Sarwono Ilmu Kebidanan Pdf

0 views
Skip to first unread message

Consuela Ellett

unread,
Aug 5, 2024, 8:28:51 AM8/5/24
to inparawea
Sarwonoadalah anak kedua dari lima bersaudara. Ayahnya berprofesi sebagai seorang guru di Surakarta, tidak heran jika pendidikan modern ditekankan dalam keluarga ini. Tahun 1919, Sarwono tamat dari Europeesche Lagere School (ELS) (Adam, Prahastuti, dan Supriyanti 2009). Kemudian dia melanjutkan pendidikan di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Setelah menjadi dokter Jawa (Indische Arts), Sarwono bekerja di beberapa rumah sakit, dan pernah menjadi direktur Rumah Sakit Bersalin Pemitran. Pada tahun 1937, ia mendalami pendidikan spesialis kebidanan dan kandungan, yang kemudian mengantarkannya menjadi perintis di bidang ini. Kepeloporan Sarwono menjadi kokoh dengan diterbitkannya buku bunga rampai yang berjudul Ilmu Kandungan oleh penerbit PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo (Anwar, Baziad, dan Prabowo, 2014). Tahun 2014, buku ini sudah terbit dalam edisi ketiga.

Dalam dunia profesional kedokteran yang digelutinya, Sarwono membantu proses persalinan dari anak-anak tokoh penting Indonesia. Diantaranya, putra-putri Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Rosihan Anwar, dan Kusumaatmadja. Nama Sarwono bahkan diadopsi sebagai nama salah seorang anak Kusumaatmadja, Sarwono Kusumaatmadja.


Pada awal kemerdekaan, 19-20 Agustus 1945, Sarwono bersama rekan-rekan ilmuwannya mendirikan Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia. Pada tahun 1950, lembaga ini dilebur dalam Universiteit van Indonesia, dimana Sarwono juga menjadi salah satu pengajar pada ilmu kebidanan. Sarwono juga berkontribusi dalam pendirian beberapa organisasi profesi lainnya, seperti Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).


Tahun 1952 Sarwono ditunjuk sebagai ketua Panitia Persiapan Pembentukan Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI). Lembaga ini baru definitif berdiri tahun 1956 dengan Sarwono sendiri sebagai ketuanya. Tahun 1958 dan 1962, MIPI menyelenggarakan Kongres Ilmu Pengetahuan berturut-turut di Malang dan Yogyakarta. Tahun 1962, peran MIPI agak berubah ketika dibentuk Departemen Urusan Research Nasional (Durenas), sebuah lembaga yang dipimpin oleh Djoenoed Poesponegoro. Setelah peristiwa 30 September 1965, kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi dikelola oleh Lembaga Research Nasional (LRN) dan MIPI, yang kemudian disatukan menjadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).


Rekam jejak Sarwono dalam membentuk MIPI dan kemudian menjadi ketua pertama LIPI ini kemudian menyebabkan Sarwono dikenal sebagai pendiri LIPI, yang sekarang beralih nama menjadi Badan Riset dan Inovasi (BRIN). Atas kontribusi Sarwono dalam pengembangan ilmu pengetahuan ini, maka sejak tahun 2001 LIPI memperingati hari ulang tahunnya dengan sebuah acara yang menyematkan nama Sarwono, Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture. Hingga tahun 2018, terdapat 18 ilmuwan Indonesia yang menyampaikan pidato ilmiah ini (penerbit.lipi.go.id: 1-3). Mereka adalah ilmuwan yang bekerja di lembaga penelitian pemerintah, internasional, maupun yang menjadi pejabat publik.


Disamping itu, dalam rangka peringatan ulang tahunnya, sejak tahun 2002 LIPI menganugerahkan sebuah penghargaan prestisius yang juga menyematkan nama Sarwono, LIPI Sarwono Award. Sejak tahun tahun 2002 hingga tahun 2018, terdapat 26 tokoh Indonesia baik dari kalangan birokrat, pebisnis, dan terutama ilmuwan yang mendapatkan penghargaan ini (penerbit.lipi.go.id: 1, 4-5).


Sarwono adalah anak kedua dari lima bersaudara dari keluarga terpelajar di Solo. Ayahnya, Prawirohardjo merupakan seorang guru sekolah sehingga pendidikan sangat ditekankan dalam keluarga.[2] Sarwono menikah dengan Raden Roro Sumilir dan dikaruniai 4 orang anak, yakni Kustiani Sarwono, Sriyani, Dharmawan, dan Sunarti.


Sarwono menamatkan Europeesche Lagere School (ELS) pada 1919, Ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah dokter STOVIA. Selama menjadi siswa STOVIA Sarwono mulai tertarik berorganisasi. Sebagai pelajar Jawa, ia menjadi anggota dan bahkan pernah menjadi ketua perkumpulan Jong Java pada 1927.


Tahun 1929, Sarwono lulus dari STOVIA sebagai Indische Arts. Sarwono lantas menambah pengetahuannya di Geneeskundige Hoogeschool te Batavia tahun 1937, sebuah sekolah tinggi kedokteran di Jakarta. Sarwono juga mengambil spesialisasi bagian kebidanan dan kandungan di bawah bimbingan Prof. Dr. Remmelts. Pendidikan inilah yang mengantarkan Sarwono sebagai pionir ilmu kebidanan di Indonesia.[3]


Pascalulus dari STOVIA, Sarwono pernah bekerja sebagai dokter di beberapa rumah sakit. Ia bahkan sempat menjadi Direktur Rumah Sakit Bersalin Pamitran (singkatan dari Perkumpulan Akan Menolong Ibu Terus Rawat Anak Nusunya)[4] sebuah rumah sakit bersalin untuk bumiputera, sebelum melanjutkan pendidikan.


Selepas penjajahan Jepang, pada 19-20 Agustus 1945, Sarwono bersama Sutomo Tjokronegoro, Sudiman Kartodihardjo, dan Slamet Imam Santoso mendirikan Balai Perguruan Tinggi RI. Sesudah pengakuan kedaulatan pada 1950, balai ini dilebur bersama Universiteit van Indonesia, dimana Sarwono mengajar sebagai guru besar ilmu kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Sebagai seorang dokter kebidanan dan kandungan, Sarwono sempat membantu kelahiran putra-putri Presiden Pertama RI Soekarno, M.Hatta, keluarga Kusumaatmadja (yang memberi anaknya nama yang sama, Sarwono Kusumaatmadja), dan wartawan senior Rosihan Anwar.[2] Meski demikian, Sarwono juga sempat bersinggungan dengan Presiden Soekarno, aktivitasnya yang memasyarakatkan program Keluarga Berencana (KB), pernah ditentang oleh Presiden Soekarno yang beranggapan, "banyak anak banyak rejeki."[1]


Selain mendalami masalah ilmu kebidanan, Sarwono juga berkiprah dalam pendirian beberapa organisasi bidang kesehatan, di antaranya Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).[3] Sarwono sempat terpilih menjadi Ketua Umum IDI pertama melalui muktamar pertama Ikatan Dokter Indonesia (MIDI) tahun 1950 yang digelar di Deca Park yang kemudian menjadi gedung pertemuan Kotapraja Jakarta.[5] Sarwono juga sempat menjadi ketua pertama POGI saat didirikan pada tanggal 5 Juli 1954 di Jakarta, Ia menjabat selama periode 1954-1963.[6]


Kepergian para peneliti Belanda pada tahun 1950 membuat penelitian keilmuwan di Indonesia mengalami pasang surut. Karena itu pada 1952, Sarwono ditunjuk menjadi Ketua Panitia Persiapan Pembentukan Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia. Situasi tanah air waktu itu membuat panitia harus bekerja selama 4 tahun hingga berdirinya MIPI pada 1956 dengan Sarwono sebagai ketuanya. Pada awal perjalanannya, MIPI berhasil menyelenggarakan Kongres Ilmu Pengetahuan pertama di Malang tahun 1958 dan kedua di Yogyakarta tahun 1962.


Dalam perkembangannya, MIPI mengalami beberapa perubahan di antaranya karena pembentukan Departemen Urusan Reseach Nasional (Durenas) pada 1962 yang dipimpin oleh Djoenoed Poesponegoro. Ketika itu Sarwono diangkat menjadi Pembantu Menteri Urusan Kebijakan. Ketika Durenas ditiadakan pasca G30S 1965, kebijakan iptek dikoordinasikan oleh Lembaga Reseach Nasional (LRN) dan MIPI yang kemudian dilebur menjadi LIPI dengan Sarwono sebagai ketuanya.[3]


Sarwono juga digunakan sebagai nama pemberian penghargaan LIPI kepada ilmuwan karena jasa dan pengabdian serta reputasinya, baik nasional maupun internasional, dalam bidang ilmu pengetahuan. Penghargaan bernama LIPI Sarwono Award (sebelumnya Penghargaan Sarwono Prawirohardjo) diselenggarakan sejak 2002 dengan Letjen (Pur.) Ali Sadikin sebagai penerima penghargaan LIPI Sarwono Award pertama.[9]

3a8082e126
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages