Buku Rekayasa Sosial Pdf

0 views
Skip to first unread message

Kandy Swartzel

unread,
Aug 5, 2024, 10:57:45 AM8/5/24
to maiticare
RekayasaSosial: Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar (1999) menghimpun kuliah Jalaluddin Rakhmat sejak akhir 1980-an hingga 1990-an di hadapan mahasiswa dan aktivis LSM. Buku ini memberi gambaran pemikiran Jalaluddin pada masa awal Reformasi.

Bukuini memberi gambaran umumtentang gagasan Jalaluddinmenjelang dan setelahReformasi 1998. Jalaluddin sendiri pribadi cukup kaya dan menarik. Sebagai ilmuwansosial, terutama komunikasi, dia menulis PsikologiKomunikasi, buku yang menjadirujukan utama mahasiswa psikologi dan komunikasi. Aktivitasakademik tak menghentikannya menjadi cendekiawan muslim. Dia kerapmelontarkan gagasan baru dalam wacana keislaman. Usaireformasi, Jalaluddin lebih lekat dengan citra sebagaipemimpin organisasi muslim.Dia sempat melipir ke jalur politik menjadi politisi di DPR(2014-2019) dariPartai Demokrasi Indonesia Perjuangan.


Fallacyof Restrospective Determinism:ini kecenderungan untuk berargumen bahwa masalah sosial yang adasekarang sudah ada sejak dulu, sehingga tak bisa dihindari. Misalnya,karena sudah ada sejak zaman baheula,maka pelacuran tak bisa dibasmi. Yang bisa kita lakukan hanyamelokalisasinya, agar dampak-dampaknya tidak meluas. Argumen sepertiini melihatmasalah sosial sebagai sesuatu yang sudah ditakdirkan (determined)dengan melihat ke masa lalu.


Fallacyof Misplaced Concretness:kerancuan berpikir ini muncul karena seseorang mengkonkretkan sesuatuyang pada hakikatnya abstrak. Misalnya, jika terjadi bencana alamatau wabah, seorang pejabat mengatakan itu semua sudah takdir Tuhan.Dalam istilah logika, Jalaluddin menyamakan kerancuan berpikir inidengan reification,atau menganggap real sesuatuyang hanya berada dalam pikiran kita. Argumentasi seperti ini,menurut Jalaluddin, membuat kita tak mampu merumuskan solusi konkret.Persoalan atau pembahasannya selesai sampai di situ. Olehsebab itu, pemikiran seperti ini kita sebut intellectual cul-de-sac(hal. 16).


Argumentumad Verecundiam: berargumendengan menggunakan otoritas, padahal otoritas itu tak relevan atauambigu. Misalnya, orang berargumen dengan mengutip teks suci demimembela kepentingannya. Padahal, yang dia ajukan sebenarnya bukanotoritas teks suci itu tapi pemahamannyaakan teks suci. Sebab, oranglain belum tentu memahami teks suci seperti pemahamannya. Inilah yangdisebut dengan otoritas ambigu. Orang yang mengutip teks suci demimembenarkan argumennya, menurut Jalaluddin, memiliki tendensi untukmembungkam lawan bicaranya. Kalau lawan bicaranya membantah, dia akanmengkafirkannya. Padahal, yang lawan bicaranya bantah bukanlahotoritas teks suci itu tapi penafsirannya. Kalaupunmengutip teks suci, seseorang bisa mengatakan, menurutsaya, sehingga ia membuka bagikemungkinan adanya penafsiran dan pemahaman berbeda. Ia tak mengklaimotoritas itu untuk diri dan kepentingannya sendiri.


Fallacyof Composition:kecenderungan untuk berasumsibahwa yang baik dan manjur bagi seseorang atau sekelompok orangadalah juga pasti baik dan manjur bagi yang lain secara keseluruhan.Contohnya bisa dilihat dalam banyak fenomena sosial. Misalnya, ketikasatu atau sekelompok orang sukses menjadi ojek, makaberbondong-bondong orang beralih profesi menjadi ojek.


CircularReasoning: argumenberputar, yakni menggunakan kesimpulan untuk mendukung asumsi, yangkemudian menujukkepada kesimpulan semula. Jalaluddin mengajukan contoh dalam dialogberikut.


Selainkerancuan atau kebuntuan berpikir, mitos sosial, menurut Jalaluddin,juga bakal menghambat perubahan sosial melalui rekayasa sosial. Mitostersebut dia bagi dua, yakni (1) mitos deviant; dan (2) mitostrauma.


Mitosdeviant: ini berawal dari pandangan fungsionalismestruktural, yakni bahwa masyarakat itu stabil, statis, dan tidakberubah. Segala sesuatu dalam masyarakat memiliki fungsi danmanfaatnya. Jika terjadi perubahan, maka perubahan itu dipandangsebagai penyimpangan terhadap stabilitas. Orang miskin dikatakantetap memiliki fungsi di masyarakat. Orang miskin berfungsi melakukanpekerjaan kotor dan berbahaya yang tak mungkin dilakukan orang kaya.Jadi, menurut pandangan ini, mengentaskan kemiskinan berpotensimengganggu stabilitas masyarakat.


Jalaluddinberpendapat, fungsionalisme struktural tak bisa digunakan untukmenganalisis dinamika sosial. Jika menggunakan fungsionalismestruktural, kita justru akan menjadi anti-perubahan dan pro-statusquo.


Mitostrauma: inimengatakan bahwa setiap perubahan pasti mendatangkan krisis (trauma).Krisis ini lalu memicu reaksi anggota masyarakat. Reaksi itu padagilirannya bakal menimbulkan masalah sosial. Jadi, masalah sosialjustru terjadi karena perubahan sosial.


Mitosini didasarkan pada teori cultural lag(kesenjangan budaya) dari William F Ogburn dan Meyer F Nimkoff.Menurut keduanya, cultural lag terjadiapabila satu aspek kebudayaan mengalami perubahan sebelum atau dalamderajat yang lebih besar ketimbang yang terjadi pada aspek lain.Akibanya, terjadi ketakseimbangan dan ketaksesuaian dalam jalinankebudayaan.


Jalaluddinmembantah teori tersebut. Pertama, tak setiap perubahan menimbulkangoncangan. Ada perubahan yang malah disambut dengan gembira, danbahkan diharap-harap masyarakat. Kedua, perubahan akan ditolakmasyakat apabila mengancam basic security(rasa aman, rasa tenteram yang sangat dasar). Ancaman terhadap basicsecurity juga sangatbergantung kepada persepsi individu-individu dalam masyarakat.


Setiapperubahan sosial, menurutnya, memiliki sejumlah aspek: faktorpenyebab, agen, waktu atau durasi, dan juga dampak. Sepanjangsejarah, ada beberapa teori yang mencoba menetapkan sebab perubahansosial. Max Weber misalnya percaya bahwa perubahan sosial didorongoleh ide. Dalam The Sociology of Religion dan TheProtestant Ethic and the Spirit of Capitalism,Weber mengakui peran besar ideologi sebagai variabel independen bagiperkembangan masyarakat (hal. 47).


Teoriketiga berpendapat perubahan sosial didorong oleh sebuah gerakansosial (social movement).Organisasi-organisasi masyarakat madani, seperti lembaga swadayamasyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan yayasan bisa menjadipenggerak gerakan sosial ini.


Biasanyametode yang ditempuh adalah dengan mengubah struktur dan sistemekonomi. Karena itu, para pengusung developmentalisme lazim bersandarpada Ekonomi Klasik. Dan Orde Baru, menurut Jalaluddin, menjadikanEkonomi Klasik, khususnya Teori Pertumbuhan Rostow, sebagai cetakbiru pembangunan ekonomi Indonesia selama 32 tahun.


Terdapatsejumlah strategi untuk melakukan perubahan sosial. Pertama, strateginormative-reeducative.Normative adalah katasifat dari norm ataunorma, yang berarti aturan yang berlaku di masyarakat. Norma initerpatri dalam masyarakat melalui pendidikan. Karena itu, strategiini berupaya mengubah paradigma berpikir lama masyarakat danmenggantinya dengan yang barumelalui jalan reeducation(pendidikan-ulang). Strategi ini tentu saja tak langsung menunjukkanhasil karena bertahap.


Strategikedua adalah strategi persuasif. Strategi ini mencoba membentuk opinidan pandangan masyarakat. Dalam strategi ini, peran media massasangat besar. Seperti halnya strategi normative-reeducative,strategi persuasif ini juga akan berlangsung bertahap.


Namun,sebelum melakukan rekayasa sosial, kita harus lebih dulu mengenaliapa itu problem sosial dan membedakannya dari problem individual.Tanpa ini, maka alih-alih melakukan rekayasa sosial untukmenyelesaikan problem sosial, kita mungkin malah menambah problemsosial baru.


Jalaluddinmemahami problem sebagai perbedaan antara das Sollen (yangseharusnya) dengan das Sein (yangterjadi). Misalnya, kita mendamba sebuah sistem yang adil tetapi yangkita dapat sistem yang lalim. Kita mengharapkan rezim yang pekaterhadap aspirasi rakyat tetapi yang kita peroleh rezim yang sensitifkepada aspirasi diri, keluarga, dan kelompok elite. Di sinilahterjadi perbedaan antara yang ideal dan yang real.Dan jika demikian, ada problem.


Jalaluddinkemudian menjelaskan bagaimana membedakan antara problem individualdan problem sosial. Ini menjadi penting karena kita seringkalimencoba mengobati problem sosial dengan cara-cara individual. Secaramudah, Jalaluddin membedakan keduanya dengan melihat kuantitas korbanproblem tersebut. Jika orang miskin berjumlah sedikit dan tak merata,itu artinya kemiskinan tersebut problem individual, yakni karenakemalasan, ketidakmampuan, atau keyakinantertentu.


Lebihdalam, Jalaluddin memetakanperbedaan problem sosial dan problem individual dalam suatukriteria. Kitaharus melihat dari sisi sebab. Jika sebab suatu problem hanya ada dilingkungan tertentu, maka itu problem individual. Menurutnya, apayang disebut Oscar Lewis sebagai culture of poverty(budaya kemiskinan) seperti malas, merasa tak berharga, dan minderadalah problem individual. Tapi, jika kemiskinan disebabkan faktorsosial, seperti struktur dan sistem ekonomi, maka itu berarti problemsosial.


Ketidakmampuanmengidentifikasi mana problem individual dan mana problem sosial bisaberujung kepada praktik blaming the victim,atau menyalahkan korban dari problem tersebut. Jalaluddin membericontoh begini. Banyak orang, dan bahkan para cendekiawan, menganggapketerbelakangan umat Islam di negara-negara bermayoritas pendudukmuslim disebabkan oleh kebodohan dan ketidakmauan umat menghayatiajaran Islam. Bagi Jalaluddin, mereka sudah jatuh ke dalam blamingthe victim.


Jadi,menurut saya, kemiskinan di kalangan umat Islam itu bukan karenaorang-orang Islam tidak menghayati agama, atau karena mereka bodoh,tapi karena sistem sosial yang menindas dan karena kekayaan negaradikuasai oleh segelintir orang. Saya tidak melihat kemiskinan yangterjadi di negara-negara Islam sebagai masalah personal, tapi sebagaimasalah sosial (Hal. 63).


Bagipenulis, argumen bahwa orang miskin bodoh karena kurang makananbergizi juga hanya menggunjingkan persoalan personal. Kebodohan orangmiskin justru karena sistem lebih berpihak kepada mereka yangberpunya. Sistem tak memberi orang miskin akseskepada sumber makananbergizi, institusi pendidikan berkualitas, dan sumber literasi sertafasilitas belajar.

3a8082e126
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages