Fwd: Fw: 7 Cobaan yang Buat Pernikahan di Tahun Pertama Beraaaat...

53 views
Skip to first unread message

Sutan Siagian

unread,
Apr 1, 2013, 11:00:05 PM4/1/13
to HECM, dyan....@gmail.com


---------- Forwarded message ----------
From: Donald Paul Scheffer <donald....@givaudan.com>
Date: 2013/4/2
Subject: Fw: 7 Cobaan yang Buat Pernikahan di Tahun Pertama Beraaaat...
To: Sutan Siagian <sutan....@givaudan.com>, sutan....@gmail.com, Andri Ruskandi <andri.r...@givaudan.com>


Dear All,

Kindly read  below articles :


Senin, 17/12/2012 18:35 WIB

7 Cobaan yang Buat Pernikahan di Tahun Pertama Beraaaat...

Eya Ekasari - wolipop




Jakarta - Banyak anggapan yang mengatakan bahwa usia awal pernikahan merupakan masa paling indah. Namun, tak sedikit pasangan menikah yang justru merasa kehidupan di tahun pertama adalah yang terberat. Bahkan para peneliti pun mengungkapkan alasan di balik anggapan tersebut.

Seperti yang dikutip dari About, penelitian menunjukan bahwa tahun pertama dan kedua usia pernikahan dapat menghancurkan pernikahan. Penelitian yang bertajuk 'The Connubial Crucible: Newlywed Years as Predictors of Marital Delight, Distress, and Divorce' itu dilakukan oleh Ted L. Huston, John P. Caughlin, Renate M. Houts, Shanna E. Smith, Laura J. George, dan dipublikasikan dalam jurnal 'The Journal of Personality and Social Psychology'.

"Penelitian ini menunjukkan kehidupan pada tahun kedua bagi pasangan yang baru menikah dapat mencerminkan kehidupan pernikahan mereka pada 13 tahun mendatang. Mereka yang sulit atasi perubahan rasa cinta, kasih sayang dan keyakinan lebih mungkin bercerai ketimbang mereka yang stabil," ujar Dr Huston dari University of Texas di Austin.

Kesimpulan itu juga diperkuat denga riset dilakukan oleh Deakin University's Australian Centre yang mengukur kebahagiaan 2.000 orang dalam skala 0-100. Dari penelitian itu terungkap, orang yang usia pernikahannya kurang dari setahun ternyata tidak lebih bahagia ketimbang mereka yang sudah menikah lebih lama.

Orang-orang yang usia pernikahannya kurang dari setahun skor indeks kebahagaiannya adalah 73,9. Skor tersebut nyaris mendekati batas bawah skor normal yaitu antara 73,8-76,7. Para peneliti menduga ketidakbahagiaan pasangan pengantin baru ini terjadi karena stres saat harus membayar biaya pernikahan dan membeli rumah baru.

Pemimpin penelitian dari Deakin University, Dr Melissa Weinberg melihat adanya wedding hangover pada pasangan pengantin baru. "Pasangan merasa hari pernikahan mereka adalah hari terbaik dalam hidup dan kemudian menemukan kenyataan yang sebenarnya setelah pesta berakhir dengan adanya tagihan dan harus kembali bekerja setelah masa bulan madu berakhir," tutur Weinberg.

Lalu, hal-hal saja yang membuat pasangan menikah merasa tak bahagia di tahun pertamanya?

1. Masalah Peran
Banyak pasangan yang tidak mendiskusikan bahkan menganggap remeh tentang peran mereka dalam kehidupan rumah tangga dan pernikahan. Mereka tak mengetahui bahwa peran dalam rumah tangga bisa menjadi masalah besar sampai akhirnya terjadi konflik. Anda dan pasangan mulai menanyakan, "Siapa yang bertanggung jawab atas pekerjaan rumah? Bagaimana membaginya? Siapa yang membayar tagihan telepon?". Berasumsi bahwa pasangan akan mengurus semua hal tersebut hanya akan membuat masalah menjadi lebih besar di kemudian hari.

2. Masalah Peraturan
Setiap pasangan akan menciptakan aturan keluarga dengan membawa latar belakang masing-masing. Tak jarang ada beberapa nilai yang bertolak belakang di antara keduanya. Hal itu seringkali menjadi perseteruan. Nilai mana yang akan dipakai dalam sebuah rumah tangga dapat menjadi bahan pertengkaran.

Sebaiknya bicarakan hal ini dengan baik. Setiap nilai pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Ajak suami untuk membuat daftar kekurangan dan kelebihan masing-masing nilai. Selanjutnya, Anda berdua lebih mudah menentukan mana yang terbaik.

3. Masalah Keuangan
Uang merupakan penyebab pertikaian terbesar dalam rumah tangga. Membahas proritas keuangan dan membuat perencanaan dapat bantu mengurangi masalah ini. Pikirkan mengenai anggaran tiap bulannya, tabungan, tunjangan kesehatan, investasi untuk pendidikan anak serta cara menghadapi pasangan ketika ia ingin membeli sesuatu yang tidak bisa Anda setujui.

4. Masalah Seks
Setelah uang, masalah yang paling umum lainnya adalah seks. Bagi pasangan yang baru menikah, masa-masa bulan madu terlewatkan dengan begitu cepat dan membuat pasangan harus menghadapi tekanan dari kehidupan sehari-hari yang dapat menganggu hasrat seksual. Oleh karena itu, bersikap terbuka dan mendiskusikan mengenai apa yang diinginkan baik oleh Anda maupun pasangan dalah hal seks. Ketika kehidupan seks Anda bahagia, makan kehidupan rumah tangga Anda juga akan bahagia.

5. Masalah Anak
Sebagian besar pasangan biasanya telah membicarakan mengenai keinginan punya anak atau tidak sebelum mereka menikah. Namun, apakah benar-benar tahu bahwa pasangan Anda benar-benar menginginkan hal itu? Berapa banyak anak yang akan dimiliki? Berapa lama waktu untuk menunda kehamilan? Apakah pasangan harus mengorbankan karir untuk membesarkan anak? Ingat, masalah anak tak hanya terletak pada ingin atau tidaknya Anda dan pasangan memiliki keturunan.

6. Masalah Mertua
Survei yang diikuti 2.000 orang menemukan kalau mertua khususnya sang ibu mertua menjadi salah satu penyebab konflik utama pada pasangan Inggris. Tentu pemicunya bermacam-macam, mulai dari campur tangan pada masalah rumah tangga sampai ketidak cocokan sifat dengan sang mertua. Pada tahun pertama pernikahan jika hal ituterjadi, yang perlu dikukan adalah tetap tenang dan membahasnya dengan pasangan Anda.

7. Masalah Kebiasaan
Sebelum menikah, Anda dan pasangan merasa sudah saling memahami kebaikan dan keburukan masing-masing. Yakin? Karena setelah menikah, Anda bisa saja menemukan banyak hal baru dari pasangan. Kebiasaan pasangan ini bisa jadi membuat Anda sangat sebal dan ingin mengomelinya. Misalnya saja bagaimana dia begitu sering menaruh pakaian kotor sembarangan, menaruh botol minuman yang sudah kosong di dalam kulkas, dan lain-lain.


(eya/eya)



Solusi nya : kehidupan spiritual yang benar, lihat kembali materi kelas pra perkawinan
Tujuan perkawinan kita adalah untuk memuliakan TUHAN lewat perkawinan kita

 Bukan bertujuan untuk kebahagiaan kita
Tetapi carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya........  

Matius
6:33 Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.


e-Konsel -- Tujuan Pernikahan Kristen
Edisi 313/Oktober 2012


Pada umumnya, pasangan-pasangan yang akan menikah menjadi sibuk saat mempersiapkan perayaan pernikahan. Agar acara pemberkatan dan resepsi pernikahan berjalan lancar, mereka rela mengerahkan segenap daya, tenaga, dan dana. Prosesi pemberkatan dan resepsi tersebut tentu akan segera berlalu, namun mereka harus terus mempertahankan pernikahan seumur hidup.

Untuk mempertahankan pernikahan, setiap pasangan harus memahami hakikat dan tujuan pernikahan. Sayangnya, ada beberapa orang yang tidak terlalu serius dalam mengerahkan segenap kemauan, akal budi, daya, dan dana untuk memahami hakikat dan tujuan pernikahan Kristen dengan baik dan jelas. Jika seseorang tidak memunyai visi dalam pernikahan, maka sesungguhnya dia telah melakukan tindakan "bunuh diri". Cepat atau lambat, pernikahan dan cintanya akan layu dan mati. Untuk menghindari hal ini, saat berpacaran atau sebelumnya, sebaiknya Anda menanyakan tujuan hidup dan pernikahan yang ada di benak orang yang Anda sayangi. Diskusikan itu dengan konselor untuk membantu Anda mengerti, apakah visi itu cukup jelas saat memasuki pernikahan Anda atau tidak.

Hakikat Pernikahan

Pernikahan yang baik adalah komitmen total dari dua orang di hadapan Tuhan dan sesama. Pernikahan yang baik didasarkan pada kesadaran bahwa pernikahan ini adalah kemitraan yang mutual. Pernikahan yang baik juga melibatkan Tuhan secara proaktif di dalam setiap pengambilan keputusan, sebab pernikahan adalah sebuah rencana ilahi yang istimewa. Dengan demikian, pernikahan seharusnya tetap dijaga dan dipertahankan di dalam kekuatan Roh yang mempersatukan kedua insan.

a. Pernikahan adalah Suatu Perjanjian ("Covenant")

Secara simbolis, orang yang menikah mengucapkan janji nikahnya di gereja. Secara sederhana, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua individu/kelompok atau lebih. Perjanjian pernikahan adalah mengasihi ("to love") dan dikasihi ("to be loved"). Menurut Balswick, ada tiga hal yang dapat kita pelajari dari perjanjian yang Allah tetapkan. Pertama, perjanjian itu sepenuhnya merupakan tindakan Allah, bukan sesuatu yang bersifat kontrak. Komitmen Allah ini tetap berlangsung, tidak bergantung pada manusia. Kedua, Allah menghendaki respons dari manusia. Namun, ini bukan berarti perjanjian tersebut bersifat kondisional. Perjanjian itu tetap menjadi satu perjanjian yang kekal, terlepas dari apakah umat Tuhan melakukannya atau tidak. Ketiga, Allah menyediakan berkat-berkat dan keuntungan bagi mereka yang menuruti perjanjian tersebut. Manusia diberi kebebasan untuk memilih, untuk hidup dalam perjanjian itu atau menolaknya.[1]

Menurut R.C. Sproul, pernikahan bukanlah hasil dari satu perkembangan kebudayaan manusia.[2] Institusi pernikahan ditetapkan seiring dengan Penciptaan itu sendiri. Senada dengan itu, John Stott berkata, "...perkawinan bukanlah temuan manusia. Ajaran Kristen tentang topik ini diawali dengan penegasan penuh kegembiraan bahwa perkawinan adalah gagasan Allah, bukan gagasan manusia... perkawinan sudah ditetapkan Allah pada masa sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa."[3]

Jika demikian, pengertian di atas mengandung tiga implikasi penting. Pertama, setiap orang yang mau menikah seharusnya memberikan atensi pada pengenalan eksistensi Allah sebagai pendiri lembaga ini. Kedua, memberikan Allah otoritas penuh dalam memimpin lembaga ini sehingga komunikasi suami-istri bersifat trialog.[4] Artinya, Allah dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan. Ketiga, pernikahan diikat oleh komitmen seumur hidup, sebab perjanjian itu bukan kepada manusia, melainkan kepada Allah sendiri. Dengan memahami pernikahan sebagai satu ikatan perjanjian dengan Allah, maka calon suami istri disadarkan agar senantiasa bergantung pada kekuatan Allah dalam menjalani pernikahan.

b. Pernikahan adalah Kesaksian

Dalam Efesus 5:32, Paulus menggambarkan hubungan suami dan istri seperti hubungan Allah dan jemaat-Nya. Artinya, dengan menikah, orang Kristen dipanggil masuk ke dalam satu panggilan pelayanan khusus, yakni menyaksikan Kristus melalui wadah keluarga. Implikasinya adalah hubungan dan komunikasi suami istri menjadi wadah anak-anak belajar mengenal kasih Tuhan.

Di samping itu, keluarga juga menjadi tempat persiapan dan latihan anak-anak untuk menjadi suami atau istri dan menjadi orang tua. Selanjutnya, model itu akan terus terbawa ke dalam pola mereka mendidik anak-anak kelak. Pernikahan yang sehat dan berfungsi, pada umumnya, akan menghasilkan anak-anak yang sehat pula. Jadi, setiap mereka yang akan menikah dan menjadi orang tua perlu menyadari konsekuensi ini -- dipanggil menjadi reflektor kasih Allah bagi anak-anak. Dalam tulisannya, "Parenting: A Theological Model", Myron Charter [5] menjabarkan tujuh dimensi dari kasih Allah Bapa yang harus direfleksikan setiap orang tua, yakni: sikap yang penuh peduli, tanggung jawab, disiplin, murah hati, respek, pengenalan, dan pengampunan.

Tujuan Pernikahan

Tujuan pernikahan bukanlah kebahagiaan seperti yang diangan-angankan banyak muda-mudi sebelum menikah, melainkan pertumbuhan. Kebahagiaan itu justru ditemukan di tengah-tengah perjalanan (proses) pernikahan yang dilandasi cinta kasih Kristus. Kalau tujuan kita menikah adalah bahagia, maka pasangan kita akan kita peralat demi mencapai kebahagiaan itu.[6] Itu sebabnya, orang yang menikah dengan tujuan bahagia justru menjadi yang paling tidak bahagia dalam pernikahannya. Bahkan, tujuan ini banyak mengakibatkan perceraian, dengan alasan ia tidak merasa bahagia dengan pasangannya.

Heuken [7] menyebutkan beberapa tujuan lain yang tidak kuat sebagai landasan untuk menikah. Pertama, demi keperluan psikologis, yakni supaya merasa tidak sendirian atau kesepian. Kedua, demi kebutuhan biologis, yakni agar dapat memuaskan nafsu seks secara wajar. Ketiga, demi rasa aman, yakni supaya memunyai status sosial dan dihargai masyarakat. Keempat, agar memunyai anak. Ini semua bukan merupakan alasan atau tujuan yang kuat mengapa seseorang menikah.

Dalam berumah tangga, kita akan mengalami begitu banyak keadaan dan situasi yang tidak diharapkan. Misalnya, pasangan Anda gagal dalam pekerjaan. Pasangan Anda menyeleweng. Pasangan Anda sakit atau cacat. Kondisi itu pasti tidak menyenangkan. Tetapi kalau Tuhan mengizinkan hal-hal tersebut terjadi, kita perlu belajar dari hal-hal tersebut. Lewat situasi dan keadaan itulah cinta kita diuji, apakah kita tetap berpegang teguh pada janji pernikahan kita dan setia kepada pasangan kita sampai kematian memisahkan. Untuk itu, mari kita pahami tujuan pernikahan Kristen yang akan menguatkan tiang pernikahan kita.

1. Pertumbuhan

Pertumbuhan yang diharapkan adalah agar suami istri dapat melayani Allah dan menjadi saluran berkat bagi sesamanya. Agar pernikahan itu bertumbuh, maka ada dua syarat yang harus dimiliki setiap pasangan.

a. Masing-masing sudah menerima pengampunan Kristus, sehingga mampu saling mengampuni selama berada dalam rumah tangga, yang masing-masing penghuninya bukanlah orang yang sempurna. Usaha diri sendiri pasti akan gagal.

b. Kemampuan beradaptasi, artinya masing-masing tidak memaksa atau menuntut pasangannya, sebaliknya mampu saling memahami dan memberi. Masing-masing menjalankan peran dengan baik, serta mampu menerima kelemahan dan kekurangan pasangannya.

2. Menciptakan Masyarakat Baru Milik Allah

John Stott mengatakan bahwa pernikahan dibentuk Allah dengan tujuan untuk menciptakan satu masyarakat baru milik Allah ("God's new society") -- satu masyarakat tebusan yang dapat menjadi berkat dan membawa kesejahteraan bagi sesamanya.[8] Wadah yang Allah pilih sebagai sarana menyejahterakan manusia tebusan-Nya di dunia ini adalah keluarga. Rencana ini telah Allah tetapkan jauh sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Untuk itu, Allah pertama-tama memilih keluarga Abraham, Ishak, Yakub, dan seterusnya sampai akhirnya dalam keluarga Yusuf dan Maria yang melahirkan Yesus. Demikianlah sampai hari ini, rencana Tuhan bagi setiap pasangan Kristen adalah agar pasangan itu menghasilkan anak-anak perjanjian (anak-anak Tuhan) yang memunyai tanggung jawab untuk merawat dan mengurus bumi ciptaan-Nya ini.[9] (Kejadian 1:26,28)

Di samping itu, melalui setiap keluarga, Allah menghendaki agar setiap suami istri melahirkan keturunan ilahi (anak-anak tebusan Kristus. Baca Maleakhi 2:14-15).[10] Karena itu, berdasarkan prinsip di atas, saya berkeyakinan bahwa setiap anak dalam pernikahan kami adalah anak-anak (karunia/titipan) Tuhan. Mereka bukan baru menjadi anak-anak Tuhan saat mereka dibaptis atau sesudah besar, tetapi sejak dalam kandungan mereka adalah benih ilahi yang Allah percayakan kepada keluarga kami.

Keyakinan ini sangat memengaruhi sikap kita dalam menghargai dan mendidik anak-anak. Juga akan membuat kita memprioritaskan keluarga dengan benar. Tujuan kita adalah mendidik mereka agar menjadi anak-anak Tuhan yang tidak hanya menaati bapak dan ibu mereka secara daging, tetapi juga taat kepada Bapa di surga. Kita juga sungguh-sungguh berusaha membangun kehidupan anak-anak kita, baik secara fisik, mental, maupun spiritual. Tetapi jika Tuhan mengizinkan keluarga kita tanpa seorang anak, rencana Tuhan pun tetap sama indahnya. Dia mempunyai rencana tersendiri bagi keluarga yang tidak dikaruniai anak. Keluarga yang demikian perlu bergumul, mencari tahu apa yang dapat diperbuat untuk menyenangkan hati Tuhan, meski belum ada buah hati. Jika ingin mengadopsi anak, sebaiknya berkonsultasi terlebih dulu dengan konselor.

Anak merupakan upah atau berkat Tuhan bagi keluarga yang dikenan-Nya untuk menerima berkat itu. Tidak memiliki anak bukan berarti dikutuk atau tidak mendapat berkat Allah. Suami istri yang tidak memiliki anak pun, tetap merupakan keluarga yang di dalamnya Allah memiliki rencana tersendiri.

[1] Balswick & Balswick. "The Family: A Christian Perspectiveon the Contemporary Home." Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1991, p.23.
[2] Sproul, R.C., "Discovering the Intimate Marriage." Minnesota: Bethany Fellowship, Inc., 1975, p. 113-114.
[3] Stott, John. "Isu-Isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani." Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF, 1984, hal. 368.
[4] Scheunemann, D., "Romantika Kehidupan Suami-Istri." Malang: YPPII, 1984.
[5] Charter, Myron. "Parenting: A Theological Model", Journal Psychology and Theology. Vol.6, No.1 (1977), p.54.
[6] Heuken, "Persiapan Perkawinan." Hal. 24-25.
[7] Heuken, "Persiapan Perkawinan." (Yogjakarta: Kanisius), hal. 18-19.
[8] Stott, John. "Isu-Isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani." Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1984.
[9] Yakub, Susabda. "Pastoral Konseling" - jilid 2. (Malang: Gandum Mas)
[10] Bukan berarti tanpa anak, keluarga tidak lengkap. Pernikahan yang dimaksud di sini adalah suami dan istri.

Diambil dan disunting dari:
Judul buku: Surat Izin Menikah: Bimbingan Memilih Teman Hidup dan Memperkaya Pernikahan
Judul bab: Tujuan dan Hakikat Pernikahan Kristiani
Penulis: Julianto Simanjuntak dan Roswitha Ndraha
Penerbit: Layanan Konseling Keluarga dan Karier (LK3), Jakarta 2008
Halaman: 39 -- 48


==> <
http://www.pedulikonseling.or.id/PELIKAN/ >






--
Regards,
 
Sutan Siagian
www.cempakamassda.org

Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages