win
unread,Jul 7, 2010, 1:48:43 AM7/7/10Sign in to reply to author
Sign in to forward
You do not have permission to delete messages in this group
Either email addresses are anonymous for this group or you need the view member email addresses permission to view the original message
to Humas Kopertis IX Sulawesi
Sahban Liba
Raih Doktor di Usia 72 Tahun
Tak banyak orang yang masih punya motivasi belajar hingga usia tua.
Tak banyak orang yang masih mau bekerja keras hingga usia tua. Tak
banyak orang yang masih mampu bekerja hingga usia tua. Di antara yang
tidak banyak itu adalah Letkol Marinir (Purn) Dr H Sahban Liba (73
tahun).
Pria kelahiran Kalosi, Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan,
18 Agustus 1937 itu, hingga kini masih aktif mengajar, mengurus
bisnisnya, serta memimpin langsung perguruan tinggi yang didirikannya
di Makassar.
Perjalanan hidupnya cukup panjang dan berliku. Sahban Liba lahir dan
menikmati masa kecilnya di Kabupaten Enrekang. Di usia remaja ia ikut
orangtuanya (ayah Liba, ibu Empa) ke Makassar dan sekolah hingga kelas
tiga pada dua SMP di Makassar, yakni SMP Muallimin Muhammadiyah (Jl.
Muhammadiyah) dan SMP Perindo (Jl. Lamadukkelleng).
Sambil sekolah, Sahban membantu kakaknya yang berjualan kain di Pasar
Butung Makassar. Suatu hari, ia membaca koran yang sudah tidak utuh
dan agak lusuh. Di koran tersebut ada pengumuman tentang pemberian
beasiswa ikatan dinas untuk sekolah pada sekolah menengah atas di
Surabaya.
‘’Saya tidak tahu di mana itu Surabaya, tetapi saya sangat ingin
sekolah di sana. Umur saya waktu itu sudah 17 tahun. Saya kemudian
meminta izin orangtua dan kakak. Saya lalu mengurus surat keterangan
sekolah di SMP Muallimin Muhammadiyah. Kemudian saya berangkat ke
Surabaya dengan naik kapal laut. Saya membawa bekal uang Rp 250,
tetapi tiba di Surabaya uang saya tinggal Rp 140, karena ongkos naik
kapal laut Rp 110,’’ ungkap ayah empat anak dan kakek dari tiga cucu
itu kepada tim wartawan tabloid ‘’Cerdas’’, Asnawin, Decy Wahyuni, dan
Abdul Wahab, di ruang kerjanya, akhir April 2010.
Selama enam bulan pertama di Surabaya, Sahban tidur di masjid. Kemana-
mana ia selalu jalan kaki. Semua itu dilakukan karena ia harus
menghemat uangnya. Dalam tempo enam bulan itu, ia berhasil lulus pada
ujian persamaan Sekolah Guru Bawah (SGB) Surabaya dan kemudian lulus
tes masuk Sekolah Guru Atas (SGA) Surabaya yang memberi beasiswa
ikatan dinas.
‘’Kebetulan saya kuat sekali pada mata pelajaran Aljabar, Ilmu Ukur,
Ilmu Alam, Ilmu Bumi, dan Sejarah,’’ sebutnya.
Setelah tamat SGA dan sambil mengajar di beberapa sekolah, Sahban
melanjutkan kuliah di IKIP Malang. Di sana ia bertemu dan bersahabat
dengan Malik Fajar yang belakangan menjadi Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan Nasional. Mereka berdua aktif di organisasi Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI). Selain kuliah di IKIP Malang, ia juga kuliah di
Universitas Merdeka Malang.
Ada sebuah peristiwa yang tidak bisa dilupakan Sahban saat kuliah di
Malang, yaitu ketika meletus peristiwa Gerakan 30 September PKI yang
kemudian dikenal dengan nama G-30.S-PKI. Saat itu, Asrama Sulawesi di
Jl. Kunir No. 15, diserang oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia
(PKI) dan memukuli mahasiswa yang aktif di HMI. Semua mahasiswa yang
ada di asrama ketika itu mendapat pukulan dan tendangan, serta poporan
senjata, kecuali Sahban.
‘’Teman-teman menganggap saya punya ilmu bisa menghilang, padahal
kebetulan waktu mereka datang saya langsung bersembunyi di bawah
kolong tempat tidur. Waktu itu fisik saya cukup kuat dan bisa
bertahan tidak jatuh dari bawah tempat tidur dengan cara menekan dua
kaki dan dua tangan ke papan tempat tidur. Waktu orang-orang PKI
datang, mereka memeriksa di kolong tempat tidur dengan cara
mengayunkan senjata dan pedang, tetapi mereka tidak pernah menyangka
bahwa saya berada di bawah papan tempat tidur yang jaraknya hanya
sekitar satu jengkal dari lantai,’’ papar Sahban seraya menyebut nama
Abdul Pandare, salah seorang temannya yang mendapat siksaan orang-
orang PKI.
Setelah situasi cukup aman, ia langsung meminta perlindungan di
Angkatan Laut, karena kebetulan ia juga pelatih judo di Angkatan
Laut. Tak lama kemudian ia ikut tes dan lulus masuk Angkatan Laut.
Sahban diterima di Marinir dan masuk anggota Korps Komando (KKO)
Angkatan Laut. Ia kemudian dikirim ke hutan di Jawa Timur selama dua
setengah tahun untuk latihan perang khusus. Pimpinan KKO ketika itu
adalah Mayor Pangalela yang belakangan meninggal dunia dalam
kecelakaan pesawat terbang.
Setelah keluar dari hutan, Sahban langsung mendapat pangkat Letnan
(KKO) TNI AL. Beberapa tahun kemudian, Gubernur DKI Jakarta Ali
Sadikin mencari beberapa orang dari kalangan tentara untuk membantunya
di Pemda DKI Jakarta, terutama untuk menertibkan guru-guru nakal. Dari
marinir diambil 20 orang dan salah satu di antaranya adalah Sahban
Liba.
‘’Banyak yang saya penjarakan, saya sita rumah, dan sebagainya,’’ kata
suami dari Hj. Andi Nurlaela, serta ayah dari Hernita SE MM, AKBP Muh.
Arsal SH MH, Muh. Amsal SE MM, dan Arfiany SE MM.
Beberapa tahun kemudian ia diangkat menjadi staf pribadi Ali Sadikin
dan sempat mondar-mandir di Istana Presiden. Tahun 1977, Ali Sadikin
pensiun, tetapi Sahban enggan kembali ke kesatuannya di Angkatan Laut,
karena mantan anak buahnya sudah banyak lebih tinggi pangkatnya dari
dirinya. Sahban memilih tetap dikaryakan dan menduduki beberapa
jabatan struktural di Pemda DKI Jakarta hingga pensiun pada 17 Agustus
1995.
Mendirikan PTS
Selama dikaryakan di Pemda DKI Jakarta, Sahban melanjutkan kuliahnya
yang terputus di IKIP Malang akibat peristiwa G-30.S-PKI. Ia memilih
lanjut di IKIP Muhammadiyah Jakarta, dan kemudian lanjut ke program
magister (S2) di Sekolah Tinggi Manajemen (STIMA) IMMI Jakarta.
Setelah pensiun, ia kemudian diangkat menjadi Manajer Personalia PT
Betamix Jakarta di bawah pimpinan Prof Dr Ir Bun Yamin Ramto.
Atas anjuran beberapa koleganya, antara lain Mendiknas Prof Wardiman,
Sahban kemudian memutuskan kembali ke Makassar dengan membuka usaha
bisnis gedung serba guna Lasharan Garden Jaya dan mendirikan perguruan
tinggi swasta (PTS).
PTS yang didirikannya yaitu Akademi Manajemen Perdagangan (Amdag) pada
tahun 1998, yang kemudian ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi Ilmu
Manajemen Lasharan Jaya (STIM-Lash Jaya) pada Juli 2001.
Perguruan tinggi yang berkampus di Jl Abdullah Daeng Sirua 10 itu
telah menelorkan sekitar 300 alumni.
Di STIM-Lash Jaya, Sahban yang anak kedua dari Sembilan bersaudara,
menerapkan disiplin semi-militer tetapi mendidik mahasiswa menjadi
orang yang berjiwa entrepreneurship.
Meraih Gelar Doktor
Meskipun sudah tua dan semua anaknya telah cukup berhasil, Sahban
rupanya belum mau pensiun atau berhenti beraktivitas. Tidak tanggung-
tanggung, ia malah ‘’ nekad’’ melanjutkan kuliah pada program doktoral
(S3) di Universitas Negeri Jakarta.
Ia kemudian berhasil menyelesaikan kuliahnya dan meraih gelar doktor
pada 2009, dengan mengusung disertasi berjudul ‘’Evaluasi Pelaksanaan
Kebijakan Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi Periode 2003-2010.’’
‘’Saya kuliah sekaligus untuk memotivasi anak-anak saya. Mereka saya
minta terus-menerus belajar dan meraih pendidikan setinggi-tingginya,
karena Allah akan mengangkat derajat orang-orang beriman dan
berilmu,’’ tutur Sahban.
Di akhir perbincangan dengan ‘’Cerdas’’, ia mengutip nasehat Lukmanul
Hakim kepada anaknya, bahwa ‘’alangkah indahnya apabila dalam diri
seseorang terkumpul iman, ilmu, dan harta, sebaliknya alangkah
malangnya seseorang apabila pada dirinya terkumpul kemiskinan,
kesombongan, dan kebodohan.’’ (asnawin, decy wahyuni, wahab)
Biodata:
Nama : Dr H Sahban Liba MM
Tempat/tgl lahir : Kalosi, 18 Agustus 1937
Isteri : Hj. Andi Nurlaela
Pendidikan :
- SD Negeri Kalosi
- SGB Negeri Surabaya
- SGA Negeri Surabaya
- IKIP Muhamadiyah Jakarta
- S2 Sekolah Tinggi Manajemen IMMI, Jakarta
- S3 Universitas Negeri Jakarta
Pekerjaan :
- Guru honorer di Surabaya
- Marinir TNI-AL di Jawa Timur
- Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta
- Dikaryakan di Pemprov DKI Jakarta
- Manajer Personalia PT Betamix Jakarta
- Direktur STIM Lasharan Jaya Makassar
-- keterangan : Profil Sahban Liba ini dimuat Tabloid Cerdas Kopertis
Wilayah IX Sulawesi, edisi Mei 2010