Apakah penyalahgunaan dana bantuan bencana dapat dijerat dengan UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana?
Dampak Erupsi Gunung Sinabung
Kemarin saya telah mengirimkan berita-berita mengenai penyalahgunaan wewenang, praktik suap (gratifikasi), dan penyelewenangan dana bantuan bencana ke Milis Bencana dan milis-milis lainnya serta akun media sosial saya. Dalam berita-berita itu ada pejabat yang telah ditetapkan sebagai tersangka, ada yang baru disidik oleh kejaksaan, ada yang baru dimintai keterangan, dan ada yang baru diduga melakukan penyalahgunaan wewenang.
Berita-berita antara lain sbb:
Dari berita-berita di atas dapat dilihat bahwa:
Mari kita lihat contoh-contohnya. Kasus pertama di Kab. Bombana.
Pada tahun 2013-2014 Kab. Bombana mendapatkan bantuan untuk pemulihan pascabencana dari BNPB dengan dana hibah sebesar Rp1,5 miliar lebih. Bantuan ini utk meningkatkan kapasitas penghidupan masyarakat yang terdampak bencana dengan proyek bantuan sarana dan prasarana budidaya rumput laut. Ada 14 kelompok tani budidaya rumput laut yang tersebar di wilayah Poleang dan Kabaena yang menerima bantuan ini.
Dari hasil penyelidikan Kejaksaan Negeri (Kejari) Bombana ditemukan setiap kelompok tani diberi bantuan oleh BPBD antara Rp10 juta hingga Rp17 juta. Sementara yang tertera dalam kontrak setiap kelompok tani mendapatkan bantuan Rp54 juta.
Disini Kejari Bombana telah menetapkan 3 (tiga) orang sebagai tersangka kasus korupsi bantuan bencana di atas, yaitu mantan Kepala Pelaksana BPBD Kab. Bombana, Ir Abu Kahar (selaku Pejabat Pembuat Komitmen / PPK); Kepala Bidang Rehabilitasi Rekinstruksi, Suardi Rahman Spd. (menandatangani SPM); dan Kepala Seksi Rehabilitasi, Muis Rais (pelaksana dalam penyaluran bantuan).
Ketiganya telah dijebloskan ke Rumah Tahanan (Rutan) Kendari pada 25 April 2017.
Kasus kedua di Kota Probolinggo
Kejari Kota Probolinggo menetapkan 2 (dua) orang sebagai tersangka dalam penyidikan kasus korupsi bantuan pascabencana tahun 2012, yaitu Bambang Sulogo (BS), selaku direktur CV Tulus Abadi yang memenangkan salah satu paket proyek senilai sekitar Rp 967.934.000.; dan NS, pejabat setingkat kepala seksi di BPBD Kota Probolinggo yang bertindak sebagai PPK atas pelaksanaan kegiatan dana bantuan pascabencana.
”Sejauh ini, tersangka yang kami tetapkan hanya Bambang Sulogo dan NS. Dua tersangka itu baru dari satu titik kegiatan proyek,” kata Kasi Intel Kejari Kota Probolinggo Herman Hidayah kepada Jawa Pos Radar Bromo pada 12 April 2017.
Bantuan proyek pascabencana sebesar Rp 10,1 miliar dari DIPA BNPB 2012 di Kota Probolinggo ini diperuntukkan untuk 19 paket pekerjaan proyek fisik terdampak bencana erupsi Gunung Bromo. Paket bantuan tersebut 98% digunakan untuk perbaikan infrastruktur, antara lain dengan sasaran plengsengan, parapet, dan bronjong yang rusak karena imbas erupsi Bromo.
KUHP dan UU No. 24/2007
Selama ini kasus-kasus korupsi dana bencana dijerat dengan pasal-pasal dari KUPH. Pertanyaannya: Apakah kasus-kasus korupsi dana bencana ini dapat dijerat dengan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU No. 24/2007)?
Salah satu tujuan penanggulangan bencana (PB) dalam Pasal 4 UU No. 24/2007 adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 8, yaitu tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan PB adalah perlindungan masyarakat dari dampak bencana.
Topik mengenai bantuan dan bencana masuk dalam Pasal 65
sbb:
“Pengelolaan sumber daya bantuan bencana meliputi
perencanaan, penggunaan, pemeliharaan, pemantauan, dan
pengevaluasian terhadap barang, jasa, dan/atau uang bantuan
nasional maupun internasional.”
Ancaman hukuman bagi yang mengkorupsi dana bantuan bencana itu
dapat dijumpai pada Pasal 78 UU No. 24/2007 yang
dengan tegas menyebutkan bahwa:
“Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan
pengelolaan sumber daya bantuan bencana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 65, dipidana dengan pidana penjara dengan penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
atau paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) atau denda paling banyak
Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).”
Selain itu apabila yang terlibat dalam tindak pidana korupsi dana
bencana itu juga melibatkan perusahaan (korporasi) juga akan
ditindak dengan tegas sbb dlm Pasal 79:
“(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 75 sampai dengan Pasal 78 dilakukan oleh korporasi, selain
pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan
pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 78.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a.
pencabutan izin usaha; atau b. pencabutan status badan hukum.”
Apakah pasal-pasal di atas dalam UU No. 24/2007 dapat digunakan untuk menjerat para koruptor dana bencana, baik perorangan (baca: setiap orang) maupun perusahaan (baca: korporasi).
Bagaimana pendapat anda? Mari kita bahas disini.
salam,
djuni