"Kalau bukan sama, berarti perkawinan antara marga Purba dengan
Girsang bukan hal yang terlarang menurut adat...!"
Oleh : Pdt. Juandaha Raya Purba Dasuha, STh
Pengantar
Asisten Residen Simalungun dalam karya klasiknya, Simeloengoen menulis
bahwa pada dasarnya di Simalungun sejak zaman dahulu kala hanya ada
empat marga di Simalungun, yakni marga Sinaga, Saragih, Damanik dan
Purba (Sisadapur). Dan memang dari karya-karya klasik penulis-penulis
Belanda, baik Tideman maupun Tichelman sebagai pejabat kolonial
Belanda selalu menulis Purba Girsang. Yang kita pertanyakan, sejak
kapan penulisan dengan "Girsang" tanpa "Purba" itu dimulai?
Asumsi saya berdasarkan perbincangan dengan tokoh-tokoh Simalungun dan
para orangtua Simalungun, penulisan marga Girsang tanpa Purba itu
masih baru, belum sampai seratus tahun. Pada waktu penulis bertugas di
Sekretariat J-100 di Jakarta dalam rangka penulisan sejarah GKPS tahun
2003 kemarin, penulis berbincang-bincang dengan salah seorang tokoh
marga Girsang yang dengan marahnya menolak ucapan saya yang mengatakan
Girsang itu merupakan sub sib atau cabang dari marga Purba. Beliau
dengan marahnya mengatakan, "Girsang adalah Girsang bukan Purba, kami
marga Girsang bukan masuk cabang marga Purba tetapi masuk ke cabang
marga Sihombing Lumbantoruan."
Dan memang Bapak Brigjend TNI (Purn) Djorali Purba Dasuha sebagai
Ketua Umum Harungguan Purba se-Jabotabek menginformasikan kepada
penulis bahwa dari 24 cabang marga Purba Simalungun yang mengaku
berasal dari Simalungun, marga Girsang akhirnya keluar dari
perkumpulan marga Purba Simalungun tersebut karena ngotot tidak
mengakui Girsang bercabang dari induk marga Purba Simalungun.
Berangkat dari persoalan di atas, timbul pertanyaan di kalangan kaum
muda - kalau benar marga Girsang bukan masuk Purba, berarti marga
"Girsang" itu tidak sama dengan Purba, dan karena menurut mereka,
Girsang berketurunan dari marga Sihombing Lumbantoruan berarti Girsang
merupakan cabang dari marga etnis Batak Toba. Dan jika memang benar
bukan cabang dari marga Purba mengingat Hukum Adat Perkawinan
Simalungun hanya melarang perkawinan "nasamorga" berarti, karena
Girsang dan Purba merupakan dua marga yang berbeda, maka tidak ada
larangan lagi menurut adat yang menghalangi perkawianan antara marga
Girsang dengan marga Purba, karena yang dilarang menurut adat
perkawinan Simalungun adalah kawin semarga karena dianggap masih satu
keturunan dari nenek moyang yang sama.
Polemik asal marga Girsang Tideman dalam karya, Simelongoen
menuliskan, bahwa Si Girsang yang merupakan leluhur dari raja
Silimakuta yang menggantikan mertuanya tuan Nagasaribu bermarga Sinaga
berasal dari Lehu Sidikalang Pakpak Dairi. Dari silsilah raja
Silimakuta diperkirakan ketibaan Girsang di Naga Mariah diperhitungkan
sekiar pertengahan abad XVIII.
Sedang pengangkatan Naga Saribu menjadi kerajaan barulah sejak tahun
1907 dengan nama Kerajaan Silimakuta. Di sini saya kutip uraian
Tideman dalam bukunya Simelongoen tentang asal-usul raja Silimakuta :
"Raja yang pertama berasal dari Lehu (Sidikalang Pakpak Dairi) bernama
Si Girsang. Ketika ia berburu sampailah ia ke Tanduk Banua (Sipiso-
piso). Di sana tiba-tiba dijumpainya Horbo Jagat (kerbau bulai) dan
menyangka di sekitarnya ada kampung. Ia lalu memanjat pohon tinggi dan
melihat vada kampung besar merga Sinaga bernama Naga Mariah. Ia pergi
ke sana dan tinggal di situ. Pada suatu ketika Tuhan Naga Mariah. Ia
pergi ke sana dan tinggal di situ. Pada suatu ketika, Tuhan Naga
Mariah terancam musuh dari Siantar yang sedang berkemah di Paya
Siantar dekat kaki Gunung Singgalang. Tuhan Naga Mariah mengharapkan
bantuan dari Si Girsang mengusir musuh.
Si Girsang menyuruh penduduk mengumpulkan sebanyak mungkin bermacam-
macam duri dan diambilnya cendawan merah, diperasnya dalam air,
racunnya diletakkannya pada duri-duri dan diletakkan di sepanjang
jalan yang bakal dilalui musuh., sedangkan air yang beracun itu
dimasukkannya ke dalam Paya Siantar. Musuh oleh karena itu semuanya
mati kena racun. Ia melapor kepada Tuhan Naga Mariah dan berkata,
"Nunga mate marsinggalang saribu di dolok i!" (beribu-ribu musuh sudah
mati bergelimpangan di gunung itu), sehingga gunung itu dinamakan
Dolok Singgalang dan namanya Saribu Dolok.
Si Girsang lalu kawin dengan puteri dari Tuhan Naga Mariah dan karena
ahli mencampur racun dinamai Datu Parulas. Setelah raja itu mati maka
Datu Parulas ini naik tahta dan mendirikan kampungnya Naga Saribu yang
menjadi ibukota. Kerajaannya dinamainya Si Lima Kuta karena dalam
kerajaannya ada lima kampung yaitu: Rakutbesi, Dolok Panribuan, Saribu
Djandi, Mardingding dan Nagamariah. Setiap puteranya menjadi tuhan di
Rakutbesi, Dolok Panribuan, Saribu Djandi, Mardingding dan Naga
Mariah. Kemudian lahir lagi dua putera, yang tertua mendirikan kampung
Janji Malasang dan mendirikan kerajaan kecil benama Bage. Yang bungsu
menggantikan Datu Parulas. Baru di tahun 1903 Kerajaan Bage tunduk di
bawah Kerajaan Silimakuta."
Bagaimana dengan Purba Girsang di Dolog Batu Nanggar?
Dari tulisan Tideman tersebut dapat dismpulkan, bahwa Si Girsang tidak
diketahu bermarga apa, yang jelas, namanya Si Girsang. Jadi kalau ada
kalangan marga Girsang yang mengatakan Girsang bukan cabang dari marga
Purba, ini dapat diterima, karena itu adalah hak yang bersangkutan.
Namun yang perlu dipertanyakan lagi, menurut Tideman - tentunya ia
mencatat informasi dari kalangan raja Silima Kuta - asal dari pemburu
Si Girsang dari Lehu di dekat Sidikalang (afkomstig Lehu Pakpak
Dairi).
Di sana Tideman menulis "afkomstig" = berasal dari, jadi belum tentu
"berketurunan" dari penduduk asli Lehu yang Etnis Pakpak, boleh jadi
ia hanya singgah di sana dan seterusnya mengembara ke Simalungun. St.
Djaidin Girsang dalam tulisannya tentang "Kisah Si Girsang Parultop-
ultop Jadi Raja Silimakuta" (Medan, 1995:123-124) menulis (terjemahan
bahasa Simalungun dialek Silimakuta), "Konon menurut cerita turun
temurun, kelahiran Si Girsang ditengarai msalah di kalangan orang
ramai, ini disebabkan kelahiran Si Girsang yang tidak lazim
(marbalutan) tidak seperti biasanya.
Tanggapan khalayak simpang siur dan masing-masing membuat tanggapannya
sendiri, ada yang mengatakan "anak panunda" bayi yang baru lahir ini,
ada yang mengatakan anak keramat, ada yang mengatakan anak sial dan
lain-lain. Demikianlah tanggapan banyak orang, dan ada lagi yang
mengatakan, "tidak patut anak ini dibiarkan hidup....; jadi timbullah
usul orang ramai agar bayi tersebut dibunuh agar jangan mendatangkan
kesialan pada seisi kampung. Ibu Si Girsang adalah perempuan dari
Lottung Sinaga, ia sangat masygul melahirkan Si Girsang, jadi
disembunyikanlah Si Girsang di luar kampung agar dapat dipantau ibunya
siang dan malam, tidak tega hatinya membiarkan anaknya dibunuh...setelah
itu dinamailah ia Si Girsang mengingat penderitaannya itu."
Dari beberapa sumber di atas disimpulkan, bahwa bayi yang
disembunyikan oleh ibunya itu berasal dari keluarga biasa (rakyat
kebanyakan) karena disebut sebagai "penghuni kampung" (berbeda dengan
leluhur raja-raja Simalungun yang seluruhnya berasal dari kalangan
bangsawan); uraian Djaidin Girsang juga tidak menyebut Si Girsang
berketurunan dari kalangan raja. Biasanya panglima-panglima perang
(raja goraha) raja Nagur (kerajaan tertua di Sumatera Timur) yang
kemudian menjadi raja di Simalungun adalah kawin dengan panakboru
(puteri raja) dari raja Nagur bermarga Damanik, seperti raja Tanoh
Djawa (Sinaga), Silou (Purba Tambak), Panei (Purba Dasuha), tetapi Si
Girsang tidak demikian. Setelah dewasa menurut uraian St. Djaidin
Girsang ia kawin dengan puteri Tuhan Naga Mariah bermarga Sinaga yang
kemudian "terusir" dari Naga Mariah dan sebagian keturunannya pindah
ke Karo (Batu Karang) dan Girsang Sipangan Bolon Parapat. Ini
membuktikan kenyataan sejarah kalau Si Girsang adalah pendatang dari
luar Simalungun - dan bukan rakyat Nagur pada mulanya. Kerajaan Nagur
dengan daerah vasalnya Kerajaan Dolog Silou masih berkuasa atas Purba,
Raya dan Nagasaribu, karena status ketiganya adalah "partuanan
banggal" Kerajaan Dolog Silou sebelum ditingkatkan menjadi "landschap"
pada zaman Belanda sejak 1907 (Korte Verklaring).
Jadi kalau dirunut dari jalan sejarah di atas, keberadaan marga
Girsang di Silimahuta (kecuali di partuanan Dolog Batu Nanggar-Panei)
Simalungun masih baru; sekitar pertengahan abad XVIII. Dan jika
dilihat dari penolakan marga Girsang yang tidak mengakui Girsang
merupakan cabang marga Purba (khususnya yang berasal dari Silimakuta),
cukup menegaskan kenyataan sejarah kalau Si Girsang yang menurunkan
marga Girsang di Silimakuta baru sejak zaman Belanda atau tepatnya
pada tahun 1907 berstatus kerajaan di Silimakuta dan bukan seketurunan
dengan marga Purba Tambak yang menurunkan raja-raja Silou, Panei dan
Dolog Batu Nanggar (Purba Tambak, Purba Sigumonrong, Purba Sidasuha,
Purba Sidadolog, Purba Sidagambir, Purba Siboro, Purba Tanjung dan
Purba Girsang).
Yang membingungkan lagi dalam Pusataha Parpandanan Na Bolag yang
menceritakan sejarah perpecahan Kerajaan Nagur di abad XIV, ada
disebut-sebut nama tokoh Si Girsang Doriangin. Demikian pula di
sejarah Kerajaan Dolog Silou ada disebut Si Juhar marga Purba Girsang
yang menurunkan marga Purba Girsang keturunan Tuan Badja Purba Girsang
tuan Dolog Batu Nanggar (Saribulawan). Mengingat marga Girsang di
Nagamariah baru ada di pertengahan abad XVIII sedangkan marga Purba
Girsang di Dolog Batu Nanggar sudah ada setidaknya di abad XV yang
hampir bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Dolog Silou; apakah tidak
tertutup kemungkinannya jika Si Girsang yang berangkat dari Lehu
menuju Nagamariah adalah cucu buyut dari Tuan Partanja Batu Purba
Girsang dari Dolog Batu Nanggar sebagaimana uraian TBA Purba Tambak
dalam bukunya Sejarah Simalungun ? Atau alternatif kedua, Si Girsang
merupakan "pendatang baru" yang bukan kerketurunan dari Tuan Dolog
Batu Nanggar?
Dugaan penulis makin kuat karena pada saat penulis bertugas di GKPS
Resort Sumbul, dalam suatu kesempatan hal ini pernah penulis tanyakan
kepada serang pengetua adat Pakpak (pertaki) bermarga Solin, pada saat
mana sedang gencar-gencarnya pembangunan Tugu Girsang di Lehu. Beliau
menjelaskan kepada penulis, bahwa sepengetahuannya, Girsang itu bukan
marga Etnis Pakpak, dan tanah lokasi pembangunan tugu itu sendiri
bukan tanah adat marga Pakpak, tetapi tanah adat marga Batanghari dari
etnis Pakpak yang dibeli oleh marga Girsang dari Saribudolok.
Jadi Girsang bukan "marsanina" dengan Purba?
Meminjam ungkapan budayawan Simalungun Pak Mansen Purba, SH dalam
bukunya "Pangarusion pasal Adat Perkawinan Simalungun" yang
mengatakan, "seng dong hinan batta Simalungun, parsaninaon halani
nasamorga, tapi halani na sahasusuran do. Age pe dos morga, lape tottu
ai na sahasusuran. Aima ase dong panggoranion i pudini morga in, tanda
ni na sada hasusuran ope." Jelasnya menurut beliau, di Simalungun
"marsanina" bukan karena "satu marga" atau dari marga yang sama,
tetapi dilihat dari sejarah asal-usulnya. Kalau dari seketurunan nenek
moyang yang sama, maka disebut "marsanina" kalau sebaliknya, biar
marganya sama, kalau masing-masing tidak mengakui nenek maoyangnya
seketurunan, maka jelas bukan "marsanina". Jadi berdasarkan rumusan
ini, maka di antara marga Purba yang dapat disebut 'marsanina" adalah
keturunan dari raja-raja Silou dan Panei dengan partuanan-
partuanannya, seperti Purba Tambak (raja Dolog Silou), Purba
Sigumonrong (Tuan Lokkung), Sidasuha (raja Panei), Sidadolog (Tuan
Sinaman), Sidagambir (Tuan Raja i Huta), Tanjung (Tuan Tanjung Purba),
Siboro (Tuan Siboro) dan Girsang (Tuan Dolog Batu Nanggar). Karena
seluruh cabang marga Purba ini menurut Pustaha Bandar Hanopan berasal
dari nenek moyang yang sama Tuan Djigou Purba dari Tambak Bawang yang
datang dari Gayo (Aceh) atau dari Pagarruyung. Dan kalau raja
Silimakuta yang merupakan keturunan dari Si Girsang dari Lehu itu di
pertengahan abad ke-18 masuk ke Naga Mariah mengaku bukan bercabang
dari marga Purba, kalau demikian ia bukanlah suku Simalungun, karena
sejak zaman dahulu suku Simalungun terdiri dari empat cabang marga
saja, yakni Sinaga Saragih, Damanik dan Purba.
Dan memang baik Tuan Dolog Batu Nanggar bermarga Purba Girsang dan
saninanya raja Panei bermarga Purba Dasuha masing-masing mengambil
permaisuri dari puteri raja Siantar bermarga Damanik, sementara kita
lihat di Silimakuta permaisuri Silimakuta bukan dari Siantar, tetapi
dari Tongging bermarga Munthe. Ini merupakan suatu fakta yang patut
dipertimbangkan dalam memutuskan apakah memang Purba Girsang di
Silimakuta dan Dolog Batu Nanggar itu dari keturunan nenek moyang yang
samakah atau berbeda?
Penutup
Penulis memang sadar kalau tulisan ini akan menimbulkan kontroversial
di kalangan etnis Simalungun, khususya di kalangan marga Girsang dan
Purba Simalungun. Tetapi mengingat falsafah etnik Simalungun
"Habonaron do Bona" ini layak untuk dituntaskan oleh pengetua adat
Simalungun. Jangan sampai akibat pengakuan marga Girsang ini
menyebabkan kegalauan di kalangan generasi muda Simalungun. Dan kalau
memang Girsang tetap ngotot tidak mengakui dirinya bercabang dari
marga induk Purba Simalungun, agar kelar dan tidak menimbulkan
kesimpang siuran di tengah-tengah masyarakat, alangkah bijaknya,
apabila hal ini dibahas dengan melibatkan para sejarawan, apakah benar
"Girsang bukan cabang dari marga Purba?" Kalau memang benar,
sepantasnyalah diumumkan dan disosialisasikan kepada masyarakat luas,
sehingga perkawinan antara marga Purba dengan Girsang bukan lagi
sesuatu hal yang terlarang menurut adat Simalungun. Karena yang
dilarang menurut adat adalah "mardawan begu" atau saling kawin mawin
dengan pasangan yang semarga. Sehingga kedudukan marga Girsang di
Simalungun jelas, dan para kaum muda yang ingin mencari pasangan
hidupnya juga tidak ragu-ragu. Semoga bermanfaat.
Penulis adalah seorang pendeta GKPS bermarga Purba tinggal di Tepian
Danau Toba Tongging-Taneh Karo Simalem