Bersyukur Adalah Tampilan Nyata Orang Beriman
Tidak jarang orang memahami istilah “syukur” itu sedemikian
sederhana dan pragmatis. Seolah-olah kalau ada orang mau berterima kasih
kepada Allali SwT dan mengucapkan lafal “al-hamdu li- ’llaahi
rabbi-’l-’aalamiin” sudah dianggap cukup untuk disebut sebagai orang
yang “bersyukur”. Apakah demikian itu pengertian “syukur” kalau dilihat
dari perspektif orang beriman?
Dari perspektif orang beriman, bangunan atau struktur tampilan “syukur”
itu memiliki 2 (dua) komponen inti, yaitu komponen “kesadaran memiliki
Tuhan” dan komponen “kesadaran mengelola diri sendiri”. Setiap komponen
inti tersebut memiliki subkomponen yang mau tidak mau harus ada dan
harus dimunculkan. Bagaimana penjelasan rincinya?
Komponen inti yang pertama, yaitu “kesadaran memiliki Tuhan”. Kesadaran
ini sungguh-sungguh penting. Bahwa dalam hidup ini perlu disadari adanya
pihak yang senantiasa menemani. Tetapi sekaligus mengawasinya, yaitu
Tuhan, Allah SwT.
Bagi orang beriman, karena dia selalu merasa ditemani dan diawasi oleh
Tuhan, Allah SwT, maka apa pun yang diusahakan dan dikerjakan merasa
dirinya bukan satusatunya yang berusaha atau bekerja. Temannya dan
pengawasnya, yaitu Allah SwT ikut andil besar terhadap keseluruhan usaha
dan pekerjaannya itu. Karena itu, komponen inti yang pertama, yaitu
“kesadaran memiliki Tuhan” mengandung subkomponen yang jumlahnya 2 (dua)
saja, yaitu: “sadar berterima kasih” dan “sadar untuk terus
berdoa/memohon” .
Kalau di atas dikatakan bahwa setiap usaha dan pekerjaan itu terdapat
andil dari Allah SwT. Sekarang pertanyaannya adalah “apakah Allah SwT
memerlukan bagian dari keberhasilan tersebut?” Hal ini dijawab sendiri
oleh Allah SwT lewat Al-Qur’an yang berbunyi (Q.s. Luqman [31]: 12): wa
man yasykur fa innamaa yasykuru li nafsihi wa man kafara fi
inna-‘l-laahaa ghaniyyun hamiidun = Dan barangsiapa bersyukur (kepada
Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya (sendiri), dan
barangsiapa kufur (tidak bersyukur), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya
dan Maha Terpuji. Dengan pernyataan ayat ini, jelas ditunjukkan bahwa
Allah SwT tidak minta bagian. Sebab Allah SwT adalah Dzat yang sudah
Maha Kaya (ghaniyyun) dan yang sudah sangat Maha Terpuji. Karena itu,
Allah SwT sudah tidak membutuhkan apa pun, termasuk pujian.
Selanjutnya, komponen inti yang kedua, yaitu “kesadaran mengelola diri
sendiri”. Kesadaran ini sungguh-sungguh penting pula. Bahwa hidup kita,
umatmanusia, senantiasa dipenuhi oleh bermunculannya keinginan.
Keinginan yang paling tampak adalah keinginan memiliki dan keinginan
menikmati. Keinginan memiliki ini meliputi jumlah/ kuantitas (misalnya
tabungan uangnya banyak, rumahnya banyak, tanahnya luas, perusahaannya
beranak-pinak, kesehatannya prima, dan sebagainya) dan mutu/ kualitas
(misalnya terlihat indah, terdengar merdu, terbau harum, terasa
enakmenyelerakan, terasa halus-empuk, terasa nyaman badan, terasa
segar-bugar, terasa gembira-menyenangkan, terasa menyejukkan-
menenangkan, dan sebagainya). Kalau berbagai keinginan ini dibiarkan,
maka orang akan tergulung dan dipermainkan o.leh “sang keinginan” itu
sendiri. Pada hakikatnya, justru keinginan itu sekedar energi dan
semangat untuk melakukan gerak, usaha, dan bekerja, bukan sebagai
tujuan. 0leh sebab itu, kalau sampai terjadi “sang keinginan” menjadi
tujuan atau penyetirnya, maka kondisi seperti itu benarbenar terbalik
secara hakiki.
Agar apa yang disebut “keinginan” di atas berjalan sebagaimana mestinya,
wajar, dan proporsional, maka perlu 2 (dua) hal, yaitu: “membatasi
medan keinginan” dan “menikmati secara maksimal hal yang dihadapi”. Yang
dimaksud dengan “membatasi medan keinginan” ini adalah bahwa
bertambahnya jumlah keinginan itu tidak terbatas. Apa saja diingini,
terutama yang menyangkut keinginan “memiliki” dan “menikmati”.
Pembatasannya adalah dengan memilah dan memilih, mana keinginan yang
benar-benar perlu. Untuk proses memilah dan memilih ini faktor penalaran
harus difungsikan, bukan faktor perasaan yang menjadi acuan. Inilah
yang disinggung Al-Qur’an sebagai berikut (Q.s. Al-A’raf [7]: 31): wa
kuluu wa’asy-rabuu wa laa tusrifun innahu laa yuhibbu-‘l-musyrifiina =
Dan makanlah serta minumlah dan janganlah kamu berlebih-lebihan,
sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orangorang yang
berlebih-lebihan.
Berkaitan dengan komponen inti yang kedua di atas, maka subkomponen yang
harus ada adalah “membatasi medan keinginan” dan “menikmati secara
maksimal hal yang dihadapi”. Dua subkomponen ini perlu dilatihkan dan
dibiasakan.
Berdasarkan uraian menyeluruh di atas, maka bagi seorang yang beriman,
pengertian “syukur” yang perlu diresapi adalah bahwa dalam perjalanan
hidup ini perlu “kesadaran memiliki Tuhan” (komponen inti yang pertama)
dan “kesadaran untuk mengelola diri sendiri” (komponen inti yang kedua).
Kesadaran memiliki Tuhan akan mempertajam “rasa terima kasih” dan
“menyatakan doa dan permohonan” kepada Tuhan. Selanjutnya, kesadaran
mengelola diri sendiri akan mempertajam “pembatasan medan keinginan” dan
kesanggupan “menikmati secara maksimal hal yang dihadapi”. Jadi,
bersyukur tidak sekedar mengucapkan hamdalah (“al-hamdu li-’llaahi
rabbi-’l-’aalamiin”) saja. Perlu lebih dalam daripada itu. Bagaimana
dengan Anda selama ini?l