Fw: [Guyon-Yook] The Death of Samurai : Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo

81 views
Skip to first unread message

Aan

unread,
Sep 8, 2012, 12:23:31 AM9/8/12
to elin...@googlegroups.com
Regards,
Aan

From: "Darmawan" <darm...@showa.co.id>
Date: Thu, 6 Sep 2012 09:10:58 +0700
Subject: [Guyon-Yook] The Death of Samurai : Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo

 

 
The Death of Samurai : Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo

Written by Yodhia Antariksa

Posted September 3, 2012 at 12:00 am

Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam, pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.

Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo bahkan harus rela menjual dirinya ke perusahaan China. Sharp berencana menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).

Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.

Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan tolol.

What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita petik sebagai pelajaran.

Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini, kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini, perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang mengangungkan harmoni dan konsensus.

Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu hanya bisa melongo.

Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).

Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.

Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen. Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta budaya sungkan pada atasan.

Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.

Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.

Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.

Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia diatas 50 tahun.

Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.

Disini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga manajer-manajer senior dan tua itu.

Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.

Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal pada tiga elemen diatas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada dalam bayang-bayang kematian.


Sharing is Giving.
Please share this good article to your friends.

__._,_.___
Recent Activity:
===================================================
GUYOK-YOOK : PENGHARUM MULUT TANPA PERLU GOSOK GIGI
Alami dan Tanpa bahan pengawet. Aman bagi ibu hamil
Jika mulut masih bau ya kumur2 donk, masa ngupil...
===================================================
Dijual bebas tanpa surat dokter apalagi surat tilang
NO PROFIT, NO CHATTING, NO SPAM, NO SARA, NO TERORIST,
NO ALCOHOL, NORAK LUUUU.......
===================================================
Mo Nyengir?
kirim email kosong ke
guyon-yook...@yahoogroups.com

Udah gabung tapi kagak terima email lagi..
Itu namanya bouncing..idih Capeekk deh ...

Supaya Email Kagak Dieleminasi ?
postingan maks. 200kb, rapi dan udah disisir,
masih fresh dari oven, kagak basi apalagi udah bau jempol,
100 persen guyon/joke/humor/banyolan/lelucuan/hahaha/hihihi,

Tanggapan maks. 2 email/subject, emangnya berbalas pantun..
dan paling penting, rajin kirim cemilan buat Godfather sama Oom moddy
-------------------------------------------------------------

.

__,_._,___

rido zaen

unread,
Sep 9, 2012, 8:16:27 AM9/9/12
to elin...@googlegroups.com
mentang mentang orang LG

2012/9/8 Aan <aan.wi...@gmail.com>

--
[MILIS ELINS]_______________________________________________________
Post to this group, send to elin...@googlegroups.com
Unsubscribe from this group, send to elins-ugm-...@googlegroups.com
More options, visit to http://groups.google.com/group/elins-ugm
___________________________________________________________________



--
ridozaen...

Aan

unread,
Sep 9, 2012, 8:21:06 AM9/9/12
to elin...@googlegroups.com
Wkwkwk, promosi gan

Regards,
Aan

From: rido zaen <rido...@gmail.com>
Date: Sun, 9 Sep 2012 20:16:27 +0800
Subject: Re: [milis-elins] Fw: [Guyon-Yook] The Death of Samurai : Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo

Siddiq Wahyu Hidayat

unread,
Sep 10, 2012, 2:51:02 AM9/10/12
to elin...@googlegroups.com

Mengapa Apple, Samsung dan LG Suatu Saat juga akan Roboh?


Apple, Samsung dan LG yang kini menjadi dewa dalam panggung elektronika global, suatu saat niscaya juga akan terpelanting. Lalu apa saja elemen yang membuat sebuah perusahaan – sedahsyat Apple sekalipun — bisa roboh, dan apa yang kudu dihindari; akan kita racik sebagai sajian renyah di Senin pagi ini.

Limbungnya perusahaan seperti Sony dan Sharp sebenarnya hanya merupakan siklus sejarah yang kembali berulang.

Dulu kita pernah kenal merk televisi & audio seperti Grundig, Blaupunkt, dan JVC. Mereka semua dilibas oleh Panasonic dan Sony pada era tahun 80-an. Nah sekarang giliran Sony dan Panasonic yang ditendang oleh duet Samsung dan LG. Suatu hari nanti, duet Korea ini mungkin juga akan terkoyak oleh some companies from somewhere (mungkin dari China dan Indonesia. Who knows?).

Lalu apa yang sebenarnya membuat sebuah perusahaan bisa jaya, lalu semaput dan kemudian mati? Dari beragam studi terhadap bangkit dan robohnya sebuah perusahaan skala dunia, kita mencatat ada tiga variabel yang layak distabilo.

Variabel # 1 : Visionary CEO. Kebangkitan sebuah perusahaan skala dunia hampir selalu dipicu oleh founder and CEO yang visioner. Apple pernah punya Steve Jobs. Microsoft pernah punya Bill Gates. Sony dulu punya sang legenda Akio Morita. Dan Panasonic memiliki pendiri hebat bernama Konosuke Matsushita.

Sebaliknya, nyungsep-nya sebuah perusahaan juga lazim dimulai dengan sosok CEO yang abal-abal, alias tidak perform.

Sony kini limbung lantaran gagal menemukan sosok pengganti yang sehebat Akio Morita (kini Sony malah dipimpin oleh ekspat dari USA). Microsoft sama. Sudah sepuluh tahun harga saham Micorosft stagnan lantaran CEO mereka sekarang, Steve Ballmer, tidaklah se-tajir Bill Gates. Sebaliknya, Samsung terus melejit karena mereka punya CEO bernama Lee Kun Hee – sosok visioner yang dianggap sebagai The Steve Jobs of Korea.

Itulah kenapa, memprediksi kejayaan sebuah perusahaan dunia sebenarnya simpel : lihatlah level kecakapan dan track record CEO mereka.

Variabel # 2 : Arrogance Syndrome. Ini penyakit psikologis yang ternyata banyak di-idap oleh perusahaan-perusahaan besar. Bertahun-tahun menjadi market leader, membuat mereka pelan-pelan terjangkiti sindrom arogansi, dan acap jadi myopia (rabun) dengan dinamika perubahan.

Pada sisi lain, posisi sebagai underdog biasanya justru akan memicu fighting spirit yang dahsyat. Samsung dan LG dulu dianggap sebagai underdog sehingga amat bersemangat menjatuhkan Sony dkk.

Dan tekad itu menjadi “lebih mudah” lantaran pada saat yang bersamaan perusahaan-perusahaan elektronika raksasa Jepang tergelincir dalam “sindrom arogansi” yang membuat mereka terlena dalam kebesaran.

Pelajaran pahit itu yang kini coba diserap oleh Toyota. Petinggi mereka bilang : “Perusahaan mobil yang paling kami takuti bukan BMW atau Merceds Benz. Tapi Hyundai. Kami tidak ingin tragedi Sony menimpa pada diri kami”.

Maka benarlah senandung dari Andy Groove, pendiri Intel yang pernah bilang : Only paranoid will survive. Lengah sedikit, mati.

Variabel # 3 : Creative Destruction. Ini sebuah konsep radikal yang berbunyi seperti ini : bunuhlah produk Anda sendiri, sebelum kompetitor menyeretnya ke lubang kuburan. Kodak terlambat membunuh produk kamera mereka, dan akhirnya mati. Produsen disket gagal membunuh produk mereka, dan kini lenyap. Nokia telat membunuh symbian, dan kini mereka terkaing-kaing di bibir kematian.

Pesannya lugas : Anda tidak boleh terlalu jatuh cinta dengan produk Anda sendiri. Suatu saat Anda harus tega menguburnya, dan lalu segera pindah membangun produk baru yang mungkin sama sekali berbeda. Tidak mudah. Apalagi jika produk lama itu masih laris.

Itu yang namanya “innovator dilemma” : perusahaan gamang melakukan inovasi sebab takut ini akan membunuh produknya sendiri. Tapi ini yang harus dilakukan, sebelum kompetitor melakukannya dengan brutal dan tanpa ampun. Anda harus berani melakukan “Creative Destruction”.

Itulah tiga variable kunci yang layak dicatat untuk membuat sebuah perusahaan berkelit dari kematian yang prematur. Setidaknya, dengan pemahaman ini, sebuah perusahaan bisa tetap hidup hingga 100 atau 200 tahun lagi.

Meski kita semua tetap sadar : dalam dunia yang fana ini, tidak pernah ada keabadian.



2012/9/9 Aan <aan.wi...@gmail.com>



--
^ <Siddiq Wahyu Hidayat> ^

januar kurniawan

unread,
Sep 10, 2012, 11:16:09 PM9/10/12
to elin...@googlegroups.com
wah siddiq nyemash aan :p

2012/9/10 Siddiq Wahyu Hidayat <siw...@gmail.com>

arie...@gmail.com

unread,
Sep 10, 2012, 11:28:59 PM9/10/12
to elin...@googlegroups.com
Yg gantiin Lipi An :)
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

From: januar kurniawan <jan...@gmail.com>
Date: Tue, 11 Sep 2012 10:16:09 +0700

kailani sekali

unread,
Sep 11, 2012, 9:44:31 PM9/11/12
to elin...@googlegroups.com
yak...
bagaiman tanggapannya saudara aan :D

Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages