Buku Tahta Untuk Rakyat

0 views
Skip to first unread message

Skye Severy

unread,
Aug 5, 2024, 1:02:00 AM8/5/24
to mumbmidede
Tahtauntuk Rakyat; celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, adalah buku biografi pribadi Sultan HB 9, yang dihimpun oleh Mohamad Roem, Mochtar Lubis, dkk. dan disunting oleh Atmakusumah. Sewaktu SMA saya pernah sedikit membaca buku terbitan Gramedia (1982) ini, kemudian pertengahan tahun 2010 saya kembali membaca buku ini, sebagai bagian dari proses untuk membuat lagu rakyat Jogja Istimewa tersebut.

Melalui buku ini, kita akan mengetahui cerita-cerita tentang pribadi Sultan HB 9 yang mungkin sebelumnya hanya kita anggap sebagai mitos. Tak pelak, buku ini semakin menambah kekagumanku kepada pribadi Sultan HB 9.

Buku ini tidak hanya mengisahkan seluruh perjalanan kehidupan Sultan Yogya IX, sejak dilahirkan di Keraton, berjuang pada zaman kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, perang kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru sampai kemudian dimakamkan di perbukitan Imogiri, pantai Selatan Pulau Jawa.

Buku ini harus dibaca, untuk bisa memahami, mengapa warga masyarakat Yogyakarta yang selembut kain sutra berubah menjadi sekeras batu karang jika mereka merasa dipaksa dan ditekan. Bagaimanapun, kekuasaan tradisional dengan legitimasi dari falsafah leluhur sarat mistik merupakan sebuah mata air perjuangan yang tidak pernah akan kering dan sekaligus tidak mungkin disurutkan.


Tahta untuk Rakyat; celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, adalah buku biografi pribadi Sultan HB 9, yang dihimpun oleh Mohamad Roem, Mochtar Lubis, dkk. dan disunting oleh Atmakusumah. Sewaktu SMA saya pernah sedikit membaca buku terbitan Gramedia (1982) ini, kemudian pertengahan tahun 2010 saya kembali membaca buku ini, sebagai bagian dari proses untuk membuat lagu rakyat Jogja Istimewa tersebut.


Melalui buku ini, kita akan mengetahui cerita-cerita tentang pribadi Sultan HB 9 yang mungkin sebelumnya hanya kita anggap sebagai mitos. Tak pelak, buku ini semakin menambah kekagumanku kepada pribadi Sultan HB 9.


Sultan HB 9 diberi nama ayahnya Sultan HB 8 dengan nama Dorodjatun, sejak kecil banyak dididik diluar istana, juga lebih banyak tinggal dengan ibunya yang tidak tinggal di istana Kraton. Dorodjatun pernah sekolah di Semarang dan Bandung. Kemudian dikirim untuk sekolah ke Belanda. Sepertinya ayahnya sudah mempunyai firasat, bahwa kelak Dorodjatun lah yang digadang bisa melepaskan kekuasaan Kraton dari cengkraman Belanda.


Ketika ayahnya sakit, Dorodjatun yang sebentar lagi ujian sarjana di Belanda, diminta untuk pulang oleh ayahnya untuk menerima pusaka keris Djoko Piturun, sebuah simbol bahwa Sultan HB 8 menyerahkan kekuasaan kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat kepada penerusnya yang dipilih. Waktu itu usia Dorodjatun masih 28 tahun.


Hingga empat bulan paska naik tahta, jendral residen Belanda di Yogyakarta gagal membujuk Sultan HB 9 untuk menandatangani kontrak kekuasaan dengan Belanda. Banyak poin-poin yang sebelumnya sudah menjadi kesepakatan antara Kraton Yogya dengan Belanda ditolak oleh Sultan HB 9. Intinya adalah bahwa Sultan HB 9 berkeinginan Kraton Yogya lebih mandiri dan peduli dengan rakyat. Pemerintah Belanda dibuat frustasi dengan pemuda berumur 28 tahun itu, yang setahun sebelumnya hanyalah seorang mahasiswa.


Kemudian Sultan HB 9 bergegas menandatangani poin-poin kontrak kekuasaan begitu saja tanpa peduli isinya. Gubernur Jendral Belanda bingung akan hal itu, kenapa dia ngotot negosiasi marathon selama lebih dari empat bulan tapi tiba-tiba dia begitu saja menandatangani tanpa membaca isinya.


Umur pohon jagung bisa dipanen selama 3,5 bulan, kemudian pohon jagung akan mati dengan sendirinya ketika berumur 3,5 tahun. Kemudian dengan wangsit itu Sri Sultan HB 9 menyusun strategi. Dia mendatangi jendral Jepang yang berkuasa di Jakarta untuk bernegosiasi. Diterangkannya bahwa Kraton Yogyakarta memiliki wilayah yang kecil dan miskin, tidak memiliki hasil panen yang memadai, Sultan HB 9 meminta kepada penjajah Jepang untuk mengganti program kerja paksa (rhomusa) bagi rakyat Yogyakarta dengan membangun saluran irigasi Selokan Mataram, agar hasil bumi wilayah Yogyakarta meningkat dan bisa memberi sumbangan kepada Jepang lebih banyak.


Perjanjian disetujui dan proyek Selokan Mataram dimulai dan dikerjakan secara gotong-royong oleh rakyat Yogyakarta. Proyek itu belum selesai ketika Jepang kalah oleh pasukan sekutu dan harus pergi dari Indonesia, tepat 3,5 tahun sesuai umur pohon Jagung.


Wangsit yang lain berkaitan dengan tokoh pewayangan Pandawa Lima. Diceritakan bahwa Sultan HB 3 membuat tokoh wayang Pandawa 5 yang ukirannya sangat halus dan warnanya indah. Wayang itu ada beberapa yang hilang. Wangsitnya adalah, bahwa jika kelima wayang itu bisa berkumpul kembali, maka Negeri Mataram (Yogyakarta) akan merdeka.


Wayang ke 4 dengan tokoh Arjuna kembali ketika agresi militer Belanda pertama. Dikembalikan oleh seorang warga dari Ambarawa yang seluruh kampungnya hangus terbakar oleh bom pesawat Belanda dalam mengejar para pejuang. Anehnya hanya rumah warga itu yang masih utuh. Warga itu percaya bahwa wayang dari Kraton itulah yang menyelamatkan. Dikembalikan wayang itu ke Kraton, tidak lama kemudian Sultan dikarunia anak dan diberi nama Herjuno (Sultan HB 10 sekarang).


Wayang ke 5 dengan tokoh Bima kembali beberapa saat sebelum perwakilan Indonesia melakukan konferensi meja Bundar bersama PBB, yang hasilnya adalah keputusan PBB bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat dan Belanda harus angkat kaki dari wilayah Indonesia.


Setelah proklamasi 1945, Belanda kembali datang ke Indonedia dengan membonceng kapal tentara NICA (sekutu) untuk kembali berkuasa di Indonesia. Jakarta sebagai ibu kota Republik yang masih bayi kembali dikuasai Belanda. Tahun 1946, Sultan mengundang Soekarno-Hatta dan seluruh jajaran kabinetnya untuk memindahkan ibu kota ke Yogyakarta, sebagai negeri yang berdaulat dan diakui oleh kerajaan Belanda.


Rombongan dari Jakarta tiba di Yogyakarta tanggal 4 Januari 1946. Dua hari kemudian Yogyakarta diserang Belanda. Secara pribadi Sultan HB 9 tidak kenal dengan Soekarno sebelumnya, itu adalah pertemuan pertama mereka yang sangat bersejarah. Kelak perpisahannya pun sangat bersejarah bagi Indonesia.


Sebelum kota Yogyakarta sepenuhnya jatuh ke tentara Belanda, Sultan HB 9 meminta pejuang di bawah pimpinan Jendral Soedirman untuk menyingkir dari kota dan bergerilya. Dan melakukan penyerangan-penyerangan sporadis untuk menunjukkan kepada dunia bahwa TNI masih ada. Ketika Belanda sudah bisa menguasai wilayah kota Yogyakarta sepenuhnya, para pemimpin diasingkan, Sultan HB 9 diisolasi di dalam wilayah kraton saja, tidak boleh keluar. Tapi Sultan HB 9 sudah menyusun strategi bahwa setiap pejuang dan para pegawai pemerintahan boleh masuk ke dalam Kraton dengan menyamar menggunakan pakaian abdi dalem (pegawai kraton). Termasuk salah satunya adalah Soeharto, yang kelak menjadi presiden kedua RI.


Sultan HB 9 juga berhubungan dengan Sjahrir untuk membuat RIS (pemerintahan sementara) di Padang. Juga aktif menggalakkan siaran-siaran radio internasional untuk membuka mata dunia, bahwa pemerintahan dan tentara Indonesia masih ada, semua hal ini dilakukan agar Indonesia sebagai negara diakui eksistensinya.


Pada waktu itu, oleh pemerintah Belanda, Sultan HB 9 ditawari kekuasaan seluruh pulau Jawa dan Madura, dengan syarat Belanda tetap boleh menguasai wilayah-wilayah lain di Indonesia. Sultan HB 9 waktu itu menolak. Tidak bisa dibayangkan apa jadinya Indonesia jika saat itu Sultan HB 9 tergiur dengan penawaran itu.


Justru sebalinya, Sultan HB 9 sangat nasionalis, yang ada dipikirannya hanya berdirinya Indonesia yang merdeka. Maka beliau tidak segan menanggung seluruh biaya pemerintahan, termasuk gaji Soekarno-Hatta dan seluruh kabinetnya, juga operasional TNI, dan pengiriman-pengiriman delegasi Indonesia ke konferensi Internasional. Sultan HB 9 tidak mengakui berapa uang yang telah dikeluarkan oleh Kraton untuk itu semua, Mohamad Hatta mengatakan lebih dari 5 juta gulden.


Kemudian oleh PBB, Indonesia dinyatakan menang di Konferensi Meja Bundar, dan PBB memerintahkan Belanda angkat kaki dari Indonesia. Kemudian para pemimpin dan mentri-mentri kembali ke Yogyakarta dari pengasingan dan persembunyian. Soedirman dan pasukannya juga kembali ke kota, dan terjadilah proklamasi Indonesia yang kedua di Yogyakarta tahun 1949, ini cerita yang jarang diungkap.


Untuk menutup pembacaan ini, saya akan menyampaikan cerita rakyat yang dulu, waktu saya SD, sangat popular. Sultan HB 9 selalu mengendarai mobilnya sendiri kemana pun ia pergi, seorang raja tanpa sopir dan pengawal. Bahkan dia memilih naik mobil untuk hilir mudik ke Jakarta ketika beliau menjabat sebagai mentri pertahanan dan mentri senior Republik Indonesia ketika presiden Soekarno berkuasa.


Suatu saat Sultan HB 9 pulang dari Kinahrejo, dusun Mbah Maridjan juru kunci Merapi, di tengah jalan, tepatnya di jalan Kaliurang, dia distop oleh ibu-ibu dengan beberapa karung dagangan yang akan pergi ke pasar Kranggan, utara Tugu, waktu itu angkutan masih sangat jarang. Sultan HB 9 pun menghentikan mobilnya, ikut membantu menaikkan barang-barang itu, kemudian dia mengantarkan ibu itu ke pasar Kranggan. Sesampainya di sana beliau ikut menurunkan dagangan. Orang-orang yang mengenal beliau sebagai raja takjub dengan pemandangan langka itu. Ketika beliau hendak pergi ibu yang menumpang tadi hendak membayar, tapi tentu saja Sultan HB 9 menolak dan pergi. Kemudian ibu itu ngomel-ngomel;


Kota batik Pekalongan di pertengahan tahun 1960an menyambut fajar dengan kabut tipis , pukul setengah enam pagi polisi muda Royadin yang belum genap seminggu mendapatkan kenaikan pangkat dari agen polisi kepala menjadi brigadir polisi sudah berdiri di tepi posnya di kawasan Soko dengan gagahnya. Kudapan nasi megono khas pekalongan pagi itu menyegarkan tubuhnya yang gagah berbalut seragam polisi dengan pangkat brigadir.


Becak dan delman amat dominan masa itu , persimpangan Soko mulai riuh dengan bunyi kalung kuda yang terangguk angguk mengikuti ayunan cemeti sang kusir. Dari arah selatan dan membelok ke barat sebuah sedan hitam ber plat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan arus becak dan delman . Brigadir Royadin memandang dari kejauhan ,sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju kearahnya. Dengan sigap ia menyeberang jalan ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut Sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan hitam itu. Sebuah sedan tahun lima puluhan yang amat jarang berlalu di jalanan pekalongan berhenti dihadapannya.

3a8082e126
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages