Lucas_...@app.co.id
unread,Jun 14, 2007, 3:02:26 AM6/14/07Sign in to reply to author
Sign in to forward
You do not have permission to delete messages in this group
Either email addresses are anonymous for this group or you need the view member email addresses permission to view the original message
to
(Helvy Tiana Rosa)
Pagi itu, 3 Mei 1998, dari Jakarta, saya diundang mengisi seminar di IAIN
Sunan Gunung Djati, Bandung.
Saya duduk di bangku kedua dari depan sambil
menunggu kedatangan pembicara lain, Mimin Aminah, yang belum saya kenal.
Jam sembilan tepat, panitia menghampiri saya
dan memperkenalkan ia yang baru saja tiba.
Saya segera berdiri menyambut senyumnya yang
lebih dulu merekah.
Ia seorang yang bertubuh besar, ramah, dalam balutan gamis biru dan jilbab
putih yang cukup panjang.
Kami berjabat tangan erat, dan saat itu tegas
dalam pandangan saya dua kruk (tongkat penyangga yang dikenakan-nya) serta
sepasang kaki lemah dan kecil yang ditutupi kaos kaki putih. Sesaat batin
saya hening, lalu melafazkan kalimat takbir dan tasbih.
Saat acara seminar dimulai, saya mendapat giliran pertama. Saya bahagia
karena para peserta tampak antusias.
Begitu juga ketika giliran Mimin tiba ....semua
memperhatikan dengan seksama apa yang disampaikannya.
Kata-kata yang dikemukakannya indah dengan
retorika yang menarik.
Wawasannya luas, pengamatannya akurat. Saya
tengah memandang wajah dengan pipi merah jambu itu saat Mimin berkata dengan
nada datar.
"Saya diuji Allah dengan cacat kaki ini seumur hidup saya." Ia
tersenyum.
"Saya lahir dalam keadaan seperti ini. Mungkin banyak orang akan pesimis
menghadapi keadaan yang demikian, tetapi sejak kecil saya telah memohon
sesuatu
pada Allah. Saya berdoa agar saat orang lain
melihat saya, tak ada yang diingat dan disebutnya kecuali Allah,"
Ia terdiam sesaat dan kembali tersenyum.
"Ya, agar mereka ingat Allah saat menatap
saya. Itu saja." Dulu tak ada orang yang menyangka bahwa ia akan bisa
kuliah.
"Saya kuliah di Fakultas Psikologi,"
katanya seraya menambahkan bahwa teman-teman pria dan wanita di Universitas
Islam Bandung-tempat kuliahnya itu -
senantiasa bergantian membantunya menaiki
tangga bila kuliah diadakan di lantai dua atau tiga.
Bahkan mereka hafal jam datang serta jam
mata kuliah yang diikutinya. "Di antara mereka ada yang membawakan
sebelah tongkat saya, ada yang memapah,
ada juga yang menunggu di atas," kenangnya.
Dan civitas academica yang lain ?
Menurut Mimin ia sering mendengar orang menyebut-nyebut
nama Allah saat menatapnya. "Mereka berkata:
Ya Allah, bisa juga ya dia kuliah," senyumnya mengembang lagi. "Saya
bahagia karena mereka menyebut nama Allah. Bahkan ketika saya berhasil
menamatkan
kuliah, keluarga, kerabat atau teman kembali memuji Allah. Alhamdulillah,
Allah memang Maha Besar. "Begitu kata mereka."
Muslimah bersahaja kelahiran tahun 1966 ini juga berkata bahwa ia tak pernah
ber-mimpi akan ada lelaki yang mau mempersuntingnya.
"Kita tahu, terkadang orang normal pun
susah mendapatkan jodoh, apalagi seorang yang cacat seperti saya. Ya tawakal
saja."
Makanya semua geger, ketika tahun 1993 ada
seorang lelaki yang saleh, mapan dan normal melamarnya.
"Dan lagi-lagi saat walimah, saya dengar
banyak orang menyebut-nyebut nama Allah dengan takjub. Allah itu maha kuasa,
ya. Maha adil !
Masya Allah,Alhamdulillah, dan sebagainya,"
ujarnya penuh syukur.
Saya memandang Mimin dalam. Menyelami batinnya dengan mata mengembun.
"Lalu saat saya hamil, hampir semua
yang bertemu saya, bahkan orang yang tak mengenal saya, menatap takjub
seraya lagi-lagi mengagungkan asma Allah.
Ketika saya hamil besar, banyak orang menyarankan agar saya tidak ke bidan,
melainkan ke dokter untuk operasi.
Bagaimanapun saat seorang ibu melahirkan
otot-otot panggul dan kaki sangat berperan. Namun saya pasrah.
Saya merasa tak ada masalah dan yakin bila Allah berkehendak semua akan
menjadi mudah.
Dan Alhamdulillah, saya melahirkan lancar dibantu bidan," pipi Mimin
memerah kembali. "Semua orang melihat saya dan mereka mengingat Allah.
Allahu Akbar, Allah memang Maha Adil, kata mereka berulang-ulang. "
Hening. Ia terdiam agak lama.
Mata saya basah, menyelami batin Mimin.
Tiba-tiba saya merasa syukur saya teramat
dangkal dibandingkan nikmatNya selama ini. Rasa malu menyergap seluruh
keberadaan saya. Saya belum apa-apa.
Yang selama ini telah saya lakukan bukanlah apa-apa. Astaghfirullah.
Tiba-tiba saya ingin segera turun dari tempat saya duduk sebagai pembicara
sekarang, dan pertama kalinya selama hidup saya, saya menahan airmata di
atas
podium. Bisakah orang ingat pada Allah saat memandang saya, seperti saat
mereka memandang Mimin?
Saat seminar usai dan Mimin dibantu turun
dari panggung, pandangan saya masih kabur.
Juga saat seorang (dari dua) anaknya menghambur
kepelukannya.
Wajah teduh Mimin tersenyum bahagia, sementara
telapak tangan kanannya berusaha membelai kepala si anak.
Tiba-tiba saya seperti melihat anak saya,
yang selalu bisa saya gendong kapan saya suka. Ya, Allah betapa banyak
kenikmatan yang Kau berikan padaku.
Ketika Mimin pamit seraya merangkul saya
dengan erat dan berkata betapa dia mencintai saya karena Allah, seperti
ada suara menggema di seluruh rongga jiwa saya.
"Subhanallah, Maha besar Engkau ya Robbi,
yang telah memberi pelajaran pada saya dari pertemuan dengan hambaMu ini.
Kekalkanlah persaudaraan kami di Sabilillah.
Selamanya. Amin."
Mimin benar. Memandangnya, saya pun ingat padaNya. Dan cinta saya pada
Sang Pencipta, yang menjadikan saya sebagaimana adanya, semakin mengkristal.
.....Dunia adalah perhiasan ,dan
sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang solehah. (HR Imam Muslim)....