PERKEMBANGAN HISTORIOGRAFI DI INDONESIA
1. HISTORIOGRAFI TRADISIONAL
Historiografi tradisional merupakan ekspresi cultural dari usaha untuk
merekam sejarah. Dalam historiografi tradisional ada unsur-unsur yang
tidak bisa lepas yaitu sebagai karya imajinatif dan sebagai karya
mitologi. Historiografi pada masa klasik diwarnai oleh actor-aktor
sentries. Menurut para sejarawan penulisan sejarah ( tidak dalam
bentuk prasasti ) di Indonesia dimulai oleh Mpu Prapanca yang
mengarang kitab NegaraKertagama. Seorang tokoh, yang menjadi actor
utama berperan sebagai pemimpin besar. Hasil karya historiografi
tradisional antara lain : Carita Parahyangan, Sajarah Melayu, dan
Babad.
Cerita Parahyangan memberikan gambaran mengenai peristiwa sejarah yang
pernah terjadi di daerah Jawa Barat. Di dalamnya menceritakan kisah
sanjaya yang mengalahkan banyak raja-raja di Asia Tenggara. Sedangkan
sejarah Melayu sendiri menceritakan tentang Iskandar Zulkarnaen yang
berkuasa di Mesopotamia selama tiga abad. Dari beberapa cerita tadi
bisa diambil kesimpulan bahwa:
a) Historiografi pada masa klasik diwarnai oleh aktor-aktor sentries.
Seorang tokoh, yang menjadi actor utama berperan sebagai pemimpin
besar.
b) Historiografi pada masa tersebut sulit dilepaskan dari mitos dan
hanya menceritakan kalangan istana saja (Istana Centirs).
c) Kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam hal geneologi namun
lemah dalam hal kronologi.
a. Bentuk Historiografi Tradisional
1. Mitos
Bentuk ini pada dasarnya merupakan suatu proses internalisasi dari
pengalaman spiritual manusia tentang kenyataan lalu di ungkapkan
melalui kisah sejarah
2. Genealogis
Bentuk ini merupakan gambaran mengenai pertautan antara individu
dengan yang lain atau suatu generasi dengan generasi berikutnya. Sil
silah sangat penting untuk melegitimasikan kedudukan mereka.
3. Kronik.
Dalam penulisan ini sudah ada penulisan kesadaran tentang waktu, Namun
demikian juga masih di lingkungan kepercayaan yang bersifat
kosmosmagis
4. Annals.
Sebenarnya bentuk ini merupakan cabang dari kronik hanya saja bentuk
annals ini sudah lebih maju dan lebih jelas, Sudah berusaha
membeberkan kisah dalam uraian waktu.
5. Logis
Kisah yang di ungkapkan mengamdungh mitos, legenda, dongeng, asal usul
suatu bangsa, kisah disini merupakan merupakan kisah yang merupakan
suatu pembenaran berdasar emosi dan kepercayaan.
6. Supranatural
Dalam hal ini kekuatan kekuatan gaib yang tidak bias diterima dengan
akal sehat sering terdapat di dalamnya.
b. Ciri Historiografi Tradisional
1. Oral tradition
Historiografi jenis ini di sampaikan secara lisan, maka tidak dijamin
keutuhan redaksionalnya.
2. Anakronistik
Dalam menempatkan waktu sering terjadi kesalahan kesalahan, pernyataan
waktu dengan fakta sejarah termasuk di dalamnya penggunaan kosa kata
penggunaan kata nama dll.
3. Etnosentris
Penulisan selalu bersifat kedaerahan, Hanya terpaut pada suku bangsa
tertentu. Dan sangat berpusat pada kedaerahan.
Selain itu Ciri-ciri Historiografi Tradisional dapat juga berupa:
Adanya suatu visi historiografi tradisional yaitu raja
sentris. Setiap tulisan pujangga selalu mengangkat hal-hal yang
berhubungan dengan raja. (raja biasanya dianggap sebagai titisan
dewa).
Dari segi misi, unsur-unsur faktual masih ada, disampaikan
secara halus. Penyajian dari historiografi tradisional ini lebih
menggunakan simbol. Cerita dibuat dengan suatu simbol-simbol saja.
• Sumber-sumber sejarah tradisional yang mendasari
historiografi tradisional cenderung mengabaikan unsur-unsur fakta
karena terlalu dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang dimiliki
masyarakat. Adanya kepercayaan tentang perbuatan magis yang dilakukan
tokoh-tokoh tertentu.
Ciri-ciri Historiografi Tradisional di Indonesia memiliki persamaan
dan perbedaan dengan Ciri-ciri Historiografi Tradisional di Asia
Tenggara.
Ciri-ciri yang sama:
1. Kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam hal geneologi, tetapi
lemah dalam hal kronologi dan detil-detil biografis.
2. Tekanannya adalah pada gaya bercerita, bahan-bahan anekdot, dan
penggunaan sejarah sebagai alat pengajaran agama.
3. Bila karya-karya tersebut bersifat sekuler maka nampak adanya
persamaan dalam hal perhatian pada kingship (konsep mengenai raja)
serta tekanan diletakkan pada kontinuitas dan loyalitas yang ortodoks.
4. Pertimbangan-pertimbangan kosmologis dan astrologis cenderung untuk
menyampingkan keterangan-keterangan mengenai sebab-akibat dan ide
kemajuan (progress).
Perbedaan-perbedaan yang pokok:
1. Agama telah memisahkan agama para sejarawan Indo-Islam dan konteks
sosio-ekonomi agama Hindu. Agama juga memisahkan orang-orang Muangthai
dan Kamboja dari tradisi historiografi Asia Timur dalam bentuk
Vietnamnya. Agama juga memisahkan dunia Melayu-Jawa dari orang
Muangthai dan Birma di satu pihak dan orang Filipina di lain pihak.
2. Persaingan nasional mempengaruhi karya mengenai bangsa-bangsa yang
bertetangga, umpamanya karya-karya orang Birma dan Muangthai.
3. Perbedaan bahasa di Asia Tenggara sebelum menurunnya bahasa Pali
sangat rumit, kebanyakan karya-karya itu tidak dapat dibaca di luar
batas negara-negara itu sendiri.
4. Kebijaksanaan raja-raja mengenai penulisan sejarah cukup beragam:
karya-karya Islam dan Melayu diedarkan di kalangan umum, sedangkan
karya-karya orang Muangthai, Birma serta Vietna$m hanya untuk
kepentingan pihak resmi.
Sementara menurut Cecep Lukmanul Hakim ciri-ciri Historiografi
tradisional Indonesia menurut pembagian wilayah.
Istilah historiografi memiliki dua pegertian yaitu historiografi
sebagai penulisan sejarah dan historiografi sebagai sejarah penulisan
sejarah. Historiografi sebagai penulisan sejarah merupakan satu
kesatuan dalam metodologi sejarah. Sebagai sejarah penulisan sejarah,
historiografi memiliki berbagai kelompok sesuai dengan sudut pandang
sejarawan melihat suatu peristiwa.
Historiografi disini merupakan cara pandang orang terhadap peristiwa
disekelilingnya yang dia tuangkan kedalam sebuah tulisan (cerita).
Tulisannya tersebut akan dipengaruhi oleh keadaan pada waktu dia
hidup, sehingga tulisan dia mewakili keadaan zaman dimana dia hidup.
Historiografi tradisional merupakan ekspresi kultural dari usaha untuk
merekam sejarah.
Historiografi tradisional merupakan kekayaan intelektual dalam sejarah
Indonesia. Historiografi ini dijadikan sumber satu-satunya untuk
penulisan sejarah Indonesia pada masa kerjaan-kerajaan terutama masa
kerajaan Hindu-Budha, meskipun ada sumber lain seperti sumber Cina dan
berita para peziarah namun kedudukan historiografi tradisional ini
menjadi amat penting karena menjadi sumber utama dalam penulisan
sejarah masa Hindu-Budha. Meskipun banyak yang dipertentangkan
mengenai isi dari historiografi ini karena sebagaimana kita ketahui
penulisan historiografi pada masa ini cenderung raja sentris atau
istana sentris dan berbagai hal lainnya, tapi setidaknya kita
mendapatkan gambaran mengenai kondisi pada saat itu selain fakta-fakta
yang kita dapatkan.
Ciri-Ciri Historiografi Tradisional Menurut Wilayah
Bagian Barat Bagian Tengah Bagian Timur
Puisi atau Prosa Puisi atau Prosa Puisi
Etnosentris Etnosentris Etnosentris
Istana atau Raja sentries Istana atau Raja sentris Istana atau Raja
sentries
Mitologi-Irasional Mitologi-Irasional Rasional
Melegitimasi kekuasaan Melegitimasi kekuasaan Melegitimasi kekuasaan
------------- Kronogram/Candrasangkala atau penanggalan -------------
Ramalan
Pengaruh Islam Pengaruh Hindu-Budha Pengaruh Islam
Keterangan:
a. Bagian barat meliputi semenanjung Melayu dan pulau Sumatera.
b. Bagian Tengah meliputi pulau Jawa, Madura, Kalimantan dan Bali.
c. Bagian Timur meliputi pulau Sulawesi dan Maluku.
Historiografi tradisional Indonesia dimulai dari historiografi
Indonesia bagian tengah, hal ini dilihat dari peta keberadaan kerajaan-
kerajaan awal di Indonesia. Kerajaan pertama di Indonesia adalah
kerajaan Kutai dan dan dilanjutkan oleh kerajaan Hindu-Budha di pulau
Jawa. Persentuhan antara Nusantara khususnya pulau Jawa dengan India
menyebabkan masuknya pengaruh Hindu-Budha mengawali masuknya Indonesia
dalam babak sejarah, masuknya pengaruh India juga mempengaruhi
historiografi tradisional bagian tengah. Historiografi tradisional
Indonesia dimulai dari historiografi Indonesia bagian tengah, hal ini
dilihat dari peta keberadaan kerajaan-kerajaan awal di Indonesia.
Kerajaan pertama di Indonesia adalah kerajaan Kutai dan dilanjutkan
oleh kerajaan Hindu-Budha di pulau Jawa. Persentuhan antara Nusantara
khususnya pulau Jawa dengan India menyebabkan masuknya pengaruh Hindu-
Budha mengawali masuknya Indonesia dalam babak sejarah, masuknya
pengaruh India juga mempengaruhi historiografi tradisional bagian
tengah. Meskipun Islam memiliki tempat yang dominan pada zaman
kelanjutannya, namun pengaruh agama Hindu terutama sangat kental
sekali terutama di daerah Jawa.
Corak Islam justru sangat kuat di daerah timur, yang meliputi Sulawesi
dan Maluku pada umumnya. Hal ini kemungkinan karena penetrasi budaya
Hindu dan Budha tidak sekuat di pulau Jawa dan Bali, hal ini
dikarenakan kerajaan dengan corak Hidu dan Budha di daerah ini tidak
sekuat kerajaan Hindu dan Budha di daerah Jawa dan Bali, sehingga
ajaran Hindu-Budha pun tidak mengakar dalam masyarakatnya, dan bahkan
justru kepercayaan lokal yang tetap menjadi dominan dalam masyarakat
tersebut.
Historiografi tradisional di daerah barat yang justru sangat kental
dengan aroma Islam, karena kita tahu daerah pertama yang bersentuhan
dengan Islam adalah wilayah barat terutama Aceh. Meskipun di Sumatera
pernah ada kerajaan Budha besar yaitu Sriwijaya, namun penetrasi Islam
dilancarkan oleh kerajaan Islam setelahnya yaitu Aceh, dan usahanya
berhasil sehingga Islam melekat dalam budaya orang Sumatera (melayu).
Dalam historiografi tradisional yang biasa disebut babad, wawacan,
carita, sajarah dan lainnya raja-raja diabadikan oleh para pujangga
kedalam tulisan baik itu puisi atau prosa sebagai seorang titisan dewa
atau pembawa kesejahteraan. Pada hakekatnya penulisan ini dimaksudkan
hanya untuk memberikan pujian kepada raja yang telah memberikan
kesejahteran kepada rakyatnya. Atau maksud dari penulisan itu bisa
juga melegitimasi kekuasaan seorang raja terhadap daerah kekuasaannya.
Contoh historiografi tradisional bagian tengah : Babad Tanah Jawi,
Wawacan Sajarah Galuh, Carita Parahiyangan, Wangsakerta, Pararaton,
Nagarakertagama dan lainnya.
2. HISTORIOGRAFI KOLONIAL
Historiografi colonial sering di sebut sebagai Eropa Sentris,
Penulisan sejarah semacam ini memusatkan perhatiannya kepada belanda
sebagai tempat perjalanan baik pelayaran maupun pemukiman di benua
lain. Historiografi semacam ini di tulis oleh penulis-penulis orang
asing di dunia timur. Mereka kebanyakan tidak memiliki ferifikasi
kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena tulisan semacam ini banyak
kekurangannya.
Sumber-sumber historiografi kolonial berasal dari dokumen-dokumen
VOC, Geewoon Archief dan Gehem Achief, Wilde Vaart; catatan pelayaran
orang orang belanda di perairan, Koloniale Verslagen laporan tahunan
pemerintah Belanda.
Penggunaan faham seperti ini dan sumber-sumber seperti ini
mempersempit pandangan internasional terhadap Indonesia, jika di pakai
sumber sejarah kekurangannya terletak pada:
a) Mengabaikan banyak peristiwa peristiwa dari aktivitas bangsa
Indonesia
b) Terlalu sempit dan kurang lengkap
c) Terlalu berat sebelah
Untuk menghadapi karya semacam ini dapat menulis menggunakan dan
memperhatikan langkah langkah sebagai berikut:
a) Memperluas obyek dengan memperhatikan semua aspek kehidupan
masyarakat Indonesia
b) Menggunakan pendekatan multidimensional
c) Menggunakan konsep ilmu social sehingga memahami peristiwa
peristiwa yang terjadi
d) Menekankan mikro history subyek tidak terlalu luas tetapi
dikerjakan secara mendalam
e) Konsep yang digunakan adalah sejarah nasional
f) Menerapkan metode sejarah analitis.
Menjelang kemerdekaan Indonesia pada masa kemerdekaan telah muncul
karya karya yang berisi perlawanan terhadap pemerintah colonial yang
di lakukan oleh pahlawan nasional, Secara umum tulisan ini merupakan
ekspresi dan semangat nasionalistis yang berkobar kobar. Periode ini
disebut sebagai periode post Revolusi atau Historiografi pada masa
Pasaca Proklamasi. Tokoh tokoh nasional menjadi symbol kenasionalan
dan memberi identitas bagi bangsa Indonesia, Jenis sejarah semacam ini
perlu di hargai sebagai fungsi sosiopolitik, yaitu membangkitkan
semangat nasional.
Historiografi kolonial adalah sebuah penulisan sejarah yang terjadi
pada waktu penjajahan Belanda di Indonesia. Adapun ciri-ciri dari
historiografi kolonial tersebut adalah:
1. Penulisannya : Merupakan orang Belanda yang memandang orang
Indonesia dari sudut Belenda / kolonial.
2. Bentuknya : Berupa laporan-laporan.
3. Sumber Penulisan : Berita-berita dari orang pribumi.
4. Isi Penulisan : Berupa memori serah jabatan atau laporan khusus
kepada pemerintah pusat di Batavia mengenai kekuasaan dan perluasan
wilayah pejabat yang bersangkutan. Biasanya dilengkapi dengan angka-
angka statistik yang cukup cermat sehingga memantapkan gambaran suatu
daerah.
Historiografi kolonial ditulis dengan menggunakan bahasa Belanda.
Historiografi kolonial memandang kaum pribumi, Indonesia, atau tempat-
tempat yang kemudian menjadi bagian dari Indonesia sebagai pinggiran
dalam narasi sejarah. Banyak peristiwa – peristiwa yang tidak dicatat
oleh bangsa Belanda karena adanya kepentingan lain. Karena memandang
orang Indonesia dari sudut Belanda / kolonial sehingga dalam
penulisannya terdapat perbedaan / penyimpangan dalam penulisannya.
Ada pada abad 17-abad 20 M. Historiografi kolonial merupakan
historiografi warisan kolonial dan penulisannya digunakan untuk
kepentingan penjajah.
Ciri-cirinya:
1. Tujuannya untuk memperkuat kekuasaan mereka di Indonesia. Jadi
disusun untuk membenarkan penguasaan bangsa mereka terhadap bangsa
pribumi (Indonesia). Sehingga untuk kepentingan tersebut mereka
melupakan pertimbangan ilmiah.
2. Selain itu semuanya didominasi untuk tindakan dan politik
kolonial.
3. Historiografi kolonial hanya mengungkapkan mengenai orang-orang
Belanda dan peristiwa di negeri Belanda serta mengagung-agungkan peran
orang Belanda sedangkan orang-orang Indonesia hanya dijadikan sebagai
objek.
4. Historiografi kolonial memandang peristiwa menggunakan sudut
pandang kolonial. Sifat historiografi kolonial eropasentris.
5. Ditujukan untuk melemahkan semanangat para pejuang atau rakyat
Indonesia.
Seperti contohya: Orang Belanda menyebut ”pemberontakan” bagi setiap
perlawanan yang dilakukan oleh daerah untuk melawan kekuasaan Belanda/
kekuasaan asing yang menduduki tanah airnya. Oleh Belanda itu dianggap
sebagai ”perlawanan terhadap kekuasaannya yang sah sebagai pemilik
Indonesia”. Seperti Perlawanan yang dilakukan oleh Diponegoro, Belanda
menganggap itu sebagai ”Pemberontakan Diponegoro”. Telah ada upaya
untuk melakukan kritik terhadap beberapa tulisan orang Belanda seperti
tulisan Geschiedenis van Nederlandsche-Indie (Sejarah Hindia Belanda)
oleh Stapel yang dikritik J.C van Leur. Salah satu ungkapannya”jangan
melihat kehidupan masyarakat hanya dari atas geladak kapal saja”,
artinya jangan menuliskan masyarakat Hindia hanya dari sudut penguasa
saja dengan mengabaikan sumber-sumber pribumi sehingga peranan pribumi
tidak nampak sementara yang ada hanyalah aktivitas bangsa Belanda di
Hindia. Tetapi justru pendapat Stapel yang tenar di kalangan
masyarakat Indonesia, salah satu pendapatnya yang masih dipercaya dan
melekat dalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia adalah bahwa
bangsa Indonesia telah dijajah Belanda selama 350 tahun (1595-1545).
Hal ini berarti bahwa bangsa Indonesia dijajah sejak tahun 1595
sewaktu Cornelis de Houtman berangkat dari negeri Belanda untuk
mencari pulau penghasil rempah-rempah di dunia Timur. Dia sampai di
Indonesia tahun 1596. Indonesia masih mengalami kekuasaan VOC
(1602-1619), Inggris (1811-1816), Van den Bosh (1816-1830),
Penghapusan Tanam Paksa(1830-1870), Liberalisme (1870-1900), Politik
Etis (1900-1922), Sistem Administrasi Belanda (1922-1942), Jepang
(1942-1945).
Historiografi Kolonial Pada Masa Hindia Belanda (1816-1942)
Bagi para sejarawan Indonesia, pengetahuan tentang bahasa Belanda dan
sumber-sumber Belanda mutlak diperlukan. Hampir semua dokumen resmi
dan sebagian besar memoar pribadi serta gambaran mengenai negeri ini,
yang muncul selama lima puluh tahun terakhir, tertulis dalam bahasa
tersebut. Tanpa itu, penelitian mengenai aspek mana pun dari sejarah
Indonesia mustahil dilakukan. Namun dilihat sepintas lalu, sebagian
besar sumber-sumber Belanda mungkin tampak tidak penting kaitannya
dengan sejarah Indonesia. Laporan-laporan resmi Belanda pasti
melukiskan kehidupan serta tindakan orang Belanda, dan bukan orang
Indonesia. Laporan itu ditulis dengan sudut pandang Eropa, bukan
Asia.
Semua itu merupakan keberatan yang meyakinkan, namun jawabannya dapat
ditemukan. Pertama-tama, seluruh sumber Belanda saja, yang bersifat
naskah dalam tulisan tangan maupun cetakan harus ditekankan artinya.
Berjilid-jilid buku bersampul kulit dari berita-berita VOC yang
dijajarkan dalam almari arsip negara di Den Haag saja sudah berjumlah
lebih dari dua belas ribu buah. Berita-berita dari pengganti kompeni,
yaitu pemerintah Hindia-Belanda-sebagian dari antaranya sudah
berjilid, Sebagian lainnya masih dalam berkas-berkasnya yang asli-
sepuluh kali lebih banyak dari jumlah itu. Tentu sangat ganjil bila
himpunan yang begitu banyak tidak mengandung penjelasan tentang
sekurang-kurangnya beberapa hal yang bersifat non-Eropa.
Kedua, para pegawai Belanda di Indonesia sejak masa yang paling awal,
mempunyai banyak kepentingan dan tanggung jawab di luar kegiatan-
kegiatan perdagangan dan tata usaha sehari-hari. Pada abad ke-17,
ketika ketidaktahuan Eropa tentang Asia, para pegawai VOC harus
menyiapkan laporan-laporan yang teliti mengenai keadaan di Indonesia,
bagi para tuannya di Belanda dengan sedikit gambaran tentang keadaan
Indonesia, sehingga keputusan yang diambil di Belanda mempunyai dasar
yang lebih kokoh daripada dugaan semata.
Kemudian, ketika pemerintah Hindia Belanda memerintah di seluruh
Indonesia, para pegawainya diharuskan memberikan laporan tentang
seluruh negeri dan setiap rincian tentang hukum dan kebiasaan setempat
yang menarik perhatiannya. Sekali lagi, tujuannya adalah agar
kebijakan pemerintah dapat disesuaikan dengan tuntutan tampat dan
waktu. Umumnya tugas itu dilaksanakan secara lebih cakap oleh para
pegawai Belanda di timur daripada para pegawai kolonial mana pun.
Sampai kini, kita hanya mampu meninjau sumber-sumber untuk sejarah
Indonesia sebagaimana yang sampai kepada kita dari zaman kompeni
Hindia Timur Belanda. Pada akhir abad ke-18 kompeni mundur dengan
cepat. Kompeni tidak berhasil mengatasi pukulan-pukulan di bidang
keuangan yang dideritanya selama perang Inggris-Belanda pada tahun
1780-1784. Pada tahun 1796 para direkturnya terpaksa menyerahkan
kekuasaan mereka kepada sebuah panitia yang dibentuk oleh kaum
revolusioner pro-Perancis, yang telah merebut kekuasaan di negeri
Belanda pada tahun sebelum itu, dan pada tanggal 31 desember 1799
kompeni dibubarkan.
Dalam jangka waktu enam belas tahun setelah itu, bangsa Perancis dan
Inggris menguasai harta milik Belanda di Indonesia. Sampai tahun 1811
bangsa Belanda secara nominal masih memerintah Indonesia, tetapi
penguasa yang sebenarnya dari kepulauan Hindia dan juga negeri Belanda
sendiri adalah Napoleon. Pada bulan september tahun 1811, Jawa jatuh
ke tangan Inggris sampai tahun 1816, dimana seluruh bekas milik
Belanda di kepulauan tersebut dikembalikan kepada Belanda, sesuai
dengan konvensi London. ”Pemerintah Hindia Belanda” dilantik di
Batavia pada 19 Agustus 1816, dan tetap memegang kekuasaan Belanda di
Indonesia sampai saat mereka diusir Jepang pada tahun 1942.
Pemerintah baru itu membawa ke Indonesia suatu jenis tata pemerintahan
yang lain dari semua jenis tata pemerintahan yang pernah ada di negeri
ini sebelumnya. Kompeni Hindia Timur merupakan perusahaan dagang yang
mengejar laba, yang hanya memikirkan transaksi jual beli dengan
mengesampingkan apa saja. Kompeni tidak memiliki misi budaya, tidak
berhasrat melakukan campur tangan dalam tata cara hidup rakyat yang
diajak berniaga.
Sumber-sumber non-pemerintah memiliki keadaan yang sama. Sejak abad
ke-17 dan ke-18, hanya sedikit bahan yang selamat, kecuali dokumen-
dokumen kompeni Hindia Timur, karena kompeni adalah satu-satunya
organisasi Belanda yang aktif di wilayah itu. Tetapi pada abad ke-19
dan abad ke-20 muncul semua jenis badan hukum non-pemerintah:
perusahaan dagang, serikat buruh, partai politik, bank, perusahaan
asuransi, maskapai pelayaran, perusahaan tambang, kantor impor dan
ekspor, sekolah, perkumpulan missionaris, dan sebagainya. Bagian
terbesar diantaranya adalah organisasi orang Belanda, atau setidaknya
yang menggunakan bahasa Belanda. Semuanya mempunyai hubungan erat
dengan hal ihwal Indonesia, dan laporan-laporan mereka harus dianggap
sebagai bahan-bahan sumber Belanda asli untuk sejarah Indonesia.
(a) Manuskrip
Arsip-arsip bekas Kementrian Urusan Jajahan terbagi atas dua seksi
utama: arsip kementrian itu sendiri dan salinan terjemahan-terjemahan
pemerintah Hindia Belanda yang dikirimkan ke negeri Belanda dari
Batavia.
1. Berita-berita kementrian urusan daerah jajahan. Seri yang terkenal
dengan nama Gewoon Archief (arsip biasa) ini, meliputi surat-surat
yang keluar dan masuk sehari-hari dari kementrian ini tentang semua
masalah yang ada pada waktu itu tidak dianggap bersifat rahasia.
Berkas sejumlah 1906 buah yang meliputi jangka waktu 1814-1849
ditempatkan di dalam gudang utama di Bleijenburg, Den Haag. Yang lebih
penting bagi para sejarawan Indonesia ialah Geheim Archief (arsip
rahasia). Pada abad ke-19 banyak masalah yang digolongkan rahasia,
yang sekarang dalam keadaan yang sama tidak akan dimasukan ke dalam
jenis itu. Karena itu, Geheim Archief lebih kaya dalam segi penjelasan
umum dibandingkan dengan yang mungkin terbayang melalui namanya.
Antara lain terkandung di dalamnya pembahasan mengenai rancangan
kebijakan, pernyataan pendapat mengenai tindakan pemerintah pada masa
lampau, dan uraian tentang perundingan dengan negara dan orang asing.
Memang rupanya segala sesuatu yang seandainya diumumkan akan dapat
menyulitkan pemerintah, telah dimasukan ke dalam Geheim Archief dan
bukannya Gewoon Archief. Tentu saja hal itu menyebabkan orang menduga
bahwa yang tersebut pertama lebih dapat diandalkan karena merupakan
sumber yang lebih bebas pengungkapannya.
2. Berkas-berkas lain dari kementrian urusan jajahan yang bertalian
dengan sejarah Indonesia mencakup Kabinetsarchief, yang memuat
keterangan mengenai transaksi dan keputusan pribadi para menteri
urusan jajahan yang silih berganti, maupun sekitar tiga puluh kumpulan
dokumen rahasia yang diserahkan kepada arsip negara oleh para pejabat
yang bertugas di bawah pemerintah Hindia Belanda atau oleh anak cucu
mereka. Berkas-berkas pemerintahan Hindia Belanda. ”Dekrit Hindia
Timur” di mana termuat transaksi-transaksi pemerintahan Hindia
Belanda, terbagi ke dalam empat sub-judul. Pertama, dibagi menjadi
dekrit ”biasa” dan dekrit ”rahasia”; kedua, dibagi menjadi Dekrit
Gubernur Jenderal dalam kedudukannya di dewan (”in rade”) dan Dekrit
Gubernur-Jenderal yang bertindak dalam kedudukannya sendiri (”buiten
rade”). Dengan Regeeringsreglement tahun 1836, dewan Hindia (”raad van
indie”) dilucuti fungsi eksekutifnya dan menjadi badan penasihat saja.
Karenanya, sejak itu semua dekrit dikeluarkan oleh gubernur jenderal
sendiri. Tetapi, sebelum tahun 1836 Gubernur Jenderal diberi kuasa
untuk mengambil keputusan atas tanggung jawabnya sendiri dalam
beberapa hal, tetapi tidak dalam semua hal. Karena itu dekrit-dekrit
yang muncul sampai tahun 1836 keluar di bawah dua sub-judul: ”in rade”
dan ”buiten rade”.
Berikut ini adalah daftar dari pelbagai Koleksi Dekrit Hindia Timur
sebagaimana yang terbagi-bagi di dalam arsip negara:
a. Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda Bersama Dewan, 1819- 1836
b. Dekrit Rahasia Gubernur Jenderal Hindia Belanda Bersama Dewan,
1819- 1834
c. Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bertindak Sendiri, 1814-
1849
d. Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Dekrit Hindia Timur),
1830- 1932
e. Dekrit Rahasia Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bertindak Sendiri
1819- 1836
(b) Terbitan Resmi
Laporan tahunan pemerintah Hindia Belanda kepada Majelis Perwakilan
Tinggi dikenal dengan nama Verslagen, terbit sebagai pelengkap bagi
Staatscourant (diterbitkan di Belanda) sejak tahun 1851/2 dan
seterusnya. Fakta dan angka resmi serta rincian undang-undang,
ordonasi dan peraturan pemerintah yang dapat diterapkan di Indonesia,
dapat diperoleh dari Almanak van Nederlandsch-Indie dan Staatsblad van
Nederlandsch-Indie, Bijblad op het Staatsblad van Nederlandsch-Indie
serta Javasche Courant. Pengumuman tentang kebijakan pemerintah, dan
banyak informasi kecil lainnya, dapat ditemukan dalam Handelingen der
1e en 2e Kamer der Staten-Generaal (Laporan Tentang Perdebatan
Parlemen). Handelingen van den Volksraad, (Transaksi-Transaksi Dewan
Rakyat), diterbitkan sejak tahun 1918 dan seterusnya, yakni tahun
pelantikan Volksraad atau parlemen Hindia Belanda. Banyak bahan untuk
sejarah hukum, sejarah sosial dan sejarah ekonomi dapat juga ditemukan
dalam laporan tahunan pelbagai kementerian pemerintah Hindia Belanda.
(c) Sarana Bantu Penelitian
Akhirnya dapat disebutkan dua terbitan yang bersama-sama memberi
uraian yang boleh dikatakan lengkap tentang sumber-sumber tercetak
mengenai sejarah Indonesia yang ada dalam bahasa Belanda. Keduanya
mendaftar bahan sekunder maupun primer, tetapi referensi yang
diberikan cukup terinci sehingga pada umumnya memungkinkan kita untuk
membedakan yang satu dari yang lainnya.
Yang pertama adalah Catalogus der Koloniale Bibliotheek van het
Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land- en Volkenkunde van
Nederlandsch-Indie en het Indisch Genootschap (4 jilid, 1908-1937).
Dalam katalog ini disebut hampir seluruh terbitan sejarah tentang
jajahan Belanda yang muncul sampai tahun 1935. karena itu katalog ini
dapat dianggap sebagai bibliografi sejarah Indonesia yang hampir
lengkap yang ditulis sampai tahun itu.
Alat bantu penelitian tambahan yang bernilai adalah J.C Hooykaas dan
lain-lain, ed., Repertorium op de Koloniale Litteratuur (11 jilid,
1877-1935). Karya ini merupakan catalogue raisonne dari semua artikel
dalam berbagai majalah, jurnal, dan transaksi perkumpulan-perkumpulan
ilmiah yang berkenaan dengan wilayah Belanda di seberang lautan, dan
diterbitkan dalam wilayah itu atau di negeri Belanda antara tahun
1595-1932. Kepustakaan majalah Belanda memuat bahan-bahan rujukan asli
secara melimpah ruah. Dalam majalah ilmiah yang daftar namanya
terdapat di dalam repertorium, terdapat banyak terjemahan kronik
Indonesia, berbagai kumpulan dokumen, dan laporan serta notulen asli
dari banyak konperensi dan komisi penyelidik pemerintah.
Dalam historiografi kolonial ini memiliki beberapa karakteristik yang
membedakannya dengan historiografi pada periode yang lainnya.
Historiografi kolonial ditulis oleh sejarawan atau orang-orang
pemerintah kolonial yang intinya bahwa yang membuat adalah orang
barat. Pembuatan historiografi ini dimaksudkan untuk dijadikan sebagai
bahan laporan pada pemerintah kerajaan Belanda, sebagai bahan evaluasi
menentukan kebijakan pada daerah kolonial.
Oleh karena motivasinya adalah sebagai bahan laporan maka yang
ditulisnya pun adalah sejarah dan perkembangan orang-orang asing di
daerah kolonial khususnya Indonesia. Sangat sedikit hasil
historiografi kolonial yang menceritakan tentang kondisi rakyat
jajahan, atau bahkan mungkin tidak ada. Toh, kalau pun tercatat, orang
pribumi itu sangat dekat hubungannya dengan orang asing dan yang telah
berjasa pada pemerintah kolonial.
Selain itu, ciri dari historiografi kolonial masa Hindia Belanda
adalah memiliki sifat Europa-Centrisme atau yang lebih fokusnya adalah
Neerlando-Centrsime. Boleh dikatakan bahwa sifat ini memusatkan
perhatiannya kepada sejarah bangsa Belanda dalam perantauannya, baik
dalam pelayarannya maupun permukimannya di benua lain. Jadi yang
primer ialah riwayat perantauan atau kolonisasi bangsa Belanda,
sedangkan peristiwa-peristiwa sekitar bangsa Indonesia sendiri menjadi
sekunder.
3. HISTORIOGRAFI PASCA KEMERDEKAAN
Penulisan sejarah pada masa pasca kemerdekaan didominasi oleh
penulisan mengenai peristiwa-peristiwa yang masih hangat waktu itu,
yaitu mengenai perjuangan bangsa Indonesia dalam memperjuangkan dan
mempertahankan kemerdekaan. Pada masa ini penulisan sejarah meliputi
beberapa peristiwa penting, misalnya proklamasi kemerdekaan Indonesia
dan pembentukan pemerintahan Republik Indonesia. Kejadian-kejadian
sekitar proklamasi kemerdekaan Indonesia yang meliputi sebab-sebab
serta akibatnya bagi bangsa ini merupakan sorotan utama para penulis
sejarah.
Fokus penulisan sejarah pada masa ini juga mengangkat tentang tokoh-
tokoh pahlawan nasional yang telah berjasa dalam memperjuangkan
kemerdekaan dan bahkan banyak biografi-biografi tokoh pahlawan
nasional yang diterbitkan misalnya saja Teuku Umar, Pangeran
Diponegoro, atau Imam Bonjol. Selain biografi tentang pahlawan
nasional, banyak juga ditemui tulisan mengenai tokoh pergerakan
nasional seperti Kartini, Kiai Haji Wahid Hayim. Biografi-biografi
tersebut diterbitkan dimungkinkan karena alasan untuk menumbuhkan rasa
nasionalisme diantara kalangan masyarakat. Pada kondisi dimana sebuah
Negara beau berdiri, nasionalisme sangatlah penting mengingat masih
betapa rapuhnya sebuah Negara tersebut seperti bayi yang baru lahir,
sangat rentan terhadap penyakit baik dari dalam maupun dari luar. Dan
nasionalisme menjaga keutuhan sebuah Negara tersebut agar tetap tegar
dan tumbuh menjadi sebuah Negara yang makmur dikemudian hari.
Pada masa ini mulai muncul lagi penulisan sejarah yang Indonesia
sentris yang artinya penulisan sejarah yang mengutamakan atau
mempunyai sudut pandang dari Indonesia sendiri. Pada masa sebelumnya
yaitu masa colonial, penulisan sejarah sangat Eropa sentris karena
yang melakukan penulisan tersebut adalah orang-orang eropa yang
mempunyai sudut pandang bahwa orang eropa merupakan yang paling baik.
Pada masa kemerdekaan ini penulisan sejarah telah dilakukan oleh
bangsa sendiri yang mengenal baik akan keadaan Negara ini, jadi dapat
dipastikan bahwa isi dari penulisan tersebut dapat dipercaya.
Penulisan sejarah yang Indonesia sentris memang sudah dimulai jauh
pada masa kerajaan-kerajaan, tetapi kemudian ketika bangsa barat masuk
ke Indonesia maka era penulisan sejarah yang Indonesia sentris mulai
meredup dan digantikan oleh historiografi yang eropa sentris.
Penulisan sejarah tentu saja berisi mengenai peristiwa-peristiwa yang
terjadi di masa lalu, dan tentu saja sangat berkaitan erat dengan
tokoh yang menjadi aktor atau pelaku sejarah tersebut. Pada peristiwa
proklamasi kemerdekaan Indonesia yang menjadi sorotan utama adalah
tokoh nasional yang sering disebut sebagai Dwitunggal yaitu Soekarno
dan Moh. Hatta. Dua tokoh inilah yang menjadi tokoh utama dalam
peristiwa proklamasi tersebut, disamping tentu saja sangat banyak
tokoh-tokoh lain yang turut berperan dalam peristiwa tersebut.
4. HISTORIOGRAFI INDONESIA MODERN
Historiografi Indonesia modern dimulai sejak diselenggarakannya
Seminar Sejarah Nasional Indonesia di Yogyakarta dimulai pada tahun
1957. Semenjak itu penulisan sejarah Indonesia mengenai peristiwa-
peristiwa yang terjadi di Indonesia ditulis oleh orang Indonesia
sendiri. Sehingga dengan demikian dapat dilihat perkembangan Indonesia-
sentris yang mulai beranjak. Tentu saja hal ini sangat berpengaruh
bagi perkembangan sejarah itu sendiri. Berbagai peristiwa yang terjadi
di Indonesia ditulis oleh orang Indonesia sendiri, dengan demikian
tentu saja objektivitasnya dapat dipertanggung jawabkan karena yang
menulis sejarah adalah orang yang berada pada saat peristiwa tersebut
terjadi atau setidaknya
Pada masa ini juga terdapat terobosan baru, yaitu munculnya peranan-
peranan rakyat kecil atau wong cilik sebagai pelaku sejarah yang bisa
dibilang diperopori oleh Prof. Sartono kartodirjo. Semenjak itu
khasanah historiografi Indonesia bertambah luas. Selama ini penulisan
sejarah boleh dikatakan didominasi oleh para tokoh-tokoh besar saja
seperti para pahlawan kemerdekaan, ataupun tokoh politik yang
berpengaruh. Hal tersebut tentu saja tidak jelek, karena pada masa itu
yaitu sekitar kemerdekaan, bisa dibilang historiografi dipakai sebagai
pemicu rasa nasionalisme ditengah-tengah masyarakat yang baru tumbuh.
Oleh karena itu pada masa itu historiografi hanya berisi mengenai
biografi dan penulisan tentang tokoh-tokoh besar saja.
Perpindahan pandangan penulisan sejarah yang semula Eropa-sentris
menuju Indonesia-sentris tentu saja sangat berpengaruh bagi
perkembangan historiografi selanjutnya. Karena pada masa penjajahan
Belanda historiografi Indonesia memiliki ciri Eropa-sentris yaitu
lebih memadang bangsa Eropa sebagai yang paling baik, dan bangsa
diluar tersebut adalah tidak baik. Tetapi dengan berubahnya pandangan
menjadi Indonesia-sentris memungkinkan bangsa Indonesia tidak lagi
dipandang sebagai bangsa rendahan. Perkembangan yang terlihat pada
penulisan sejarah Indonesia adalah kata-kata "pemberontakan" yang
dahulu sering ditulis oleh para sejarawan Eropa kini berganti menjadi
"perlawanan" atau "perjuangan" hal tersebut logis karena sebagai
bangsa yang terjajah tentu saja harus melawan untuk mendapatkan
kemerdekaan dan kebebasan.
Tetapi pada perkembangan setelah Seminar Sejarah tahun 1957 muncul
beberapa permasalahan yang tampaknya cukup mengganggu, yaitu para
sejarawan cenderung hanya mengekor pada tradisi historiografi
colonial, dalam artian para sejarawan tidak dapat memanfaatkan tradisi
keilmuan sosial dalam melakukan penelitian sejarah. Pada permasalahan
selanjutnya adalah sejarawan seringkali hanya memfokuskan pada
persoalan Indonesia saja, padahal ada persoalan besar yang berkaitan
dengan dunia swecara global. Tetapi tentu saja hal tersebut kemudian
menjadi bahan refleksi untuk perkembangan historiografi selanjutnya.
Historiografi Indonesia modern dimulai sejak diselenggarakannya
Seminar Sejarah Nasional Indonesia di Yogyakarta dimulai pada tahun
1957. Semenjak itu penulisan sejarah Indonesia mengenai peristiwa-
peristiwa yang terjadi di Indonesia ditulis oleh orang Indonesia
sendiri. Sehingga dengan demikian dapat dilihat perkembangan Indonesia-
sentris yang mulai beranjak. Tentu saja hal ini sangat berpengaruh
bagi perkembangan sejarah itu sendiri. Berbagai peristiwa yang terjadi
di Indonesia ditulis oleh orang Indonesia sendiri, dengan demikian
tentu saja objektivitasnya dapat dipertanggung jawabkan karena yang
menulis sejarah adalah orang yang berada pada saat peristiwa tersebut
terjadi atau setidaknya
Pada masa ini juga terdapat terobosan baru, yaitu munculnya peranan-
peranan rakyat kecil atau wong cilik sebagai pelaku sejarah yang bisa
dibilang diperopori oleh Prof. Sartono kartodirjo. Semenjak itu
khasanah historiografi Indonesia bertambah luas. Selama ini penulisan
sejarah boleh dikatakan didominasi oleh para tokoh-tokoh besar saja
seperti para pahlawan kemerdekaan, ataupun tokoh politik yang
berpengaruh. Hal tersebut tentu saja tidak jelek, karena pada masa itu
yaitu sekitar kemerdekaan, bisa dibilang historiografi dipakai sebagai
pemicu rasa nasionalisme ditengah-tengah masyarakat yang baru tumbuh.
Oleh karena itu pada masa itu historiografi hanya berisi mengenai
biografi dan penulisan tentang tokoh-tokoh besar saja.
Perpindahan pandangan penulisan sejarah yang semula Eropa-sentris
menuju Indonesia-sentris tentu saja sangat berpengaruh bagi
perkembangan historiografi selanjutnya. Karena pada masa penjajahan
Belanda historiografi Indonesia memiliki ciri Eropa-sentris yaitu
lebih memadang bangsa Eropa sebagai yang paling baik, dan bangsa
diluar tersebut adalah tidak baik. Tetapi dengan berubahnya pandangan
menjadi Indonesia-sentris memungkinkan bangsa Indonesia tidak lagi
dipandang sebagai bangsa rendahan. Perkembangan yang terlihat pada
penulisan sejarah Indonesia adalah kata-kata "pemberontakan" yang
dahulu sering ditulis oleh para sejarawan Eropa kini berganti menjadi
"perlawanan" atau "perjuangan" hal tersebut logis karena sebagai
bangsa yang terjajah tentu saja harus melawan untuk mendapatkan
kemerdekaan dan kebebasan.
Tetapi pada perkembangan setelah Seminar Sejarah tahun 1957 muncul
beberapa permasalahan yang tampaknya cukup mengganggu, yaitu para
sejarawan cenderung hanya mengekor pada tradisi historiografi
colonial, dalam artian para sejarawan tidak dapat memanfaatkan tradisi
keilmuan sosial dalam melakukan penelitian sejarah. Pada permasalahan
selanjutnya adalah sejarawan seringkali hanya memfokuskan pada
persoalan Indonesia saja, padahal ada persoalan besar yang berkaitan
dengan dunia secara global. Tetapi tentu saja hal tersebut kemudian
menjadi bahan refleksi untuk perkembangan historiografi Indonesia yang
tidak hanya berorientasi Indonesia namun juga berkaitan dengan dunia.
Ada pada abad 20 M- sekarang. Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia
maka masalah sejarah nasional mendapat perhatian yang relatif besar
terutama untuk kepentingan pembelajaran di sekolah sekaligus untuk
sarana pewarisan nilai-nilai perjuangan serta jati diri bangsa
Indonesia, ditandai dengan:
1. Mulai muncul gerakan Indonesianisasi dalam berbagai bidang sehingga
istilah-istilah asing khususnya istilah Belanda mulai diindonesiakan
selain itu buku-buku berbahasa Belanda sebagian mulai diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia.
2. Mulai Penulisan sejarah Indonesia yang berdasarkan pada kepentingan
dan kebutuhan bangsa dan negara Indonesia dengan sudut pandang
nasional.
3. Orang-orang dan bangsa Indonesialah yang menjadi subjek/pembuat
sejarah, mereka tidak lagi hanya sebagai objek seperti pada
historiografi kolonial.
4. Penulisan buku sejarah Indonesia yang baru awalnya hanya sekedar
menukar posisi antara tokoh Belanda dan tokoh Indonesia.
Jika awalnya tokoh Belanda sebagai pahlawan sementara orang pribumi
sebagai penjahat, maka dengan adanya Indonesianisasi maka kedudukannya
terbalik dimana orang Indonesia sebagai pahlawan dan orang Belanda
sebagai penjahat tetapi alur ceritanya tetap sama. Keadaaan yang
demikian membuat para sejarawan dan pengamat sejarah terdorong untuk
mengadakan ”Kongres Sejarah Nasional” yang pertama yaitu pada tahun
1957. Pada kongres kedua namanya diubah menjadi ”Seminar Nasional
Sejarah”, membicarakan mengenai rencana untuk pembuatan sebuah buku
sejarah nasional baru dengan harapan dapat dijadikan semacam buku
referensi.
Oleh karena itu penulisan sejarah yang seharusnya adalah:
a) Sebuah penulisan yang tidak sekedar mengubah pendekatan dari
eropasentris menjadi indonesiasentris, tetapi juga menampilkan hal-hal
baru yang sebelumnya belum sempat terungkap.
b) Penulisan sejarah dengan cara yang konvensional (yang hanya
mengandalkan naskah sebagai sumber sejarah) yang bersifat naratif,
deskriptif, kedaerahan, serta tema-tema politik dan penguasa diganti
dengan cara penulisan sejarah yang kritis (struktural analitis).
c) Menggunakan pendekatan multidimensional.
Caranya yaitu dengan menggunakan teori-teori ilmu sosial untuk
menjelaskan kejadiaan sejarah sesuai dengan dimensinya dengan
menggunakan sumber-sumber yang lebih beragam daripada masa sebelumnya.
d) Mengungkapkan dinamika masyarakat Indonesia dari berbagai aspek
kehidupan yang kemudian dapat dijadikan bahan kajian untuk memperkaya
penulisan sejarah Indonesia.
Sebagai contoh:
Tulisan berjudul ”Pemberontakan Petani di Banten 1888” oleh Sartono
Kartodirdjo, seorang sejarawan Indonesia pertama yang menggunakan
metode multidimensional dalam penulisannya. Penulisan sejarah
Indonesia modern bertujuan untuk melakukan perbaikan dengan
menggantiklan beberapa hal seperti:
Adanya pandangan religio-magis serta kosmologis seperti tercermin
dalam babad atau hikayat diganti dengan pandangan empiris-ilmiah.
Adanya pandangan etnosentrisme diganti dengan pandangan
nationsentris.
Adanya pandangan sejarah kolonial-elitis diganti dengan sejarah
bangsa Indonesia secara keseluruhan yang mencakup berbagai lapisan
sosial.
Historiografi Modern Indonesia/ historiografi nasional. Ada pada abad
20 M- sekarang. Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia maka masalah
sejarah nasional mendapat perhatian yang relatif besar terutama untuk
kepentingan pembelajaran di sekolah sekaligus untuk sarana pewarisan
nilai-nilai perjuangan serta jati diri bangsa Indonesia.
Ditandai dengan:
Mulai muncul gerakan Indonesianisasi dalam berbagai bidang sehingga
istilah-istilah asing khususnya istilah Belanda mulai diindonesiakan
selain itu buku-buku berbahasa Belanda sebagian mulai diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia.
Mulai Penulisan sejarah Indonesia yang berdasarkan pada kepentingan
dan kebutuhan bangsa dan negara Indonesia dengan sudut pandang
nasional.
Orang-orang dan bangsa Indonesialah yang menjadi subjek/pembuat
sejarah, mereka tidak lagi hanya sebagai objek seperti pada
historiografi kolonial.
Penulisan buku sejarah Indonesia yang baru awalnya hanya sekedar
menukar posisi antara tokoh Belanda dan tokoh Indonesia.
Jika awalnya tokoh Belanda sebagai pahlawan sementara orang pribumi
sebagai penjahat, maka dengan adanya Indonesianisasi maka kedudukannya
terbalik dimana orang Indonesia sebagai pahlawan dan orang Belanda
sebagai penjahat tetapi alur ceritanya tetap sama.
Keadaaan yang demikian membuat para sejarawan dan pengamat sejarah
terdorong untuk mengadakan ”Kongres Sejarah Nasional” yang pertama
yaitu pada tahun 1957. Pada kongres kedua namanya diubah menjadi
”Seminar Nasional Sejarah”, membicarakan mengenai rencana untuk
pembuatan sebuah buku sejarah nasional baru dengan harapan dapat
dijadikan semacam buku referensi.
Oleh karena itu penulisan sejarah yang seharusnya adalah:
1. Sebuah penulisan yang tidak sekedar mengubah pendekatan dari
eropasentris menjadi indonesiasentris, tetapi juga menampilkan hal-hal
baru yang sebelumnya belum sempat terungkap.
2. Penulisan sejarah dengan cara yang konvensional (yang hanya
mengandalkan naskah sebagai sumber sejarah) yang bersifat naratif,
deskriptif, kedaerahan, serta tema-tema politik dan penguasa diganti
dengan cara penulisan sejarah yang kritis (struktural analitis).
3. Menggunakan pendekatan multidimensional.
DAFTAR PUSTAKA
http://kumpulantugassejarah.blogspot.com/2011/07/ciri-ciri-historiografi-tradisional.html
sumber :
Danar Widiyanta., “Diklat Perkembangan Historiografi”. Yogyakarta :
2002
I Gede Widja., “Sejarah lokal suatu Persepektif dalam Pengajaran
Sejarah”. Jakarta : Depdikbud 1989
Danar Widiyanta., “Diklat Perkembangan Historiografi”. Yogyakarta :
2002 hal.
Ibid.
Dimuat Jumat, 08 Juli 2011
http://ilmuhumaniora.blogspot.com/2011/06/historiografi-tradisional-indonesia_17.html
Diposkan oleh Cecep Lukmanul Hakim
Dimuat Jumat, 17 Juni 2011
http://kumpulantugassejarah.blogspot.com/2011/07/historiografi-kolonial.html
Diposkan oleh Kumpulan Tugas Sejarah di Dunia
Dimuat Sabtu, 09 Juli 2011
http://dnzshi.multiply.com/reviews/item/1
Penulis Danish
Sumber:
1. Soedjatmoko. 1995. Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 215-219
2. Sartono Kartodirdjo. 1968. Beberapa Fatsal dari Historiografi
Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Hal: 17-19
Dimuat Mar 6, '09 4:45 AM