Maaf karena internet terputus, maka kalimata terakhir terputus dan suda ditambah sambungannya.
-
--- Pada Rab, 23/3/11, Dian Abraham <diana...@yahoo.com> menulis:
Teman-teman,
Debat ini menurut saya sebaiknya dihentikan
sebelum masyarakat semakin bingung. Minimal kawan dari Walhi Yogya menahan diri.
Lebih bagus lagi bila kawan2 mengaku salah paham dan menjernihkannya supaya publik juga tahu bahwa Sultan juga punya kesalahpahaman yang sama.
Kedua pihak sama2 tidak tahu bahwa reaktor riset di Yogya berbeda amat sangat besar
dengan PLTN dan termakan oleh kampanye BATAN (waktu gempa Yogya dulu). Hanya
karena keduanya sama2 bernama ”reaktor nuklir” maka kedua pihak berasumsi bahwa risiko
dan dampaknya sama, atau minimal mirip.
Saya pribadi tidak terlalu khawatir soal
keselamatan reaktor riset Yogya itu terkait dengan gempa dibandingkan
kekhawatiran bila ada PLTN di Indonesia (tanpa faktor gempa sekalipun). Saya
lebih takut adanya kesalahan penanganan bahan radioaktif dan limbah radioaktif
dari reaktor riset itu. (Mungkin ada yang bisa menggambarkan soal ini, apakah
kekhawatiran ini wajar terhadap suatu reaktor riset).
Saya khawatir jika debat ini dibiarkan terus, publik
akan terlanjur menganggap Indonesia hebat dalam menangani PLTN (seperti yang
diinginkan BATAN dkk) hanya karena reaktor riset itu tidak ada masalah saat
gempa (walaupun ini juga hanya benar secara relatif karena faktanya ada
keretakan pada reaktor itu). BATAN dkk pasti senang kita berdebat soal ini
karena pada akhirnya yang terbukti benar adalah pendapat mereka bahwa RR itu aman dari gempa. Akhirnya publik
jadi semakin yakin bahwa itu berarti BATAN juga sama hebatnya jika diberi
kesempatan mengelola PLTN.
Sebenarnya saya berharap mereka yang ahli secara teknis dalam bidang ini bisa menjelaskan kepada publik. Tapi karena tidak ada, saya memberanikan diri untuk menjelaskan kepada kawan2 apa yang saya pahami.
Reaksi nuklir ada dua macam yaitu fisi (pembelahan inti atom) dan fusi (penggabungan inti atom). Karena yang dipakai di hampir seluruh reaktor nuklir adalah reaksi fisi, maka yang dibicarakan biasanya adalah teknologi fisi ini.
Reaksi nuklir fisi yang berlangsung di dalam reaktor menghasilkan tiga hal:
- terbelahnya inti atom (yang menjadi
berbahaya karena bersifat radioaktif),
- neutron, dan
- panas.
Reaktor nuklir untuk
keperluan riset (selanjutnya kita sebut saja RR) tidak membutuhkan panas itu melainkan
kedua hal yang pertama, yakni untuk keperluan penelitian, kedokteran, dll. Sebaliknya,
reaktor nuklir untuk keperluan komersial (alias PLTN) justru membutuhkan
panasnya. Neutron juga dibutuhkan PLTN karena digunakan untuk ”menembak” inti
atom uranium lainnya. Tetapi sebelum bisa dipakai ”menembak”, neutron itu harus
diperlambat lajunya dengan bahan tertentu yang dapat memperlambatnya, misalnya
air (di Fukushima) atau grafit (di Chernobyl). Sedangkan inti atom2 yang
bersifat radioaktif itu mau tidak mau menjadi limbah tingkat tinggi.
Jadi
perbedaan utamanya adalah bahwa pada RR panasnya dibuang begitu saja, di PLTN
justru dibutuhkan yakni untuk mendidihkan air supaya menghasilkan uap yang
kemudian dipakai menggerakkan turbin dan seterusnya hingga membangkitkan
listrik. Tapi persoalannya, mengelola panas yang sangat besar ini ternyata
tidak gampang. Jadi di setiap PLTN (bukan cuma di Fukushima), ketika PLTN harus
mati otomatis karena keadaan bahaya (misalnya kebakaran) atau bencana (gempa,
dll), saat itu juga harus ada proses pendinginan reaktor. Kalau dibiarkan,
panas itu tidak akan mendingin dengan sendirinya, bahkan akan melelehkan apa
saja, termasuk bahan bakar nuklir di inti reaktor itu. Ini beda dengan panas
karena ada nyala api. Kalau
seperti ini, setelah api dimatikan, panasnya pasti akan turun dengan
sendirinya.
Karena pada RR panas itu dibuang/dilepaskan begitu saja (dan
reaktornya dapat dimati-hidupkan sesuka hati si penggunanya) maka infrastruktur
di RR tidak rumit dan berisiko (kecuali risiko terpajan bahan radioaktif
tentunya). Tidak ada misalnya
jaringan pipa yang siap dialiri air pendingin untuk mendinginkan reaktor. Begitu
pula, tidak ada air dalam jumlah besar yang perlu disiapkan untuk itu. Itu
sebabnya RR tidak perlu berada di tepi sungai atau tepi laut. RR bisa di tempat
yang ”kering” seperti pusat kota di Yogya atau di Serpong.
Jadi tidak ada
risiko salah desain reaktor seperti besarnya pipa air pendingin ternyata lebih kecil
dari kebutuhan air pendinginnya yang sifatnya fatal karena jika terjadi
kecelakaan dan reaktor mati, air yang mengalir tidak cukup banyak untuk
mendinginkan reaktor (salah desain ini terjadi di AS, tapi saya lupa persisnya PLTN mana). Juga
tidak ada risiko katup yang macet atau pipa yang retak (karena gempa), dll.
%0 |
|
|
Jadi ketiadaan
panas yang harus dikelola membuat persoalan di RR tidak sebanding dengan PLTN. Kalau
lebih rumit mungkin iya (seperti klaim BATAN, walaupun rasanya ini juga
berlebihan mengingat PLTN misalnya harus merawat pipa2 yang mengalirkan air,
panas, dll dari bahaya korosi, penuaan, retak akibat gempa, dll, jadi
seharusnya perawatannya justru lebih rumit). Tapi berbahaya? Tidak. Atau
tepatnya, tidak seberbahaya PLTN.
Setahu saya, baru satu RR di dunia ini yang
mengalami kecelakaan, yaitu di Norwegia, sekitar 2-3 tahun lalu. Saya lupa
detilnya (dan saya harus cari2 lagi data itu di file).
Jadi, kalaupun bangunan RR itu
hancur karena gempa, tapi saya tetap yakin inti reaktornya yang di dalamnya ada
bahan bakar nuklirnya tetap kuat (ingat bahwa kotak hitam di pesawat sebegitu
kuatnya sehingga kalau terjadi ledakan di pesawat atau terbanting dari
ketinggian ribuan meter kotak itu tetap tidak hancur). Jadi kalau cuma membuat
inti reaktor yang tahan terhadap gempa ya tidak akan susah. Beda dengan PLTN
yang ketika ada bagian reaktor yang hancur, atau gagal berfungsi, maka bisa berpengaruh
besar pada proses pendinginan reaktor yang bisa fatal akibatnya.
Singkatnya, potensi
kecelakaan PLTN bukanlah pada ketidakpercayaan pada kekuatan inti reaktor
(misalnya takut bocor karena gempa), tapi - salah satunya - pada salah/gagalnya pengelolaan panas
yang ribuan Celcius itu yang dapat berdampak pada inti reaktor tsb. Dan ini tidak ada di RR pada umumnya (termasuk Yogya).
salam, aam
|