You do not have permission to delete messages in this group
Copy link
Report message
Show original message
Either email addresses are anonymous for this group or you need the view member email addresses permission to view the original message
to Ikawangi Dewata
Riang di Tengah Utang dan
Arisan
Hanya Desa Macanputih yang tahun ini menyelenggarakan ”gredoan”.
Acara itu digelar dua kali. Pertama di Dusun Banyuputih tanggal
14 Februari lalu dan kedua di Dusun Macanputih Krajan tanggal 5
Maret mendatang.
Adapun desa lain, seperti Tambong dan Gombolirang, absen karena
gagal panen padi akibat serangan wereng coklat. ”Gredoan itu
butuh biaya besar. Padahal, sudah tiga tahun terakhir ini
panenan padi kami kurang berhasil. Kalau tahun-tahun lalu
tanaman padi kami diserang tikus, tahun ini hancur diserang
wereng coklat. Akhirnya masyarakat sepakat tahun ini
ditiadakan,” kata Zakaria, Kepala Desa Tambong, Kecamatan Kabat,
Kabupaten Banyuwangi, Jatim, awal pekan lalu.
Yang ditiadakan hanya gredoan. Adapun muludan atau peringatan
Maulud (kelahiran) Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Rabiul Awal
tetap diselenggarakan dengan selamatan dan srokalan (membaca
syair dalam kitab Barzanji) di masjid desa setempat.
Warga membawa ancak atau nampan yang terbuat dari kulit pohon
pisang yang dibentuk segi empat kemudian ditali dengan tutus
(serasan bambu apus), ditancapkan bilah bambu. Ancak berisi nasi
lengkap lauk-pauk, ingkung (daging ayam utuh), dan penganan
seperti juadah, jenang, roti, dan onde-onde.
Juga ada endog-endogan, yaitu telur bebek atau ayam kampung yang
ditusuk atau dimasukkan plastik dan digantung di bilah bambu
dihias dengan kembang dari kertas warna-warni. Peserta selamatan
adalah warga dusun lain yang diundang.
”Kalau cuma selamatan muludan itu biayanya tidak begitu besar.
Kalau dengan gredoan, butuh biaya besar. Tahun lalu saya keluar
biaya sampai Rp 7 juta,” kata Zakaria.
Absen menyelenggarakan gredoan, menurut Zakaria, tidak masalah.
Tidak berdampak apa-apa bagi kampungnya. Malah warga merasa
tertolong karena tidak harus mengeluarkan biaya lebih besar
lagi.
Desa tertua
Bagi masyarakat Desa Macanputih, gredoan hukumnya ”wajib”
diselenggarakan sebagai bagian dari acara muludan. Hal ini
merupakan tanggung jawab kultural sebagai desa tertua di
Banyuwangi. ”Desa Macanputih adalah tempat istana Raja
Tawangalun,” kata Muhammad Farid, Kepala Desa Macanputih.
Nama Macanputih ini juga merujuk kendaraan Tawangalun berupa
macan berbulu putih. Di sisi selatan desa didirikan tugu yang
menunjukkan tapal batas selatan istana Tawangalun. Di pinggir
desa juga ada tempat yang dipercayai sebagai tempat moksa (sukma
dan jasad naik ke langit) Raja Tawangalun. Tempat itu ditentukan
berdasarkan pandangan supranatural seperti halnya Pamoksan Raja
Jayabaya di Kediri.
Namun, menurut antropolog dari Universitas Negeri Malang, Dwi
Cahyono, klaim masyarakat itu didasarkan legenda. Tidak ada
artefak kuno yang bisa dipakai sebagai petunjuk untuk menentukan
bahwa desa itu bekas istana Tawangalun.
Apalagi keberadaan Tawangalun sendiri masih menjadi perdebatan.
Apakah dia menjadi bagian dari Kerajaan Blambangan yang berdiri
sezaman dengan Majapahit (abad ke-13 sampai abad ke-15) atau
menjadi kerajaan tersendiri setelah itu. ”Apakah ada hubungan
dengan Wong Agung Wilis yang terkenal dengan Puputan Bayu tahun
1771, masih menjadi tanda tanya,” kata Dwi Cahyono. Puputan Bayu
adalah perjuangan rakyat Banyuwangi melawan VOC. Sekitar 80
persen warga Using Banyuwangi tewas.
”Kalau Macanputih tetap menyelenggarakan gredoan tak peduli
panen padi gagal atau berhasil. Kami belum pernah absen,” kata
Usin, tokoh masyarakat Macanputih.
Untuk memelihara kontinuitas itu, warga menggunakan arisan dan
utang ke bank sebagai sumber dana. Sumarni (30), istri Kepala
Desa Macanputih, menceritakan, para ibu warga desa itu ikut
arisan.
Arisan itu sejenis asuransi. Ada ”polis” yang harus dibeli.
Misalnya untuk paket setahun, seorang peserta arisan akan
memperoleh 25 kg beras, 5 kg gula, 5 kg telur, 5 kg daging, dan
sebagainya. Setiap hari peserta arisan membayar Rp 1.000.
Tepat setahun menjelang muludan atau gredoan, peserta memperoleh
pembayaran berupa natura sesuai dengan paket. Jika ada
tunggakan, peserta harus melunasi lebih dulu baru memperoleh
pembayaran. ”Kalau harga-harga naik seperti sekarang ini,
penyelenggara arisan ya rugi,” kata Ny Sumarni. Sebagai
penyelenggara atau bandar adalah sebuah toko di Banyuwangi.
Adapun sebagai tenaga pengepul adalah warga setempat yang
upahnya berupa paket natura.
”Yang utang ke bank juga banyak,” tambah Sumarni. Yang dimaksud
adalah bank keliling yang meminjamkan uang dengan bunga sampai
14 persen atau lebih. Pembayarannya diangsur bulanan, mingguan,
dan harian. Misalnya utang Rp 40.000, dalam waktu sebulan harus
dibayar Rp 50.000. Jika nunggak, selisih Rp 10.000 itu juga
berbunga.
Sistem ”arisan” ini, menurut Mar’ati, wanita asal Banyuputih
yang kini tinggal di Malang, sangat meringankan warga. Tidak
terasa dengan menyisihkan Rp 1.000 dari hasil kerja sebagai
buruh tani atau yang lain, saat muludan bisa mendapatkan natura
yang dibutuhkan.
”Sampai sekarang ibu saya juga ikut arisan. Kalau saya tawari
kebutuhan yang bisa saya bantu, ibu selalu menjawab sudah cukup
dari arisan itu,” katanya.
Tidak sedikit
Biaya pesta gredoan atau muludan memang tidak sedikit. Ny
Sumarni mengaku tahun ini habis lebih dari Rp 2 juta. Tahun lalu
lebih dari Rp 3 juta. ”Tahun ini yang saya kirimi ater-ater
berkurang dibanding tahun lalu,” katanya. Ater-ater adalah
mengirimkan nasi lengkap lauk-pauk dan penganan kepada sanak
famili dan handai tolan yang tinggal di desa lain.
Di samping untuk ater-ater, tingginya biaya itu juga untuk
menjamu tamu maupun sanak kerabat yang datang karena setiap
gredoan banyak sanak kerabat yang datang silaturahim. Ditambah
sumbangan untuk perayaan desa Rp 10.000 per keluarga.
Di setiap muludan hampir semua orang asal Macanputih mudik.
”Kami sekarang masih bekerja di Bali. Kami sudah memiliki dua
anak. Setiap hari muludan, saya pasti mudik mengantar istri dan
anak-anak ke Banyuputih. Ini seperti Lebaran, bahkan pestanya
lebih ramai karena ada gredoan,” kata Heru yang asal Malang.
Tahun ini di Banyuputih disembelih tujuh ekor sapi secara
berpatungan. ”Saya dan 13 tetangga membeli seekor sapi. Setiap
warga patungan Rp 250.000. Saya sendiri mengambil jatah dua atau
membayar Rp 500.000,” tutur Istianah.
Selain daging sapi, Istianah dan warga mesti menyembelih minimal
seekor ayam kampung yang dibuat ingkung untuk selamatan di
masjid. ”Dijamin tidak ada yang tidak membawa ingkung karena itu
sudah menjadi tradisi,” kata Usin, sesepuh Banyuputih.
Menjadikan ayam dan telur hidangan wajib dalam selamatan bisa
jadi merupakan cara leluhur Desa Macanputih menerapkan ajaran
Islam agar dalam bersedekah itu memilih yang terbaik. Pada zaman
dulu, daging ayam dan telur adalah makanan istimewa.
Kuatnya keyakinan atas tradisi itulah yang menyebabkan warga
Macanputih tidak pernah memperhitungkan ”untung-rugi”—menurut
perspektif bisnis modern—dalam menyelenggarakan pesta muludan
dan gredoan.
Apakah kearifan yang diwariskan leluhur ini bisa bertahan dan
aktual di tengah badai komersialisme? (NIT/ROW/ANO)