Buat Hulaskoers,
Yuk mari kita doakan bersama semoga keadaan yang dialami oleh teman - teman kita di bawah ini segera mendapat jalan keluar terbaik dariNYA. Aamiin YRA.
psh

October 03, 2017 | 16 : 51
SKK Migas & Kemenaker Tangani Pelanggaran Hak Pekerja EMP MSSA
Jakarta,
petroenergy.id
-- Pada 29 September lalu EMP Malacca Strait SA (EMP MSSA) melakukan
PHK 110 pekerja atau hampir sepertiga total pekerjanya, baik pekerja
lapangan maupun di kantor pusat Jakarta. Manuver ini dinilai sah
dilakukan atas nama penyelamatan perusahaan, asal melalui proses PHK
yang sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Tapi "perusahaan justru
melakukan PHK di saat pertemuan Bipartit masih berlangsung". Energi Mega
Persada (EMP) sebagai holding company dinilai telah melakukan
pelanggaran-pelanggaran atas hak normatif pekerja.
"Untuk itu, kami dari Serikat Pekerja Kondur Petroleum (SPKP)
mengharapkan kelembagaan Presiden RI menindak tegas atas tidak
ditaatinya aturan dan perundangan yang berlaku," ujar Heru Widodo, Ketua
Umum SPKP, dalam keterangan persnya Selasa (3/10/2017) di Jakarta.
Menurut Heru, campur
tangan Presiden beserta Kementrian dan SKK Migas mendesak dan perlu
untuk melakukan penindakan tegas atas pelanggaran EMP MSSA pada proses
pemutusan hubungan kerja (PHK) - mutual agreet termination (MAT) pekerja
yang dikemas dalam program rightsizing (“effisiensi”). Surat permintaan
bantuan penyelesaian dan perlindungan kerja serta hak-hak normatif
pekerja sudah disampaikan ke Presiden RI Joko Widodo dengan tembusan
kementerian terkait serta SKK Migas.
SPKP bersama wakil
Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Minyak dan Gas Bumi Indonesia (KSPMI)
juga telah meminta perhatian Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
Mereka berharap fungsi pemerintah dan hubungan industrial dapat
memberikan layanan dengan memberikan keputusan atas keluhan adanya
pelanggaran-pelanggaran yang telah banyak dilakukan perusahaan sejak
hampir dua tahun lalu dan menolak PHK yang dilakukan oleh EMP MSSA
dimana pertemuan Bipartit masih berlangsung.
"Serikat pekerja juga
sudah berupaya menjaga aksi pekerja yang berpotensi menimbulkan kerugian
pada perusahaan dan negara" dengan mengedepankan komunikasi serta
negoisasi sebagai upaya terbaik. Kami tidak akan melakukan akso mogok.
Namun bila prosedur yang semestinya tidak dilakukan perusahaan, langkah
terakhir kami bisa saja membawa masalah ini ke jalur hukum," ujarnya
Saat hearing dengan SKK
Migas beberapa waktu lalu, SPKP meminta SKK Migas memfokuskan perhatian
ke perusahaan terkait pelaksanaan PHK yang menyalahi aturan perundangan
yang ada serta penyelesaian hak pekerja yang belum dibayar yang
merupakan cost recovery. Atas aturan yang dilanggar, Heru mengatakan,
perusahaan tidak menghargai forum bipartit yang ada sebagai forum
komunikasi resmi antara wakil pekerja dan perusahaan
Perusahaan juga telah
melakukan tindakan tidak patut atas permintaan penandatanganan
Perjanjian Bersama (PB) pada 29 September 2017 dengan telah melampirkan
antara lain: Pertama, Surat persetujuan permintaan pencairan atas
jaminan hari tua dan Paklaring (12 September 2017); Kedua, Permintaan
exit clearance:
Ketiga, Pemotongan hak
cuti sepihak sampai 29 September 2017; Keempat, Tidak adanya jadwal
kembali bekerja bagi pekerja lapangan, Kelima, Telah memberikan
informasi “pasti PHK”, setuju atau tidak setuju tetap akan dilakukan
terminasi (“PHK”) pada 29 September 2017. Perusahaan juga tidak
memasukkan nama-nama pekerja yang disasar dalam proses PHK dalam
ornigram baru meskipun belum ada keputusan PHK.
"Walaupun dalam PB
terdapat kalimat ‘dalam keadaan sadar tanpa unsur paksaan dari pihak
manapun’, dalam keputusan Penandatanganan PB tersebut pekerja tidak
dalam posisi yang benar-benar bebas dalam mengambil keputusan terbaik
berdasarkan kesepakatan pekerja dan perusahaan," ujar Heru.
Lebih jauh Heru
mengatakan, kekurangan pembayaran upah Oktober 2016 sebesar 25 persen
upah ditambah satu bulan upah Agustus 2017 serta pembayaran biaya hari
istirahat 2017 sebesar satu bulan upah yang belum dibayarkan dengan
total lebih dari dua bulan upah pekerja, sangatlah memberatkan kondisi
keuangan pekerja. Hal ini, lanjutnya, berpengaruh pada saat pekerja
memberikan keputusan atas pilihan yang sebenarnya; yakni menandatangani
PB dengan pembayaran pesangon yang dicicil yang sebenarnya bukan
merupakan pilihan terbaik mereka terutama yang 12 – 34 x bulan cicilan.
Menurut Heru, rencana
desentralisasi EMP yang belum pernah dibicarakan dengan perwakilan
serikat pekerja yakni Serikat Pekerja Kondur Petroleum (SPKP), Serikat
Pekerja Korinci Bentu (SPKB) dan Serikat Pekerja EMP Tonga (SPT) tetapi
sudah dimintakan persetujuan ke SKK Migas, hal ini perlu diwaspadai dan
mendapatkan perhatian lebih khusus.
Heru memastikan proses
desentralisasi akan menambah beban biaya pada masing-masing perusahaan
yang ada saat ini. Perpindahan pekerja pada bisnis unit lain dengan
tidak ada penambahan jumlah pekerja pada rencana saat ini juga perlu
dicermati lebih lanjut terutama dalam rencana besarnya. "Hal Ini agar
dikemudian hari tidak menjadi persoalan seperti pada EMP MSSA, di mana
rasio produksi dan jumlah pekerja yang tidak rasional berujung pada PHK
dengan pesangon yang dicicil hingga mendekati akhir Kontrak Wilayah
Kerja - KKKS tahun 2020," ujarnya.
Berdasarkan fakta-fakta
tersebut, SPKP meminta agar SKK Migas menolak dan membatalkan proses
PHK massal pada perusahaan. Demikian pula terhadap rencana
desentralisasi, hendaknya digali lebih dalam lagi atas kinerja
perusahaan saat ini. "SKK Migas wajib memberikan rapor merah pada EMP
MSSA agar tidak mencederai dan memberikan kesan negatif layaknya
pembiaran dan lemahnya perlindungan pemerintah dan negara kepada pekerja
migas yang telah ikut berpartisipasi dalam ketahanan migas nasional,"
kata Heru.
"Akankah kami dan
rekan-rekan pekerja dalam migas harus ke luar negeri tercinta Indonesia
untuk mendapatkan perlakuan yang lebih layak dan dihargai serta
dimanusiakan, "diuwongke". Untuk itu kami berharap dalam dua pekan ke
depan Kementerian Tenaga Kerja maupun SKK Migas sudah memutuskan menolak
keputusan yang telah ditetapkan perusahaan," tandas Heru menambahkan.
Ia juga menilai EMP
MSSA dengan visi “menjadi perusahaan publik yang memimpin dalam sektor
minyak dan gas bumi Indonesia” seharusnya memberikan potret terbaik
sebagai mitra pemerintah dalam pengelolaan pertambangan nasional.
Tentunya juga harus merupakan tempat terbaik pula bagi pekerja yang
merupakan anak bangsa dalam ikut mengelola migas Indonesia.
"Dengan belum
dibayarnya hak-hak pekerja yang sudah pensiun hampir satu tahun, belum
dibayarkannya iuran BPJS Ketenagakerjaan dan Dana Pensiun Lembaga
Keuangan (DPLK) Tugu Mandiri merupakan tindakan melawan aturan dan
perundangan," ujar Heru menandaskan. Ditaksir, biaya yang harus
dikeluarkan perusahaan untuk memberikan pesangon tanpa dicicil dan
beberapa pembayaran lainnya, menurut hitungan kasar Heru mencapai Rp 150
miliar.
Demikian juga penundaan
upah tanpa kepastian, menurut Heru, merupakan sebagian potret diri
perusahaan yang memerlukan perbaikan lebih dan lebih baik lagi, sehingga
tidak terjadi seperti peribahasa 'Habis Manis Sepah Dibuang'. "Itulah
kami," tutur Heru seraya menyatakan apresiasinya terhadap bantuan
Kementerian Ketenagakerjaan dan SKK Migas terkait persoalan yang
membelit pekerja EMP MSSA. -san/pap