Ingin Terjun ke Daerah Bencana? Bergabunglah di "Sekolah Relawan"
Senin, 2 November 2015 | 07:00 WIB
PALANGKARAYA, KOMPAS.com - Sekolah Relawan, begitu komunitas ini menamakan
diri mereka. Sekilas, nama sekolah identik dengan aktivitas pendidikan
formal di dalam ruangan.
Namun tidak dengan Sekolah Relawan. Jangankan ruangan belajar, gedung
kantor saja mereka tak punya.
"Kami ini sebenarnya komunitas kere, mau nyewa kantor aja gak punya duit.
Karena namanya sekolah, ya lebih ke edukasi. Ada yang berbayar, ada yang
gratis. Yang berbayar misalnya untuk membayar pelatih yang sengaja
didatangkan dan lain sebaginya," kata Bayu Gawtama.
Bayu Gawtama adalah pendiri Sekolah Relawan. Dia berbicara saat ditemui di
basecamp yang menampung mereka selama tiga minggu terakhir di Kalimantan
Tengah, akhir pekan lalu.
Berdiri sejak tahun 2013, Sekolah Relawan terkoneksi dengan lebih dari 200
anggota di seluruh Indonesia.
Anggota mereka merupakan pentolan aktivis kemanusiaan, yang mendedikasikan
diri dalam berbagai kegiatan sosial, terutama di daerah bencana.
"Banyak orang yang ingin jadi relawan. Jadi, kita mengakomodir mereka,
memberikan pelatihan dan edukasi sehingga mempunyai kemampuan untuk
membantu selama di lapangan" kata dia.
Gaw, begitu Gawtama biasa disapa, menceritakan bahwa ide untuk mendirikan
Sekolah Relawan muncul agar para relawan ketika diterjunkan punya kemampuan
untuk membantu.
"Berfikir untuk memberi pelatihan kepada teman-teman relawan. Misalnya
untuk penanganan pasca bencana seperti trauma healing maupun penanganan
lainnya di lokasi bencana," kata Gaw.
Berbasis di Kota Bogor, para relawan berasal dari latar yang berbeda. Mulai
dari mahasiswa, guru, hingga karyawan swasta.
Bahkan, mereka rela cuti dari pekerjaan untuk bisa membantu di daerah yang
membutuhkan relawan.
Gaw salah satunya. Rela meninggalkan profesinya saat ini sebagai guru di
SMK Ar-Rahmah, Bogor.
Selama tiga minggu berada di Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, tim
dari Sekolah Relawan turut berjibaku memadamkan kobaran api dilahan gambut
yang terbakar.
Relawan tersebut, sebagian besar menggunakan dana pribadi untuk membiayai
akomodasi maupun transportasi selama berada di lapangan.
Meski, ada juga yang dibantu biaya keberangkatan, karena dinilai memiliki
kemampuan yang memadai, namun tak memiliki biaya.
Selama memadamkan api bersama warga Tumbang Nusa, tak sedikit kendala yang
dihadapi para relawan.
Mulai dari sulitnya mencari sumber air, hingga jarak yang jauh antara
basecamp dan lokasi hutan yang terbakar.
Saat melakukan pemadaman di dalam hutan, para relawan banyak belajar dari
kearifan lokal masyarakat setempat. Salah satunya melihat warga membuat
sumur bor di dalam hutan untuk mendapatkan sumber air yang digunakan
memadamkan api.
"Selama ini kita mengandalkan sumber air dari parit, tapi jaraknya jauh
dengan lokasi kebakaran. Kalau pakai selang, bisa sampai satu kilometer
panjang selang yang dibutuhkan ke dalam hutan," kata dia.
"Sumur bor berfungsi dan sangat efektif untuk pemadaman di hutan gambut,
tapi jumlahnya masih sedikit," papar dia.
Untuk memadamkan kebakaran di lahan gambut membutuhkan teknik khusus. Para
relawan pun mendapatkan pelatihan bagaimana cara untuk memadamkan api.
"Cara kita memutus jalur api di kedalaman untuk membasahi gambut supaya api
tidak menjalar, bukan memadamkan di permukaan. Kita juga belajar dari
masyarakat lokal," ungkap dia.
Meski punya tekad dan niat mulia membantu sesama, tentu manusia punya
keterbatasan, terutama kemampuan fisik.
Jika ada yang jatuh sakit karena kelelahan, mereka akan diistirahatkan,
setelah sembuh kemudian dikirim pulang dan digantikan dengan relawan yang baru.
Tak hanya membantu pemadaman kebakaran di lahan gambut saja, Sekolah
Relawan sebelumnya juga terlibat dalam berbagai misi kemanusiaan di
berbagai lokasi bencana.
Mereka pernah bekerja saat terjadi bencana alam di Sinabung, Gunung Kelud,
maupun banjir di Jakarta.
http://regional.kompas.com/read/2015/11/02/07000011/Ingin.Terjun.ke.Daerah.Bencana.Bergabunglah.di.Sekolah.Relawan.