Tulisan bagus dari senior ITB,
Date: Mon, 30 Sep 2013 20:34:05 +0700
Subject: Re: [Senyum-ITB] Re: Gerakan 30 September 1965
Rekan-rekan alumni ITB yang saya hormati, dan juga anggota milis senyum yang mungkin juga bukan alumni ITB.
Melihat
peristiwa G-30-S PKI, dan epilognya, tidaklah bisa dinilai dengan
melihatnya saja. Seperti yang saya baca, hanya 7 jenderal [persisnya dih
6 jenderal dan 1 pama] dibayar dengan jutaan nyawa.
Kita harus melihatnya lebih arif, setidaknya
semenjak 18 September 1948, yang sering sudah dilupakan. Di Jabar, tidak
seperti di Jatim dan Jabar, bukan karena Siliwangi lebih arif, karena
memang situasinya berbeda.
Pada 1948, tentu yang palking kena dampaknya, adalah
para tokoh ummat Islam dan para tokoh nasional di Madiun, yang dikenal
sebagai pembantaian di Gorang-gareng [baru pertama mendengar? karena
memang tidak banyak dimunculkan dalam wacana nasional, karena kuatnya
pihak yang menutupinya].
Dan pada masa menjelang Oktober 1965, yang paling
riuh adalah perseteruan antara golongan komunis dan agamis di Jawa
Timur. Hampir setiap hari ada pawai, yang berujung bentrok.
Orang juga lupa dengan berbagai aksi sepihak [Tanjung
Morawa, Bandar Betsi, Kanigoro] dll, yang dilakukan oleh orang-orang PKI
dan pendukungnya. Yang sekarang ini, sepertinya terjadi juga, bila kita
lihat bagaimana "rakyat" merebut tanah-tanah perkebunan negara dan
lain-lain. Juga di Sumut, seperti dahulu. Tidak menuduh lho ya, tapi koq
kejadiannya sama, bahkan dengan melawan polisi dan tentara juga.
Di Bandung, tentara yang pro-PKI justru bisa
bersembunyi dengan baik di Kodam Siliwangi, dan baru terbuka kedoknya
setelah tahun 1967an.
Bagi yang ikut
demonstrasi sejak awal Oktober 1965, tentu akrab dengan Kapten Oking
yang naik kuda, dan Mayor Soenarto [?] dari KODIM, [semoga saya tidak
salah ingat, nanti bisa dianggap perbuatan yang tidak menyenangkan] yang
ternyata adalah pendukung PKI. Kita dahulu kalau demonstrasi, selalu
dihalau dengan cerdik oleh keduanya.
Bagi yang tidak merasakan bagaimana ganasnya mereka
menyerang yang bukan komunis, apalagi yang anti komunis, tentu tidak
membayangkan apa yang akan mereka lakukan bila saja mereka menang.
Subhanallah. Jika Allah tidak menghendaki, sekuat apapun mereka pasti tidak bisa menang.
Bahkan
ada yang bilang - dengan melihat bagaimana kekuatan PKI yang sudah
menggurita di mana-mana menjelang Oktober 1965 - seandainya mereka
sabar, entahlah apa yangterjadi dalam dua-tiga tahun kemudian. Tetapi
Allah swt berkehendak lain.
Kalau tadi ada yang menyampaikan bahwa Habibie
menyampaikan "Awas bahaya latent PKI", bagi saya itu adalah suatu
peringatan yang tepat dan benar.
Apa yang kita saksikan di televisi saat ini, mirip sekali dengan suasana
menjelang G-30-S dulu. Semoga saya tidak salah melihat.
Semoga
Allah swt tidak bosan-bosannya menyelamatkan bangsa Indonesia dari
berbagai upaya untuk menghancurkan ummat-Nya, dari ancaman dan niat
jahat orang-orang yang tidak percaya kepada-Nya.
Salam
Saifuddien Sjaaf / TK-64
--
A. Solikhin