Apakah Muslim dan Kristen Menyembah Tuhan Yang Sama?
Ketika saya katakan “Muslim dan Kristen percaya dan menyembah Tuhan yang sama”, muncul tuduhan bahwa saya menyamakan Islam dan Kristen. Tuduhan ini ngawur karena kedua agama itu jelas berbeda. Yang lebih ngawur lagi, ada yang mempertanyakan kenapa saya tidak pindah agama saja jika Tuhan kaum Muslim dan Kristiani sama.
Cara mudah menjawab tuduhan begini ialah dengan analogi, walaupun lemah secara filosofis. Jika Anda sudah menjatuhkan pilihan pada pasangan Anda karena apa pun alasannya, tidak berarti Anda bisa seenaknya gonta-ganti pasangan hanya karena ada kesamaan, misalnya atraktif. Anda bisa saja menganggap orang lain atraktif (paling hanya di jitak oleh pasangan Anda!) dan tidak harus menikahinya. Walaupun ciri yang sama ada pada orang lain, ada hal-hal yang menyebabkan Anda tetap setia pada pilihan Anda itu.
Sebagaimana saya tulis sebelumnya, al-Qur’an sendiri menegaskan secara eksplisit bahwa Tuhan kaum Muslim dan ahlul kitab itu sama. Persoalannya, bagaimana Tuhan yang sama ini diekspresikan berbeda? Jika dalam Kristen, Tuhan menjelmakan dirinya dalam diri Yesus sebagai koinonia (perjumpaan dan keterlibatan Ilahi untuk keselamatan umat manusia), dalam Islam Tuhan digambarkan demikian transenden yang tidak menjelmakan dirinya, melainkan kehendaknya melalui al-Qur’an.
Makanya, sejumlah ahli perbandingan agama mengusulkan yang dibandingkan itu bukan al-Qur’an dan Bible, tapi al-Qur’an dan Yesus. Karena, jika dalam Islam firman Tuhan menjadi kitab (inlibration), dalam Kristen firman menjadi Yesus (incarnation).
“Tuhan yang Diciptakan”
Konsep teologis inlibrasi dan inkarnasi menggambarkan betapa berbedanya kedua agama ini menggambarkan Tuhan yang sama. Dalam Islam, al-Qur’an menempati posisi sentral karena Tuhan mengkomunikasikan kehendaknya melalui kitab ini. “Itulah kitab yang tiada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa,” begitulah bunyi ayat kedua surat al-Baqarah. Jika ingin tahu apa kehendak Tuhan, baca kitab ini.
Yang menjadi pusat pewahyuan dalam tradisi Kristen bukanlah kitab (Bible), melainkan diri Yesus sebagai penjelmaan Tuhan yang sempurna. Bagi Kristen, Yesus ialah inkarnasi Tuhan, sementara Bible diyakini sebagai kesaksian normatif tentang Tuhan yang menjelmakan dirinya. Teks tertulis itu sendiri bukan fokus, melainkan berfungsi sebagai pernyataan tentang keterlibatan Tuhan dalam sejarah Israel kuno, di dalam diri Yesus, dan dalam hidup generasi awal para pengikutnya.
Walaupun penjelasan di atas bersifat karikatur dan menyederhanakan, tapi kita bisa lihat betapa perbedaan konsepsi wahyu (dalam Islam, Tuhan mewahyukan kehendaknya dalam al-Qur’an; dalam Kristen, Tuhan mewahyukan dirinya dalam Yesus) punya implikasi penting bagi status al-Qur’an dan Bible. Kesalahpahaman sering terjadi karena kita tidak memahami atau memaksakan konsep wahyu dalam satu agama untuk diterapkan pada agama lain. Saya akan tulis tema ini di lain waktu.
Yang ingin saya diskusikan di sini ialah implikasi teologis dari perbedaan konsepsi wahyu tersebut. Kenapa Tuhan yang sama diekspresikan begitu berbeda?
Sebagai titik-berangkat, ada baiknya kita renungkan penjelasan Ibn Arabi, sufi abad ke-13, tentang Tuhan. Bagi Syeikh Akbar, setiap konsepsi tentang Tuhan yang kita kembangkan sebenarnya bukan Tuhan itu sendiri, melainkan “Tuhan yang diciptakan dalam keyakinan” (al-ilāh al-makhlūq fi al-I‘tiqādāt). Perbedaan ekspresi (‘ibrah) tentang Tuhan merupakan sesuatu yang lumrah, karena Tuhan yang misteri memang memungkinkan untuk dikonseptualisasi secara beragam. Di balik ekspresi yang berbeda terdapat Tuhan yang sama.
Ekspresi berbeda tentang Tuhan yang sama dipertegas lagi dalam hadits qudsi, “ana fī dhanni ‘abdī bī” (aku seperti yang dibayangkan hambaku tentangku). Yang manjadi masalah, kata Ibn Arabi, ialah ketika orang atau sekelompok orang tidak lapang dada dan menyalahkan orang lain yang punya ekspresi berbeda tentang Tuhan. Apa kata Ibn Arabi tentang sikap seperti itu? “Itu adalah tanda-tanda kebodohan!”
Pandangan Syeikh Akbar ini perlu kita refleksikan kembali. Ketegangan yang ditimbulkan oleh perbedaan ekspresi ketuhanan, yang satu menekankan transendensi dan yang lain penjelmaan diri, telah menyedot energi umat Muslim dan Kristen sejak ratusan tahun sejak pertemuan kedua agama ini. Tujuan Ibn Arabi jelas bukan untuk merelatifkan pemahaman ketuhanan setiap agama, melainkan untuk menekankan misteri Tuhan. Apakah Tuhan dapat diketahui (knowable) atau tidak (unknowable) adalah persoalan ontologis-epistemologis yang tak pernah selesai didiskusikan.
Sejauhmana Tuhan atau sifat-sifatnya bisa diketahui merupakan tema dialog dan perdebatan yang melibatkan tokoh-tokoh Muslim dan Kristen sejak pertemuan mereka yang cukup awal. Beberapa dialog mereka direkam dan dapat dipelajari, walaupun mungkin bukan transkrip dari perbincangan yang sebenarnya terjadi. Misalnya, dialog antara Patriark Yuhanna I dan seorang amir Muslim yang terjadi di tahun 644, atau Patriark Timothy I dan khalifah al-Mahdi. Juga debat antara Theodore Abu Qurrah dan sejumlah teolog Muslim di Istana Khalifah al-Makmun.
Seperti diduga, perdebatan mereka berpusat pada soal konsep ketuhanan Kristen, yakni Trinitas. Yang menarik, apa yang dipersoalkan saat ini sebenarnya sudah mereka diskusikan lebih dari seribu tahun yang lalu. Bahkan, kesan saya, berbagai pertanyaan tentang Trinitas yang muncul sekarang lebih elementer daripada yang dulu mereka diskusikan.
Tauhid dan Trinitas: Dua Konsep yang Sulit
Membaca berbagai komentar tentang tulisan saya, “Umat Kristen Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir”, tampak bahwa yang mereka persoalkan ada dua: (1) Trinitas itu tidak masuk akal dan (2) tidak jelas sumbernya karena tidak disebutkan dalam Bible. Dulu, para teolog Kristen sudah berupaya menunjukkan aspek “rasionalitas” Trinitas, misalnya, dengan menganalogikan dengan matahari yang bersinar dan panas. Sinar dan panas tidak bisa dipisahkan dari matahari. Ketiga aspek (matahari, sinar, dan panas) ialah satu.
Seperti saya katakan, analogi memang bukan argumen filosofis yang kuat, tapi cukup untuk menjawab mereka yang berpikir pendek. Ketika pertanyaan yang sama kembali muncul pada abad ke-13, Thomas Aquinas memberikan jawaban yang lebih meyakinkan. Doktrin Trinitas, kata Aquinas, tidak bisa sepenuhnya didasarkan pada akal karena apa pun penjelasan rasional tetap punya keterbatasan. Misteri itu perlu dipahami dari wahyu.
Lalu, wahyu yang mana jika kata “trinitas” sendiri tidak ditemukan dalam Bible? Pertanyaan ini muncul karena ketidakpahaman soal konsep wahyu dalam tradisi Kristen. Seperti saya jelaskan di awal, wahyu dalam Kristen ialah penjelmaan Tuhan (disclosure of God) dalam Yesus untuk menebus dan menyelamatkan umat manusia. Keterlibatan Tuhan dalam sejarah keselamatan dipahami lewat ruh kudus. Dari sinilah misteri Trinitas (Bapa, Anak, dan Ruh Kudus) dipahami dan dirasakan oleh kaum Kristiani.
Jika masih ada yang ngeyel menyebut Trinitas sebagai konsep rumit, apakah tauhid dalam Islam konsep ketuhanan yang mudah dipahami? Jawabnya, tidak. Keduanya merupakan konsep yang berkembang perlahan dalam sejarah teologi, yang didorong oleh keingintahuan manusia tentang watak Tuhan. Jika Tuhan bersifat kekal, apakah sifat-sifatnya juga demikian? Pertanyaan ini melibatkan perdebatan panjang di kalangan teolog Muslim awal karena memang sulit menemukan jawaban yang memuaskan semua pihak.
Maka, berbagai dimensi tauhid seperti tauhid al-dzat, tauhid sifat, tauhid uluhiyah, dan tauhid rububiyah itu dikembangkan untuk menjelaskan kerumitan konsep monoteisme Islam yang begitu ketat. Beberapa teolog Kristen awal yang menulis karya-karyanya dalam Bahasa Arab, seperti ‘Ammar al-Basri dalam kitab al-Burhan, sudah mencoba menjelaskan Trinitas dengan menggunakan terminologi kalam, seperti sifat-sifat Tuhan, agar Trinitas dapat dipahami kaum Muslim.
Dari berbagai dialog dan perdebatan yang melibatkan ulama Muslim dan Kristen itu terlihat betapa masing-masing pihak memiliki gairah kuat terhadap keyakinan sendiri, tapi juga bersemangat untuk menjadikan keyakinannya dapat dipahami pihak lain. Soal doktrin ketuhanan memang sulit dan seringkali dihindari untuk diskusikan dalam dialog lintas agama. Namun demikian, perbincangan semacam itu juga berpotensi memperkaya pertemuan Muslim dan Kristen, bukan justru menghambat hubungan baik.
Akhirul kalam, mari kita saling menghargai perspektif keagamaan yang berbeda. Menekankan persamaan (commonalities) itu penting, namun tak kalah pentingnya ialah menghargai perbedaan. Walaupun kaum Muslim dan Kristen percaya dan menyembah Tuhan yang sama, biarkan mereka tetap setia pada agama masing-masing.
(Mun'im Sirry)
From: hall...@googlegroups.com [mailto:hall...@googlegroups.com] On Behalf Of mkeu...@gmail.com
Sent: 05 Mei 2016 11:02
To: hall...@googlegroups.com
Subject: Re: [HalloPIM] Umat Kristiani Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir
Dear pak Wimpie,
Kepala saya dingin, tulisan Mun'im Sirry terserap sempurna. Makasih pak Wimpie sdh berbagi,,
Salam
Sent from my iPhone
On 5 Mei 2016, at 10.43, wimpie <wimpie....@gmail.com> wrote:
Tulisan Mun'im Sirry lainnya. Kontroversil memang, makanya perlu dibaca dengan kepala dingin. Salam.
Umat Kristiani Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir
“Saya sekali lagi ingin menekankan pentingnya dialog dan kerja sama di antara kaum beriman, terutama Kristen dan Muslim.” Itu ucapan Paus Fransiskus yang disampaikan kepada kaum Muslim menjelang perayaan Idul Fitri tahun 2013, hanya beberapa bulan setelah dipilih sebagai pemimpin Gereja Katolik.
Seorang pemangku otoritas tertinggi agama Katolik menyapa umat Muslim dengan sebutan kaum beriman tentu punya makna penting, apalagi dilihat dari sejarah hubungan Muslim-Kristen yang kompleks. Pasca Konsili Vatikan II (1962-1965), sikap Gereja Katolik (dan juga Protestan) terhadap Islam memang mengalami perubahan signifikan.
Dalam dokumen Nostra Aetate, yang merupakan deklarasi hubungan Gereja dengan agama-agama lain, disebutkan secara eksplisit “Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasih dan maha kuasa, Pencipta langit dan bumi.”
Pantaskah kita, kaum Muslim, masih terus menyebut umat Kristiani sebagai orang kafir? Saya seringkali mendengar orang-orang bilang, “Ya, nggak apa-apa kita sebut mereka kafir, wong orang Kristen juga sebut kita kafir.”
Bagaimana reaksi mereka setelah tahu bahwa Paus Fransiskus menyebutkan umat Muslim sebagai kaum beriman? Mungkin mereka akan berdalih, soalnya bukan pantas atau tidak pantas, tapi bagaimana agama kita mengajarkan cara bersikap terhadap umat agama lain.
Mari kita diskusikan, walaupun serba singkat, bagaimana sikap Islam terhadap kaum Kristiani dari dua aspek: Apa yang dikatakan Kitab Suci dan apa yang terjadi dalam sejarah.
Siapa Orang Kafir?
Tentu saja kata “kafir” dan berbagai derivasinya muncul banyak sekali dalam al-Qur’an, dan para ulama berdebat tentang identitas siapa orang-orang kafir itu. Almarhum Cak Nur (Nurcholish Madjid) sering merujuk pada surat al-Bayyinah ayat 1: “Orang-orang kafir di antara ahlul kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (keyakinannya) hingga datang kepada mereka bukti yang nyata.” Ini untuk menunjukkan bahwa ahlul kitab tidak bisa diidentikkan dengan orang-orang kafir.
Menurut Cak Nur, kata “di antara ahlul kitab” mengisyaratkan “hanya sebagian,” bukan seluruh ahlul kitab.
Saya ingin lebih jauh menafsirkan sebuah surat dalam al-Qur’an yang jelas-jelas menggunakan kata itu, yakni surat al-Kafirun. Saya akan ajukan dua model tafsir, yang satu berdasar pada temuan mutakhir atas naskah-naskah al-Qur’an kuno, dan yang kedua pada metode tafsir klasik menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Model tafsir pertama boleh jadi akan memunculkan kontroversi karena dianggap “mengutak-atik” teks al-Qur’an yang sudah diterima luas. Tapi kita harus tahu, kanonisasi teks al-Qur’an menjadi mushaf seperti kita lihat sekarang melalui proses editing yang panjang.
Ortografi teks al-Qur’an awalnya tidak disertai harkat atau diakritik dan bacaan panjang biasanya tidak ditandai dengan alif. Belakangan muncul penelitian serius yang khusus menelisik naskah-naskah al-Qur’an kuno, seperti dilakukan oleh François Déroche, Keith Small, dan Gerd-R Puin.
Sarjana yang disebut terakhir secara lebih khusus meneliti pembubuhan alif ke dalam teks al-Qur’an kuno, dan tafsir saya ini pun didasarkan pada temuannya. Sebenarnya apa yang dilakukan Puin juga bukan skandal. Ulama-ulama Muslim mengakui, sejumlah alif ditambahkan ke dalam al-Qur’an.
Nah, bagaimana kita membaca surat al-Kafirun? Salah satu problem dalam surat ini ialah pesannya yang tidak sinkron. Ayat terakhir “lakum dīnukum wa-liya dīn” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku) acapkali dikutip sebagai dalil toleransi dalam al-Qur’an. Padahal, lima ayat sebelumnya bersifat eksklusif karena menafikan Tuhan orang-orang kafir. Bunyi dua ayat pertama, “Wahai orang-orang kafir, saya tidak menyembah apa yang kalian sembah.”
Untuk menyinkronkan pesan toleransi surat ini, maka kata “tidak”, yakni lā (dengan alif) yang dibaca panjang perlu dibaca pendek sebagai bentuk penegasan. Dalam ilmu tata-bahasa Arab (nahw), ini dikenal dengan lām al-taukīd, yaitu lām yang dibaca pendek, karena alif baru ditambahkan belakangan.
Jika alif dihilangkan dari kata “lā” (tidak), maka surat al-Kafirun dapat diterjemahkan begini:
(1) Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir
(2) sebenarnya aku menyembah apa yang kamu sembah.
(3) Dan kamu juga penyembah apa yang aku sembah.
(4) Dan aku penyembah apa yang kamu sembah.
(5) Dan kamu pun penyembah apa yang aku sembah.
(6) (Kendatipun demikian) untukmu agamamu dan untukku agamaku.”
Itulah toleransi yang sejati: Walaupun kita sebenarnya menyembah Tuhan yang sama, silakan Anda mengimani agama Anda, dan aku mengimani agamaku.
Jika tafsir model ini tidak memuaskan Anda, mari tafsirkan surat al-Kafirun dari perspektif “tafsir al-Quran dengan al-Qur’an.” Logika sederhana surat di atas ialah, bahwa Tuhan orang-orang kafir berbeda dari Tuhannya kaum Muslim. Lalu, apa yang dikatakan al-Qur’an tentang Tuhannya kaum Kristiani?
Memang, al-Qur’an mengkritik beberapa aspek dari keyakinan teologis Kristen, terutama konsep Trinitas dan ketuhanan Yesus. Ini persoalan cukup kompleks yang perlu didiskusikan tersendiri. Namun, kendati mengkritik, al-Qur’an mengafirmasi secara eksplisit bahwa kaum Muslim dan Kristiani percaya dan menyembah Tuhan yang sama.
Kita bisa simak surat al-Ankabut ayat 46 yang memerintahkan pengikut al-Qur’an untuk tidak mendebat ahlul kitab kecuali dengan cara yang baik, dan diperintahkan untuk mengatakan “Tuhan kami dan Tuhan kalian adalah satu.” Al-Qur’an juga menegaskan, nama Allah yang disebut di masjid, gereja, synagog atau biara ialah Allah yang sama (Q.22:40).
Dengan demikian, ahlul kitab (termasuk Kristen) tidak bisa dikatakan kafir karena mereka mengimani dan menyembah Tuhan yang sama. Karena itu, surat al-Kafirun tidak terkait dengan umat Kristiani karena yang menjadi audiens surat itu ialah mereka yang menyembahkan Tuhan yang berbeda dari Tuhannya kaum Muslim.
Sebagian mufasir menelusuri asbab al-nuzul surat itu terkait orang-orang musyrik. Walaupun saya skeptik dengan historitas asbab al-nuzul, jika benar itu justeru mendukung tafsir yang tidak mengasosiasikan umat Kristiani dengan kekafiran.
Iklim Polemik
Sejak kapan umat Kristiani disebut kafir? Penyebutan mereka sebagai kafir merupakan produk sejarah, lebih khusus lagi, terkait proses konsolidasi identitas ke-Muslim-an dalam iklim polemik. Memang sejarah Islam yang diajarkan di sekolah-sekolah cenderung menggambarkan Islam sebagai agama yang sudah sempurna seperti kita lihat saat ini sejak zaman Nabi. Jadi, sejak awal hanya ada dua kategori: Muslim dan kafir.
Dalam buku Kontroversi Islam Awal, saya sudah jelaskan proses gradual Islam menjadi agama yang kita saksikan sekarang. Sebenarnya proses kristalisasinya berlangsung lebih perlahan dari yang kita asumsikan. Di zaman Nabi dan beberapa dekade setelahnya, pengikut al-Qur’an dan penganut agama lain seperti Yahudi dan Kristen berada di bawah tenda besar, yang disebut kaum beriman. Fred Donner menjelaskan fenomena ini cukup bagus dalam Muhammad dan Umat Beriman (2015).
Ketika perlahan para pengikut al-Qur’an dan Nabi memisahkan diri dari komunitas beriman itu, maka proses konsolidasi identitas ke-Muslim-an melibatkan eksklusi umat agama lain, termasuk Kristen. Maka, konstruksi dikotomis antara “menjadi Muslim” dan “menjadi kafir” mulai diperkenalkan.
Iklim polemik dari proses pembentukan identitas ke-Muslim-an ini dapat dibaca bukan hanya dari sumber-sumber Muslim, tapi juga non-Muslim. Iklim polemik yang dimaksud di sini ialah situasi di mana beragam agama berupaya menonjolkan superioritas masing-masing, sehingga berkecamuk polemik.
Seorang teolog Kristen awal yang lama bekerja di bawah pemerintahan khilafah Umayyah di Suriah, Yuhanna al-Dimasqi (675-753), menulis deskripsi polemis tentang Islam sebagai agama sempalan dari Kristen. Dia menggambarkan Nabi Muhammad diajari oleh seorang biarawan Kristen, tapi kemudian membentuk agama sempalan (heresy) sendiri.
Bisa kita bayangkan, dalam iklim polemik semacam itu para pengikut Nabi tentu bereaksi dengan mengatakan bahwa Islam adalah agama wahyu yang dibawa Muhammad untuk menyempurnakan agama-agama sebelumnya. Nabi tidak diajari penganut agama lain. Justeru mereka yang menolak ajaran Islam adalah orang-orang kafir (infidels). Kategori kafir yang semula hanya dikaitkan dengan kaum musyrik mulai diperluas cakupannya.
Maka, dalam karya-karya ulama belakangan kaum kafir dikelompokkan dalam sedikitnya tiga kategori: musyrik, ahlul kitab dan semi-ahlul kitab. Bahkan, ada yang membedakan antara musyrik Arab dan non-Arab. Masing-masing kategori ini memiliki implikasi hukumnya sendiri. Di sini terlihat betapa pengkategorian ahlul kitab sebagai kafir merupakan produk sejarah, sebuah kebutuhan di tengah proses formasi dan konsolidasi identitas keagamaan untuk membedakan satu sama lain.
Pernyataan polemis seperti dikemukakan tokoh Kristen Juhanna al-Dimasqi sekarang tidak lagi menjadi kebijakan Gereja. Sejak Vatikan II semangat ekuminisme mewarnai hubungan Muslim-Kristen seperti terlihat dalam pesan Idul Fitri Paus Fransiskus. Dalam Lumen Gentium, konstitusi dogma gereja yang juga dihasilkan Konsili Vatikan, disebutkan “Rencana Tuhan untuk keselamatan juga meliputi mereka yang mengakui sang Pencipta, terutama kaum Muslim.”
Kini saatnya umat Muslim juga melakukan refleksi teologis serius bagaimana menjalin hubungan harmonis dengan sesama kaum beriman, terutama umat Kristiani.
(Mun'im Sirry)
Email ini telah diperiksa untuk mendeteksi virus oleh perangkat lunak antivirus Avast.
www.avast.com
--
"BERPIKIR POSITIF, BERBUAT IKHLAS, BERTUTUR BIJAK"
HalloPIM versi facebook untuk berbagi koleksi foto di: http://www.facebook.com/groups/513695411978246/
My Blog: http://ibelievecanfly.blogspot.com/
Tabungan Sosial PMPIM di Bank MANDIRI No. Rekening: 130 00 12356567 an ALAN DJUHERLAN.
CP: Alan Djuherlan: 0813 2071 7187 dan Syaharuddin Noorhan: 0812 655 2580
---
Anda menerima pesan ini karena berlangganan grup "HalloPIM" di Google Grup.
Kunjungi grup ini di https://groups.google.com/group/hallopim.
--
"BERPIKIR POSITIF, BERBUAT IKHLAS, BERTUTUR BIJAK"
HalloPIM versi facebook untuk berbagi koleksi foto di: http://www.facebook.com/groups/513695411978246/
My Blog: http://ibelievecanfly.blogspot.com/
Tabungan Sosial PMPIM di Bank MANDIRI No. Rekening: 130 00 12356567 an ALAN DJUHERLAN.
CP: Alan Djuherlan: 0813 2071 7187 dan Syaharuddin Noorhan: 0812 655 2580
---
Anda menerima pesan ini karena berlangganan grup "HalloPIM" di Google Grup.
Kunjungi grup ini di https://groups.google.com/group/hallopim.
Email ini telah diperiksa untuk mendeteksi virus oleh perangkat lunak antivirus Avast. |
![]() |
Email ini telah diperiksa untuk mendeteksi virus oleh perangkat lunak antivirus Avast.
|
Orang Kristen menyebut Allah sebagai Bapa (Father), meyakini Yesus sebagai Tuhan, meyakini bahwa Yesus setara dengan Allah, meyakini Yesus adalah Allah, menyembah Yesus, meyakini Yesus sebagai perantara antara Allah dengan manusia, meyakini bahwa Tuhan telah menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia, meyakini Tritunggal / Trinitas (Bapa,Yesus,Roh kudus), dan Yesus sebagai penebus dosa.
Sedangkan Umat Islam hanya menyembah kepada Allah, Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya, tidak ada siapapun yang setara dengan-Nya. Dan Isa (yang disebut Yesus oleh orang Kristen) adalah seorang Nabi dan Rasul yang diutus Allah untuk Bani Israel.
Tuhan Orang Kristen Beda Dengan Tuhan Orang Islam. Yang disembah atau diTuhankan oleh orang Kristen berbeda dengan Yang disembah orang Islam. Dan kenyataannya memang demikian.
Tuhan yang disembah orang Islam berbeda dengan yang disembah orang kafir. Umat Islam hanya menyembah kepada Allah SWT. Setiap hari (minimal 17 kali) ditujukan kepada Allah, umat Islam selalu mengucapkan dalam sholatnya (al-fatihah, diantaranya):
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. (Al Faatihah {1}: 5)
Firman Allah:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia.” (Al Ikhlash {112}: 1-4)
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. (Asy Syuura {42}: 11)
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُواْ إِنَّ اللّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُواْ اللّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَار
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang
yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam“, padahal Al
Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan
Tuhanmu“. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu
dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan
kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang
zalim itu seorang penolongpun.
(Al Maa’idah
{5}: 72)
لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُواْ إِنَّ اللّهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَـهٍ إِلاَّ إِلَـهٌ وَاحِدٌ وَإِن لَّمْ يَنتَهُواْ عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga“, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (Al Maa’idah {5}: 73)
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah[2] dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (At Taubah {9}: 31)
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقِّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُواْ ثَلاَثَةٌ انتَهُواْ خَيْرًا لَّكُمْ إِنَّمَا اللّهُ إِلَـهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَات وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللّهِ وَكِيلا
Wahai Ahli Kitab (Yahudi/Nasrani), janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu[3], dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya[4] yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya[5]. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: “(Tuhan itu) tiga“, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyaianak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara. (An Nisaa’ {4}: 171)
Kesimpulannya:
“Tuhan” yang disembah umat Kristen bukanlah Tuhan yang disembah oleh umat Islam.
Demikian Pak Wimpie sesuai dengan yang saya ketahui dan tentunya aya sangat berbeda dengan saudara Mun'im A Sirry dan saya sangat sependapat dengan tokoh Muslim cerdas lainnya Dr.Zakir Naik dan tokoh Islam cerdas lainnya.
Salam Kekeluargaan