Permohonan Saya untuk Komunitas Linux Indonesia
Saya di Forum Ubuntu Indonesia, ingin sekali meraup sebanyak mungkin pengguna Linux baru. Sebisa mungkin saya ingin user yang baru bergabung dapat merasakan kesenangan yang sama seperti yang saya rasakan kini. Saya mengerti kondisi user baru itu biasanya
– tidaktahucarainstalprogram
– tidaktahuapaiturepo
– tidaktahu.tar.gzituapa
– tidaktahuterminalituapa
– tidakkenalsudoaptgetinstall – tidakmemilikikoneksiinternet – belumpernahngoprekWindows – tidaktahucarasearchdiGoogle
persis seperti saya dulu. Saya bisa memahami perasaan mereka ketika tidak tahu apaapa lalu bingung mau tanya ke mana. Begitu tanya, ada saja kendala. Masalahnya adalah kendala itu terletak pada sisi kita, user yang kebetulan lebih senior1. Kita mesti berani akui ada kekurangan di sisi pelayanan. Bahkan sampai tingkat membuat orang lari. Ini yang semestinya dihindari dan akan dibahas pada esai ini.
Saya yakin di antara akang yang membaca tulisan saya ini pasti ada keinginan dalam hatinya untuk memperbesar jumlah pengguna Linux di Indonesia. Saya yakin ada harapan untuk mengembangkan SDM Linux kita. Saya yakin sekali akang senang kalau banyak pengguna Windows yang bermigrasi ke Linux. Mengapa saya yakin? Karena saya juga demikian. Kita satu. Namun ada beberapa sisi dari pembahasan User Experience (UX) yang kita tidak satu. Saya pun yakin karena inilah calon pengguna baru menjadi enggan menggunakan Linux. Nah, saya ingin membahasnya di dalam esai ini. Jadi, tema esai ini adalah user experience. Bagaimana sebaiknya user experience kita bangun agar user makin suka dan betah dengan Linux. Apa itu user experience, nanti saya usahakan menjelaskannya.
Sebelum saya memulainya, saya katakan dulu bahwa saya bukanlah yang paling paham UX di antara kita. Saya pun bukan orang paling lemah lembut di antara akang sekalian. Juga bukanlah saya ini orang yang paling mengerti Linux di antara kita. Saya yakin di antara akang ada yang lebih sempurna daripada saya. Saya hanya user yang tidak mampu memrogram atau mengembangkan sistem operasi baru. Maksimal kegiatan saya hanya ngeblog. Hanya saja saya alhamdulillah memiliki kesempatan menulis esai ini. Saya harap tidak ada rasa tak enak di antara kita. Tidak ada senioritas dan biarkan esai ini mengalir santai dalam benak akang. Mari kita mulai.
1 Senior dalam esai ini artinya arti lebih dulu kenal Linux.
Tentang Penulis
Perlu diperkenalkan insya Allah karena esai ini akan saya sebar ke forumforum Linux di Indonesia. Saya Ade Malsasa Akbar. Seorang pemuda 19 tahun pengguna Linux. Sering berkunjung ke Forum Ubuntu Indonesia dan lebih sering lagi main ke kanal IRC #ubuntu indonesia. Sampai hari ini menggunakan Ubuntu, senang teknologi baru, suka aplikasi yang legal dan gratis, senang menulis, suka kalau ada pengguna baru yang tertarik dengan Linux, senang desain grafis, senang desktop yang indah, senang tata bahasa yang indah, dan seorang blogger yang ingin mencari uang dengan Adsense. Oh ya, saya alhamdulillah bukan termasuk user yang mengingkari kemanfaatan Windows/aplikasi berbayar. Ringkas kata, saya mengharapkan kebaikan dan perbaikan untuk kita Linux User Indonesia. Penulis sedang belajar hidup sederhana. Dan ia bisa dihubungi dengan sms ke nomor hape 0896 7923 7257.
Tentang Target
Jelas sekali target esai ini adalah semua akangku, semua Linux enthusiast user di komunitas Linux seluruh Indonesia (teristimewa FUI). Termasuk dalam target adalah senior saya yang kini sedang mengembangkan distro Linux di Indonesia semacam Blankon. Dan yang paling utama, semua user yang mendahului saya menghuni forumforum Linux Indonesia. Jelasnya target saya adalah akangakang yang tiap harinya menjawab pertanyaanpertanyaan dari user baru.
Ke Mana Arah Esai?
Perbaikan di sisi kita yang berperan sebagai pengayom di komunitas. Biasanya pengayom ini disapa sebagai master atau mastah. Saya merasa ada yang perlu diperbaiki di sini sehingga saya menulis esai ini. Insya Allah demi kebaikan bersama.
User Experience?
User experience (pengalaman pengguna)23 saya definisikan sebagai seluruh aspek persepsi dalam interaksi antara pengguna dengan Linux. Ini termasuk interaksi user dengan pengayom komunitas yaitu kita yang mengurusi mereka dalam hal menjawab pertanyaanpertanyaan dan merespon ideide yang datang dari mereka. Dan di dalam esai ini, saya akan memfokuskan bahasan pada user experience antara pengguna dengan pengayom.
Sebentar. Jika Anda belum pernah mengenal UX, bayangkanlah semua aspek user interface (UI) Anda. Seluruh user interface yang Anda miliki saat ini termasuk jendela, desktop environment, window manager, widget, panel, pointer, menubar, taskbar, ribbon, aero glass dan sidebar (jika Anda menggunakan Windows Vista), serta semua yang bisa diklik di layar Anda. Desktop environment yang di Windows kita tidak mengenalnya, yang di Linux kita temukan banyak sekali, itu bagian dari user interface. Padahal satu desktop environment saja sudah sangat kompleks. Contohnya KDE, GNOME, XFCE, LXDE, Unity, dan sebagainya. Semua itu, UI yang sangat kompleks, hanyalah sebagian kecil dari UX. Jadi dapat dipahami kalau pembahasan UX itu jauh lebih luas dari UI. Kita tidak membahas UI di sini melainkan UX.
2 http://en.wikipedia.org/wiki/User_experience_design
3 http://mashable.com/2009/01/09/userexperiencedesign/
Penjabaran Masalah
Mari mulai ke inti. Kita samasama ingin memperbesar jumlah pengguna Linux di Indonesia. Kita samasama senang kalau ada pengguna Windows yang ikut menggunakan Linux. Lebih senang lagi melihat mereka migrasi ke Linux. Ini tujuan kita. Saya akan kontraskan dengan kendalakendala berikut ini yang saya ambil sebagiannya dari situs Tahutek pada laman http://www.tahutek.net/2011/12/lainnyajanganmenjadipenggunalinux.html.
1. Antiwindows
Masalah utama: kita ingin user menggunakan Linux. User yang kita inginkan pasti pengguna Windows. Sedangkan sebagian dari kita memiliki prinsip antiwindows atau antimicrosoft. Saya takkan ingkari prinsip tersebut karena saya sendiri kontrakapitalia. Namun masalah besar muncul saat sebagian kita menampakkan prinsip ini dalam bentuk katakata dan sikap kepada user. Misalnya saat demo Linux kepada mereka, kita berkatakata yang menjatuhkan kemapanan mereka dengan Windows. Atau kita langsung menjatuhkan martabat Windows di depan mereka. Saya beri contoh: misalnya (mikocok, microsuck, win$hit, dan katakata kurang pantas lainnya). Apa masalahnya? Sikap antipati user Windows kepada kita. Mereka tidak mengerti apaapa. Mereka tidak paham medan sama sekali, sedikit beda dengan kita. Sayangnya sebagian besar user masih belum berpengetahuan. Mereka sudah lama mapan dengan Windows jadi kalau kita jatuhkan tibatiba martabatnya, mereka kira kita menghina mereka. Kalau langsung dibegitukan, mereka akan pergi dari kita. Tujuan kita gagal.
Solusi: ajarilah mereka. Ajari cara Anda berpikir. Cara yang paling elegan yang Anda punya. Sebaiknya jangan dengan langkah frontal. Mereka, user kebanyakan di Indonesia, adalah manusia yang berhati kapas. Perasaannya halus. Di era komputer ini pun mereka masih dominan perasaan daripada pikiran. Maka itu, kita ajak mereka dengan lembut dan sabar. Kalau kita punya prinsip antiwindows, silakan. Namun saat berhadapan dengan mereka, sembunyikan. Jangan tampakkan sedikit pun. Katakan saja apa adanya kalau Windows itu dipakai oleh banyak orang, Windows itu instan banget sehingga memudahkan, mengatasi virus di Windows itu begini dan begini, sudah jujur saja. Pelanpelan tunjukkan apa yang Anda merasa nyaman di Linux. Dan tidak perlu menyembunyikan kekurangan Linux. Katakan saja sejujurnya.
Kita tidak perlu menampakkan permusuhan sengit kita kepada Microsoft di hadapan user. Apalagi jika user ini berlatar belakang orang awam, yang mengertinya komputer untuk memutar MP3 dan main kartu remi, yang cara uninstal aplikasi saja tidak mengerti, atau seumur hidup tidak pernah ngoprek. Kita hindari jauhjauh sikap ini. Inilah kuncinya andai kita mau pengguna Linux bertambah.
Katakanlah user ini enggan karena Linux ada kekurangan. Tapi keuntungannya, dia menaruh trustment kepada Anda. Mohon dikoreksi andai salah, trustment (kepercayaan) di dalam bisnis itu sangat penting. Bahkan paling penting sebelum suatu relasi kerja dilaksanakan. Prinsip ini bisa dipakai di dalam promosi Linux. Berbahagialah kalau ada orang menaruh trustment kepada Anda. Kalau satu user menaruh trustment kepada Anda, dia akan sukarela mempromosikan Anda kepada temantemannya. Dari situ Anda punya kesempatan besar untuk mempromosikan ke temanteman si user tadi. Minimal Anda melatih skill untuk
meyakinkan orang. Ini akan bermanfaat sekali.
2. Kasar
Saya sendiri sebenarnya kaget juga mendengar bahwa komunitas Linux itu kasar. Sampai sekarang saya tidak pernah permasalahkan sikap seluruh komunitas kepada saya. Saya tidak peduli seseorang mau menghardik saya bagaimana, bahkan kalau bisa misuhi4 saya, saya akan tetap menggunakan Linux. Namun setelah beberapa waktu berlalu, saya terpaksa membiarkan persepsi kasar muncul di benak saya saat memerhatikan bagaimana interaksi antara pengayom dengan user. Terutama sekali di sini user yang cara uninstal aplikasi di Windows saja tidak mengerti dan yang semisal dengannya. Jadi apa masalahnya? Ini sedikit rumit sehingga perlu ditulis daftar bagaimana kasarnya.
1. Ditanyatidakmenjawab=kasar.
2. Ditanyamalahmenjawabberputarputar(dengannadamelecehkan)=kasar.
3. Ditanya“mas,inigimana?”jawabnya“sonocaridulu!”=kasar.
4. DimintabantuinstaldistrodenganbahasaInggrismalahdiejek=kasar.
5. DitanyacaraejectUFDgimanamalahmenyuruhsonobelajarsendiri=kasar.
6. Ditanyamalahmarahmarah=kasarlevel2.
7. Ditanyamalahmemakiuserdenganmenyebutnamahewankepadanya=kasarlevel3.
8. Dimintaimaaftidakmenjawab=kasar.
9. Tidakmembantupenanya=kasar.
10.Dimintai skrinsot → “sono cari di google!” → yang lain malah bilang “counter attack” =
kasar.
Itulah semua persepsi kasar yang muncul di benak user saat berinteraksi dengan pengayom. Tidak bisa diingkari bahwa ini ada dan nyata. Ternyata yang semacam inilah yang membentuk user experience kurang baik terhadap komunitas Linux. Ini semua saya alami sendiri dan sebagian saya kiaskan. Saya juga newbie saat ini. Sehingga dengan merasa newbie, saya bisa memahami apa yang dirasakan user yang resah karena masalahnya tidak selesai. Nah, masalahnya akan saya jelaskan satusatu.
Secara global, seluruh user, ingin masalahnya selesai. Saya pakai skenario sederhana saja. Ada user yang cara search di Google saja tidak mengerti, bertanya tentang modem apa yang cocok untuk Ubuntu. Kita lalu menyuruhnya mencari di Google. Dengan nada kurang halus pula. Maka apa yang terjadi? Si user ini akan kesal dan merasa enggan untuk kembali kepada kita. Tujuan kita gagal.
Bagaimana bisa begitu? Ya karena di benak setiap user, kita sebagai pengayom, dianggap master. Atau istilah para gamer, kita GM. Kita ini di mata mereka adalah power user yang menguasai Linux. Apalagi jumlah kita banyak di forum. Asumsi dasar mereka (perhatikan) adalah pasti masalah saya beres kalau tanya masmas yang di forum sono. Sederhana sekali memang cara berpikir mereka dan tolong ini dipahami. Kalau kenyataannya mereka sudah tanya, lalu mendapat jawaban tidak sesederhana yang mereka pikirkan, mereka akan kesal. Mereka menganggap usaha mereka untuk register ke forum lalu bertanya itu sudah sangat heboh. Ternyata diberi tugas lagi mencari di Google pula. Akhirnya mereka ogah atau merasa
4 Berkata kasar.
lebih enak Windows saja. Tujuan kita gagal, bukan?
Saya tambah satu lagi. Apakah yang user pikirkan saat tidak ada orang yang merespon pertanyaannya? Jangan menjawab, merespon saja. Bagaimana? Pasti dia kecewa. Respon itu penting sekali dalam membentuk suatu UX. Perhatikan bahwa sistem operasi yang responsif lebih disukai orang daripada yang kurang responsif. Sudah diklakklik, tidak ada jawaban. Orang pasti lari ke sistem operasi lain yang lebih responsif. Diklik sedikit, ada respon entah itu maju atau mundur. Yang pasti tidak ada diamnya. Mac OS X misalnya. Dalam hal ini, saya ingin memberi contoh skenario. Ada user tanya, bagaimana instalasi kodek di Ubuntu. Sudah lama dia membuat trid baru, bahkan sudah mintaminta di shoutbox, ternyata tidak ada pengayom yang membalasnya. Minimal sapaan 'apa kabar, Kang' saja tidak ada. Apa yang dia rasakan? Pasti dia kecewa. Minimal ada di hatinya perasaan ogah ke forum ini lagi. Dan akhirnya tujuan kita gagal pula.
Sebentar. Apakah Anda kaget dengan poin 6 dan 7? Jangan khawatir, saya yakin hanya saya yang mengalami itu dan saya harap tidak bakal terulang selamalamanya. Ini terjadi pada saya saat saya berinteraksi dengan dua person yang berbeda dari 2 komunitas yang tak sama. Saya sudah bilang, seperti apa pun kerasnya komunitas, itu tidak menjadikan saya lari. Namun bahayanya kalau ini diarahkan kepada user yang hatinya kapas. Bisabisa dia menulis di koran dan menjatuhkan martabat seluruh komunitas kita di Indonesia ini. Malah runtuh seluruh yang kita bangun selama ini. Jadi apa solusinya?
Solusi: akhlak mulia5. Saya ingin user memilih Linux bukan karena kapabilitasnya tetapi karena akhlak Anda yang mulia. Menampakkan respon, menunjukkan sikap yang sopan, memberikan pelayanan yang bagus, menyapanya dengan sapaan yang baik, dan semacam itu. Dia akan betah dengan kita. Jadilah yang pertama di forum dalam menjawab user yang bertanya, lebihlebih jika dia menggunakan Windows. Kasih dia UX yang tidak akan pernah dia lupakan seumur hidup. UX yang luar biasa bagusnya yang dia tidak temukan di forum Windows mana pun. Berlombalombalah dalam mewujudkan itu. Ya itulah akhlak mulia. Kesempatan besar untuk kita. Ayo tunjukkan dan berlombalombalah!
Ingin contoh? Bikinlah satu trid di forum Anda yang isinya ebook belajar Linux dari dasar. Misalnya Anda kumpulkan dulu ebook belajar perintah terminal dari seluruh jagad maya. Unggah ke satu server lalu letakkan semua linknya dalam satu trid Anda tadi. Tulis di situ silakan didownload untuk newbie yang ingin belajar Linux dari dasar. Arahkan setiap user yang baru gabung ke sana. Dorong mereka untuk mengunduh dan membacanya. Kalau mereka memberikan feedback (misal: terima kasih), sebisa mungkin balaslah dengan katakata yang baik (misal: samasama. Semoga bermanfaat). Bagaimana perasaan mereka? Senangnya bukan main. Padahal cuma begitu saja! Apa sih, ebook? Paling ukurannya maksimal 1 MB. Namun itu sangat membantu mereka dalam menyelesaikan masalah. Ditambah dengan persepsi bahwa ada pengayom yang memerhatikan mereka. Perhatikan ini, perasaan bahwa saya diperhatikan itu penting. Maka, bentuklah UX yang cantik dengan akhlak mulia. Dan ini sudah terbukti dengan sangat jelas di FUI.
Jika Anda bertanya apa alasan saya menulis solusi ini, maka jawabannya adalah saya 5 http://almalanji.wordpress.com/2011/01/15/inilahsikaphikmahdalamberdakwah/
terinspirasi dengan pelayanan di Perusahaan Hosting Idwebhost.com. Dulu saya pernah menggunakan jasa mereka. Customer supportnya alias pengayom membalas semua pertanyaan saya baik via YM maupun sms. Inspirasi tak terbatas pada Idwebhost.com, tetapi juga layananlayanan lainnya yang menyediakan customer support. Kita tidak perlu mengontraskan mereka berbayar kita tidak. Yang mereka kerjakan sebetulnya sangat sederhana: mengayomi user. Modal mereka hanya sikap yang sopan dan wajah yang ramah. Tak ada kesan kasar di benak saya. Gampang sekali, bukan? Lalu apakah ini sulit diterapkan di komunitas Linux Indonesia? Saya yakin tidak. Kita orang timur bukan barat. Kita punya tata krama sendiri bahkan Bahasa Jawa saja dibagi jadi 3 berdasarkan level kelembutan (ngoko, krama, krama inggil). Apa yang sulit? Tidak ada. Tinggal sedikit dorongan untuk melaksanakan.
Jadi, user itu sederhana sekali. Lebih sederhana dari yang bisa kita bayangkan. Kadang justru hal yang sepele alias gampang sekali malah menjadi hal yang membahagiakan buat mereka. Apa sih beratnya memberi mereka satu skrinsot saja andai diminta? Kita malah senang membiarkan mereka mencari sendiri di Google. Mereka belum tentu senang. Sebaliknya, kadangkala halhal yang rumit alias canggih yang kita sangka akan memudahkan mereka, malah tidak membuat mereka terbantu. Kalau memang user sangat mengharap perhatian dan bantuan pengayom forum, lalu pengayom forum berpikirnya 'kamu jadilah mandiri pasti jadi master', dia sama sekali tidak merasa terbantu. Harus tepat menaruh sikap pada saat yang pas. Maka itulah esai ini ditulis.
Sebenarnya saya ingin mengkritik kekasaran tanpa menggunakan jalan kekasaran itu sendiri. Namun andai kalimat saya ini kasar, saya minta maaf. Saya merasa harus menulisnya. Kalau kita ingin user menggunakan Linux tetapi cara kita kasar, jangan mimpi ada user yang mau menggunakan Linux.
3. Berlebihan
Semua kearifan akan mengatakan berlebihan itu tidak baik. Sama halnya dengan berlebihan dalam mengajak migrasi. User Windows biasanya orangnya sederhana sekali. Kalau cukup canggih, mereka akan menyalin data di partisi lain (backup). Orang yang tipenya sederhana semacam ini, tidak cocok kalau kita jejali dengan karakteristik sistem Linux. Di sini saya akan membandingkan antara user Windows dengan Linux secara fundamental. Biar kita tahu posisi kita di mana.
Linux User |
Windows User |
Saya menyimpan data di /home/master/Publik/ |
Saya menyimpan data di komputer |
Bisa sudo |
Tidak kenal command prompt |
Bisa aptget |
|
Bisa navigasi dasar di terminal |
|
Pernah menggunakan Microsoft Office, Openoffice, Libreoffice, bahkan Calligra Office |
Hanya menggunakan Microsoft Office |
Pernah menginstal OS sendiri (Windows atau OS tinggal pakai habis beli komputer Linux)
Tahu GIMP dan Inkscape, sekaligus Photoshop dan CorelDRAW |
Tahu Photoshop atau CorelDRAW saja |
Tahu modprobe, usbserial, wvdial, gnome ppp, network manager |
Hanya tahu klik pada aplikasi untuk konek dengan modem USB |
Pernah ngoprek Windows dan sudah ngoprek Linux |
Ngoprek Windows saja belum tentu |
Mengenal navigasi dasar desktop dengan shortcut key semacam Win+E di Windows atau Ctrl+Alt+Kanan di Linux. |
Hanya mengenal klik pada ikon di desktop. Untuk menutup jendela, selalu dengan klik pada X. |
Mengenal istilahistilah computer science semacam kernel, process, service, shell, dll. |
Tidak kenal istilah |
Mengenal istilahistilah teknologi secara global seperti cloud computing, server, free software, freeware, shareware, router, dll. |
|
Menggunakan desktop environment (KDE/GNOME/Unity/XFCE/LXDE/dkk.) |
Tidak kenal konsep desktop environment |
Menggunakan virtual desktop/workspaces |
Lihat. Ada perbedaan yang cukup tajam. Cara baca tabel ini adalah sesaat setelah mengenal Linux, Linux user tahu ini dan sesaat setelah mengenal Windows, Windows user tahu itu. Karena di sini saya membandingkan kondisi pada Linux user default dengan Windows user default, maka kita bisa mengambil kesimpulan yang mudah. Linux user itu memiliki pengetahuan yang lebih luas. Alasannya karena dia sebelumnya Windows user lalu pindah ke Linux.
Masalahnya adalah keadaan pengetahuan yang jauh berbeda. Dengan ketimpangan pengetahuan ini, sering terjadi intimidasi tak langsung kepada user yang sedikit pengetahuannya. Ini yang disebut berlebihan. Ini yang mengakibatkan UX menjadi buruk.
Bentuk lainnya adalah kita mengajak migrasi ke OS yang halal6. Betul ini adalah suatu perkara yang mulia. Namun berlebihan kalau sampai menjatuhkan martabatnya di depan umum karena itu. Sayangnya ini banyak terjadi. Dia pasti malu dan ogah untuk bertemu kita lagi. Gagal lagi tujuan kita.
Solusi: Jadi perhatikanlah bahwa secara default, keadaan pengetahuan Linux user itu lebih banyak daripada Windows user. Kita tidak bicarakan expert/intermediate user di sini. Andai demikian, lalu kita berlebihan, mereka akan menolak dengan pasti. Sudah semestinya andai kita berpengetahuan lebih luas, kita ayomi mereka. Kita lacak dulu cara pikirnya lalu kita beri materi yang dia bisa pahami. Akan mudah dimengerti kalau saya kasih negasinegasi:
6 http://galaksiislam.wordpress.com/2010/01/28/hukummembajakprogramkomputerdansemisalnya/
– semestinyakitatidakmengenalkanterlalubanyakistilahfundamentalsepertiLinuxitu nama kernel
– tidakpulaberkatakatadenganbahasayangsulitdiajangkau
– tidakpulamembencidiakalaudiamintaLinuxyangberbahasaInggrisdaripada
Indonesia
– tidakpulamengejekdiakalaudiatidakpahamakansesuatuyangbagikitasangat
gampang, sangat dimaklumi, atau sangat remehtemeh semisal ejecting USB flash disk
– tidakpulamempersulitdiadenganmembiarkannyatersesatdiTerminal.
Kita sadari bahwa banyak user suka yang instaninstan. Banyak user menyukai yang kita kuasai kebalikannya. Banyak user belum mengerti software itu barang jualan. Maka, dalam mengajak migrasi, kita mesti utamakan kesabaran. Kita yakin dulu bahwa user ini pasti tidak mudah beralih. Mungkin dia belum mengerti. Karena itu, ajarilah mereka. Namun ajari dari jalan yang paling mudah dimengerti oleh dia. Dia ingin yang instan? Kasih! Anda kan Linux user? Apalagi Anda mengerti open source. Pasti bisa dong, memberi solusi paling instan untuk dia? Percayalah kalau Anda sanggup memberikan solusi yang instaninstan kepadanya, Anda akan mudah mengajak dia beralih ke Linux. Tidak penting dia mengerti terminal atau GNU GPL, yang penting dia mau menggunakan Linux. Kalau nanti dia sudah cukup mapan menggunakan Linux, baru kita pahamkan dia kepada halhal fundamental. Itu pun kalau kita bisa buat dia senang mendengarnya.
Mengapa saya memberi solusi ini? Karena user suka yang instaninstan. Mereka benci yang rumitrumit. Mereka jauh dari sesuatu yang tidak praktis. Termasuk Linux. Saya sendiri mengakui bahwa Linux itu tidak praktis. Minimal, tidak sepraktis Windows dalam konteks penggunaan dasar pengguna kebanyakan. Contoh paling sempurna adalah sekali klik untuk internetan via modem USB. Ini praktis. Di Linux, seringkali tidak sesederhana itu. Akhirnya persepsi mereka adalah Linux itu susah. Tidak bisa kita salahkan. Karena itulah, jika ingin user menggunakan Linux, kita usahakan memberi dia yang instaninstan. Seinstan mungkin yang bisa kita berikan.
Ingin saya kemukakan sebuah analogi UX mengapa user Windows susah menggunakan Linux. Saya harap ini jelas.
Saya: Apakah Anda bisa berkendara?
Dia: Ya (anggap saja demikian).
Saya: Pada sisi mana di jalan Anda biasanya berkendara?
Dia: Kiri. Siapa pun tahu itu.
Saya: Bagaimana kalau sekarang saya meminta Anda berkendara dari sisi kanan?
Dia: Wah, sulit itu. Kita di Indonesia terbiasanya di sisi kiri. Kita bukan orang barat.
Saya: Jadi Anda terbiasa di sisi kiri jalan?
Dia: Ya, sejak bertahuntahun. Kalau mau dari kanan, saya harus latihan dulu. Ah bukan, kita
semua seIndonesia harus latihan dulu.
Saya: Terima kasih atas pengakuan Anda :)
Jelas? Kebiasaan itu sangat memegang peranan dalam UX. Apalagi yang bertahuntahun. Kalau kita ingin mereka beralih ke Linux, maka itu artinya kita mengganti kebiasaan menyetir
di kiri dengan menyetir di kanan. Ini bukanlah hal yang ringan diterima oleh mereka. Maka itu kita mesti sadar kalau promosi Linux adalah perjalanan panjang. Mesti perlahanlahan. Tidak bisa terburuburu atau dipaksapaksa. Sekali lagi saya tekankan bahwa tidak penting user tahu terminal, atau mengerti istilahistilah fundamental, atau ahli googling, yang penting mereka mau menggunakan Linux dulu. Jangan sampai terulang lagi kisah user yang semangat tapi jadi buyar harapannya karena dikasih syarat anehaneh untuk satu pertanyaan sepele.
Kalau misalnya mereka tanya sesuatu yang bagi akangakang – power user – sepele, jawab saja. Meski sudah ada FAQ. Jawab saja. Beri dia UX yang takkan terlupakan selamanya. Hasilnya apa? 'Oooh, forum ini baik sekali, ya? Masmasnya menolong saya saat saya membutuhkan.' Yakin dia bakal betah dengan Linux dan komunitasnya.
Andai pun kita enggan menjawabnya, paling minimal berkatalah yang lembut kepadanya: “pertanyaan akang ini sebenarnya sudah terjawab pada laman [url]. Silakan akang merujuk ke sana. Kalau ada masalah, silakan bertanya kembali :) ”. Sudah, yakinlah dia akan sangat senang diberi sambutan seperti itu. Hindari katakata yang kurang ramah. Kenapa? Karena tujuan kita user mau menggunakan Linux. Apalagi kalau kita ingin user menggunakan distro buatan kita. Tanpa keramahan dalam mengayomi user, keinginan itu hanya anganangan kosong belaka.
Kalau mereka tidak mampu menggunakan Terminal, ya kita maklumilah di Windows saja CMD tidak pernah disentuh. Kitalah yang maju membantunya. Kita ketikkan perintahperintah terminal yang sudah kita kuasai. Masalah dia selesai, dia puas, Anda memperoleh trustment plus latihan. Ini seperti EXP di RPG.
Kalau misal mereka minta skrinsot, kasih. Tidak perlu menyuruhnya googling untuk skrinsot yang tinggal klik bisa kita upload. Ingat, mereka user berhati kapas.
4. Tidak Bisa Menerima Kenyataan
Cukup aneh kesan yang muncul di benak saya ini. Kesan itu adalah Linux user tampak tidak bisa menerima kenyataan jika Linux OS memang kalah jauh dari Windows atau Mac OS X7. Kita semua tampak menghindar untuk mendengar respon dari user yang mengeluh kurangnya fitur ini dan itu di Linux. Saya akan coba tampakkan contohcontohnya.
Legalitas: Secara umum, Linux enthusiast user di Indonesia tampak menyuarakan legalitas. Sering kita temukan ucapan anti pembajakan. Sering kita mengingatkan saudara kita bahwa pembajakan itu buruk. Ini bagus. Masalahnya kita lupa kalau mayoritas user Indonesia menggunakan aplikasi ilegal. Ambillah sampel pengguna di sekolah Anda lalu catat berapa banding berapa yang legal. Anda akan mendapat angka kecil sekali. Ini masalah karena inilah medan tempur kita. Kita akan tampak tidak bisa menerima kenyataan ini kalau kita punya sikap memaksa. Kenyataannya memang sebagian kita terkesan memaksa user untuk serta merta meninggalkan Windows.
7 Kalah jauh dari sisi UX.
Batas kemampuan user: kenyataan berkata mayoritas user tidak paham apa yang mereka gunakan. Ada yang tidak paham sama sekali tentang konsep sistem operasi. Ada yang tidak pernah menyentuh shortcut key sama sekali. Ada pula yang tidak mengerti cara uninstal aplikasi di Windows, tidak mengerti prinsipprinsip kerja sistem. Ada yang tidak punya uang untuk internet. Ada yang matanya sakit jika lama menatap monitor. Ada dan ada yang lain lain. Berbedabeda keterbatasan user kita. Namun dari semuanya bisa ditarik satu prinsip pokok user Indonesia (meski keterbatasannya bedabeda), yaitu mereka ingin pekerjaan selesai. Sayangnya, dengan kenyataan banyaknya jenis keterbatasan user ini, kita sering mengglobalkannya jadi 1 jenis user saja. Yaitu user yang setaraf dengan kita. Ya, user yang sudah paham ini, itu, sering ngoprek, bersedia googling selalu, mau lama menatap layar monitor, dan semacamnya. Inilah masalahnya. Kita tampak tidak bisa menerima kenyataan bahwa user kita memiliki batas kemampuan yang berbedabeda.
Apa buktinya? Sangat mudah ditemukan. Lihatlah rules di forumforum. Tidak boleh tanya kalau sudah terjawab ← kecenderungannya ke arah situ. Artinya, user senantiasa didorong untuk search dulu sebelum tanya. Ini bagus untuk mendidik user awam macam saya yang masih bersedia ngoprek. Saya takkan ingkari kalau sistem ajaran macam ini bakal mencetak ahliahli baru. Namun kalau kita globalkan bahwa semua pengunjung forum bersedia ngoprek, maka inilah masalahnya. Kalau kita (tanpa sedikit pun ramah tamah) menyuruh mereka 'googling dulu sana!' atau 'kamu mengulang pertanyaan yang sudah terjawab!', ini artinya kita tidak bisa menerima kenyataan bahwa batas kemampuan user itu bedabeda. Sayangnya, banyak di antara kita yang demikian. Mengapa kita tidak PM saja dia mengatakan “kang, pertanyaan akang di laman ini itu jawabannya demikian dan demikian. kalau ada kesulitan, silakan bertanya kembali.”? Sulitkah? Bahkan user akan mencintai Anda.
Apa untungnya? Apa ruginya? Untungnya pas kena user yang memang senang eksplorasi (biasanya anak muda) sehingga dia terdidik menjadi ahli. Ruginya pas kena user yang hanya ingin kerjaannya sejesai (biasanya orang dewasa), dia akan kecewa. Sayang kebanyakan user seperti ini. Dan kita kehilangan user. Ini kan kontras sekali dengan tujuan awal kita (mengajak user menggunakan Linux)?
Baru: bagi semua user Windows di Indonesia, Linux adalah barang baru. Bahkan yakinlah kalau sampai hari ini masih ada orang yang belum pernah dengar nama Linux. Lalu, dengan hal baru ini kita mempromosikan kepada awam, dengan terlalu banyak materi. Kita sebagai pengayom enggan mendengar permintaan user agar UX distro ini tolong dimiripkan Windows. Mungkin alasan enggannya biar itu ciri khas Linux. Namun, kalau ditabrakkan dengan tujuan kita, ujungujungnya gagal lagi. Karena Linux adalah barang baru bagi Indonesia. Kalau kita pertahankan prinsip ini, maka terbuki kita kurang bisa menerima kenyataan.
Di Indonesia: kita barangkali sering mengkiaskan user Indonesia dengan user luar negeri. Di luar negeri, angka suka membacanya tinggitinggi. Di sana internet seperti televisi di warung warung sini alias gratis. Di sana angka patuh aturan pemerintahnya tinggitinggi pula. Di luar sana kepedulian terhadap bahasa sendiri sangatlah tinggi (tidak ada singkatansingkatan)8. Barangkali di luar sana kita suruh semua user untuk googling tidak masalah. Lalu kita anggap orang Indonesia sama dengan mereka. Kenyataan masih kebalikannya. Kalau kita samakan
8 Sebagai contoh, silakan lihat halaman mana saja dari forum Wordpress.
perlakuan, berati kita belum bisa menerima kenyataan.
Kita minor: siapa bisa mengingkari kalau Linux user minoritas? Coba perhatikan OS teman teman Anda. Masalahnya, kita tetap mempertahankan prinsip menyamaratakan user itu. Kita masih sering kurang ramah terhadap user baru. Akibatnya? Tujuan kita gagal lagi. Sudah minoritas, galak, terus OSnya susah pula. Sangat waras kalau useruser lari dari kita. Kalau dengan keminoran ini kita tetap menjadi pengayom yang tidak ramah, maka itulah bukti kita tidak sanggup menerima kenyataan.
Solusi: sebetulnya masalah paling besar menurut saya adalah kita minor. Intinya, sudah komunitas kita itu minoritas, galak, terus OSnya susah pula. Katakanlah seperti itu. Namun perhatikanlah. Seandainya kita memang tetap minoritas 10 tahun ke depan, dan Linux tidak lebih praktis daripada Windows 12 tahun ke depan, tetapi kita sebagai Linux enthusiast user berhasil menjadi komunitas paling ramah terhadap pengguna 1 tahun ke depan, saya yakin akan sangat banyak user Windows masuk ke Linux. Kalau minoritasnya tidak bisa diubah, kalau Linuxnya susah diubah, ya sudah kita saja yang berubah. Berlombalombalah menyajikan UX paling gemilang bagi useruser baru. Berusahalah menjadi satusatunya komunitas dalam sejarah dunia yang paling ramah terhadap pengguna. Ukir saja sejarah bahwa ternyata bukan jumlah atau kapabilitas, tetapi keramahtamahan itulah power kita sesungguhnya. Dan kalau ini betulbetul terjadi, saya yakin tidak akan susah untuk mengubah minoritas menjadi mayoritas dan mengubah stressfulnessnya Linux menjadi stressless OS. Hingga suatu hari akan ada user Windows yang bilang “...ternyata komunitas paling ramah dan paling peduli terhadap saya hanyalah komunitas Linux...” Barangkali memang Linux tidak ramah pengguna, tapi jangan sampai komunitasnya juga. Sesuai nasihat Linux enthusiast user sendiri: mulai dari diri sendiri, dari hal kecil, sekarang juga.
Memukul Paradigma dengan Bahasa
Saya masih perlu menggebuk paradigma agar nyata perlunya perubahan ini. Kita sungguh harus berubah dari komunitas yang dulu menjadi yang ramah pengguna. Saya sampaikan bahwa bukan Anda saja yang ingin mempromosikan sesuatu. Saya juga. Bedanya, ketertarikan saya di bidang bahasa. Bahkan saya bisa disebut language enthusiast karena kegemaran saya. Saya paham sedikit sekali orang yang seperti itu. Makanya akan saya sampaikan beberapa promosi saya.
Tahukah Anda bahwa:
Sumatera, himbau, hembus, dimana, diatas, disana, disini, apapun, aktifitas, analisa, adalah
katakata yang tidak baku? Kata yang baku dalam bahasa kita adalah Sumatra, imbau, embus,
di mana, di atas, di sana, di sini, apa pun, aktivitas, analisis.
Apa artinya kata tidak baku? Artinya kata tersebut tidak diakui dalam bahasa kita. Dengan kata lain, ilegal. Semestinya kata yang digunakan adalah yang legal.
Apa harapan saya? Hanya language user Indonesia mau menggunakan bahasa yang diakui dalam penulisan keseharian. Itu saja. Namun apa kenyataannya? Begitu banyak language user yang semisal dengan Windows user. Dia tidak paham kalau ada kata yang baku dan ada yang
tidak. Dia tidak melihat medan betapa buruknya kemampuan kita jika dibandingkan dengan masyarakat luar. Saksikan forum Wordpress dan Anda akan melihat bahwa language user sana meski dalam keadaan darurat, masih tetap menggunakan bahasa yang baik. Dan tidak ada singkatansingkatannya. Malah boleh dikata mereka menulis di bawah tekanan masih lebih bagus daripada skripsi di sini. Boleh Anda buktikan sendiri ucapan saya ini.
Bukankah semestinya kita malu? Betapa besar porsi acuh tak acuh kita terhadap bahasa sendiri. Saya senang bahasa. Maka itu saya ingin sekali mempromosikan Bahasa Indonesia kepada siapa saja yang saya jumpa. Di mana saja baik maya maupun nyata. Sekalipun dalam sms. Meski saya hanya otodidak, saya tidak takut. Mengapa? Karena saya telah berulang kali menyaksikan akademisi menggunakan bahasa yang Bahasa Indonesia sendiri mengingkarinya.
Contoh promosi adalah dalam setiap penulisan saya, tidak ada singkatansingkatan. Saya menghindarinya. Lebih lanjut, saya usahakan memakai hanya yang legal alias katakata yang baku. Saya berusaha semampunya untuk menetapi tata bahasa yang diakui. Menggunakan satu spasi setelah tanda baca (. , ; :) adalah contohnya. Saya juga berusaha memperbaiki penulisan anda dengan Anda (A kapital) karena yang diakui adalah yang A. Saya senantiasa menampakkan ini dengan tujuan promosi. Apa sasarannya? Sama dengan Anda, yaitu agar Anda juga menggunakan Bahasa Indonesia yang legal.
Apa hubungannya? Anda yang peka pasti langsung paham. Linux berkonotasi dengan legalitas. Windows (di Indonesia) berkonotasi dengan ilegalitas. Maka Anda senantiasa mempromosikan Linux. Sama dengan saya. Sama pula bahwa angka pembajakan OS besar sebagaimana pembajakan bahasa juga. Bedanya, pembajakan bahasa lebih parah daripada pembajakan OS di Indonesia. Saya mengakui sulit mengajak language user di Indonesia untuk menggunakan bahasa yang diakui.
Mengapa? Kita yang mempromosikan atau mengembangkan OS legal masih sering menggunakan bahasa ilegal. Contoh paling mudah ada pada tren pembajakan saat ini yaitu kegagalan membedakan partikel di yang harus disambung dan yang dipisah. Kekeliruan umum ada pada di buka, di tutup, di unduh, di tulis, di baca, di pilih, di klik, di kontrakkan, dan semacamnya. Padahal semestinya dibuka, ditutup, diunduh, ditulis, dibaca, diklik, dikontrakkan. Kaidahnya: di yang bertemu kata kerja harus disambung. Yang dipisah hanya di yang bertemu kata keterangan seperti di mana. Apa penyebab kekeliruan umum ini? Jawabannya sama yaitu user experience. UX yang sudah tertempa lama menggunakan yang ilegal. Sehingga saya tidak memutlakkan UX hanya pada OS tetapi pada segala bentuk objek yang memiliki user. Termasuk Bahasa Indonesia. Dan mengapakah mereka bahkan kita pengguna OS legal sendiri sulit untuk menggunakan bahasa yang legal? Tidak lain karena UX juga alias karena tidak terbiasa. Menjadi sama, bukan?
Dengan kondisi Indonesia yang seperti ini dari sisi desktop maupun bahasa, apakah saya harus mengajak user dengan kasar? Jika Anda promosi di sisi OS, silakan. Namun saya senang promosi di dua alam yang berlainan ini. OS dan bahasa. Jelaslah saya tidak bisa mengajak dengan kasar. Kalau saya kasar, mereka akan menjauh dari saya dan tujuan saya gagal. Percuma saya kasar. Malah solusi terbaik adalah menyajikan UX paling ramah kepada mereka. Biar saja Anda konsisten menggunakan Linux. Orang akan memberikan penilaian kepada
Anda. Lalu jika ada satu saja yang tertarik, jangan siasiakan. Sapa dengan ramah, jawab pertanyaannya, dan bantulah dia. Yakinlah ini akan membangun fondasi UX yang kokoh sehingga tujuan tercapai.
Sebentar. Jika terbersit di benak, untuk apa saya peduli bahasa? Bukankah itu urusan Anda? Maka saya katakan itulah yang juga dipikirkan semua user Windows saat Anda promosi. Buat apa saya peduli? Windows saja sudah enak seperti ini. Sejak bertahuntahun pula. Akhirnya kita tidak ada bedanya dengan mereka.
Jika saya ingin mempromosikan bahasa, apakah saya mesti memaksa setiap orang? Jawabannya tidak. Apakah saya mesti menyuruh semua orang 'sana baca buku EYD!''? Tidak juga. Apakah saya mesti menghindari pemakaian bahasa ilegal 100%? Tidak. Saya harus mempromosikan bahasa secara pas. Jangan dengan emosi. Membangun UX perlahanlahan. Tak lupa saya sendiri mesti banyak belajar. Karena saya serba kekurangan berbahasa. Dan seperti Anda juga, saya merasa minor. Meski saya telah menemukan komunitas bahasa terbaik Indonesia9, saya tetap minor. Namun dengan itu, justru senang berkontribusi di forum Linux. Salah satunya dengan tulisan ini.
Maka itu, yang penting tujuan tercapai. Kita mesti berubah jadi komunitas yang paling ramah pengguna.
Kesimpulan
Permohonan saya hanyalah:
kalau ada user tanya → ayo dijawab seramah mungkin.
Pamungkas!
Semua yang saya paparkan di atas semata menggugurkan UX lama kita. Biarlah itu berlalu. Mungkin kalau komunitas Linux luar tidak bisa berubah, biar. Kita orang Indonesia. Kita memiliki tata krama. Biarlah dikenang kelak komunitas Linux paling ramah adalah di Indonesia. Yang terpenting adalah tujuan tercapai. Biar makin banyak pengguna Linux dan mereka betah. Jadi, mari menjadi komunitas yang ramah pengguna. Mulai dari diri sendiri, dari hal kecil, sekarang juga. Dan andai nanti kebenaran menyelisihi esai ini, saya rujuk kepadanya hidup atau mati. Terima kasih.
Diselesaikan pada 4 November 2012 Ade Malsasa Akbar
Saya yang menulisnya, Kang. Tak saya sangka, Mas Rizki sukarela menyebarkannya ke milis :)Orang sekarang lebih suka yang banyak gambarnya daripada milis, Kang. Mereka lebih suka fesbuk atau forum. Kalau saya, lebih suka blog dan forum :)