Tanya:
Penentuan awal Ramadan di
Indonesia sering kali tidak satu suara. (Mungkin) masuk akal karena banyak
metode dilakukan untuk penentuannya. Apa yang membedakan metode hisab dan
rukyat?
Secara fikih, metode mana yang lebih disarankan? Atau bisa
dua-duanya mengingat banyak hadis yang mendukung kedua metode
tersebut.
Hasyim
Rudayat
Jawaban:
Hadis Kuraib mencatat,
pada zaman para sahabat sudah terjadi perbedaan awal Ramadan antara Syam dan
Madinah.
Kalau kita amati lebih dalam, penyebab perbedaan awal
Ramadan (atau Idul Fitri dan Idul Adha) sebenarnya bukan perbedaan metode. Sebab
sesama pengguna hisab pun bisa berbeda, begitu juga yang rukyat. Penyebab
sebenarnya ada dua, yakni:
1) Haruskah ada keseragaman dalam
memulai Ramadan dan Idul Fitri dalam satu negara? Apakah harus satu institusi
tertentu saja, ataukah siapa saja boleh berpendapat sesukanya, dan otomatis
pasti akan selalu berbeda?
2) Kalau harus ada keseragaman, lalu
siapa yang berwenang untuk menetapkan jadwal Ramadan. Apakah pemerintah (menteri
agama), atau musyawarah umat Islam?
Hingga hari ini, sebagian umat
Islam di Indonesia menghendaki agar siapa saja boleh menetapkan awal Ramadan
sendiri-sendiri. Tidak harus kompak, tidak harus bersatu. Dan kalau pun harus
bersatu, jangan menteri agama yang menetapkan awal Ramadan.
Tetapi
sayangnya kita tidak pernah diberitahu, apa sih latar belakang tidak menyatukan
diri ini?
Apakah karena kurang sreg dengan sosok pribadi menteri
agama, yang dianggap bukan ulama, sehingga kurang berilmu? Atau karena menteri
agama adalah jabatan politis, bukan keahlian, sehingga kurang cakap menentukan
awal Ramadan?
Ataukah memang karena doktrin yang diajarkan bahwa
kita HARUS SELALU berbeda dan tidak mungkin disatukan — sebagaimana yang terjadi
dengan jumlah rakaat Tarawih dan bacaan niat (ushalli) serta qunut
Subuh?
Bercermin ke negeri Islam
lain
Kewenangan menentukan awal Ramadan tidak pernah jadi bahan
perdebatan, kalau kita tengok di negeri muslim yang lain, seperti Mesir dan Arab
Saudi.
Mesir, yang rakyatnya kini terancam perpecahan dan perang
saudara, punya begitu banyak kelompok yang saling memusuhi. Tak sedikit pula
kelompok yang terang-terangan mengafirkan serta menghalalkan darah
pemerintah.
Namun ceritanya jadi lain kalau sudah bicara kapan
mulai Ramadan dan Idul Fitri. Mereka kompak-kompak saja dengan pemerintahnya,
walaupun sikap politik berbeda. Buat rakyat Mesir, penetapan awal Ramadan memang
wewenang pemerintah atau negara. Permusuhan
dikesampingkan.
Demikian juga dengan Arab Saudi. Ada begitu banyak
kelompok dan aliran di negeri itu. Dan tidak sedikit yang memusuhi pemerintah,
bahkan sampai mengafirkan raja dan keluarganya. Dan tidak terhitung berapa
jumlah orang yang ditangkapi polisi.
Namun saya belum pernah
mendengar ada kelompok tertentu di Arab Saudi yang hobinya ngeyel atas keputusan
jatuhnya Ramadan. Semua kompak-kompak saja, tidak ada yang puasa duluan atau
belakangan.
Buktinya, saya belum pernah menemukan ada orang dari
kelompok mana pun yang berinisiatif berwukuf di Arafah pada tanggal 8 atau 10
Dzulhijah, dengan alasan mereka beranggapan jatuhnya bulan Dzulhijjah lebih awal
atau lebih lambat. Selalunya wukuf itu tanggal 9 Dzulhijjah dan kompak
selalu.
Padahal wukuf itu dihadiri jutaan orang dari berbagai
negara dan aliran (bahkan yang syiah ada juga). Tetapi mereka sepakat wukuf di
hari yang sama, dan mereka mengakui bahwa yang berwenang untuk menetapkan
jatuhnya tanggap 9 Dzulhijjah adalah negara atau pemerintah.
Sepanjang
yang saya ketahui selama ini, cuma di Indonesia saja yang segelintir rakyatnya
(atau atas nama organisasi masyarakat) kerap berpuasa dan berlebaran lebih
dahulu dari ketetapan pemerintah. Dan sebaliknya, kadang mereka juga puasa atau
Idul Fitri belakangan.
Penyebabnya ya itu tadi, karena sebagian
dari anak bangsa kita masih saja ada yang berpikiran bahwa urusan kapan jatuhnya
Ramadan itu boleh diputuskan oleh masing-maing orang sesuai keyakinan. Jadi
siapa saja boleh menetapkan sendiri, baik secara pribadi, atau pun lewat
kelompoknya masing-masing.
Untuk menentukan datangnya bulan
Ramadan, ada dua cara:
Rukyatul hilal
Rukyat
artinya melihat, hilal artinya bulan sabit (bulan pada fase awal, yang belum
terlihat bulat dari Bumi).
Penentuan awal bulan (new moon)
ditandai dengan munculnya penampakan (visibilitas) bulan sabit pertama kali
(hilal) setelah bulan baru (konjungsi atau ijtima’). Pada fase ini, bulan muncul
sesaat setelah terbenamnya matahari, sehingga posisi hilal berada di ufuk
barat.
Jika hilal tidak terlihat pada hari ke-29, maka jumlah hari
pada bulan tersebut dibulatkan menjadi 30 hari. Tidak ada aturan khusus
bulan-bulan mana saja yang memiliki 29 hari, dan mana yang memiliki 30 hari.
Semuanya tergantung penampakan hilal.
Rukyatul hilal adalah cara
yang disyariatkan di dalam agama dan diperintahkan oleh Rasulullah SAW.
Sebagaimana sabda beliau :
“Berpuasalah kamu saat melihatnya
(hilal) dan berifthar (Idul Fitri) saat melihatnya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Ulama semua mazhab telah bersepakat, hitungan bulan
qamariyah (bulan-bulan Arab) hanya berkisar antara 29 hari atau 30 hari,
sebagaimana sabda Nabi SAW (Ibnu Rusydi Al-Hafid, Bidayatul Mujtahid Wa
Nihayatul Muqtashid, jilid 2 hal. 196).
“Kita adalah umat
yang ummi, tidak menulis atau berhitung. Satu bulan itu adalah ini dan ini,
maksudnya kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30 hari.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Apabila saat itu tampak bulan sabit meski sangat kecil
dan hanya dalam waktu yang singkat, maka ditetapkan bahwa mulai malam itu, umat
Islam sudah memasuki tanggal 1 bulan Ramadan. Jadi dalam kasus ini umur bulan
Syaban hanya 29 hari bukan 30. Maka ditetapkan untuk melakukan ibadah Ramadan
seperti salat Tarawih, makan sahur dan mulai
berpuasa.
Ikmal
Ikmal atau istikmal adalah
menggenapkan hitungan bulan menjadi 30 hari, pada saat hilal tidak tampak di
tanggal 29 Syaban itu. Langit gelap, mendung, terhalang awan atau asap akan
mengakibatkan mata telanjang tidak bisa melihat apakah hilal Ramadan memang ada
atau belum ada.
Pada saat yang demikian, dan hal seperti ini telah
diprediksi oleh Rasulullah SAW 14 abad yang lalu, beliau SAW bersabda
:
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda, "Puasalah dengan melihat bulan dan berfithr (Idul Fitri) dengan
melihat bulan, bila tidak tampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya‘ban
menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari dan Muslim).
“Berpuasalah
kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu dengan melihatnya juga. Tetapi
bila ada awan yang menghalangi, maka genapkanlah hitungan dan janganlah
menyambut bulan baru.” (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim)
Jadi bulan
Syaban digenapkan bilangannya menjadi 30 hari. Dan inilah pendapat kebanyakan
jumhur ulama sepanjang masa.
Hisab
Namun ada
sebagian kalangan, di antaranya Mutarrif bin Sakhir, yang berpendapat bahwa
apabila hilal tidak tampak, digunakan hisab dan bukan dengan cara menggenapkan
hitungan bulan menjadi 30 hari.
Pendapat hisab ini didasarkan atas
penafsiran dari hadis lainnya, yaitu:
"Puasalah dengan melihat
bulan dan berfithr (berIdul Fitri) dengan melihat bulan, bila tidak tampak
olehmu, maka kadarkanlah". (HR. Bukhari dan Muslim)
Kata
faqduru lahu ditafsirkan oleh kalangan ini sebagai perintah untuk
menggunakan hisab. Karena Qadar atau ukuran artinya adalah hitungan (Ibnu Rusydi
Al-Hafid, “Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid”, jilid 2 hal.
46-47).
Namun menurut jumhur ulama, makna faqduru lahu
bukan perintah untuk menggunakan ilmu hisab, namun maknanya adalah genapkan usia
bulan Syaban menjadi 30 hari, sebagaimana hadis sahih di
atas.
Penggunaan hisab tidak disandingkan dengan rukyatul hilal,
apalagi mengalahkannya.
Di sisi lain, justru banyak ulama yang
mengharamkan metode hisab ini. Di antaranya mazhab Maliki. Mereka mengatakan,
tidak sah penentuan awal Ramadan dengan mengikuti Al-Munajjim (ahli
nujum), maksudnya adalah ahli falak. Apa yang mereka lakukan tidak berlaku, baik
untuk diri mereka sendiri, apalagi untuk orang lain (“Asy-Syarhu Ash-Shaghir li
Ad-Dardir”, jilid 1 hal. 241).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di
dalam “Majmu’ Fatawa” yang terkenal itu menegaskan, orang-orang yang berpegangan
kepada hasil perhitungan (hisab) dalam penetapan hilal, hukumnya sesat di dalam
syariah, dan merupakan bidah di dalam agama. (Ibnu Taimiyah, “Majmu’ Fatawa”,
jilid 5 hal. 207)
Wallahu a'lam bishshawab,
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.,
MA