Pak Prabowo,
Ingatkah Anda di dalam salah satu debat Anda mengatakan “kali ini saya tak akan mendengarkan nasihat tim saya.”
Anda mengatakan tim Anda menyarankan tak boleh setuju dengan apapun
yang dikatakan pak Jokowi. Tetapi saat itu Anda tak mengindahkan saran
mereka. Anda turun dari podium, menghampiri Jokowi dan menyalaminya
seraya mengatakan Anda setuju dengan konsep Ekonomi Kreatif yang
diutarakannya.
Pak Prabowo, saat itu, saya tersentuh dan lantas menyimpulkan, Anda seorang yang sportif dan akan mengakui kelebihan lawan.
Tetapi tanggal 9 Juli mengatakan kenyataan yang lain.
Kali ini, saya meminta Anda
untuk kembali tidak mendengarkan suara apapun di sekeliling Anda; untuk
hanya mendengarkan suara hati Anda yang paling dalam: bahwa
sesungguhnya enam lembaga yang menyatakan perolehan angka Jokowi-JK
berada di atas perolehan angka Anda dan Hatta adalah sebuah hasil yang
sah dan bisa dipercaya. Saya memohon Anda untuk menjenguk dan
menyentuh hati yang paling dalam. Jangan diganggu suara lain; jangan
terganggu suara bising; jangan biarkan hati Anda disentuh apapun barang
seusapan.
Saya yakin, Anda, seperti kita
semua sebetulnya tahu apa yang tengah terjadi. Saya yakin Anda akan
melakukan yang terbaik sebagai negarawan dan patriot sejati; sebagai
orang yang sangat mencintai Indonesia, yang tak ingin Indonesia terpecah
belah. Saya percaya, Anda tak ingin masyarakat Indonesia gelisah
berkepanjangan karena masalah kepemimpinan yang serba tak pasti dan
terulur-ulur. Saya percaya anda cukup peka dan cerdas yang mengetahui
fakta yang sesungguhnya.
Pak Prabowo, kemenangan Jokowi-JK bukan berarti kekalahan Anda.
Kemenangan mereka adalah kemenangan kita semua, karena artinya Anda juga
menjadi bagian yang mendirikan tiang demokrasi Indonesia. Kami semua
menanti langkah damai dari Anda untuk menjadi seorang negarawan yang
sportif yang sekali lagi menyatakan “kali ini saya tak akan mendengarkan
tim saya. Saya akan mengakui Jokowi-JK yang akan memimpin negeri
ini….”
Dan itu berarti Anda, tim Anda, kita semua, adalah pemenang dalam demokrasi Indonesia.
Leila S. Chudori