http://suarapembaca.detik.com/read/2009/04/18/152047/1117491/471/warisan-rp-2000-triliun-untuk-anak-cucu
Warisan Rp 2,000 Triliun untuk Anak Cucu 
	
	
		
	
		
		
		
					
	
			
			
			
			
				
	
	Jakarta -
Sejak 1970 Pemerintah Indonesia membuat 4.524 perjanjian utang (loan
agreement) dengan pihak luar negeri. Jumlah hutang luar negeri saat ini
kira kira Rp 2,000 triliun. Yang bikin miris dari utang segede itu
ternyata yang termanfaatkan dan digunakan hanya 44%. Sisanya, sebanyak
56%, tersia-sia alias mubazir.
Padahal
ketika loan agreement itu ditandatangani meski dananya belum mengucur
Indonesia wajib membayar biaya komitmen (commitment fee) dan bunganya.
Walhasil saban tahun pemerintah terbebani membayar dua jenis biaya itu
sampai Rp 2,02 triliun. Belum lagi dari 44% yang digunakan itu ternyata
sebagian ada yang macet.
Akibatnya bunganya terus menggelembung
seiring dengan menguatnya kurs dolar dan anjloknya nilai tukar rupiah.
Karena itu ada satu daerah yang utangnya mula-mula Rp 27 miliar,
lantaran macet, membengkak jadi Rp 80 miliar. Ada juga utang luar
negeri yang dipinjam dengan skema dana talangan. Dalam skema ini
pemerintah membiayai dulu proyeknya. Setelah proyek itu jadi dana yang
talangan pemerintah tadi ditagih kepada peminjam (lender).
Celakanya
lender acapkali ingkar. Tidak mengucurkan dana meski loan agreement
telah ditandatangani dan commitment fee serta bunganya sudah dibayar.
Pemerintah jadi rugi dua kali. Sudah keluar duit harus membayar bunga
pula. Jelas negara sangat dirugikan dengan pengelolaan utang luar
negeri yang amburadul ini.
Anak bangsa kian sengsara tercekik
utang. Sebab, hampir 30% dari total dana anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN) dipakai untuk membayar utang, dua sepertiganya
digunakan untuk membayar bunga. "Indonesia sejak dulu tidak punya
borrowing strategy (strategi peminjaman) dan tidak ada studi kelayakan
untuk setiap proyek yang didanai dengan utang".
Buktinya ada
pemerintah daerah yang mencari pinjaman, katanya, untuk membangun
sanitasi, tapi realisasinya malah untuk membeli mobil dinas. Dalam
persoalan ini, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
harusnya menjadi ujung tombak pengelolaan pinjaman itu, karena
persetujuan dikucurkannya utang luar negeri dikeluarkan Bappenas.
Sayang,
borrowing strategy dan studi kelayakan tidak dilakukan. "Kalaupun ada,
hanya di atas kertas, tapi pelaksanaannya menyimpang". Indonesia baru
memiliki borrowing strategy setelah diterbikannya Peraturan Pemeritah
(PP) Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau
Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri.
Sebelum
terbit PP Nomor 2 Tahun 2006, pengelolaan dana pinjaman agak
terkendala. Banyak proyek yang ternyata belum siap dikerjakan padahal
loan agreement telah ditandatangani dan pemerintah sudah harus membayar
biaya komitmen serta bunganya. Namun, setelah PP itu terbit setiap
proposal peminjaman harus menjalani studi kelayakan.
"Jeratan
utang membuat negara rusak. Kita jadi tidak berwibawa di mata negara
lain". Utang luar negeri yang kebanyakan dalam mata uang asing sering
dijadikan senjata oleh kreditur untuk makin memurukkan Indonesia.
"Kasus krisis moneter tahun 1997 harusnya jadi pelajaran".
Ketika
itu utang luar negeri Indonesia dan kebanyakan negara Asia lainnya
banyak yang jatuh tempo. Namun, pada saat bersamaan, dolar yang
dibutuhkan untuk melunasi utang diborong spekulan. Harga dolar
melambung gila-gilaan sehingga utang luar negeri pun membengkak. 
Indonesia
masih harus mencicil utang sampai tahun 2045. Artinya selama itu pula
kita dan anak-cucu kita terus menjadi sapi perah kreditur asing.
(AW)