NAIKAN LEVEL

4 views
Skip to first unread message

Wimpie Zailani

unread,
Sep 13, 2018, 10:53:26 PM9/13/18
to hallopim
NAIKAN LEVEL

Saya senang ada mahasiswa yang telah, sedang dan akan mendemo pemerintah. Jumlahnya, katanya, ribuan yang akan turun ke jalan. Dipimpin oleh organisasi mahasiswa dari perguruan tinggi berbasis agama. Luar biasa. 

Mahasiswa Fisipol, Fakultas hukum, fakultas ekonomi, tak terlalu heboh, sekarang mahasiswa ilmu agama yang akan berdemo soal politik, hukum, ekonomi, administrasi negara, bisnis dan manejemen, hubungan internasional dan lainnya. Hebat. 

Itu sehebat debat di media sosial, saat ada yang mengungkapkan soal negara sedang gawat karena harga dollar tinggi dan hutang negara banyak, lalu ada yang bertanya mengapa bisa begitu, jawabannya datanglah kepengajian-pengajian agar ilmu bertambah. Artinya apa? Artinya, Sekarang sudah banyak ustad-ustad yang selain ahli menjelaskan soal agama, juga merasa bisa memberi kuliah dipengajian-pengajian tentang ekonomi makro dan mikro, mengerti tentang pergerakan mata uang dunia dan memahami dengan utuh struktur keuangan negara dan APBN. Jadi tidak perlu lagi dosen-dosen ekonomi dan fakultas ekonomi menjelaskannya. Untuk tahu tentang semua itu kalian cukup datang saja kepengajian-pengajian. Hebat, kan. 

Jadi kalau kalian masih berkeinginan untuk mengekspresikan sikap kritis kalian melalui demonstrasi, itu hak dan silahkan. 

Tapi, mbok ya levelnya dinaikan sedikit agar sikap kritis itu ada bobotnya. Percuma kalian capek-capek bergerembol, meninggalkan kelas, lalai tugas, terancam nilai, lama tamat, bertambah panjang beban biaya orang tua, dan nanti ditolak dunia kerja professional karena track record buruk, kalau demo yang kalian lakukan dianggap angin lalu karena bobotnya rendah atau tidak ada sama sekali. 

Kata Rocky Gerung, tingkatkan kapasitas otak.

Kalau kalian belum bisa bedakan mana narasi politik dan mana narasi subjektif dan mana narasi objektifitas untuk sebuah keadaan, sebaiknya kalian belajar lagi dulu. Kalau kalian tidak bisa membedakan mana informasi hoaks, mana informasi persepsional dan mana fakta sebaiknya kalian belajar membaca lagi dulu. Silahkan diskusi dengan dosen-dosen kalian, tapi jangan dengan dosen-dosen yang hobby membagikan berita-berita tak jelas, membuat narasi-narasi pendek provokatif dan yang membicarakan bidang-bidang yang bukan ilmunya tapi merasa tahu segalanya di medsosnya. Dosen yang begini tidak sedang memberi gizi untuk otak, tapi meracuni otak kalian. Berdiskusilah dengan dosen yang meski memiliki pilihan politik sendiri, tapi tetap menghormati kode etik dan tanggungjawab keilmuannya kepada publik.

Ini penting, agar setiap kali kalian turun ke jalan, kalian membawa perubahan, bukan korban-korban pembodohan dari praktek politik yang tidak beretika dan bertanggungjawab.

Contohnya begini: beradar informasi dan meme di grup FB dan grup WA bahwa salah satu alasan kalian demo adalah karena pemerintah melarang Adzan, karena itu pemerintah telah zalim kepada umat Islam dan Presiden harus diturunkan. 

Kalau informasi ini benar, berarti meski semangat 45 untuk demo, tapi kalian belum pernah membaca peraturan terkait toa di masjid, mushola dan langgar di negara ini. Jadi demo kalian berdasarkan gossip. Lalu kalau gossip yang menjadi dasar demo, apa gunanya kalian disebut ‘MAHA” siswa.  

Sebagai seorang pembelajar, semestinya muncul dulu pertanyaan di kepala kalian, benarkah pemerintah melarang suara Adzan atau mengatur suara Toa untuk Adzan? Lalu untuk menjawab rasa penasaran itu, kalian lalu searching di google peraturannya. Kemudian kalian baca. Lalu kalian akan temukan jawabannya di sana. Dari sana kalian akan tahu bahwa isu larangan Adzan itu adalah gossip yang berisi fitnah keji terhadap pemerintah.

Nah, kalau demo kalian berdasarkan gossip yang berisi fitnah, siapa yang akan mendengarkan kalian? Paling-paling orang yang sama juga seperti kalian, orang yang percaya gossip begitu saja. Tapi orang cerdas dan mampu mengenali informasi dengan baik, akan malu apalagi dia juga pernah menjadi mahasiswa. Cukuplah kita mendapat predikat membaca rengking dua dari bawah, jangan lagi ditambah dengan predikat percaya gossip nomor satu dari atas.

Mari kita coba untuk memeriksa informasi menggunakan isu Adzan itu.

Narasi 1: Pemerintah mengatur penggunaan toa.

Benarkah ada pengaturan tentang penggunaan Toa di masjid, musholah dan langgar? Jawabannya benar, karena Kementerian Agama memang mengeluarkan surat edaran tentang hal ini. Silahkan kalian cari sendiri di google, gampang, kok. Jadi informasi ini adalah fakta dan narasi objektif.

Narasi 2: Rezim ini mengatur penggunaan toa.

Benarkah rezim ini mengatur tentang penggunaan toa di musholah dan langgar?  Jawabannya, ini dis informasi atau informasi yang direduksi. Benar bahwa pemerintah mengatur tentang penggunaan toa, tapi bukan di rezim ini. Faktanya pengaturan tentang toa itu sudah ada sejak 17 Juli1978 di Rezim Orde Baru. Saat itu pak Jokowi masih berumur 17 tahun dan mungkin masih kelas 3 SMA. Yang dilakukan rezim ini adalah mensosialisasikan peraturan itu. Jadi narasi di atas bersifat subjektif, persepsional tapi tidak berisi fakta yang sebenarnya karena informasinya sudah direduksi. Karena itu, narasi ini muatan politisnya lebih besar dari pada kebenaran informasinya.   

Narasi 3: Pemerintah melalui Kementerian Agama melarang Adzan.

Benarkah ada larangan Adzan di negara ini? Silahkan kalian pelototi sendiri peraturannya. Kalau kalian menemukan adanya larangan Adzan dalam peraturan itu, kalian saya berikan sepeda. Jadi, narasi ini murni hoaks dan berisi fitnah terhadap pemerintah.

Narasi 4: Pemerintah mengatur volume Adzan karena menggaggu orang lain.

Benarkah volume Adzan diatur dan tidak boleh dibunyikan dengan keras agar tidak mengganggu orang lain? Silahkan kalian cari lagi dalam surat edarannya. Kalau ada pengaturan seperti itu, saya berikan kalian sepeda. Malah, pada surat edaran itu dikatakan begini, “Dari tuntunan Nabi, Suara Adzan sebagai tanda masuk shalat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak dapat diperdebatkan”. Jadi, negara ini malah mengatur bahwa Adzan itu memang harus pakai pengeras suara, bukan seperti gossip yang kalian dengar itu. Lebih dari itu, pada peraturan itu dikatakan agar Muadzinnya sebaiknya memiliki suara yang merdu dan enak didengar, agar orang semakin tertarik untuk datang ke Mesjid. Jelas, narasi yang mengatakan pemerintah mengatur volume Adzan agar tidak mengganggu orang lain adalah hoaks dan berisi fitnah terhadap pemerintah.

Cara di atas bisa kalian gunakan untuk menganalisis setiap informasi yang kalian jadikan sebagai dasar untuk demo itu. 

Jelas ya adinda, informasi tentang larangan Adzan dan pengaturan volume Adzan karena dianggap mengganggu itu adalah gossip yang berisi fitnah. Tentunya kalian yang belajar ilmu agama lebih tahu apa hukumnya bagi orang yang membuat dan menyebarkan fitnah. 

Kalau kalian bergerak atas dasar gossip, apalagi mengandung fitnah, bagaimana kalian akan menyebut diri kalian sebagai “agent of change”. 

Jadi, kalau kalian mau demo, silahkan. Itu hak demokratis kita. Tapi please, tingkatkan level berpikir kalian.

Pak Polisi yang mengawal demo adek-adek ini, tolong perlakukan mereka dengan baik, kalau perlu fasilitasi, berikan minum dan tunjukan kepada mereka bagaimana caranya menalaah informasi dengan baik. Bagaimanapun mereka adalah anak-anak kita dan juga anak bangsa ini. Jangan biarkan mereka menjadi martir dari praktek-praktek politik kotor yang tidak bertanggungjawab. 

Dari kami yang peduli.
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages