Konon suatu saat Nabi Muhammad dan para pengikutnya pulang dari perang Badar Shugra (Badar Kecil) yang terjadi sekitar bulan Sya’ban tahun 4 Hijriyah (Januari 626). Beliau berkata, “kita baru saja meninggalkan sebuah perang kecil, dan menuju sebuah perang yang besar.”
Para sahabat bertanya, “apa perang besar itu ya Rasullulah?”
Beliau menjawab “Perang besar itu adalah perang melawan hawa nafsu”.
Sekelumit cerita dari guru ngaji saya itu selalu berkelebat di ingatan setiap kali menjelang bulan Ramadhan seperti sekarang. Perang melawan hawa nafsu merupakan perang besar karena yang kita lawan adalah diri kita sendiri.
“Kalo disebut perang berarti nafsu harus dibunuh, kok kayaknya aku ndak sepaham yo Le.” Ujar Kang Noyo waktu kemaren ngobrol sama saya setelah lomba tujuhbelasan di RT.
“Haiyah! Sampeyan itu lho Kang, perang kan bukan momen untuk memusnahkan, tapi untuk menundukkan, biar manut kalo dikendalikan.” Kata saya sok tua.
Sekilas kelihatannya mudah, melawan nafsu yang merupakan bagian dari diri sendiri, tapi kenyataannya tidak. Salah satu yang paling gampang dicontohkan adalah ketidakmampuan kita (mungkin lebih tepatnya saya) menunda kepuasan sesaat untuk masa depan yang lebih baik. Sederhana konsepnya tapi mumet prakteknya.
Dalam latihan pengendalian diri itu orang muslim ndak cuma ndak boleh melakukan perbuatan yang nyata-nyata diharamkan, yang memang tanpa perlu momen khusus pun harusnya ndak boleh dilakukan, tapi juga diharuskan menahan diri dari perbuatan yang biasanya dihalalkan.
“Bahasamu kok mbulet tho Le?” Kata Kang Noyo.
Saya ngakak, jarang-jarang saya bisa keminter di depan Kang Noyo, dan saya menikmati setiap momennya.
Bagi saya puasa adalah latihan melawan diri sendiri, latihan untuk ndak makan dan ndak ngiler waktu ada makanan di siang hari, latihan untuk ndak melotot liat mbak-mbak make baju berbelahan rendah, latihan untuk ndak ngrasani kejelekan orang, latihan untuk ndak menghamburkan energi negatif dengan pengendalian emosi.
Sekali lagi puasa adalah perang melawan diri sendiri. Saya salut sama orang yang ndak puasa tapi menghargai orang berpuasa dengan cara yang mereka sepakati sendiri, tapi saya ndak mau orang dipaksa mengkondisikan suasana religius.
Saya ndak melihat hubungan antara latihan mengendalikan diri sendiri dengan pemasangan tirai pada rumah makan, penggerebekan lokalisasi, atau penutupan panti pijet. Pensterilan yang dilakukan di bulan ramadhan hanya akan membuat latihan ini terasa seperti memberikan ujian lengkap dengan kunci jawabannya. Membuat sebagian masyarakat nyaman tapi sebagian yang lain merasa terancam.
Ramadhan menjelang, untuk itu dengan segala kerendahan hati saya dan keluarga meminta maaf, semoga kita bisa menyambut ramadhan dan menjalankan puasa dengan penuh kesungguhan.