Dear All,
Kindly read below articles :
Senin, 17/12/2012 18:35 WIB
7 Cobaan yang Buat
Pernikahan di Tahun Pertama Beraaaat...
Eya Ekasari
- wolipop
Jakarta - Banyak anggapan
yang mengatakan bahwa usia awal pernikahan merupakan masa paling indah.
Namun, tak sedikit pasangan menikah yang justru merasa kehidupan di tahun
pertama adalah yang terberat. Bahkan para peneliti pun mengungkapkan alasan
di balik anggapan tersebut.
Seperti yang dikutip dari About, penelitian menunjukan bahwa tahun pertama
dan kedua usia pernikahan dapat menghancurkan pernikahan. Penelitian yang
bertajuk 'The Connubial Crucible: Newlywed Years as Predictors of Marital
Delight, Distress, and Divorce' itu dilakukan oleh Ted L. Huston, John
P. Caughlin, Renate M. Houts, Shanna E. Smith, Laura J. George, dan dipublikasikan
dalam jurnal 'The Journal of Personality and Social Psychology'.
"Penelitian ini menunjukkan kehidupan pada tahun kedua bagi pasangan
yang baru menikah dapat mencerminkan kehidupan pernikahan mereka pada 13
tahun mendatang. Mereka yang sulit atasi perubahan rasa cinta, kasih sayang
dan keyakinan lebih mungkin bercerai ketimbang mereka yang stabil,"
ujar Dr Huston dari University of Texas di Austin.
Kesimpulan itu juga diperkuat denga riset dilakukan oleh Deakin University's
Australian Centre yang mengukur kebahagiaan 2.000 orang dalam skala 0-100.
Dari penelitian itu terungkap, orang yang usia pernikahannya kurang dari
setahun ternyata tidak lebih bahagia ketimbang mereka yang sudah menikah
lebih lama.
Orang-orang yang usia pernikahannya kurang dari setahun skor indeks kebahagaiannya
adalah 73,9. Skor tersebut nyaris mendekati batas bawah skor normal yaitu
antara 73,8-76,7. Para peneliti menduga ketidakbahagiaan pasangan pengantin
baru ini terjadi karena stres saat harus membayar biaya pernikahan dan
membeli rumah baru.
Pemimpin penelitian dari Deakin University, Dr Melissa Weinberg melihat
adanya wedding hangover pada pasangan pengantin baru. "Pasangan merasa
hari pernikahan mereka adalah hari terbaik dalam hidup dan kemudian menemukan
kenyataan yang sebenarnya setelah pesta berakhir dengan adanya tagihan
dan harus kembali bekerja setelah masa bulan madu berakhir," tutur
Weinberg.
Lalu, hal-hal saja yang membuat pasangan menikah merasa tak bahagia di
tahun pertamanya?
1. Masalah Peran
Banyak pasangan yang tidak mendiskusikan bahkan menganggap remeh tentang
peran mereka dalam kehidupan rumah tangga dan pernikahan. Mereka tak mengetahui
bahwa peran dalam rumah tangga bisa menjadi masalah besar sampai akhirnya
terjadi konflik. Anda dan pasangan mulai menanyakan, "Siapa yang bertanggung
jawab atas pekerjaan rumah? Bagaimana membaginya? Siapa yang membayar tagihan
telepon?". Berasumsi bahwa pasangan akan mengurus semua hal tersebut
hanya akan membuat masalah menjadi lebih besar di kemudian hari.
2. Masalah Peraturan
Setiap pasangan akan menciptakan aturan keluarga dengan membawa latar belakang
masing-masing. Tak jarang ada beberapa nilai yang bertolak belakang di
antara keduanya. Hal itu seringkali menjadi perseteruan. Nilai mana yang
akan dipakai dalam sebuah rumah tangga dapat menjadi bahan pertengkaran.
Sebaiknya bicarakan hal ini dengan baik. Setiap nilai pasti memiliki kekurangan
dan kelebihan. Ajak suami untuk membuat daftar kekurangan dan kelebihan
masing-masing nilai. Selanjutnya, Anda berdua lebih mudah menentukan mana
yang terbaik.
3. Masalah Keuangan
Uang merupakan penyebab pertikaian terbesar dalam rumah tangga. Membahas
proritas keuangan dan membuat perencanaan dapat bantu mengurangi masalah
ini. Pikirkan mengenai anggaran tiap bulannya, tabungan, tunjangan kesehatan,
investasi untuk pendidikan anak serta cara menghadapi pasangan ketika ia
ingin membeli sesuatu yang tidak bisa Anda setujui.
4. Masalah Seks
Setelah uang, masalah yang paling umum lainnya adalah seks. Bagi pasangan
yang baru menikah, masa-masa bulan madu terlewatkan dengan begitu cepat
dan membuat pasangan harus menghadapi tekanan dari kehidupan sehari-hari
yang dapat menganggu hasrat seksual. Oleh karena itu, bersikap terbuka
dan mendiskusikan mengenai apa yang diinginkan baik oleh Anda maupun pasangan
dalah hal seks. Ketika kehidupan seks Anda bahagia, makan kehidupan rumah
tangga Anda juga akan bahagia.
5. Masalah Anak
Sebagian besar pasangan biasanya telah membicarakan mengenai keinginan
punya anak atau tidak sebelum mereka menikah. Namun, apakah benar-benar
tahu bahwa pasangan Anda benar-benar menginginkan hal itu? Berapa banyak
anak yang akan dimiliki? Berapa lama waktu untuk menunda kehamilan? Apakah
pasangan harus mengorbankan karir untuk membesarkan anak? Ingat, masalah
anak tak hanya terletak pada ingin atau tidaknya Anda dan pasangan memiliki
keturunan.
6. Masalah Mertua
Survei yang diikuti 2.000 orang menemukan kalau mertua khususnya sang ibu
mertua menjadi salah satu penyebab konflik utama pada pasangan Inggris.
Tentu pemicunya bermacam-macam, mulai dari campur tangan pada masalah rumah
tangga sampai ketidak cocokan sifat dengan sang mertua. Pada tahun pertama
pernikahan jika hal ituterjadi, yang perlu dikukan adalah tetap tenang
dan membahasnya dengan pasangan Anda.
7. Masalah Kebiasaan
Sebelum menikah, Anda dan pasangan merasa sudah saling memahami kebaikan
dan keburukan masing-masing. Yakin? Karena setelah menikah, Anda bisa saja
menemukan banyak hal baru dari pasangan. Kebiasaan pasangan ini bisa jadi
membuat Anda sangat sebal dan ingin mengomelinya. Misalnya saja bagaimana
dia begitu sering menaruh pakaian kotor sembarangan, menaruh botol minuman
yang sudah kosong di dalam kulkas, dan lain-lain.
(eya/eya)
Solusi nya : kehidupan spiritual yang
benar, lihat kembali materi kelas pra perkawinan
Tujuan perkawinan kita adalah untuk memuliakan TUHAN lewat perkawinan kita
Bukan bertujuan untuk kebahagiaan
kita
Tetapi carilah dahulu kerajaan Allah
dan kebenarannya........
Matius
6:33 Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya,
maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.
e-Konsel -- Tujuan Pernikahan Kristen
Edisi 313/Oktober 2012
Pada umumnya, pasangan-pasangan yang akan menikah menjadi sibuk saat mempersiapkan
perayaan pernikahan. Agar acara pemberkatan dan resepsi pernikahan berjalan
lancar, mereka rela mengerahkan segenap daya, tenaga, dan dana. Prosesi
pemberkatan dan resepsi tersebut tentu akan segera berlalu, namun mereka
harus terus mempertahankan pernikahan seumur hidup.
Untuk mempertahankan pernikahan, setiap pasangan harus memahami hakikat
dan tujuan pernikahan. Sayangnya, ada beberapa orang yang tidak terlalu
serius dalam mengerahkan segenap kemauan, akal budi, daya, dan dana untuk
memahami hakikat dan tujuan pernikahan Kristen dengan baik dan jelas. Jika
seseorang tidak memunyai visi dalam pernikahan, maka sesungguhnya dia telah
melakukan tindakan "bunuh diri". Cepat atau lambat, pernikahan
dan cintanya akan layu dan mati. Untuk menghindari hal ini, saat berpacaran
atau sebelumnya, sebaiknya Anda menanyakan tujuan hidup dan pernikahan
yang ada di benak orang yang Anda sayangi. Diskusikan itu dengan konselor
untuk membantu Anda mengerti, apakah visi itu cukup jelas saat memasuki
pernikahan Anda atau tidak.
Hakikat Pernikahan
Pernikahan yang baik adalah komitmen total dari dua orang di hadapan Tuhan
dan sesama. Pernikahan yang baik didasarkan pada kesadaran bahwa pernikahan
ini adalah kemitraan yang mutual. Pernikahan yang baik juga melibatkan
Tuhan secara proaktif di dalam setiap pengambilan keputusan, sebab pernikahan
adalah sebuah rencana ilahi yang istimewa. Dengan demikian, pernikahan
seharusnya tetap dijaga dan dipertahankan di dalam kekuatan Roh yang mempersatukan
kedua insan.
a. Pernikahan adalah Suatu Perjanjian ("Covenant")
Secara simbolis, orang yang menikah mengucapkan janji nikahnya di gereja.
Secara sederhana, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua individu/kelompok
atau lebih. Perjanjian pernikahan adalah mengasihi ("to love")
dan dikasihi ("to be loved"). Menurut Balswick, ada tiga hal
yang dapat kita pelajari dari perjanjian yang Allah tetapkan. Pertama,
perjanjian itu sepenuhnya merupakan tindakan Allah, bukan sesuatu yang
bersifat kontrak. Komitmen Allah ini tetap berlangsung, tidak bergantung
pada manusia. Kedua, Allah menghendaki respons dari manusia. Namun, ini
bukan berarti perjanjian tersebut bersifat kondisional. Perjanjian itu
tetap menjadi satu perjanjian yang kekal, terlepas dari apakah umat Tuhan
melakukannya atau tidak. Ketiga, Allah menyediakan berkat-berkat dan keuntungan
bagi mereka yang menuruti perjanjian tersebut. Manusia diberi kebebasan
untuk memilih, untuk hidup dalam perjanjian itu atau menolaknya.[1]
Menurut R.C. Sproul, pernikahan bukanlah hasil dari satu perkembangan kebudayaan
manusia.[2] Institusi pernikahan ditetapkan seiring dengan Penciptaan itu
sendiri. Senada dengan itu, John Stott berkata, "...perkawinan bukanlah
temuan manusia. Ajaran Kristen tentang topik ini diawali dengan penegasan
penuh kegembiraan bahwa perkawinan adalah gagasan Allah, bukan gagasan
manusia... perkawinan sudah ditetapkan Allah pada masa sebelum kejatuhan
manusia ke dalam dosa."[3]
Jika demikian, pengertian di atas mengandung tiga implikasi penting. Pertama,
setiap orang yang mau menikah seharusnya memberikan atensi pada pengenalan
eksistensi Allah sebagai pendiri lembaga ini. Kedua, memberikan Allah otoritas
penuh dalam memimpin lembaga ini sehingga komunikasi suami-istri bersifat
trialog.[4] Artinya, Allah dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Ketiga, pernikahan diikat oleh komitmen seumur hidup, sebab perjanjian
itu bukan kepada manusia, melainkan kepada Allah sendiri. Dengan memahami
pernikahan sebagai satu ikatan perjanjian dengan Allah, maka calon suami
istri disadarkan agar senantiasa bergantung pada kekuatan Allah dalam menjalani
pernikahan.
b. Pernikahan adalah Kesaksian
Dalam Efesus 5:32, Paulus menggambarkan hubungan suami dan istri seperti
hubungan Allah dan jemaat-Nya. Artinya, dengan menikah, orang Kristen dipanggil
masuk ke dalam satu panggilan pelayanan khusus, yakni menyaksikan Kristus
melalui wadah keluarga. Implikasinya adalah hubungan dan komunikasi suami
istri menjadi wadah anak-anak belajar mengenal kasih Tuhan.
Di samping itu, keluarga juga menjadi tempat persiapan dan latihan anak-anak
untuk menjadi suami atau istri dan menjadi orang tua. Selanjutnya, model
itu akan terus terbawa ke dalam pola mereka mendidik anak-anak kelak. Pernikahan
yang sehat dan berfungsi, pada umumnya, akan menghasilkan anak-anak yang
sehat pula. Jadi, setiap mereka yang akan menikah dan menjadi orang tua
perlu menyadari konsekuensi ini -- dipanggil menjadi reflektor kasih Allah
bagi anak-anak. Dalam tulisannya, "Parenting: A Theological Model",
Myron Charter [5] menjabarkan tujuh dimensi dari kasih Allah Bapa yang
harus direfleksikan setiap orang tua, yakni: sikap yang penuh peduli, tanggung
jawab, disiplin, murah hati, respek, pengenalan, dan pengampunan.
Tujuan Pernikahan
Tujuan pernikahan bukanlah kebahagiaan seperti yang diangan-angankan banyak
muda-mudi sebelum menikah, melainkan pertumbuhan. Kebahagiaan itu justru
ditemukan di tengah-tengah perjalanan (proses) pernikahan yang dilandasi
cinta kasih Kristus. Kalau tujuan kita menikah adalah bahagia, maka pasangan
kita akan kita peralat demi mencapai kebahagiaan itu.[6] Itu sebabnya,
orang yang menikah dengan tujuan bahagia justru menjadi yang paling tidak
bahagia dalam pernikahannya. Bahkan, tujuan ini banyak mengakibatkan perceraian,
dengan alasan ia tidak merasa bahagia dengan pasangannya.
Heuken [7] menyebutkan beberapa tujuan lain yang tidak kuat sebagai landasan
untuk menikah. Pertama, demi keperluan psikologis, yakni supaya merasa
tidak sendirian atau kesepian. Kedua, demi kebutuhan biologis, yakni agar
dapat memuaskan nafsu seks secara wajar. Ketiga, demi rasa aman, yakni
supaya memunyai status sosial dan dihargai masyarakat. Keempat, agar memunyai
anak. Ini semua bukan merupakan alasan atau tujuan yang kuat mengapa seseorang
menikah.
Dalam berumah tangga, kita akan mengalami begitu banyak keadaan dan situasi
yang tidak diharapkan. Misalnya, pasangan Anda gagal dalam pekerjaan. Pasangan
Anda menyeleweng. Pasangan Anda sakit atau cacat. Kondisi itu pasti tidak
menyenangkan. Tetapi kalau Tuhan mengizinkan hal-hal tersebut terjadi,
kita perlu belajar dari hal-hal tersebut. Lewat situasi dan keadaan itulah
cinta kita diuji, apakah kita tetap berpegang teguh pada janji pernikahan
kita dan setia kepada pasangan kita sampai kematian memisahkan. Untuk itu,
mari kita pahami tujuan pernikahan Kristen yang akan menguatkan tiang pernikahan
kita.
1. Pertumbuhan
Pertumbuhan yang diharapkan adalah agar suami istri dapat melayani Allah
dan menjadi saluran berkat bagi sesamanya. Agar pernikahan itu bertumbuh,
maka ada dua syarat yang harus dimiliki setiap pasangan.
a. Masing-masing sudah menerima pengampunan Kristus, sehingga mampu saling
mengampuni selama berada dalam rumah tangga, yang masing-masing penghuninya
bukanlah orang yang sempurna. Usaha diri sendiri pasti akan gagal.
b. Kemampuan beradaptasi, artinya masing-masing tidak memaksa atau menuntut
pasangannya, sebaliknya mampu saling memahami dan memberi. Masing-masing
menjalankan peran dengan baik, serta mampu menerima kelemahan dan kekurangan
pasangannya.
2. Menciptakan Masyarakat Baru Milik Allah
John Stott mengatakan bahwa pernikahan dibentuk Allah dengan tujuan untuk
menciptakan satu masyarakat baru milik Allah ("God's new society")
-- satu masyarakat tebusan yang dapat menjadi berkat dan membawa kesejahteraan
bagi sesamanya.[8] Wadah yang Allah pilih sebagai sarana menyejahterakan
manusia tebusan-Nya di dunia ini adalah keluarga. Rencana ini telah Allah
tetapkan jauh sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Untuk itu, Allah pertama-tama
memilih keluarga Abraham, Ishak, Yakub, dan seterusnya sampai akhirnya
dalam keluarga Yusuf dan Maria yang melahirkan Yesus. Demikianlah sampai
hari ini, rencana Tuhan bagi setiap pasangan Kristen adalah agar pasangan
itu menghasilkan anak-anak perjanjian (anak-anak Tuhan) yang memunyai tanggung
jawab untuk merawat dan mengurus bumi ciptaan-Nya ini.[9] (Kejadian 1:26,28)
Di samping itu, melalui setiap keluarga, Allah menghendaki agar setiap
suami istri melahirkan keturunan ilahi (anak-anak tebusan Kristus. Baca
Maleakhi 2:14-15).[10] Karena itu, berdasarkan prinsip di atas, saya berkeyakinan
bahwa setiap anak dalam pernikahan kami adalah anak-anak (karunia/titipan)
Tuhan. Mereka bukan baru menjadi anak-anak Tuhan saat mereka dibaptis atau
sesudah besar, tetapi sejak dalam kandungan mereka adalah benih ilahi yang
Allah percayakan kepada keluarga kami.
Keyakinan ini sangat memengaruhi sikap kita dalam menghargai dan mendidik
anak-anak. Juga akan membuat kita memprioritaskan keluarga dengan benar.
Tujuan kita adalah mendidik mereka agar menjadi anak-anak Tuhan yang tidak
hanya menaati bapak dan ibu mereka secara daging, tetapi juga taat kepada
Bapa di surga. Kita juga sungguh-sungguh berusaha membangun kehidupan anak-anak
kita, baik secara fisik, mental, maupun spiritual. Tetapi jika Tuhan mengizinkan
keluarga kita tanpa seorang anak, rencana Tuhan pun tetap sama indahnya.
Dia mempunyai rencana tersendiri bagi keluarga yang tidak dikaruniai anak.
Keluarga yang demikian perlu bergumul, mencari tahu apa yang dapat diperbuat
untuk menyenangkan hati Tuhan, meski belum ada buah hati. Jika ingin mengadopsi
anak, sebaiknya berkonsultasi terlebih dulu dengan konselor.
Anak merupakan upah atau berkat Tuhan bagi keluarga yang dikenan-Nya untuk
menerima berkat itu. Tidak memiliki anak bukan berarti dikutuk atau tidak
mendapat berkat Allah. Suami istri yang tidak memiliki anak pun, tetap
merupakan keluarga yang di dalamnya Allah memiliki rencana tersendiri.
[1] Balswick & Balswick. "The Family: A Christian Perspectiveon
the Contemporary Home." Grand Rapids, Michigan: Baker Book House,
1991, p.23.
[2] Sproul, R.C., "Discovering the Intimate Marriage." Minnesota:
Bethany Fellowship, Inc., 1975, p. 113-114.
[3] Stott, John. "Isu-Isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani."
Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF, 1984, hal. 368.
[4] Scheunemann, D., "Romantika Kehidupan Suami-Istri." Malang:
YPPII, 1984.
[5] Charter, Myron. "Parenting: A Theological Model", Journal
Psychology and Theology. Vol.6, No.1 (1977), p.54.
[6] Heuken, "Persiapan Perkawinan." Hal. 24-25.
[7] Heuken, "Persiapan Perkawinan." (Yogjakarta: Kanisius), hal.
18-19.
[8] Stott, John. "Isu-Isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani."
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1984.
[9] Yakub, Susabda. "Pastoral Konseling" - jilid 2. (Malang:
Gandum Mas)
[10] Bukan berarti tanpa anak, keluarga tidak lengkap. Pernikahan yang
dimaksud di sini adalah suami dan istri.
Diambil dan disunting dari:
Judul buku: Surat Izin Menikah: Bimbingan Memilih Teman Hidup dan Memperkaya
Pernikahan
Judul bab: Tujuan dan Hakikat Pernikahan Kristiani
Penulis: Julianto Simanjuntak dan Roswitha Ndraha
Penerbit: Layanan Konseling Keluarga dan Karier (LK3), Jakarta 2008
Halaman: 39 -- 48
==> < http://www.pedulikonseling.or.id/PELIKAN/
>
|