Gorontalo
(ANTARA News) - Tangan-tangan kecil mengkerut itu menuliskan sebaris kalimat
"nama saya Septiningsih Abdul, cita-cita ingin disayang semua
orang" dengan untaian huruf yang berjejer rapi di secarik kertas.
Boleh jadi Septi, nama akrabnya, memang hanya mencita-citakan satu hal dalam
hidupnya yakni diterima dan dicintai semua orang di sekelilingnya dengan
kondisi tubuh yang serba kekurangan. Rambut lebat nyaris menutupi sekujur
tubuh bocah berusia sepuluh tahun ini.
Tak hanya rambut, yang membuat orang seketika melihatnya mirip primata karena
rahang atas dan bawahnya yang menonjol, hidung pesek berbulu halus, kelopak
mata melebar ke dahi serta telinga yang hampir tak memiliki lubang.

Awalnya pasti kaget, namun bila sudah berbincang dan menatapnya sekian lama,
pandangan aneh terhadap bocah inipun perlahan akan luntur.
"Pertama kali Septi keluar dari kandungan ibunya, saya sangat terkejut
dan anak itu hampir jatuh dari tangan saya," ujar Ija, bidan desa yang
membantu persalinan ibu Septi, Fatma Nusi, sepuluh tahun lalu di Desa
Tilangobula, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango.
Dengan keanehan yang dimiliknya, tak pelak kehadiran Septi ke dunia
menghebohkan warga setempat, yang kemudian mengkaitkannya dengan kutukan.
Pandangan sebelah mata, cemooh, gunjingan dan bahkan rasa simpati yang datang
dari tetangga pun merupakan hal yang biasa diterima keluarganya.
Bukannya tak pernah putus asa, namun bagi Fatma penyesalan dan air mata
rasanya tak pantas dikucurkan atas kehadiran Septi yang hanya berbeda fisik
dengan manusia ciptaan Tuhan lainnya.
Ucapan Jadi Kenyataan
"Kamu minta buah terus, kayak mengandung bayi
monyet saja". Itu kalimat yang dilontarkan ayah Septi, Yusni
Abdul (35) saat Fatma mengandung putri keduanya itu.
Kalimat yang diibaratkan sebagai kutukan oleh ayah Septi yang kesal karena
istrinya selalu mengidamkan buah-buahan itu, kemudian diyakini sebagai
penyebab anaknya terlahir dengan wajah layaknya seekor kera.
"Mungkin ucapan itu didengar Tuhan dan akhirnya menjadikannya kenyataan
sebagai cobaan bagi saya dan suami," ujar Fatma dengan nada sendu,
mengenang rasa pedih saat hamil.
Tiga tahun sejak Septi dilahirkan, Fatma terpaksa membesarkan ketiga anaknya
setelah ditinggal cerai suaminya yang malu karena memiliki anak dengan fisik
yang berbeda dengan anak normal lainnya.
Meski hanya sebagai pembantu rumah tangga, Fatma membesarkan Septi dengan
penuh kasih sayang, tanpa membedakannya dari kedua saudaranya.
Rasa pedih kian menusuk kalbu Fatma, ketika melihat putrinya sejak usia empat
tahun kadang-kadang berjalan merangkak dan tampak lincah seperti kera.
"Saya sering memarahinya kalau berjalan merangkak. Takutnya akan jadi
kebiasaan dan orang-orang akan yakin dia memang hampir seperti monyet,"
ujar Fatma.
Alhasil, usaha Fatma untuk menghilangkan kebiasaan anaknya itupun berhasil.
Septi kini nyaris tak pernah lagi berjalan merangkak, sehingga tak ada lagi
perilakunya yang dianggap aneh.
Meski memiliki seorang anak yang abnormal dan hidup sebagai orang tua
tunggal, namun tak pernah terpikirkan di benakknya untuk membunuh atau
membuang putrinya itu, seperti yang marak dilakukan oleh orang tua putus asa
belakangan ini.
"Memang berat menjalani semuanya, namun saya yakin Septi hadir dalam
kehidupan saya untuk melihat sebesar apa sabar dan kasih sayang
terhadapnya," kata Fatma.
Tetap Sekolah
Septi jauh lebih beruntung. Ia tak kehilangan keceriaan pada masa
kanak-kanaknya dan masih mengenyam pendidikan formal dengan hasil banting
tulang ibunya yang juga sebagai buruh cuci keliling.
Kini ia duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar Dumbaya Bulan, yang berjarak
sekitar tiga kilometer dari rumahnya yang terbalut anyaman bambu itu.
"Septi sempat tinggal kelas waktu di sekolah lama. Ia mengaku tertekan
karena diejek teman-temannya," kata salah seorang guru Septi, Elvin
Adam.
Meski bocah itu tak tergolong juara kelas, namun Septi adalah siswi yang
mandiri dalam mengerjakan tugas serta tes ujian alias anti nyontek.
Bahkan, angka delapan dan sembilan kerap menghiasi raport Septi untuk mata
pelajaran Agama Islam dan olahraga.
"Septi paling suka lomba lari, selalu jadi juara. Kata Pak Guru, kelak
saya bisa jadi atlit hebat dan bisa jalan-jalan ke Jakarta ," ujar Septi
dengan polosnya.
Di sekolah itu, ia mengaku bisa lebih berbaur dengan semua temannya,
kendatipun pada awalnya juga harus membiasakan diri dengan tatapan aneh dari
orang disekelilingnya.
Anak lincah itu justru menuai perhatian berlebih dari gurunya, karena
dianggap lebih membutuhkan banyak kasih sayang dibanding anak didik lain yang
normal.
Kelainan Genetik?
Tak ada yang tahu kenapa Septi terlahir demikian.
Mungkin sebentar lagi bocah berambut panjang itu akan menjadi obyek
penelitian oleh sejumlah ilmuwan.
Terlebih, Departemen Kesehatan RI menginstruksikan segera membawa Septi ke
Jakarta , untuk diteliti apa yang menjadi penyebab kelainan fisik anak yang
dikenal periang itu.
"Untuk sementara ini, Depkes akan meneliti dulu apakah kelainan ini
disebabkan faktor genetik atau bukan," kata Kepala Pusat Pemeliharaan
Kesehatan Depkes RI , Cholik Masulili.
Penelitian ini bisa jadi akan menjadi temuan baru dalam ilmu sains, mengingat
kasus seperti yang dialami Septi merupakan yang pertama di Indonesia .
Tawaran dari Depkes ini pun diterima dengan senang hati oleh Septi dan
keluarganya.
Ibunya memang tak berharap wajah Septi bisa seperti anak normal lainnya,
namun ia punya harapan besar bahwa putri kecilnya itu punya masa depan yang
lebih cerah setelah ditangani sejumlah dokter ahli dan peneliti nanti.
"Kalau wajah diubah itu rasanya tak mungkin lagi, yang penting rambut di
badannya bisa hilang itu sudah lebih dari cukup," harap Fatma.
Sementara bagi sang anak, rencana untuk ke Jakarta itu sudah sangat dinanti,
dengan harapan saat balik nanti ia punya segudang cerita buat teman
sepermainannya di desa.
Setidaknya, kata Septi, ia bisa mewujudkan impiannya untuk jalan-jalan ke
Jakarta dan naik pesawat.
Lebih dari itu, hanya satu yang paling diinginkan Septi, "Jangan panggil
saya monyet!" katanya. (*)