Kereta api listrik beroperasi di Jerman

18 views
Skip to first unread message

hadiw2000

unread,
Sep 8, 2022, 8:19:34 AM9/8/22
to Indonesia Diaspora Network Western Australia
https://www.zmescience.com/science/worlds-first-hydrogen-passenger-trains-are-now-running-in-germany-06092022/?goal=0_3b5aad2288-1b7b3ba911-242853117

Sahabat Diaspora Indonesia ysh

Perubahan iklim (Climate change) yang mengguncang dunia, menyebabkan terjadinya kebakaran hutan yg dahsyat serta banjir dan naiknya permukaan air laut sehingga beberapa pulau kecil di samudra Pasifik dll tenggelam, telah memaksa manusia utk mengurangi bahkan menghentikan pembuangan gas karbon dioksida (CO2) ke atmosfer. CO2 tsb adalah hasil pembakaran bahan bakar berbasis fosil, terutama batubara, tetapi juga bbm (bensin, diesel, avtur, minyak tanah dlsbnya). Itulah sebabnya semua negara melarang penjualan mobil berbasis bbm mulai tahun 2035, bahkan sebagian mulai dari tahun 2030. Mobil dan alat transportasi lainnya akan dipaksa menggunakan sumber energi listrik. itulah sebabnya mengapa mobil listrik, juga mobil hibrida (motor bakar plus motor listrik) mulai digalakkan produksi dan penjualannya.
Indonesia punya nikel terbesar didunia (sekitar 30% dari cadangan dunia) dan nikel adalah salah satu komponen utama batere lithium, dan batere adalah sumber energi untuk mobil listrik. Tetapi bagaimana dengan kereta api dan pesawat terbang?
Mulai tahun 2023 akan ada 1 maskapai penerbangan (airline) yg akan mengoperasikan pesawat terbang berpenumpang 19 orang dari Amsterdam ke London, yg menggunakan mesin dengan sumber energi listrik, bukan avtur.
Dalam artikel yg dapat diklik dialamat diatas, dapat dilihat bahwa Jerman juga akan mengoerasikan kereta api jarak jauh (antar kota) yg mengunakan sumber energi listrik bukan diesel. Listrik tsb dibangkitkan menggunakan fuel cell, dimana hidrogen dipaksa berreaksi dengan oksigen yg disedot dari udara, dalam sebuah reaksi temperatur rendah (bukan pembakaran) yg menghasilkan uap air dan elektron yg mengalir alias arus listrik.
Silahkan baca ceritanya di situs web yg alamatnya bisa diklik diatas itu.
Perlu dicatat bahwa Indonesia juga sudah mampu memproduksi bus listrik, dan PT. INKA sedang merancang kereta api berbasis listrik (fuel cell bukan diesel) saat ini.

salam diaspora
Prof. DR. Ir Hadi Winarto M Eng Sc, SMAIAA

hadiw2000

unread,
Oct 11, 2022, 2:40:54 AM10/11/22
to Indonesia Diaspora Network Western Australia
Salam Diaspora

Perubahan iklim karena polusi CO2 hasil pembakaran energi fosil adalah sebuah kenyataan walaupun masih ada politisi di berbagai negara yang menafikannya. Indonesia sedang berusaha menjadi negara maju dan melakukan segala hal yg dibutuhkan utk mengurangi emisi CO2, terutama dalam hal transportasi dan mestinya juga dalam hal pembangkit tenaga listrik, yg sekarang masih berbasis batubara yg kotor (dari sisi emisi CO2). Indonesia sedang mengembangkan energi hijau, walaupun sebenarnya dari segi teknologi yg dibutuhkan Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara2 maju.
Bersama ini disampaikan artikel tentang solar cell atau pembangkit listrik berbasis tenaga surya, yg katanya sekarang sudah lebih murah per watt nya dibanding pembangkit listrik konvensional. Kalau betul, mudah2an saja Indonesia bisa ikutan memproduksi panel surya (solar cell) dan menghimbau seluruh rakyat utk mulai memasang panel surya diatap setiap rumah di Indonesia, paling tidaknya utk semua rumah yg baru dibangun.

Thanks to incrementally better technology, panel design, and manufacturing of scale, solar panels have become incredibly cheap. In the past decade alone, their price per unit of generated energy has fallen by 85%, so much so that multiple reports consider solar to be the cheapest energy ever.

According to the International Renewable Energy Agency (IRENA), two-thirds of all wind, solar, and other renewable energy projects that came online in 2020 were cheaper than the cheapest new fossil fuel power plants. That’s double the equivalent share for 2019.

This trend is only to continue in the future, with the cost of renewables expected to drop significantly.

“The global weighted average cost of newly commissioned solar photovoltaics (PV), onshore and offshore wind power projects in 2021 fell. This was despite rising commodity and renewable equipment prices in 2021 given there is a notable lag before these cost increases appear in project total installed costs; and significant improvements in performance in 2021 raised capacity factors, especially for onshore wind,” wrote the authors IRENA’s Renewable Power Generation Costs in 2021 report.

Compared to 2019, the cost of onshore wind fell by 13%, offshore wind dropped by 9%, and solar photovoltaics projects saw a 7% reduction in cost. New utility-scale solar PV projects commissioned in 2021 fell by another 13% year-on-year, from USD 0.055/kWh to USD 0.048/kWh.

Prof. DR. Hadi Winarto

hadiw2000

unread,
Jan 30, 2023, 10:12:51 AM1/30/23
to Indonesia Diaspora Network Western Australia
Rekan2 Diaspora Indonesia

Bersama ini disampaikan sebuah buku terbitan ITB yang bertujuan untuk memulai diskusi tentang bagaimana Indonesia harus mempersiapkan diri, dari sisi pendidikan, supaya cita2 menjadi negara maju (ekonomi kelas kaya bukan pendapatan menengah lagi) bisa tercapai. Untuk mencapai tujuan tersebut Indonesia bukan hanya dituntut untuk menciptakan industri yang efisien, mampu bersaing dengan negara lain seperti Malaysia, Thailand, Vietnam etc) tetapi juga mampu berinovasi, menciptakan teknologi sendiri, bukan sekedar menjadi pengikut atau penjiplak (reverse engineering).
Mampukah kita? Prof Djoko Suharto telah memberikan buku tsb untuk disebarluaskan dikalangan anggota milis ini, dengan harapan agar terjadi diskusi yng bermanfaat dan bisa memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara tercinta Indonesia. Buku ini boleh diunduh dan digunakan sebagai acuan. Pak Djoko hanya minta 1 hal saja, yaitu kalau menggunakan informasi atau data dari buku ini, secara etika yg baik, harus disebutkan asal usul dari mana data anda diperoleh, atau singkatnya gunakan cara penulisan yg benar yaitu dengan menyitir (cite) sumber data atau ide anda.
Saya himbau anda utk ikut berkontribusi positif tentang hal2 yg dibahas dalam buku itu

salam
Prof. Hadi Winarto

Buku Mencari Kemutakhiran dan Dampak Desember 2020.pdf
Cover Mencari Kemutakhiran dan Dampak Desember 2020.pdf

hadiw2000

unread,
Jan 30, 2023, 10:30:52 AM1/30/23
to Indonesia Diaspora Network Western Australia
Rekan2 Diaspora

Saya berusaha untuk menggelindingkan diskusi tentang masalah pembangunan Indonesia yg menurut saya cukup penting.

Saya mulai diskusi ttg buku editan pak Djoko Suharto dengan mengatakan bahwa saya sepenuhnya setuju dengan gagasan yg ada dalam buku. Walaupun kita masih tertinggal jauh, namun kita harus mulai mencoba mengejar ketertinggalan itu. Kelemahan dasar dari pendidikan Indonesia adalah mutu guru yg rendah (karena ada banyak guru honorer yg digaji tidak manusiawi). Disamping itu kelihatannya ada 2 sistem pendidikan yg berjalan. Yg pertama adalah sistem pendidikan formal nasional dibawah asuhan Kemendikbud/Ristek, dan yg kedua adalah Pondok Pesantren yg dibawah asuhan Agama. Saya tidak anti pesantren, tetapi kalau hanya pendidikan agama saja yg diberikan di pesantren, maka masa depan alumni pesantren iyu bagaimana? Mampukah mereka mendapatkan pekerjaan? Lapangan pekerjaan apa yg terbuka bagi mereka ? Ini dengan anggapan bahwa para santri itu tidak mendapatkan pendidikan dibidang mata pelajaran sekuler seperti matematika, bahasa, ekonomi, biologi, fisika dlsbnya. Saya tahu bahwa sebagian dari pesantren itu memberikan pendidikan sekuler setara dengan SD dan SMP, mungkin juga SMA. Tetapi tidak semuanya. Nah yg hanya belajar agama saja itu, masa depannya seperti apa dari segi karir etc. Jumlah ustadz dan pegawai di kemen Agama yg dibutuhkan kan sangat terbatas.

Yang lebih mengerikan lagi adalah adanya (mungkin cukup banyak) pesantren yg bahkan tak punya ijin dari KemenAgama alias liar, dan sering disalah gunakan oleh pengelola/pemilik nya sebagai cara terselubung untuk melecehkan para santrwatinya. Ini kan sudah relatif sering terjadi. Menurut saya semua pesantren harus mendapat ijin mengajar dari baik kementerian agama dan juga dari kemendikbud, supaya para santri itu punya bekal cukup utk mampu mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Kalau itu dikerjakan saya sarankan supaya para santri lebih diarahkan memilih melanjutkan ke SMK daripada ke SMA setelah lulus SMP.
 
Tentu saja supaya mutu pendidikannya baik, guru harus dipilih dari yg terbaik bukan asal2an. Untuk tujuan tsb guru harus mendapat sertifikat mengajar yang dikeluarkan oleh Kemendikbud (dan Kemen Agama utk guru pesantren), dan harus diangkat sebagai PNS yg diwajibkan utk belajar terus menerus meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan mengajar mereka, paaling tidknya  sampai tingkat Magister ( S2). Utk Kepala Sekolah SMA disarankan harus punya gelar S3 dibidang pendidikan. Pemerintah kan sudah menerapkan wajib belajar 9 tahun dan katanya akan memperbaikinya menjadi 13 tahun, yaitu mulai dari PAUD sampai selesai SMA/SMK. Apa arti wajib belajar kalau pemerintah (pusat ataupun daerah) tidak memberikan fasilitas yg dibutuhkan seperti gedung sekolah yg memadai, lab praktikum, perpustakaan yg lengkap dan guru2 yg mumpuni. Apa artinya mengalokasikan 20% dari APBN kalau ada banyak anak tak mampu bayar kebutuhan pendidkan mereka? j

Jadi menurut saya, ide  utk melakukan riset yg hasilnya mungkin belum bisa diterapkan 100 tahun lagi itu baik2 saja, tetapi terlalu muluk2 kalau melihat kondisi sistem pendidkan yg ada. Di Australia, kalau ada anak yg bukan karena salahnya sendiri tidak bisa mendapat akses pendidkan sampai usia 15 tahun (dibawah 16 tahun) maka orang tuanya bisa membawa pemerintah ke pengadilan dan menuntut agar pemerintah membantu supaya anaknya mendapat pendidikan (walau sang anak tinggal didaerah terpencil dan ber-pindah2 karena bapaknya bekerja sebagai pekerja musiman mencukur bulu atau wool biri-biri misalnya).

Jadi saya setuju dengan Jokowi bahwa kita harus optimis, tetapi pemerintah jangan melupakan pembangnan SDM bukan hanya konsentrasi pada infrastruktur saja karena dua2nya memang diperlukan. Keperluan itu sudah sangat mendesak apalgi kalau Jokowi ingin industralisasi (hilirisasi) besar2an sudah harus dikerjakan mulai sekarang.

Untuk sementara waktu, lalu bagaimana dengan pemuda2 kita yg jagoan sekolah di MIT, Oxford, Stanford, ETH etc yg belajar ilmu fisika dasar, ilmu kimia dasar, ilmu bioteknologi dasar, matematika dasar, yg kalau pulang gak bakal dapat pekerjaan sesuai keahlian mereka? Nasihat saya buat mereka adalah usahakan supaya bisa bekerja di Amrik, Eropa, Jepang dan negara2 maju lainnya diperusahaan dimana anda bisa menerapkan ilmu anda, dan belajar tentang teknologi mutakhir didunia, supaya suatu hari kalau  Indonesia sudah siap maka anda bisa pulang dan bekerja di industri berteknologi tercanggih yg diharapkan akan tumbuh berkembang, atau kalau anda berjiwa entrepreneur maka tabung gaji besar anda diAmrik etc dan gunakan sebagai modal utk membangun industri maju yg dibutuhkan saat itu. Mosok utk pacul saja kita harus impor dari Taiwan. Semua rel kereta api di Indonesia (bukan yg khusus utk Kereta Cepat Jakarta-Bandung saja) ternyata juga 100% impor. Seorang profesor di BRIN bilang waktu diwawancarai bahwa Indonesia bikin jarum jahit saja gak bisa!!! Apalagi kalau disuruh bikin jarum suntik utk orang diabetes atau jarum suntik utk vaksinasi covid. Maaf saja Pak Jokowi, sulit rasanya merasa optimis dengan kondisi seperti itu.

salam
Hadi Winarto

hadiw2000

unread,
Feb 1, 2023, 10:33:43 AM2/1/23
to Indonesia Diaspora Network Western Australia
Rekan2 Diaspora Indonesia ysh

Bersama ini disampaikan 1 lagi buku dari Prof Djoko Suharto, yg juga berkaitan dengan pembangunan Indonesia. Silahkan dibaca dan direnungkan serta didiskusikan

salam
Hadi Winarto

hadiw2000

unread,
Feb 1, 2023, 10:35:27 AM2/1/23
to Indonesia Diaspora Network Western Australia
Maaf, lupa melampirkan buku dimaksud
Cover Pendidikan Vokasi-Tiga Spiral Nopember 2020.pdf
Cover Pendidikan Vokasi-Tiga Spiral Nopember 2020.pdf

hadiw2000

unread,
Feb 1, 2023, 10:48:19 AM2/1/23
to Indonesia Diaspora Network Western Australia
Rekan2 Diaspora Indonesia ysh

Beberapa tahun belakangan ini, Jokowi sering berpidato tentang perlunya Indonesia melakukan hilirisasi atau industrialisasi. Indonesia jangan lagi mengekspor bahan mentahan yg bernilai ekonomis rendah, dan harus mengolah bahan mentah itu menjadi barng jadi atau setengah jadi. Ini akan membuka lapangan kerja yg besar disamping juga meningkatkan pendapatan negara sehingga negara bisa berbuat lebih banyak lagi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat yg berazaskan keadilan, dan juga membangun angkatan bersenjata kita supaya negara kita disegani oleh para tetangga dan siapa yg ingin mengusik Indonesia akan berpikir 10 kali, karena Indonesia akan mampu membocorkan hidungnya hingga ber-darah2 kalau dia berani mengganggu kita. Kenyataannya adalah negara yg lemah itu selalu diincar utk diperbudak oleh negara yg jauh lebih kuat (lihat Ukraina dan Laut Cina Selatan).

Pertanyaan selanjutnya adalah apa sebenarnya MIT (middle income trap atau perangkap pendapatan menengah) itu. Semua negara didunia dapat dibagi menjadi 3 kelompok status ekonomi, yaitu negara miskin, negara menengah (negara berkembang) dan negara kaya (negara maju). IMF mendefinisikan kelompok2 itu sbb: Negara miskin- Income per capita (GNI atau Gross national income dibagi jumlah penduduk) kurang dari US$1036. Negara berkembang-Income per capita antara US$1036 s/d 12535. Negara maju-income per capita diatas US$12535. Negara berkembang dibagi lagi menjadi 2, yaitu kelas menengah bawah (U$1036-4045) dan kelas menengah atas  (US$4046-12535).

Indonesia naik kelas dari miskin menjadi berkembang pada tahun 1993 dengan pendapatan per capita US$1013 dan terus meningkat menjadi US$1308 pada tahun 1997. Tetapi karena krismon, Indonesia kembali menjadi negara miskin pada tahun 1998 dengan pendapatan US$572. Secara pelan pendapatan itu terus meningkat dan Indonesia kembali menjadi negara berkembang pada tahun 2002 dengan pendapatan US$1002. Pendapatan itu terus meningkat sampai mencapai US$2465 tahun 2009. Tetapi garena adanya Global finance crisis yg dipicu oleh bangkrutnya beberapa bank besar di USA maka pendapatan Indonesia menurun pada tahun 2010 menjadi US$3178. Setelah itu ekonomi Indonesia terus membaik sehingga pendapatan mencapai US$4194 pada tahun 2019 dan Indonesia resmi naik kelas menjadi negara berkembang kelas menengah atas saat itu. Sayangnya karena serangan covid-19 maka Indonesia turun kelas menjadi kelas menengah bawah pada tahun 2020 dengan pendapatan US$3931. Tetapi berkat ketegasan Jokowi dan kehebatan Sri Mulyani dalam mengelola keuangan negara maka Indonesia sekali lagi naik kelas menjadi kelas menengah atas (US$4361) pada tahun 2021, dan US$4691 tahun 2022.
Data yg lebih terperinci dapat dilihat di file terlampir.
Jadi dapat dilihat bahwa Indonesia sebenarnya sudah pernah jadi negara berkembang sejak tahun1993, tetapi jatuh miskin lagi dan baru bangkit menjadi negara berkembang lagi sejak tahun 2002. Kelihatannya sulit sekali bagi Indonesia utk keluar dari kemiskinan dan menjadi negara berkembang. Menurut saya ini disebabkan oleh mental para politisi dan pebisnis kita )dan boleh dikatakan hampir seluruh pemimpin kita yg bermoralita maling dan jagoan korupsi serta KKN.
Alhamdulilah Allah SWT mengirim Jokowi yg ndeso dan plonga-plongo tetapi bersih dan jenius sehingga Indonesia bisa berharap menjadi negara maju pada tahun 2050 nanti, dengan catatan kondisi sosio-politik stabil, birokrasi dan layanan publik menjadi lebih efisien, semua proses poliik pengambilan kebijakan pemerintah lebih transparan, rakyat atau netizen jadi lebih cerdas, berpikir dulu sebelum jarinya ngeklik yg bukan2, korupsi dibabat habis dan pendidikan Indonesia ditingkatkan menjadi yg setara dengan yg terbaik didunia.
Semoga siapapun yg terpilih menjadi presiden ditahun 2024, akan tetap meneruskan upaya Jokowi utk meningkatkan kesejahteraan rakyat yg berkeadilan dan menjunjung tinggi asas persaudaraan nasional, menjauhkan diri dari intoleransisme dan SARA, dan menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Panca Sila, UUD45 dan menegakkan Bhineka tunggal Ika.

salam
Hadi winarto

hadiw2000

unread,
Feb 3, 2023, 12:36:18 AM2/3/23
to Indonesia Diaspora Network Western Australia
Sahabat Diaspora Indonesia ysh

Apakah Indonesia akan berhasil melampaui perangkap pendapatan menengah atau sebaliknya gagal meningkat menjadi negara maju? Sebetulnya pertanyaan ini harus dibagi menjadi 2 bagian. Saat ini Indonesia baru saja melewati batas dari negara berpendapatan menengah rendah menjadi pendapatan menengah atas, sekitar US$4100. Kita masih jauh utk menjadi kelas menengah atas setara dengan Malaysia (yg sama-sama kelas menengah atas) yg berpenghasilan sekira US$12000, jadi pendapatan kita harus naik hampir 3 kali lipat sebelum sama dengan Malaysia. Dalam tulisan ini, nilai tukar rupiah berdasarkan nilai tukar nominal, dimana US$1 kira-kira =Rp14500. Yg sering ditulis di media di Indonesia nilai tukar yg dipakai adalah PPP (Purchasing Power Parity) atau Kesetaraan Daya Beli, yaitu US$1 kira-kira Rp5000 sampai Rp6000. Utk kemudahan pembahasan saya akan konsisten menggunakan nilai tukar Nominal.
Kalau Jokowi dan bangsa Indonesia berhasil melakukan hilirisasi atau industralisasi, maka insya Allah itu bisa dicapai, yaitu dengan memangkas birokrasi perijinan yg ber-tele2, layanan publik yg transparan dan akuntabel, korupsi dan pungli dihabisi, infrastruktur terus diperbaiki dan ditambah dan membuat Indonesia menjadi efisien dan menarik bagi investor asing utk berinvestasi besar2an di Indonesia.
Tetapi itu tidak akan cukup utk melompat jadi negara maju. Disamping efisien Indonesia juga harus mampu melakukan inovasi mengembangkan teknologi sendiri, tidak tergantung pada belas kasihan bangsa lain dan ini sangat tergantung pada mutu tenaga kerjanya yg tergantung pada mutu pemuda dan sistem pendidikannya alias SDM nya. Saya yakin negara maju yg sudah ada akan berusaha menjegal Indonesia menjadi negara maju dengan segala macam cara. Lihat saja Cina, yg sudah kelihatan sangat maju, bisa bikin satelit, roket peluncur satelit, program mendaratkan orang Cina dibulan, sudah punya kereta super cepat bahkan bersaing dalam pembuatan computer chip. Tapi sekarang Amrik dan sekutunya Eropa Barat sedang gencar melakukan  embargo produk berteknologi tinggi mereka tak boleh diekspor ke Cina, karena takut nantinya kalah bersaing. Dan saat ini Cina sedang kesulitan tumbuh lebih lanjut.              

Berikut disampaikan rangkuman dari artikel2 internet terkait dengan Middle Income Trap. 

Ada banyak negara yg sampai 50 tahun lebih tetap tak bisa naik kelas menjadi negara maju. Malaysia tahun 1980 telah mempunyai income per capita sebesar US$1927 (kelas menengah bawah) dan punya visi 2020 yaitu menjadi negara maju pada tahun 2020. Tetapi pada tahun 2020 income per capita Malaysia masih US$10361, dibawah US$12535, jadi masih negara berkembang. Thailand tahun 1988 punya income per capita US$1161 dan tahun 2022 menjadi US$7631, jadi Thailand terjebak dalam perangkap pendapatan menengah selama lebih dari 34 tahun. Indonesia sudah menjadi negara berkembang sejak 1993 atau sekira 30 tahun. Jadi memang tak mudah utk menjadi negara maju (negara kaya). Di Asia hanya Jepang, Taiwan, Hong Kong, Kor Sel dan Singapura saja yg telah berhasil melompati jebakan perangkap middle class dan menjadi developed country (negara maju atau negara kaya).

Berikut disampikan info tambahan dari sumber di internet mengenai masalah Cina ingin menjadi maju tetapi mungkin terjebak dalam perangkap middle income trap.

Apa itu 'Perangkap Pendapatan Menengah' (Middle Income Trap)

Istilah 'perangkap pendapatan menengah' adalah referensi luas untuk fenomena di mana negara-negara mengalami pertumbuhan yang cepat dan berhasil meningkatkan statusnya dari negara miskin menjadi negara berpenghasilan menengah, tetapi pertumbuhan ekonominya mulai mandek setelah itu dan gagal mencapai keinginan untuk menjadi negara dengan ekonomi berpenghasilan lebih tinggi atau terjebak di zona berpenghasilan menengah.

Definisi lainnya dapat diberikan sebagai berikut:

"Perangkap pendapatan menengah" adalah teori pembangunan ekonomi di mana upah di suatu negara meningkat ke titik di mana potensi pertumbuhan ekonomi, yang didorong ekspor berbasis manufaktur dengan keterampilan rendah, telah kehabisan momentum sebelum mencapai kemampuan inovatif, yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas dan bersaing dengan negara-negara maju dalam industri dengan rantai pasok bernilai yang lebih tinggi. Dengan demikian, hanya tersisa sedikit jalan untuk pertumbuhan lebih lanjut dan peningkatan upah menjadi terhenti alias mandek, dan dengan demikian gagal untuk menjadi negara maju.


Cina rawan terjebak dalam 'Perangkap Pendapatan Menengah'

https://www.youtube.com/watch?v=SwsXzUdPvbM&t=54s

Cina berisiko terjebak dalam 'middle income trap' (disingkat MIT) atau perangkap penghasilan menengah. Bank Dunia menganggap ekonomi dengan pendapatan per kapita antara $1.000 dan $12.235 sebagai negara 'Berpenghasilan Menengah'.

Cina telah berada dalam kategori ini selama hampir 29 tahun sekarang. Apa arti perjalanan panjang Cina sebagai negara 'berpenghasilan menengah' adalah bahwa ia mungkin tidak akan pernah bisa melewati ambang batas di mana ia dapat dicap sebagai negara berpenghasilan tinggi. Waktu hampir habis untuk Cina karena ekonomi Asia berpenghasilan tinggi lainnya - Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura hanya membutuhkan 23, 27, dan 29 tahun sebagai negara berpenghasilan menengah sebelum mengambil lompatan dan menjadi negara berpenghasilan tinggi (negara maju atau negara kaya).

Pada tahun 2020, pendapatan per kapita China adalah $10.484 dan oleh karena itu negara tersebut perlu meningkatkan pertumbuhan dengan cepat untuk menghindari jebakan pendapatan menengah yang dihadapinya.

Evan Medeiros, seorang mantan direktur senior untuk Asia di Dewan Keamanan Nasional Presiden Barack Obama mengatakan bahwa Cina hanya memiliki "sekitar lima tahun" untuk menjadi negara dengan ekonomi berpenghasilan tinggi, atau besar kemungkinan Cina akan terjebak dalam penghasilan menengah.

Berbicara di Asia Society di New York pada hari Selasa, Evan Medeiros mencatat bahwa Cina telah menjadi apa yang Bank Dunia anggap sebagai ekonomi berpenghasilan menengah - di mana pendapatan per kapita antara $ 1.000 dan $ 12,235 selama sekira 25 tahun. Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, tambahnya, masing-masing menghabiskan 23, 27, dan 29 tahun sebagai ekonomi berpenghasilan menengah sebelum naik peringkat menjadi negara maju atau negara kaya.

"Saya pikir waktu sangat penting bagi Cina, dan saya pikir Cina tak memilikinya" kata Medeiros, yang mencatat bahwa pendapatan per kapita Cina saat ini sekitar $8.700. " Cina dalam lima tahun berikut harus berlari kencang - butuh peningkatan kecepatan jika ingin membuat lompatan itu."

Cina sudah mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka tumbuh melewati model pertumbuhan yang dipimpin manufaktur yang telah memicu pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam beberapa dekade terakhir. Penduduk usia kerja di negara ini telah menurun sejak 2012, dan pada awal 2013 beberapa ekonom menyatakan bahwa Cina telah mulai memasuki "Titik Balik Lewis" - di mana upah pekerja mulai naik lebih cepat daripada tingkat inflasi karena sumber tenaga kerja telah terkuras habis. (lihat Lewis turning point - Wikipedia )

Medeiros mengatakan Cina perlu melakukan reformasi pasar yang serius untuk membantu mendorong pertumbuhan yang dibutuhkan supaya "lulus" dari tingkat pendapatan menengah ke atas sebelum terlambat. Dia ingat menghadiri pertemuan antara Presiden Obama dan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Xi Jinping pada 2013, di mana Xi menekankan harapannya untuk menghindari jebakan pendapatan menengah. Akhir tahun itu, pemerintah Cina menyusun sebuah program reformasi ekonomi yang ambisius untuk membantu mencapai ini. Tetapi sejauh ini reformasi tersebut telah menjadi "kekecewaan besar" bagi komunitas internasional, katanya, karena hanya sedikit dari tujuan program tersebut yang benar-benar telah dicapai.

"Apakah Xi Jinping dan [Perdana Menteri] Li Keqiang siap membayar biaya politik yang diperlukan [untuk menghindari jebakan pendapatan menengah]?" Medeiros bertanya. "Saya akan mengatakan mereka masih mempertimbangkannya."

"Saya tidak berpikir Xi Jinping adalah seorang reformis," tambahnya. "Saya pikir dia adalah seorang modernis, dan perbedaan itu penting karena pandangan Xi Jinping tentang ekonomi berdasarkan serangkaian keyakinan politik Leninis dan nasionalis, bukan kepercayaan penuh pada pasar. Jadi saya pikir apa yang akan kita lihat dalam lima tahun ke depan adalah ketegangan yang dimainkan antara keyakinan Leninis nasionalis dan kekuatan pasar."

Lower middle income | Data (worldbank.org) Upper middle income | Data (worldbank.org)

Gross National Income (GNI) Definition, With Real-World Example (investopedia.com)

World GDP per Capita Ranking 2022 | Data and Charts - knoema.com

hadiw2000

unread,
Feb 3, 2023, 2:39:23 AM2/3/23
to Indonesia Diaspora Network Western Australia
Rekan2 Diaspora Indonesia yang budiman

Rupa2nya Cina kuatir akan terjebak dalam perangkap MIT, dan salah satu alasan kuatnya adalah para pemuda Cina banyak yg menjadi loyo dan teler karena selama ini mereka harus bekerja terlalu keras tanpa ada waktu utk bersantai ria. Banyak pimpinan bisnis di Cina (termasuk Jack Ma pemilik Ali Baba itu) yg menganjurkan gerakan 996 yaitu pekerja disuruh bekerja dari jam 9.00pagi sampai jam 9.00 malam 6 hari seminggu alias 72 jam total seminggu. Pantas kalau para pekerja itu menjadi teler!!
Kemudian wabah covid membuat banyak pekerja dirumahkan dan yg masih bekerja harus bekerja lebih keras lagi untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja yg ada. Itu akhirnya memunculkan gerakan pemuda yg disebut Tang Ping alias berbaring santai. Para pemuda ini  lebih memilih bekerja paruh waktu dan mendapat setengah dari gaji yg sebelumnya mereka peroleh. Yang penting mereka bisa berbaring santai (tang ping) menikmati hidup, nongkrong dlsbnya. Nah semua ini membuat pemimpin Cina Xi jin Ping menjadi kuatir Cina  akan terperangkap dalam MIT. Apalagi karena diperkirakan bahwa pada tahun 2035 20% dari penduduk Cina akan berusia diatas 65 tahun alias usia non-produktif, jadi yg muda harus menanggung beban menghidupi lebih banyak lagi yg sudah pensiun. Dikuatirkan bahwa Cina akan kehilangan tenaga untuk bergerak maju lebih lanjut, karena beban yang terlalu berat.
Apakah Indonesia juga terancam bahaya yg sama, kalau kita tidak memanfaatkan bonus demografi yg ada saat ini dengan se-baik2nya dan secepatnya, sebelum terlambat.

Silahkan baca yg dibawah ini:
                     

China is now racing towards “Middle Income Trap” due to the ‘Lying flat campaign’

 Akshay Narang

 October 25, 2021

Chinese President Xi Jinping articulated an alert on October 15. As per the Chinese Communist Party’s flagship journal on political theory, Qiushi, Xi said, “It is necessary to prevent the stagnation of the social class, unblock the channels for upward social mobility, create opportunities for more people to become rich, and form an environment for improvement in which everyone participates, avoiding involution and lying flat.”

This was probably the first time that Xi talked about “Lying flat” or what is called tang ping in China, a movement that involves lying down and doing absolutely nothing. “Lying flat” has gained traction amongst Chinese youth as a symbol of protest against the brutal “996” working culture in China that involves working from 9 AM to 9 PM, six days a week. However, the “lying flat” campaign is now pushing China deeper into a ‘middle income trap’. 

What is the ‘Middle Income Trap’

The term ‘middle income trap’ is a broad reference to a phenomenon in which countries experience rapid growth and quickly reach the status of a middle-income country, but start stagnating after that and fail to catch up with higher income economies and get trapped in the middle-income zone.  

China stuck in the ‘Middle Income Trap’

China itself is at the risk of getting stuck in the ‘middle income trap’. The World Bank considers an economy with a per capita income between $1,000 and $12,235 to be a ‘Middle-Income’ country. China has been in this category for almost 29 years now. 

What China’s prolonged journey as a ‘middle income’ country means is that it may never be able to cross the threshold beyond which it can be labelled as an upper-income country. Time is running out for China as other high-income Asian economies- South Korea, Taiwan, and Singapore had spent 23, 27, and 29 years as middle-income countries respectively before taking a leap and becoming high-income countries.  

In 2020, China’s per capita income was $10,484 and therefore the country needs to pick up growth quickly to escape the middle-income trap it finds itself in. 

How “Lying Flat” is pushing China further into the ‘middle income trap’

When Xi spoke about “Lying Flat”, he seemed to suggest that the movement strikes at the very core of his “Chinese dream” ideology, which he describes as the “great rejuvenation of the Chinese nation”.

Chinese experts however fear that the “Lying Flat” campaign could throw China deeper into a ‘middle income trap’. 

Dr Gavin Sin Hin Chiu, an independent commentator and former associate professor at Shenzhen University, has been quoted by SCMP as saying, “If it [lying flat] becomes widespread, it will affect young people’s expectations of income growth, consumption, marriage and childbirth, which will be detrimental to China’s ability to avoid the middle-income trap, where growth stagnates and incomes stall.”

Chiu added, “China is now at a crossroads of becoming a high-income economy or finding itself stuck in the middle-income trap. 

The lying flat movement would negatively affect China’s efforts to escape the middle-income trap.”

Xi Jinping understands that if Chinese youth stop working, then there will not be a rise in overall national income and China will stay where it is- a middle-income zone. 

In the third quarter of the ongoing Financial Year, Chinese economic growth slowed down to 4.9 per cent due to the ongoing real estate crisis, power shortages and weak consumer demand. However, the lying flat campaign, which is peaking in terms of its popularity, also has a role to play. So, the lying flat campaign is already holding back Chinese growth. 

The Qiushi article quoted Xi Jinping as saying, “Only by promoting common prosperity, increasing the income of urban and rural residents, and improving human capital can we increase overall productivity and consolidate the foundations for high-quality development.” 

Lying flat is unlikely to go down

Xi is rebuking Chinese youngsters for adopting a minimalist lifestyle. The campaign had originated after a young Chinese man, Luo Huazhong, wrote a post on Baidu Tieba social media platform titled “Lying Flat is justice”. It explained how he embraced minimalism for the past two years. Luo said, “Life is just lying down, lying down and lying down.”

In media interviews, Luo said, “When I say lying flat, I don’t mean that I just lie down every day and don’t do anything.” He added, “Lying flat is a state of mind – that is, I feel that many things are not worthy of my attention and energy.”

Soon, the lying flat campaign spread like a wildfire in China with youth embracing the individualist campaign. It allowed them to think of their own needs instead of working in animalistic conditions to raise national income just to meet the Chinese Communist Party’s ambitions goals. 

China is using its “Great Firewall” and heavy censorship to curb the lying flat campaign. Luo’s original post itself was targeted but its copies quickly spread on the internet and the Chinese youth seemed to pick up the idea well.

Chinese Communist hardliners are slamming the movement. Hu Xijin, editor-in-chief of the CCP mouthpiece Global Times, said, “Young people are the hope of this country. Neither they themselves, nor the country, will allow them to collectively lie flat.” State-backed media outlet Nanfang Daily too called the movement “shameful”. 

But here is the real thing- if If average Chinese youngster doesn’t want to waste his youth working 12 hours every day for six days a week only to earn higher incomes, the CCP can’t force him to aim to earn more. 

Lying flat is a campaign that can’t be cracked down upon and much to the chagrin of the CCP, it is throwing China into the middle-income trap for eternity. 



hadiw2000

unread,
Feb 3, 2023, 2:47:58 AM2/3/23
to Indonesia Diaspora Network Western Australia
Rekan2 Diaspora Indonesia ysh

Berikut disampaikan artikel tambahan tentang Gerakan Berbaring Santai (Tang Ping) di Cina
'Lying flat': Why some Chinese are putting work second - BBC News

16 February 2022

By Ivana Davidovic

Business reporter, BBC News

"I'm continuing to get rid of the negative energy in my life. I think 2022 will be an upgrade on 2021, but I still don't want to do anything. I will continue to 'lie flat'. I enjoy this state."

When Jeff (not his real name), left his home city of Hangzhou, for a highly-paid job as an app developer in Beijing several years ago, like many young Chinese professionals, work became his life.

The little spare time he had outside work, he spent playing what he describes as "mindless" computer games. He didn't develop a social circle in his new adopted city and eventually gave up trying.

But when the pandemic hit, life as he knew it came to an abrupt stop. Like many other workers Covid made him reassess his priorities in life.

Chatting with artist friends back in his home town it struck him how although they had little money they always had something interesting to say about their day and what they were up to - while all he had was work.

When his firm started laying off staff because of the pandemic, he was forced to work 60-70 hours a week. He finally snapped and took some time off to travel.

While staying in Ho Chi Minh City in Vietnam, he had an epiphany after seeing groups of old men gathered in a nearby bar just relaxing, chatting and watching football for hours at a time. His mind kept returning to them. Why couldn't he be just like them - just relax and lie flat? And so he did just that. He returned home and quit his job - one of many Chinese citizens who have either resigned, or scaled back their commitment to work in the last two years.

The idea of 'lying flat', or tang ping in Chinese, means taking a break from relentless work. The tang ping movement took off during 2021 as many felt they were coming under increasing pressure to work even harder and out perform their peers.

Tired of working flat out

The background to this trend is a shrinking labour market in China, which means younger people are now under pressure to work much longer hours and they burnout.

People "feel so apathetic now they're having to deal with the coronavirus and feel exhausted. They literally just want to lie down with a book, or sit and watch some TV, rather than keep the momentum going by working hard," says Kerry Allen, the BBC's China media analyst.

This means that while the Covid pandemic might be abating, the tang ping movement is not.

On Chinese social media sites, users are posting messages saying that they do not want to return to the way things were before the pandemic, and that they now have the confidence to pursue a slower-paced life.

China's former one-child policy has meant that many young professionals have grown up without brothers or sisters, and this has added to many people's sense of strain.

Traditional values are still very important in China - being able to own a home and have children. Yet many people in their 20s and 30s worry that they will never be able to achieve these things. Those that are only children argue, for instance, they will also have to take care of their elderly parents and for many people property prices are increasingly out of reach.

In 2019, tech tycoon and Alibaba group founder Jack Ma was criticised for endorsing China's so-called 996 working culture - where people work from 9:00am to 9:00pm, six days a week.

Last year, the country's top court and labour ministry ruled these practices illegal. Yet, if working 996 is still what it takes to succeed professionally, it is perhaps no surprise that some young people are opting out entirely.

Demographic trends mean that social pressures on the young are likely to intensify. By 2035, the OECD forecasts that 20% of China's population will be over 65, which will put an increased pressure on young people to support older generations.

Jeff, who did not want to be identified over fear of a backlash, describes his own decision to ditch his job and life in Beijing as "a quiet protest [against] the current rules. Not accepting it, when people tell you you must learn more and work harder".

This can sound almost subversive in China. The sentiment he expresses has been widespread enough to warrant an explicit warning from President Xi Jinping, in an article in a Communist party journal.

"It is necessary to prevent the solidification of social strata, smooth the upward flow channels, create opportunities for more people to become rich, form a development environment where everyone participates, and avoid 'involution' and 'laying flat'," he wrote.

None of these tensions between generations are unique to China. In both the US and Europe, economists are describing a 'Great Resignation', with millions of workers either retiring, quitting or refusing to take jobs they consider pointless, or unrewarding.

So could 'lying flat' be the Chinese version of these trends? Dr Lauren Johnston, research associate at the China Institute, School of Oriental and African Studies, London University, says there are different drivers to this story.

First, there are young rural migrants in Beijing or Shanghai, who now realise "how far behind they are, in terms of being able to make enough money to buy a house, or compete with the city kids who grew up speaking English and wearing sophisticated clothing".

Dr Johnston explains some of this group may now be thinking of returning to their home towns and taking lower-paid jobs instead to be with their families.

On the other side, there are the children of richer, successful parents who are not "as hungry as the super-achieving kids from poorer families".

Dr Johnston thinks China's so-called "tiger" culture is an added barrier, where parents feel under intense pressure to help their child achieve, that school on its own is not enough. They feel they have to pay for extra lessons in maths, Chinese, English and music, or in preparing for competitive entrance exams.

It remains to be seen how all of this will play out at a time when China is facing a difficult economic picture - a slowdown in growth, debt is increasing and the country's property sector is facing a possible full-blown retraction.

As for Jeff, after pressure from his parents he finally got another job but says it is a much less-demanding role. He earns half of what he used to, but says he has so much flexibility that he is planning to remain for the foreseeable future.

"All my hobbies that I discovered during my 'lying down' time - skiing, rock climbing - I'll be able to keep doing them all. I have time to do what I love, I'm very satisfied."


China's new 'tang ping' trend aims to highlight pressures of work culture

China's new 'tang ping' trend aims to highlight pressures of work culture - BBC News

3 June 2021

Young people in China exhausted by a culture of hard work with seemingly little reward are highlighting the need for a lifestyle change by "lying flat".

The new trend, known as "tang ping", is described as an antidote to society's pressures to find jobs and perform well while working long shifts.

China has a shrinking labour market and young people often work more hours.

The term "tang ping" is believed to have originated in a post on a popular Chinese social media site.

"Lying flat is my wise movement," a user wrote in a since-deleted post on the discussion forum Tieba, adding: "Only by lying down can humans become the measure of all things."

The comments were later discussed on Sina Weibo, another popular Chinese microblogging site, and the term soon became a buzzword.

The idea behind "tang ping" - not overworking, being content with more attainable achievements and allowing time to unwind - has been praised by many and inspired numerous memes. It has been described as a spiritual movement

"Sending resumes was like fishing for a needle in the ocean," a lab technician named only as Wang told AFP news agency.

"You're beaten up by society and just want a more relaxed life... 'lying flat' is not waiting to die. I still work, but just don't overstretch," the 24-year-old said.

News site Sixth Tone reported that a "tang ping" group created on the IMDb-like platform Douban had attracted 6,000 members.

However, along with the original Tieba post, the Douban group has since been deleted, and searches for the hashtag #TangPing have been banned on Sina Weibo in an apparent effort by censors to prevent people seeing the scale of the new trend.


Increased pressures on China's youth

By Kerry Allen, China Media Analyst

There have been similar trends in recent years. In 2016, pictures of a Chinese actor slouching in a 90s sitcom became a popular meme. The following year, young Chinese netizens went wild for a "depressed egg" Japanese cartoon character called Gudetama   

At the time, the Sixth Tone news website noted the rise of what it called "sang culture" or quite literally, a "doomsday culture", factoring in young people's "reduced work ethic, a lack of self-motivation, and an apathetic demeanour".

Such trends come in light of the increased pressures placed on young Chinese citizens. This demographic have grown up under the one-child policy, and are expected to work longer hours than their predecessors - a population twice as large that is increasingly retiring.

Today's population of young Chinese also face greater pressures to show they are "socially responsible" by complying with new rules set under China's controversial social credit system, and they are constantly being urged to show their nationalism by boycotting a never-ending list of foreign companies and brands.


hadiw2000

unread,
Feb 3, 2023, 2:54:27 AM2/3/23
to Indonesia Diaspora Network Western Australia
Rekan2 ysh

Terlampir disampaikan file yg memuat artikel ilmiah tentang bagaimana Singapura berhasil melompati perangkap pendapatan menengah, yaitu dengan meningkatkan ekonominya dari sekedar yg paling efisien diantara para negara tetangganya, diubah menjadi ekonomi yg sangat inovatif. Jadi Singapura sebenarnya sudah tidak perlu lagi kuatir kalau Indonesia menjadi se-efisien Singapura, karena Singapura sudah mampu mengembangkan ipteknya sendiri yg belum dimiliki negara lain manapun didunia, mampu bersaing lawan Amrik, Eropa dan Jepang serta Kor Sel.

salam
Hadi Winarto

From Efficiency-Driven to Innovation-Driven Economic Growth-Perspective from Singapore Phang.pdf
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages