Pengertian Undak Usuk Bahasa Sunda
6 Maret 2013 • angAdé • 1715 Penggemar • Komentari
Undak Usuk Bahasa Sunda (UUBS) berarti tingkatan-tingkatan atau tahapan-tahapan bahasa Sunda. UUBS juga diartikan sebagai tata krama atau sopan santun berbahasa. Pengertian ini diambil berhubungan dengan fungsi dari UUBS itu, yakni untuk tujuan saling menghormati dalam kehidupan bermasyarakat.
Emang undak-usuk basa Sunda (UUBS) itu apa sih? Loh,kok baru nanya sekarang!? Kalau berdasarkan catatan yang saya baca, UUBS itu berarti tingkatan-tingkatan atau tahapan-tahapan bahasa Sunda. Dalam Kamus Umum Basa Sunda dicatatkan bahwa “undak-usuk” itu berarti “panta-panta” atau “tingkatan-tingkatan”. Kayak gedung azaditingkat-tingkat! Memangnya cuman gedung yang bertingkat!?
Tingkat tutur. Nah, itulah UUBS. Hanya saja, kalau tingkat tutur UUBS itu nampaknya lebih rumit dan selalu berhubungan dengan penggunaan kosakata tertentu. Maksud saya, suatu tingkat tutur dalam bahasa Sunda itu semata-mata dibedakan oleh kosakata yang digunakannya. Sebuah kata yang digunakan pada tingkatan tertentu tidak akan pernah dijumpai pada tingkatan lainnya. Kalaupun ya, itu bentuknya lain. Apa ya istilahnya? Ejaannya sama, pengucapannya sama, maknanya sama, tapi bentuknya lain!? Homograf yang homofon dan homonim??? Hahaha… sinonim banget dah pokoknya!!!
Kalau dalam bahasa lain, tingkat tutur mungkin bisa dibedakan dengan struktur kalimatnya; atau mungkin juga dengan penggunaan ragam bahasanya; atau bisa jadi dengan léntong-nya; atau, ada juga sih yang dibedaindengan penggunaan kosakatanya. Hehehe…!
Saya tuliskan bahwa UUBS itu berarti tingkatan-tingkatan dalam bahasa Sunda. Namun, ternyata kamus pun mencatat arti lainnya, yaitu bahwa undak-usuk bahasa juga berarti “tata krama” atau “sopan santun”. Gak ada hubungannya ya dengan arti asal katanya? Setahu saya, dalam bahasa Sunda kata “undak” itu artinya “naik”, “meningkat”, atau “meninggi”. Sedangkan “usuk” ituhandapeun eréng dina suhunan imah anu di luhureuna aya hateup atawa kenténg, biasana dijieun tina awi atawa kai. Is, naon ieu téh? Asa teu nyambung! Mengapa disebut “tatakrama” atau “sopan-santun”? Ini berhubungan dengan fungsi penggunaan dari keenam tingkatan UUBS itu sendiri.
Bahwa digunakannya UUBS itu untuk tujuan saling harga-menghargai, hormat-menghormati dalam kehidupan bermasyarakat; dalam berkomunikasi dengan orang lain. Bukan maksud untuk memilah-milah dan atau menampakkan keterbedaan golongan sosial pada masyarakat! Camkan! Kata-kata yang Anda ucapkan saat harus berbicara dengan para Wakil Rakyat, berbeda dengan kata-kata yang Anda lisankan ketika menyapa siswa Taman Kanak Kanak. Begitu. Maka digunakannya UUBS, berhubungan atau disesuaikan dengan kondisi usia, kedudukan, keilmuan, serta situasi orang yang berbicara, yang diajak bicara, dan yang dibicarakan.
UUBS bukanlah berhubungan dengan bahasa formal dan informal. UUBS tidaklah berkaitan dengan bahasa baku dan non baku. UUBS, kalau meminjam istilah kebahasaan Indonesia, agaknya lebih mirip dengan bahasa yang baik dan benar.
Apa ya maksud saya? Jika Anda berbicara bahasa Sunda tidak menggunakan UUBS, itu bisa benar, namun bagi sebagian orang boleh tidak baik dan menganggap Anda sebagai orang tak berbudi. Dalam sebuah situasi yang sama, formal misalnya, Anda bisa saja menggunakan bahasa halus, pun mungkin juga menggunakan bahasa kasar, dan itu menjadi baik apabila sesuai dengan situasi dan kondisinya itu, namun belum tentu benar, jika tidak sesuai dengan tata bahasa, tata kalimat, tata makna, tata suara, dan seterusnya.
Saya tulis, bahwa UUBS itu tatakrama bahasa. Untuk sementara, saya tidak akan memberi ilustrasi dengan bahasa Sunda. Begini saja, dalam bahasa Indonesia, kita punya kata “kamu”, “(di)kau”, “a(na/din)nda”, juga “saudara” untuk menyebut orang yang diajak bicara (orang kedua tunggal). Coba perhatikan, di antara kata-kata itu, kata manakah yang dipakai para anggota DPR RI dari Komisi III saat mereka melalukan uji kepatutan dan kelayakan calon KAPOLRI atau calon ketua KPK kemaren-kemaren itu? Adakah di antara mereka yang sempat menggunakan kata “kamu”? Rasanya tidak. Malah mereka lebih sering menggunakan kata “bapak”.
Ini memang berhubungan dengan situasi; berhubungan dengan kedudukan; berhubungan dengan usia, dan seterusnya. Yakinlah, para Anggota Dewan itu bukan berarti tabu menggunakan kata “kamu”, sebab di luar situasi itu, bahkan terhadap orang yang sama, mungkin juga mereka memakainya. Apalagi terhadap teman dekatnya, atau malah terhadap anaknya sendiri sambil marah-marah.
Itukah undak-usuk bahasa Indonesia? Bukan! Enak ajabilang undak-usuk bahasa Indonesia! Kualat lho! Gue mah cuman pemilihan diksi aza. Wew! Ini mah hanya berhubungan dengan istilah bahasa yang tepat dan sesuai. Atau, Anda boleh menyebutnya tingkat tutur. Hahaha…! Tujuan saya, sekedar ingin menegaskan kepada Anda bahwa undak-usuk bahasa itu adalah tatakrama bahasa atau sopan-santun bahasa. Nyatanya, istilah “tatakrama basa” lebih sering saya dengar dari orang tua dan guru-guru ketimbang istilah “undak-usuk”.
Mengapa harus saya tegaskan? Ya, sebab Anda menganggap UUBS itu sebagai jelmaan masyarakat peodalistik. Menurut Anda, UUBS itu cerminan masyarakat yang kastaistik; katalistik, tidak pancasilais; tidak adil, tidak egaliter, tidak demokratis, membeda-bedakan derajat sosial, dan seterusnya. Kata Anda, arék ka Pangéran, arék ka présidén, arék ka kolot sorangan atawa ka guru, arék ka anak, arék ka sato, geus wé sebutkeun “you”. Naha jeung maké kudu pilih-pilih kecap: “manéh”, “anjeun”, “sia”, “silaing”, “salira”, “andika”, “sadérék”, “pangersa” …
Ya, bagi sebagian orang, tentu hal di atas bisa dimengerti. Lebih-lebih jika mereka paham akan sirah asal-usul UUBS itu sendiri. Tapi di zaman ini, pada saat orang Sunda sudah tidak ingat akan sejarah kelahiran UUBS; pada saatsebagian besar orang Sunda sudah terbiasa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari,mereka mungkin saja bilang kebalikannya. Bahwa UUBS adalah cerminan masyarakat yang santun; yang tahu akan tatakrama; yang pandai menggunakan bahasa. Dalam bahasa Sunda sendiri ada ungkapan, peribahasa, dan pameo: “Hadé ku omong goréng ku omong”, “Abong biwir teu diwengku, abong létah teu tulangan”, “Létah mah leuwih seukeut manan pedang”, dst.
Bagi saya pribadi, rasanya sangat kararateug atau kurang ajar kalau harus menggunakan bahasa kasar/loma saat berbicara dengan para orangtua atau kepada guru-guru saya. Bukan karena semata-mata saya takut dianggap tidak sopan dan calutak, tetapi juga karena saya sudah terbiasa dan diajarkan sejak kecil untuk menggunakan bahasa halus. Tentu saya sangat menghormati orang tua, para guru, dan pemimpin-pemimpin saya, dan salah satu ekspresi penghormatan saya adalah dengan cara menggunakanbahasa sedang dan bahasa halus yang sudah diajarkan oleh orang tua itu. Andaikan saja dulu saya tidak menerima pelajaran ini, tentu kenyataannya sekarang ini mungkin akan berbeda.
Bagi Anda? Ya, terserah Anda. Kalau Anda penutur bahasa Sunda dan mengetahui atau pernah diajari UUBS, kiranya Anda akan sama dengan saya. Kalaupun Anda tidak mau menggunakan UUBS padahal Anda tahu, ya terserah Anda. Kalaupun Anda tidak mau menggunakan bahasa Sunda padahal Anda bisa, ya terserah Anda! Kuma sia bé lah! Bahasa itu kan cuman alat. Ya, kalau memang ada alat yang lebih baik dan tepat guna… Hahahaha…!
Namun demikian, saya bisa memastikan, Anda akan merasa tidak sopan dan mau sopan untuk, misalnya saja, menggunakan kata-kata “Allah berfirman…” atau “Nabi bersabda…”, saat menggunakan bahasa Indonesia, dan bukannya menggunakan “Allah berkata…” atau “Nabi berujar…”. Itu, jika Anda sudah tahu bahwa dalam bahasa Indonesia, terdapat pula kata “sabda” dan “firman”, yang maknanya sama dengan kata-kata pada ungkapan kedua. Hal demikian berbeda dengan ketika Anda menggunakan, misalnya, bahasa Arab atau bahasa Inggris.
Mengapa Anda begitu? Gak tau! Mengapa pula saya menulis ini? Gak tau. Trus, maksudnya? Ya, gak tau!Pikirin aja sendiri! Wew! Gila lo! Emang!
Gak, maksud gue gini! Gue cenderung menganggap UUBS itu sebagai tatakrama atau sopan santun. Itu aza! Gue gakpernah kepikirin kalau adanya UUBS itu sebagai cerminan masyarakat peodalistik!!! Hahahahahaha….!!! Kaciannn… deh gue!!!
“Trus?”
“Apanya yang trus? Gue gak lagi markirin sepeda, tau!?”
“Tau banget lah! Loe emang orang gila!”
“Suka-suka gue aza! Loe gak rugi, kan?”
“Rugi. Gue rugi banget baca tulisan loe yang gak penting!!!”
“Haha…! Salah sendiri…!!! Tulisan gak penting, dibaca!? Mau gue betulin, gak?”
“Tau ah!”
“Ntar gue betulin ya! Gue mau naheur cai heula! Hanaang euy. Euweuh nu dagang cai liwat! Ari nginum ciatah, bisi nyeri beuteung!”
“Parah!!!”
Sumber: http://angade.my.id/pengertian-undak-usuk-bahasa-sunda/