Bro & Sis,
Saya tidak puya WA, FB, atau medsos lainnya, selain milis ini, sehingga tidak tahu seperti apa dinamika Hulasko yang ada di situ.
Namun sayang sekali komunitas sosial milis Hulasko yang dibangun sejak awal dekade 90an harus menjadi sirna karena sejumlah alasan yang sejatinya, interaksi para anggota komunitas ini bisa saling mengisi dalam kebhinekaan tanpa mengabaikan persatuan dan kesatuan kita yang sebelumnya terasa teramat sangat guyub.
Kini, boleh jadi kemajemukan anggota Hulasko ini sudah berlintas generasi dan ber(majas) metafora, mulai dari yang masih unyuk2 & kinyis2 sampai dengan kaum ulama (Usia LAnjut Masih Aktif), menjadikan persepsi interaksi yang berbeda.
Memang harus diakui bahwa selama ini kita berbeda dalam perkariban, dan berkarib dalam perbedaan, entoh komunitas sosial (paguyuban) ini tidak bisa disangkal keberadaannya oleh siapa pun lantaran ia tetap bermuasal dari karya satu tetesan Minyak Jingga Selat Malaka (HOMSL).
Kalau bisa, milis ini jangan totally abandoned. Tersertakan artikel seorang akademisi yang ikutan prihatin. Semoga bermanfaat.
Tabik,
psh
Kesantunan di Media Sosial
FATHUR ROKHMAN
24 Agustus 2017
Jumlah orang yang bermasalah
dengan media sosial terus bertambah. Selain dari segi jumlah, intensitas
masalah di media sosial juga terus berubah. Ada yang bermasalah dengan
sesama pengguna media sosial lain, ada yang bermasalah dengan orang
terdekat, bahkan tidak sedikit orang yang bermasalah dengan hukum.
Ini sebuah realitas yang memprihatinkan. Dunia baru bernama media
sosial alih-alih semakin membuat penggunanya komunikatif, justru membuat
penggunanya semakin sering terlibat konflik. Padahal, konflik adalah
gejala yang menandai kegagalan komunikasi.Bill Gates mengatakan, the world in just the finger. Sekarang, konflik pun sering kali bermula dari ujung jari.
Dari luar, persoalan ini tampak sederhana, yakni kegagapan anak-anak
muda menghadapi teknologi baru. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih jauh,
ada persoalan cukup rumit yang melibatkan distribusi pengetahuan,
perubahan nilai, dan pembentukan kultur baru dalam masyarakat.
Persoalan-persoalan inilah yang membuat media sosial jadi perhatian
banyak pihak. Presiden Joko Widodo sendiri sering menyampaikan imbauan
agar berhati-hati menggunakan media sosial. Peringatan yang sama
disampaikan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad
Nasir dalam pidato resmi Peringatan Ke-72 Kemerdekaan RI yang dibacakan
oleh semua rektor perguruan tinggi negeri di Indonesia. Ia mengimbau
mahasiswa agar berhati-hati menggunakan media sosial.
Benarkah persoalan media sosial sudah berkembang demikian membahayakan?
Teknologi adalah produk tradisi di komunitas penciptanya dan melahirkan
tradisi baru di komunitas yang menerimanya. Di komunitas penciptanya,
teknologi lahir beserta perangkat pengetahuan yang menyertainya. Karena
itulah, komunitas pencipta paham betul batas-batas penggunaannya. Para
perancang teknologi tak ubahnya seperti Doraemon yang tahu persis cara
menggunakan berbagai perkakas dari kantong ajaibnya secara proporsional.
Di komunitas penerimanya,teknologi itu sering kali diterima semata-mata
sebagai produk jadi. Nilai-nilai yang menyertainya ditinggalkan.
Pengguna teknologi itu tidak menerima pesan itu sebagai produk yang
telah dan sedang berproses. Perangkat nilai dan pengetahuan yang
menyertainya ditinggalkan begitu saja. Akibatnya, komunitas pengguna
sering kali gagal paham batas etis penggunaan teknologi itu. Mereka
bersikap seperti Nobita yang karena ketidaktahuan dan kecerobohannya
mengeksploitasi alat-alat dari kantong ajaib sesuka hatinya.
Internet membuat produk teknologi informasi bisa didistribusikan dalam hitungan detik melalui marketplace.
Produk itu dapat terpasang di gawai dalam hitungan detik pula. Akan
tetapi, untuk ”memasang” pengetahuan dan nilai tentang teknologi
tersebut diperlukan beberapa pekan, bulan, atau bahkan tahun. Di sinilah
terjadi ketumpangtindihan. Kecanggihan teknologi menyalip jauh
kecerdasan dan kearifan penggunanya.
Tindakan berbahasa
Catatan menunjukkan, sebagian besar persoalan yang muncul di media
sosial berkaitan dengan bahasa. Variasinya cukup banyak dan akan terus
bertambah, antara lain berupa penghinaan, fitnah, penghasutan, dan
ujaran kebencian. Keempatnya menjadi semacam lubang tak tampak yang siap
membuat pengguna media sosial mana pun terperosok.
Meskipun berformat tulisan (simbol grafis), tradisi bertutur di media
sosial sejatinya adalah tradisi lisan. Tulisan yang lahir di media
sosial lebih menyerupai obrolan, rumpian, atau gunjingan yang
lahir spontan. Karakter tulisan di media sosial berbeda dengan tulisan
yang lahir pada era sebelumnya. Sebelum era media sosial, tulisan adalah
buah pikir yang dikerjakan secara serius. Di media sosial, orang
menulis, tetapi pada dasarnya berbicara sesuka hati (Betawi: nyablak).
Pada satu sisi, spontanitas berbahasa di media sosial selevel dengan
gosip, tetapi di sisi lain konsekuensi sosial dan hukumnya seketat dan
seberat bahasa tulis. Pembicaraan di media sosial ditulis tanpa proses
berpikir panjang, tetapi karena wujudnya tulisan dapat didokumentasikan
dan dibaca ribuan orang seketika. Paduan ganjil inilah yang melahirkan
masalah serius dalam komunikasi di media sosial.
Perbincangan lisan memiliki kelemahan yang sekaligus keunggulan karena
jangkauannya terbatas. Keterbatasan ini membuat perbincangan sangat
personal, memiliki konteks yang sangat spesifik, dengan pendengar yang
relatif homogen. Media sosial memilikikeunggulan yang sekaligus menjadi
kelemahannya.
Jangkauan tanpa batas membuat keintiman hilang, konteksnya
jadi tidak jelas, dan bisa dijangkau oleh pembaca mana pun dengan latar
belakang dan tujuan sangat beragam.
Beberapa dekade sebelum kelahiran media sosial, filsuf John Searle
(1969) telah mengingatkan bahwa bahasa adalah sebuah tindakan. Ketika
seseorang memproduksi tuturan tertentu, pada dasarnya ia melakukan
tindakan lain. Karena itulah, setiap tindakan berbahasa melahirkan
rangkaian akibat yang lebih dari sekadar tindakan berbahasa. Pada
konteks media sosial, akibat itu bisa bersifat masif dan simultan.
Dengan cara kerja demikian, pengguna media sosial tidak bisa lagi
berlindung pada argumentasi konvensional. Misalnya, ”sekadar curhat”,
”hanya nyetatus”, atau ”bebas berpendapat”. Tindakan berbahasa yang
”hanya” dan ”sekadar” itu memiliki dampak yang kerap kali di luar
kendali penulisnya. Kesalahpahaman, kebencian, ketegangan sosial, dan
konflik yang lahir akibat komunikasi di media sosial tidak bisa
diabaikan oleh argumentasi ”hanya” dan atau ”sekadar” tadi.
Prinsip kesantunan
Dalam penggunaan media sosial dewasa ini, ada perbedaan kontras antara
pengguna berusia muda dan pengguna dewasa. Pengguna muda memiliki
penguasaan teknis yang berkali-kali lipat lebih baik.
Sebagai digital native
mereka memiliki keterampilan teknis yang mengagumkan, tetapi
tidakdiiringi refleksi nilai yang memadai. Orang dewasa cenderung
berkebalikan: gagap secara teknis, tetapi memiliki refleksi yang
mendalam.
Kondisi inilah yang perlu diantisipasi dengan memperkenalkan
nilai-nilai kepada pengguna media sosial pemula. Salah satunya adalah
memperkenalkan kesantunan sebagai nilai yang tak terpisahkan dalam
komunikasi.
Linguis berkebangsaan Inggris, Geofrey Leech (1983), merinci ada enam
unsur kesantunan: kebijaksanaan; kedermawanan; kerendahhatian;
penghargaan; kesetujuan; dan simpati. Dari enam prinsip itu, bisa
diturunkan tiga panduan sederhana untuk menghindari konflik di media
sosial. Pertama, utamakanlah memberi keuntungan kepada orang lain, baru
keuntungan diri sendiri. Kedua, berilah apresiasi gagasan dan tindakan
orang lain, hindari mengapresiasi diri sendiri. Ketiga, berusahalah
merasakan hal yang dirasakan orang lain, hindari menjustifikasi.
Fathur Rokhman, Rektor Universitas Negeri Semarang; Profesor Sosiolinguistik