Riang di Tengah Utang dan Arisan

7 views
Skip to first unread message

Lulut Joni Prasojo

unread,
Feb 21, 2011, 6:56:34 AM2/21/11
to Ikawangi Dewata
Riang di Tengah Utang dan Arisan

Hanya Desa Macanputih yang tahun ini menyelenggarakan ”gredoan”. Acara itu digelar dua kali. Pertama di Dusun Banyuputih tanggal 14 Februari lalu dan kedua di Dusun Macanputih Krajan tanggal 5 Maret mendatang. 

Adapun desa lain, seperti Tambong dan Gombolirang, absen karena gagal panen padi akibat serangan wereng coklat. ”Gredoan itu butuh biaya besar. Padahal, sudah tiga tahun terakhir ini panenan padi kami kurang berhasil. Kalau tahun-tahun lalu tanaman padi kami diserang tikus, tahun ini hancur diserang wereng coklat. Akhirnya masyarakat sepakat tahun ini ditiadakan,” kata Zakaria, Kepala Desa Tambong, Kecamatan Kabat, Kabupaten Banyuwangi, Jatim, awal pekan lalu.

Yang ditiadakan hanya gredoan. Adapun muludan atau peringatan Maulud (kelahiran) Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Rabiul Awal tetap diselenggarakan dengan selamatan dan srokalan (membaca syair dalam kitab Barzanji) di masjid desa setempat.

Warga membawa ancak atau nampan yang terbuat dari kulit pohon pisang yang dibentuk segi empat kemudian ditali dengan tutus (serasan bambu apus), ditancapkan bilah bambu. Ancak berisi nasi lengkap lauk-pauk, ingkung (daging ayam utuh), dan penganan seperti juadah, jenang, roti, dan onde-onde.

Juga ada endog-endogan, yaitu telur bebek atau ayam kampung yang ditusuk atau dimasukkan plastik dan digantung di bilah bambu dihias dengan kembang dari kertas warna-warni. Peserta selamatan adalah warga dusun lain yang diundang.

”Kalau cuma selamatan muludan itu biayanya tidak begitu besar. Kalau dengan gredoan, butuh biaya besar. Tahun lalu saya keluar biaya sampai Rp 7 juta,” kata Zakaria.

Absen menyelenggarakan gredoan, menurut Zakaria, tidak masalah. Tidak berdampak apa-apa bagi kampungnya. Malah warga merasa tertolong karena tidak harus mengeluarkan biaya lebih besar lagi.

Desa tertua

Bagi masyarakat Desa Macanputih, gredoan hukumnya ”wajib” diselenggarakan sebagai bagian dari acara muludan. Hal ini merupakan tanggung jawab kultural sebagai desa tertua di Banyuwangi. ”Desa Macanputih adalah tempat istana Raja Tawangalun,” kata Muhammad Farid, Kepala Desa Macanputih.

Nama Macanputih ini juga merujuk kendaraan Tawangalun berupa macan berbulu putih. Di sisi selatan desa didirikan tugu yang menunjukkan tapal batas selatan istana Tawangalun. Di pinggir desa juga ada tempat yang dipercayai sebagai tempat moksa (sukma dan jasad naik ke langit) Raja Tawangalun. Tempat itu ditentukan berdasarkan pandangan supranatural seperti halnya Pamoksan Raja Jayabaya di Kediri.

Namun, menurut antropolog dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, klaim masyarakat itu didasarkan legenda. Tidak ada artefak kuno yang bisa dipakai sebagai petunjuk untuk menentukan bahwa desa itu bekas istana Tawangalun.

Apalagi keberadaan Tawangalun sendiri masih menjadi perdebatan. Apakah dia menjadi bagian dari Kerajaan Blambangan yang berdiri sezaman dengan Majapahit (abad ke-13 sampai abad ke-15) atau menjadi kerajaan tersendiri setelah itu. ”Apakah ada hubungan dengan Wong Agung Wilis yang terkenal dengan Puputan Bayu tahun 1771, masih menjadi tanda tanya,” kata Dwi Cahyono. Puputan Bayu adalah perjuangan rakyat Banyuwangi melawan VOC. Sekitar 80 persen warga Using Banyuwangi tewas.

”Kalau Macanputih tetap menyelenggarakan gredoan tak peduli panen padi gagal atau berhasil. Kami belum pernah absen,” kata Usin, tokoh masyarakat Macanputih.

Untuk memelihara kontinuitas itu, warga menggunakan arisan dan utang ke bank sebagai sumber dana. Sumarni (30), istri Kepala Desa Macanputih, menceritakan, para ibu warga desa itu ikut arisan.

Arisan itu sejenis asuransi. Ada ”polis” yang harus dibeli. Misalnya untuk paket setahun, seorang peserta arisan akan memperoleh 25 kg beras, 5 kg gula, 5 kg telur, 5 kg daging, dan sebagainya. Setiap hari peserta arisan membayar Rp 1.000.

Tepat setahun menjelang muludan atau gredoan, peserta memperoleh pembayaran berupa natura sesuai dengan paket. Jika ada tunggakan, peserta harus melunasi lebih dulu baru memperoleh pembayaran. ”Kalau harga-harga naik seperti sekarang ini, penyelenggara arisan ya rugi,” kata Ny Sumarni. Sebagai penyelenggara atau bandar adalah sebuah toko di Banyuwangi. Adapun sebagai tenaga pengepul adalah warga setempat yang upahnya berupa paket natura.

”Yang utang ke bank juga banyak,” tambah Sumarni. Yang dimaksud adalah bank keliling yang meminjamkan uang dengan bunga sampai 14 persen atau lebih. Pembayarannya diangsur bulanan, mingguan, dan harian. Misalnya utang Rp 40.000, dalam waktu sebulan harus dibayar Rp 50.000. Jika nunggak, selisih Rp 10.000 itu juga berbunga.

Sistem ”arisan” ini, menurut Mar’ati, wanita asal Banyuputih yang kini tinggal di Malang, sangat meringankan warga. Tidak terasa dengan menyisihkan Rp 1.000 dari hasil kerja sebagai buruh tani atau yang lain, saat muludan bisa mendapatkan natura yang dibutuhkan.

”Sampai sekarang ibu saya juga ikut arisan. Kalau saya tawari kebutuhan yang bisa saya bantu, ibu selalu menjawab sudah cukup dari arisan itu,” katanya.

Tidak sedikit

Biaya pesta gredoan atau muludan memang tidak sedikit. Ny Sumarni mengaku tahun ini habis lebih dari Rp 2 juta. Tahun lalu lebih dari Rp 3 juta. ”Tahun ini yang saya kirimi ater-ater berkurang dibanding tahun lalu,” katanya. Ater-ater adalah mengirimkan nasi lengkap lauk-pauk dan penganan kepada sanak famili dan handai tolan yang tinggal di desa lain.

Di samping untuk ater-ater, tingginya biaya itu juga untuk menjamu tamu maupun sanak kerabat yang datang karena setiap gredoan banyak sanak kerabat yang datang silaturahim. Ditambah sumbangan untuk perayaan desa Rp 10.000 per keluarga.

Di setiap muludan hampir semua orang asal Macanputih mudik. ”Kami sekarang masih bekerja di Bali. Kami sudah memiliki dua anak. Setiap hari muludan, saya pasti mudik mengantar istri dan anak-anak ke Banyuputih. Ini seperti Lebaran, bahkan pestanya lebih ramai karena ada gredoan,” kata Heru yang asal Malang.

Tahun ini di Banyuputih disembelih tujuh ekor sapi secara berpatungan. ”Saya dan 13 tetangga membeli seekor sapi. Setiap warga patungan Rp 250.000. Saya sendiri mengambil jatah dua atau membayar Rp 500.000,” tutur Istianah.

Selain daging sapi, Istianah dan warga mesti menyembelih minimal seekor ayam kampung yang dibuat ingkung untuk selamatan di masjid. ”Dijamin tidak ada yang tidak membawa ingkung karena itu sudah menjadi tradisi,” kata Usin, sesepuh Banyuputih.

Menjadikan ayam dan telur hidangan wajib dalam selamatan bisa jadi merupakan cara leluhur Desa Macanputih menerapkan ajaran Islam agar dalam bersedekah itu memilih yang terbaik. Pada zaman dulu, daging ayam dan telur adalah makanan istimewa.

Kuatnya keyakinan atas tradisi itulah yang menyebabkan warga Macanputih tidak pernah memperhitungkan ”untung-rugi”—menurut perspektif bisnis modern—dalam menyelenggarakan pesta muludan dan gredoan.

Apakah kearifan yang diwariskan leluhur ini bisa bertahan dan aktual di tengah badai komersialisme? (NIT/ROW/ANO)

Sumber: Kompas Cetak
-- 
Regards,



Lulut Joni Prasojo
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages