Dalamkajian kebudayaan, nilai merupakan inti dari setiap kebudayaan. Dalam konteks ini, khususnya nilai-nilai moral yang merupakan sarana pengatur dari kehidupan bersama, sangat menentukan di dalam setiap kebudayaan. Lebih-lebih lagi di era globalisasi yang berada dalam dunia yang terbuka, ikatan nilai-nilai moral mulai melemah. Masyarakat mengalami multikrisis yang dimensional, dan krisis yang dirasakan sangat parah adalah krisis nilai-nilai moral. Situasi ini mengisyaratkan bahwa diskursus tentang moralitas masih tetap relevan bahkan urgen dalam masyarakat kontemporer. Kitab suci sebagai salah satu sumber moralitas memiliki peranan strategis untuk mendonasikan ide-ide moral sebagai referensi teoritik untuk beranjak dari krisis saat ini, termasuk Teks Slokantara.
Pada sebuah museum di Konstantinopel terdapat koleksi benda kuno berupa lempengan tanah liat berasal dari tahun 3800 sebelum masehi, yang bertuliskan : We haven fallen upon evil times and the world has waxed very old and wicked politics are very corrupt. Children are no longer respectfull to their parent. Makna yang terkandung dalam tulisan tersebut adalah kita mengalami zaman edan dan dunia telah diliputi kemiskinan dan kejahatan. Politik sangat korupsi. Anak-anak sama sekali tidak hormat kepada orang tuanya (Zuriah, 2008:1).
Situasi yang tergambar dalam lempengan tanah liat yang tersimpan dalam museum di Konstantinopel itu ternyata sejalan dengan situasi yang terjadi paling tidak hingga abad ini, bahkan mengindikasikan adanya peningkatan yang sangat signifikan. Kondisi ini dilukiskan dengan baik oleh Capra yang mengatakan bahwa kita telah menemukan diri kita telah berada dalam suatu krisis global yang serius, krisis yang kompleks dan multidimensional yang menyentuh semua aspek kehidupan. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, spiritual, yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah umat manusia. Krisis ini telah menjadi ancaman terhadap kelangsungan keberadaan ras manusia di planet bumi (Capra, 2000:3). Zuchdi (2009:34) menyebut krisis ini sebagai cacat budaya.
Dalam kajian kebudayaan, nilai merupakan inti dari setiap kebudayaan. Dalam konteks ini, khususnya nilai-nilai moral yang merupakan sarana pengatur dari kehidupan bersama, sangat menentukan di dalam setiap kebudayaan. Lebih-lebih lagi di era globalisasi yang berada dalam dunia yang terbuka, ikatan nilai-nilai moral mulai melemah. Masyarakat mengalami multikrisis yang dimensional, dan krisis yang dirasakan sangat parah adalah krisis nilai-nilai moral. Pendidikan di seluruh dunia kini sedang mengkaji kembali perlunya pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti atau pendidikan karakter dibangkitkan kembali. Hal ini bukan hanya dirasakan oleh bangsa dan masyarakat Indonesia, tetapi juga negara-negara maju. Bahkan, dinegara-negara Industri di mana ikatan moral menjadi semakin longgar, masyarakatnya mulai merasakan perlunya revival dari pendidikan moral yang pada akhir-akhir ini mulai ditelantarkan. Di Amerika serikat, serta di masyarakat Indonesia dewasa ini muncul tuntutan untuk menyelenggarakan pendidikan budi pekerti atau pendidikan moral, yang didasarkan atas tiga hal, yaitu : (1) Melemahnya ikatan keluarga; (2) Kecenderungan negatif di dalam kehidupan remaja dewasa ini; (3) Suatu kebangkitan kembali dari perlunya nilai-nilai etika, moral dan budi pekerti dewasa ini. Telah timbul suatu kecenderungan masyarakat yang mulai menyadari bahwa dalam masyarakat terdapat suatu kearifan mengenai adanya suatu moralitas dasar yang sangat esensial dalam kelangsungan hidup bermasyarakat (Zuriah, 2008:10-11).
Kitab Suci memiliki peranan fundamental dalam kehidupan manusia. Dari sanalah perihal tatanan tingkah laku, moralitas, pertanyaan-pertanyaan metafisik manusia tentang eksistensi alam, manusia dan Tuhan dijabarkan. Karenanya, keberadaan kesusastraan (termasuk kitab suci) dianggap sangat penting dibandingkan dengan peninggalan yang lain (Soebadio, 1991:1).
Weda merupakan kebenaran abadi yang diwahyukan Tuhan. Buku tertua dalam kepustakaan umat manusia. Kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam semua agama diperoleh dari Weda dan akhirnya dapat ditelusuri menurut Weda. Weda merupakan sumber utama dari agama. Sumber tertinggi dari semua sastra agama, berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, Weda diwahyukan pada permulaan adanya pengertian waktu (Sivananda, 2003:13-14).
Weda mengandung ajaran yang memberikan keselamatan di dunia ini dan di akhirat nanti, memberi tuntunan tindakan umat manusia sejak lahir sampai pada nafasnya yang terakhir. Ajaran Weda tidak terbatas hanya sebagai tuntunan hidup individual, tetapi juga dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bagaimana hendaknya seorang atau masyarakat bersikap dan bertindak, tugas-tugas indivudu dan tugas-tugas umum sebagai anggota masyarakat, demikian pula bagaimana seorang rohaniawan bertingkah laku, tugas dan kewajiban kepada negara atau pemerintah dalam mengemban tugasnya. Segala tuntunan hidup ditujukan kepada kita oleh ajaran Weda yang terhimpun dalam kitab-kitab Samhita, Brahmana, Aranyaka dan Upanisad, maupun yang dijelaskan kembali dalam kitab-kitab susastra Weda atau susastra Hindu lainnya (Titib, 2003:19-20).
Weda adalah sumber dari segala dharma, yakni agama, kemudian barulah smrti, di samping sila (kebiasaan atau tingkah laku yang baik dari orang yang menghayati dan mengajarkan Weda), acara yakni tradisi-tradisi yang baik dari orang-orang suci (sadhu) atau masyarakat yang diyakini baik serta akhirnya atmanastusti, yakni rasa puas diri yang dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ngurah, 1999:39).
Mengingat betapa pentingnya Weda dalam kehidupan manusia, khususnya umat Hindu, maka dipandang penting untuk menyebarkan kebenaran ini agar dapat dimengerti sebagai pengetahuan yang paling elementer, seperti yang tertuang dalam Yajurveda XXVI.2, sebagai berikut :
Hendaknya disampaikan sabda suci ini kepada seluruh umat manusia, cendikiawan-rohaniawan, raja/pemerintah/masyarakat. Para pedagang, petani dan nelayan serta para buruh, kepada orang-orangku dan orang asing sekalipun (Titib, 2003:3).
Sri Krisna, sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, dalam Bhagawadgita XVI.24, juga menyerukan agar manusia senantiasa menjadikan kitab Suci Weda sebagai pedoman bertingkah laku, demikian sabda Beliau :
Karena itu, biarlah kitab-kitab suci menjadi petunjuk untuk menentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan; setelah mengetahui apa yang dikatakan dalam aturan kitab suci engkau hendaknya mengerjakannya di sini (Pudja, 1999:384).
Di Indonesia, banyak terdapat pustaka-pustaka lontar kuno yang substansinya adalah penjabaran ajaran Weda. Sayangnya, sebagian besar umat Hindu belum dapat mempelajari secara mendalam isi lontar tersebut, mengingat lontar-lontar tersebut menggunakan bahasa Jawa Kuno dan memerlukan upaya terjemahan lebih lanjut. Menyadari betapa pentingnya sosialisasi terhadap isi lontar-lontar tersebut kepada khalayak luas, Parisadha Hindu Dharma Indonesia Pusat telah melakukan upaya terjemahan lontar-lontar tersebut.
Teks Slokantara merupakan salah satu pustaka lontar yang telah diterjemahkan, namun belum dikenal secara luas. Teks ini diyakini telah ada sejak ratusan tahun yang lalu, diperkirakan bahwa disusunnya Teks Slokantara ini pada zaman Majapahit akhir, yakni setelah Pustaka Suci Sarasamuccaya dan Nitisastra, mengingat isi dari Teks Slokantara memiliki banyak persamaan slokanya dengan kedua pustaka suci tersebut, Pada tahun 1961, Teks Slokantara diputuskan dalam Piagam Campuan sebagai salah satu Pustaka Suci Smerti (Sudharta, 2003:1-2).
Sebagai bagian dari Weda, Teks Slokantara memiliki ekualitas subtansial dengan nilai-nilai Weda pada umumnya, termasuk nilai-nilai moral. Tulisan ini dimaksudkan mengungkap dan memperkenalkan nilai-nilai yang terkandung, utamanya nilai-nilai moral sebagai referensi tindakan umat. Mengingat ruang yang terbatas serta menghindari pembahasan yang terlalu luas, maka penyajiannya akan disederhanakan sedemikian rupa tetapi tetap diupayakan untuk tidak mereduksi makna yang hendak disampaikan.
Salah satu idenya dalam hermeneutika adalah universal hermeneutic. Dalam gagasannya, teks agama sepatutnya diperlakukan sebagaimana teks-teks lain yang dikarang manusia. Pemikiran Schleiermacher dikembangkan lebih lanjut oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911), seorang filosof yang juga pakar ilmu-ilmu sosial. Setelahnya, kajian hermeneutika berbelok dari perkara metode menjadi ontologi di tangan Martin Heidegger (1889-1976) yang kemudian diteruskan oleh Hans-Georg Gadamer (1900-1998) dan Jurgen Habermas (1929) (Prilakusuma, 2012:5).
1. Menyangkut kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik/buruk, benar/salah, tepat/tidak tepat.
2. Sesuai dengan kaidah-kaidah yang diterima menyangkut apa yang dianggap benar, bajik, adil dan pantas.
3. Memiliki a) kemampuan untuk diarahkan oleh (dipengaruhi oleh) keinsafan akan benar dan salah, dan b) kemampuan untuk mengarahkan (mempengaruhi) orang lain sesuai dengan kaidah-kaidah perilaku yang dinilai benar atau salah.
4. Menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:929) moral didefinisikan sebagai : (1) Ajaran tentang baik burukyang diterima umum mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti, susila; (2) Kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan; (3) Ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita.
Terkait dengan moralitas Wiranata menyatakan bahwa nilai-nilai moral itu secara umum mempunyai beberapa ciri, diantaranya adalah :
1. Moral selalu terkait dengan tanggung jawab manusia. Dalam hal ini apapun yang dilakukan oleh manusia selalu harus dapat dipertanggung jawabkan. Nilai moral membawa konsekwensi benar-salah, baik-buruk, karena manusia itu sendiri adalah sumber dari nilai moralnya.
2. Moral selalu berkaitan dengan hati nurani manusia. Hati nuranilah yang menghimbau manusia untuk berbuat sesuatu. Kalau manusia ingin perbuatannya dinilai baik atau buruk,benar atau salah, maka manusia harus mengendalikan hati nuraninya. Jika hati nuraninya baik dan bersih, maka perbuatannya akan menjadi layak dan patut, sedangkan jika hati nuraninya penuh kedengkian, maka perbuatannya punakan sama buruknya.
3a8082e126