak ada pengaruh suara tersebut bagi kemaslahatan kaum muslimin atau ketika kaum muslimin memberi suara atau tidak, maka sama saja, begitu pula ketika hampir sama dalam perolehan suara yaitu sama-sama mendukung kesesatan. Begitu pula memberikan suara bisa jadi dibolehkan karena menimbang adanya maslahat atau mengecilkan adanya kerusakan seperti ketika calon yang dipilih kesemuanya non muslim, namun salah satunya lebih sedikit permusuhannya dengan kaumm muslimin. Atau karena suara kaum muslimin begitu berpengaruh dalam pemilihan, maka keadaan seperti itu tidaklah masalah dalam pemberian suara.

Ringkasnya, masalah ini adalah masalah ijtihadiyah yang dibangun di atas kaedah menimbang maslahat dan mafsadat. Sehingga masalah ini sebaiknya dikembalikan pada para ulama yang lebih berilmu dengan menimbang-menimbang kaedah tersebut.” (Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 3062).

Tulisan berikut masih berlanjut pada bahasan kesimpulan. Nantikan dalam serial berikutnya. Wa billahit taufiq.

 

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 11 Jumadats Tsaniyah 1433 H

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal


http://rumaysho.com/jalan-kebenaran/hukum-coblos-dalam-pemilu-3-2422

Artikel Rumaysho.Com

Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh TuasikalFans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoCom

Machmud Hanafi

unread,
Mar 22, 2014, 6:05:43 PM3/22/14
to musl...@googlegroups.com
Ringkasan dari syarat2 para ulama untuk ikut pemilu apakah bisa dipenuhi, kalau tidak maka hukumnya haram:

1) Tidak boleh bekerjasama dengan partai-partai sekuler dan komunis, karena dasar pemikiran mereka adalah anti Tuhan. Penjelasan yang benar tentang sekulerisme adalah anti agama, dan yang disepakati tentang sekulerisme adalah menghapuskan agama dari negara dan kehidupan masyarakat.------->Tidak ada partai Islam yang ada partai sekuler/nasionalis.

2) ...Pendapat, bahwa mengikuti pemilu adalah wajib, wajib bagi kita memberikan pertolongan kepada orang yang kita nilai memiliki kebaikan, sebab jika orang-orang baik tidak ikut serta, maka siapa yang menggantikan posisi mereka? ------>siapa yang bisa menjamin para caleg adalah orang baik2, kenyataan kebanyakan menunjukan sebaliknya.

3) Tidak boleh bagi seorang muslim mencalonkan dirinya, dengan itu dia ikut dalam sistem pemerintahan yang tidak menggunakan hukum Allah, dan menjalankan bukan syariat Islam.

4) Sekarang ini kami tidak menganjurkan siapapun saudara kita sesama muslim untuk mencalonkan dirinya menjadi anggota parlemen di negara yang tidak menjalankan hukum Allah. Sekalipun undang-undang dasarnya menyebutkan Islam sebagai agama negara. Karena dalam prakteknya hanya untuk membius anggota parlemen yang lurus hatinya. Dalam negara semacam itu, para anggota parlemen sedikitpun tidak pernah mampu merubah undang-undang yang berlawanan dengan Islam. Namun menurutku, bila rakyat muslim melihat adanya calon-calon anggota parlemen yang jelas-jelas memusuhi Islam, sedang di situ terdapat calon-calon beragama Islam dari berbagai partai Islam, maka dalam kondisi semacam ini, aku sarankan kepada setiap muslim agar memilih calon-calon dari partai Islam saja
 
Dibawah ini saya nukilkna bantahan dari Syaikh Al-Albani berkenaan fatwa bolehnya pemilu (di Aljazair/Algier) sbb:

 Penulis
Syaikh Abdul Malik Ramadlan Al-Jazairy

Sejumlah oknum hizbiyun memanfaatkan fatwa Syaikh Al-Albani tersehut. Mereka mengklaim Syaikh membolehkan masuk parlemen dan mengikuti pemilu. Padahal fatwa Syaikh yang saya nukil ini merupakan bukti yang sangat jelas yang menyangkal klaim tersebut. Akan tetapi, karena kekhawatiran kami mereka akan memperdaya masyarakat awam dengan memanipulasi fatwa tersebut, maka kami jelaskan:

"Syaikh Al-Albani berpendapat haram hukumnya masuk parlemen berikut pemilu berdasarkan dua argumentasi berikut:

Pertama. Perbuatan itu termasuk bid'ah! Sebab, wasilah dakwah seperti ini adalah tauqifiyah (hanya boleh ditetapkan dengan wahyu). Untuk penjelasan lebih lengkap silakan baca kitab: "Al-Hujaj Al-Qawiyyah 'Alaa anna Wasaa-ilud Dakwah Tauqifiyah" karangan Abdussalam bin Barjas. Hal itu tidaklah bertentangan dengan penjelasan beliau bahwa perangkat-perangkatnya -bukan wasilahnya- ditetapkan dengan kaidah umum maslahat mursalah. Svaikh Al-Albani sering membawakan perkataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha' Shirathul Mustaqim (halaman 278): "Semua perkara yang terdapat faktor pendorong untuk melakukannya pada zaman Rasulullah… sekalipun perkara itu dianggap maslahat, namun tidak dilakukan, dapatlah diketahui bahwa perkara itu sebenarnya bukan maslahat… kita semua tahu bahwa perkara ini adalah kesesatan meski kita belum mengetahui adanya larangan khusus atau kita telah mengetahui bahwa perkara itu membawa mafsadat!"

Saya telah menukil pernyataan Syaikh Al-Albani bahwa membentuk partai-partai untuk ikut serta dalam kancah politik bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Sewaktu di Makkah beliau diminta untuk turut serta dalam pemerintahan Qureisy namun beliau menolak. Sebab, beliau mendasari perjuangan beliau dengan pembinaan aqidah dan akhlak, sebagaimana hal ini dimaklumi dalam sejarah. Masalah ini berkaitan dengan adanya dorongan untuk melakukannya namun tidak dilakukan. Dalam masalah ini ada tiga larangan. Pernyataan Syaikh setelah itu memperingatkan kita terhadap hal tersebut. Berkaitan dengan kerusakan yang terjadi, beliau telah memberi catatan penting sebagai jawabannya, wallahu waliyyul taufiq.

Kedua: Perbuatan itu termasuk menyerupai orang kafir. Tidak ada yang menyangkal bahwa sistem pemilu ini berasal dari mereka!

Kedua perkara di atas merupakan bukti bahwa Syaikh Al-Albani tidak mengharamkannya karena masa tertentu atau karena keadaan tertentu yang mungkin saja terhapus dengan maslahat pada masa atau keadaan tertentu pula. Sekali-kali tidak! Bahkan beliau mengharamkan praktek pemilu itu sendiri! Jangan sekali-kali terkicuh dengan dispensasi yang beliau berikan untuk mengikuti pemilu bagi kaum muslimin, termasuk di dalamnya kaum wanita, karena beliau menyatakan seperti itu ketika para aktifis partai itu tetap bandel Dan tidak punya keinginan lain kecuali masuk parlemen. Berhubung mereka tetap bertahan dalam parlemen -meskipun ahli ilmu telah mengeluarkan fatwa- maka menurut beliau kaum muslimin yang lain tidak punya pilihan kecuali memilih partai yang paling Islami. Untuk menghindari kerusakan yang lebih besar dengan memilih kerusakan yang lebih kecil. Akan tetapi Syaikh Al-Albani melarang bergabung bersama mereka dalam partai politik dan system…. Satu pernyataan beliau kepada partai FIS dan lainnya yang telah berulang kali direkam adalah:

"Jika kalian tetap bersikeras dan tetap berkeinginan menjadi tumbal, maka bagi kaum muslimin yang lain hendaklah memilih partai-partai yang lebih Islami. Bukan karena mereka Akan membawa kebaikan, namun untuk.menekan kejahatan mereka." Itulah pendapat Syaikh, hendaknya dipahami besar-benar!

Catatan:
Anehnya, Abdurrahman Abdul Khaliq memenggal perkataan Syaikh Al-Albani tersebuit saat menukilnya dalam kitabnya berjudul: 'Masyruu'iyyatud Dukhuul Ilaa Majaalis Tasyri'iyyah' hal 73. Kemudian mengklaim bahwa beliau melarangnya karena hal itu menyelisihi perkara yang lebih utama! Begitulah katanya -semoga Allah memberinya hidayah-. Padahal tentunya dia tahu dan orang lain juga tahu bahwa Syaikh sangat keras menyanggahnya (Abdurrahman Abdul Khaliq) dalam masalah ini khususnya. Ketika Syaikh Al- Albani mengundangnya ke rumah beliau untuk berdialog tentang masalah ini. Namun ia tidak memenuhi undangan. Syaikh berkata kepadanya: Saya pesankan kepada Anda hai Abdurrahman agar tidak menjadi orang jahil.

Sengaja saya cantumkan penukilan berikut ini agar para pembaca tidak salah paham:

"Dalam sebuah kaset Silsilatul Huda wan Nuur no: (1/352) seseorang bertanya kepada Syaikh Al-Albani:

Penanya : Wahai Syaikh, kami dengar Anda membolehkan masuk parlemen dengan beberapa syarat.

Syaikh Al Albani : Tidak, saya tidak membolehkannya! Kalaupun syarat itu terpenuhi hanyalah bersifat teoritis belaka tidak mungkin diwujudkan. Apakah Anda ingat syarat-syarat tersebut?

Penannya : Syarat pertama, ia harus dapat menjaga keselamatan dirinya."

Syaikh Al-Alabni : Mungkinkah itu?

Penanya : Saya belum mencobanya!

Syaikh Al-Albani : Insya Allah Anda tidak akan mencobanya! Syarat-syarat tersebut tidak mungkin dipenuhi. Banyak kita saksikan orang-orang yang memiliki prinsip hidup yang lurus, kelihatan dari penampilannya, cara berpakaian Islami...memelihara jenggot...namun ketika menjadi anggota parlemen penampilan mereka langsung berubah! Tentu saja mereka mengemukakan alasan dan mencari-cari pembenaran, kata mereka untuk menyesuaikan diri....

Banyak kita lihat orang-orang yang menjadi anggota parlemen dengan mengenakan pakaian tradisional arab yang Islami. Selang beberapa hari kemudian mereka merubah pakaian dan penampilan. Apakah ini bukti kebaikan ataukah kerusakan?

Penannya : Syaikh, yang dimaksud adalah saudara-saudara kita di Aljazair, tentang usaha mereka dan keikutsertaan mereka dalam kancah politik.

Syaikh Al-Albani : Zaman sekarang ini saya tidak menganjurkan kaum muslimin di negeri Islam manapun terlibat dalam kegiatan politik..."

Dalam Silsilah itu juga nomor 353 side A, Syaikh berkata: "Menurut saya tidak perlu ditegakkan jihad, bahkan saya peringatkan agar tidak menegakkannya sekarang ini. Karena sarana-sarana fisik maupun non fisik, lahir maupun batin tidak mendukung kaum muslimin untuk menegakkan jihad di bumi manapun"

Beliau berkata: "Kami melarang kaum muslimin dari ikatan-ikatan hizbiyah dengan mengatasnamakan Islam! sekelompok orang mendirikan partai Islam ini ....yang lain membentuk partai Islam ini....Itulah salah satu bentuk hizbiyah!
Padahal semuanya berjuang untuk Islam dan untuk kebaikan Islam. Hanva Allah yang tahu apa sebenarnya yang terselip dalam hati mereka itu! Oleh sebab itu menurut kami setiap negara Islam jangan memberi angin munculnya fenomena seperti ini, meskipun mengatasnamakan Islam. Cara-cara seperti itu bukan termasuk kebiasaan kaum muslimin! Namun merupakan kebiasaan kaum kafir: Itulah sebabnya Allah berfirman:

Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. [Ar-Ruum: 31-32]

[Disalin dari buku Madariku An-Nazhar Fi As-Siyasah, Baina Ath-Thabbiqaat Asy-Syar'iyah Wa Al-Ihfiaalat Al-Hamaasiyyah, Penulis Syaikh Abdul Malik Ramadlan Al-Jazziri, edisi Indonesia Bolehkah Berpolitik ?, hal 40-50]

Jazakumullah Khair
Machmud Hanafi
Dhahran - KSA


--
--
Mohon menggunakan mailist sesuai dengan peruntukannya.
IATMI-KL : IATM...@googlegroups.com
Cerita santai : Guyon...@googlegroups.com
Keagamaan : Musl...@googlegroups.com
---
You received this message because you are subscribed to the Google Groups "Muslim-KL" group.
To unsubscribe from this group and stop receiving emails from it, send an email to muslim-kl+...@googlegroups.com.
For more options, visit https://groups.google.com/d/optout.


M.Diri

unread,
Mar 22, 2014, 10:21:48 PM3/22/14
to musl...@googlegroups.com
Bismillah,,,
Pemilu memang topik yang sering bikin rame, mudah2an mendekatkan ukhuwah dan jangan sampai menjauhkan... Aamiin.

Fatwa-fatwa Ulama memang sangat penting untuk diperhatikan dalam masalah2 kontemporer termsauk Pemilu.  Karena permasalahan2 baru terus bermunculan, terkadang subjectnya sama tapi  kondisi dan keadaannya  sangat berbeda. Maka hendaknya kaum muslimin berusaha memperhatikan sebuah fatwa dengan seksama dan tidak terjebak pada kesimpulan akhirnya saja.
 
Setidaknya ada dua hal yang perlu kita perhatikan: 
1.       HUKUM ASAL dari perkara tsb dengan memperhatikan penjelasan yg berkaitan dengan ketentuan dan syarat-syarat yang ada (termasuk kemungkinan bentuk-bentuk lain dari yang telah ada dan yang akan ada).
2.       Penjelasan dari bentuk realita yg ada dan HUKUM yg diambil dgn pertimbangan REALITA yang ada tsb. Karena sebuah fatwa biasanya adalah untuk menjawab permasalahn yang ada, sehingga mengabaikan  realita/kenyataan atau berkelit darinya adalah sebuah kekeliruan.

Dengan demikian, orang yang ingin mengambil fatwa tentang sebuah permasalahan, sudah seharusnya terus meng-update informasi tentangnya. Khususnya pada zaman ini, dimana perubahan itu begitu cepat terjadi.

Sudah dimaklumi bahwa sebuah fatwa bisa berubah seiring dengan PERUBAHAN WAKTU, TEMPAT dan KEADAAN serta ADAT yang berlaku. Dengan demikian seharusnya seorang yang mengambil sebuah fatwa memperhatikan WAKTU, TEMPAT, KONDISI dan KEADAAN yang berhubungan dengannya, sebelum menjadikannya sebagai sandaran dalam permasalahan yang sedang dihadapinya (misalnya apakah kondisi dan keadaan dalam fatwa tsb sama dengan kondisi yang dihadapinya).

Hingga, seorang mufti dalam urusan kontemporer ini biasanya menjelaskan bentuk masalahnya dan hukumnya serta memberikan batasan hukum terhadap masalahnya secara khusus, serta me njelaskan sumber hukumnya. Dan juga biasanya diberikan tanggal keluarnya fatwa tersebut.
Sebagai contoh sebagian Ulama terdahulu telah berfatwa bahwa seorang wanita apabila meninggal dunia dalam keadaan mengandung bayi yang masih hidup, maka dilarang membedah perutnya untuk mengeluarkan bayinya. Karena ini termasuk al-mutslah (merusak jenazah/mayat). Namun pada masa-masa terakhir ini, ilmu bedah telah berkembang pesat dan akhirnya membedah perut atau sebagian anggota badan tidak lagi dianggap al-mutslah. Sehingga ulama yang belakangan (Syaikh as Sa'di misalnya) memperbolehkan membedah perut orang hamil yang telah meninggal, dengan sebab keberadaan bayinya yang masih hidup dan demi mengeluarkannya, dengan teknologi bedah yang telah berkembang pesat.

Kembali ke pemilu,,,,
Banyak sudah fatwa-fatwa ulama dalam masalah ini. Namun meskipun fatwa2 ulama sudah begitu banyaknya, masih juga datang pertanyaan kepada para Syaikh dari waktu ke waktu, apakah kami harus ikut pemilu atau tidak. Kenapa demikian? Karena fatwa untuk permasalahan yang sama bisa berbeda  untuk SITUASI DAN KONDISI yang berbeda.
 
Sebenarnya kaedahnya sudah difahami, yakni:
ارتكاب أخف للضررين
” Memilih mudharat yang paling ringan dari dua mudharat.”
Yaitu dengan Memilih kandidat yang baik daripada yang buruk, atau memilih kandidat yang lebih ringan keburukannya diantara kandidat yang ada.

Atau mengaplikasikan kaedah lain yang sudah dikenal oleh para Ulama:
الضرورة تبيح المحظورات
” Kondisi dharurat membolehkan sesuatu yang dilarang.”
 
Pertanyaannya adalah,
1. Adakah kita melihat adanya kandidat yang lebih baik (atau lebih ringan keburukannya) diantara kandidat2 yang ada? Kalau ada, bismillah, go ahead.....
2. Kalau dari analisa sebagian orang berujung pada sebuah kesimpulan bahwa sama saja atau sulit untuk menemukan yang lebih baik atau lebih ringan keburukannya, ya tentu kaedah diatas nggak relevan buat yang bersangkutan.
 
Kondisi/ realita yang ada bisa berbeda dari waktu ke waktu dan dari suatu tempat ke tempat lainnya. Jangan heran kalau sekiranya 5 tahun lalu ulama memfatwakan A dan tahun ini memfatwakan B dan tahun mendatang memfatwakan C. Namun fatwanya bisa juga sama  (tidak berbeda) kalau kondisi dan keadaan 5 tahun lalu, sekarang, dan yang akan datang sama.
 
Dan hendaknya kita saling menghargai satu sama lain dalam menyikapi masalah ini. Karena penilaian orang terhadap individu2 adalah tidak sama. Contohnya, mana lebih baik atau sedikit kekurangannya antara Pak Wiranto dengan Pak Prabowo (misalnya) ditinjau dari kepentingan islam/kaum muslimin??? Saya yakin jawaban kita2 dimilist ini tidak sama, dan mungkin ada juga yang nggak bisa membedakannya (menurutnya sama saja).
 
Anyway, ini ada sebuah fatwa yang SPESIFIK untuk Pemilu 2014 di Indonesia. Bismillah....
 
"Akan tetapi perlu kita ingat… bahwa niat keikutsertaan kita dalam PEMILU adalah demi kemaslahatan Islam dan kaum muslimin", bukan karena mengatakan halal hukum asal pemilu (fatwa ini tidak menghalalkan hukum asal pemilu).
 
 
Wassalam,
Diri


Sent from my iPad
--
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages