Imam Nawawi, Imam Hadits Yang Zuhud

30 views
Skip to first unread message

ICT BAU-BAU

unread,
May 30, 2010, 1:51:10 AM5/30/10
to UMB Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
Oleh Bahrul Ulum

Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-
Dimasyqi atau lebih dikenal sebagai Imam Nawawi, adalah salah seorang
ulama besar mazhab Syafi'i. Beliau dikenal sebagai seorang pemikir
muslim di bidang fiqih dan hadits.

Tidak sedikit ulama yang datang untuk belajar kepadanya. Diantara
mereka adalah al-Khatib Shadruddin Sulaiman al-Ja’fari, Syihabuddin al-
Arbadi, Shihabuddin bin Ja’wan, Alauddin Al-Athar dan yang
meriwayatkan hadits darinya Ibnu Abil Fath, Al-Mazi dan lainnya.
Karya ilmiahnya sangat banyak dan dijadikan rujukan kaum muslim hingga
saat ini. Diantaranya Riyadhus Shalihin, Syarh Shahih Muslim, Syarh
Sunan Abu Daud, Kitab Ar Raudhah, Tahdhibul Asma was Sifat, Mukhtashat
At Tirmidzi, Tabaqat Asy Syafi’iyah, Muhimmatul Ahkam, Al Adzkar, At
Tibyan fi Adab Hamalatil Quran, Al Minhaj, dan tentu saja Al Arbain.
Karya tersebut merupakan bukti kecemerlangan beliau. Kehidupannya
dihabiskan untuk berbakti kepada penyebaran dam perkembangan ilmu
pengetahuan Islam. Makan minumnya hanya sekali dalam sehari, sekadar
memelihara kesehatan badannya.

Hidupnya sangat sederhana. Ini bisa disaksikan dari pakaiannya yang
sangat sederhana. Tidak suka makan buah-buahan karena khawatir
mengantuk yang akan mengganggu aktifitasnya. Ada juga riwayat lain
yang menjelaskan bahwa keengganannya makan buah-buahan bukan semata
khawatir mengantuk tetapi karena buah-buahan di Damsyik waktu itu
terlalu banyak mengandung syubhat.

Beliau dikenal sebagai seorang yang bertaqwa menurut arti sepenuhnya,
karena wara’ dan kebersihan jiwanya. Ia seorang ulama’ yang senang
ditemui. Sepanjang hayatnya selalu istiqamah dalam menjalankan
kewajiban menyebarkan ilmu dengan mengajar dan mengarang. Senantiasa
beribadah di tengah-tengah kehidupannya yang serba kekurangan,
sehingga hidupnya dipenuhi oleh usaha dan amal saleh terhadap agama,
masyarakat dan umat.

Senang Belajar dan Mengajar

Imam Nawawi lahir di desa Nawa, dekat kota Damaskus, pada tahun 1233
M. Kedua tempat tersebut kemudian menjadi nisbat nama beliau, an-
Nawawi ad-Dimasyqi. Ia merupakan keturunan Hazam (kakek Imam Nawawi)
yang paling menonjol. Sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas.
Hafal al-Qur’an pada usia muda. Tidak suka bermain dengan teman
sebayanya karena ia lebih suka menghapal Al Quran daripada memenuhi
ajakan teman-temannya. Karenanya, sebelum menginjak usia dewasa, sudah
hapal Al Quran 30 juz.

Pada tahun 649 Hijrah, saat berusia sembilan belas tahun pergi ke kota
Damsyik untuk belajar. Ia belajar di madrasah al-Ruwahiyyah atas
beasiswa dari sekolah tersebut.

Sang Imam belajar pada guru-guru yang amat terkenal seperti Abdul Aziz
bin Muhammad Al-Ashari, Zainuddin bin Abdud Daim, Imaduddin bin Abdul
Karim Al-Harastani, Zainuddin Abul Baqa, Khalid bin Yusuf Al-Maqdisi
An-Nabalusi dan Jamaluddin Ibn Ash-Shairafi, Taqiyuddin bin Abul
Yusri, Syamsuddin bin Abu Umar. Dia belajar fiqih hadits (pemahaman
hadits) pada asy-Syaikh al-Muhaqqiq Abu Ishaq Ibrahim bin Isa Al-
Muradi Al-Andalusi. Kemudian belajar fiqh pada Al-Kamal Ishaq bin
Ahmad bin usman Al-Maghribi Al-Maqdisi, Syamsuddin Abdurrahman bin Nuh
dan Izzuddin Al-Arbili serta guru-guru lainnya.

Selain cerdas, beliau adalah sosok ulama yang zahid (tidak terpukau
akan silaunya dunia), pemberantas bidah, serta gemar bedzikir. Ia
telah sukses menyumbangkan tenaga fikiran dan ‘ilmunya kepada agama
Islam dan umatnya. Banyak orang yang tidak berusia panjang, namun
meninggalkan kenangan yang tak terlupakan. Tidak terkecuali Imam
Nawawi. Meski usianya hanya 45 tahun (631-676 H). Pada 24 Rajab 676
Hijrah beliau wafat dan dimakamkan di Nawa, setelah sekian lama hidup
membujang di tengah-tengah suasana masyarakat Damsyik sudah maju
peradabannya.

Fatwa Imam Nawawi yang Menggemparkan.

Menurut riwayat, suatu ketika Khalifah al-Malik al-Zahir mengadakan
persiapan perang melawan orang-orang Tatar (monggol). Dalam persiapan
tersebut khalifah menggunakan fatwa ‘ulama yang mengharuskan
mengambil harta rakyat untuk kepentingan perang melawan musuh. Para
ulama fiqh negeri Syam membuat fatwa yang membolehkan negara mengambil
harta rakyat untuk kepentingan perang. Namun rupanya hati khalifah
masih belum tenang karena Imam Nawawi belum memberi fatwa mengenai hal
itu. “Masih adakah lagi orang lain,”kata khalifah. “Masih ada, al-
Syaikh Muhyiddin al-Nawawi” – demikian jawaban yang disampaikan kepada
baginda. Kemudian khalifah menjemput Imam Nawawi dan memintanya
memberi fatwa seperti ‘ulama fiqh lain mengenai pengambilan harta
rakyat untuk peperangan. Namun beliau enggan dan tidak mau memberi
fatwanya. Baginda bertanya: “Mengapa engkau enggan?” Lalu beliau
memberi penjelasan mengapa enggan memberi fatwa. Beliau berkata kepada
khalifah,”Saya tahu sesungguhnya tuanku dulu seorang tawanan yang
tidak memiliki harta benda. Kemudian Allah melimpahkan kurnianya
kepada tuanku dan menjadikan tuan seorang raja. Saya mendengar bahawa
tuan memiliki seribu orang hamba yang tiap-tiap mereka mempunyai
beberapa ketul emas. Seandainya dua ratus orang khadam wanita milik
tuanku, mempunyai perhiasan yang bernilai dan tuanku menjual perhiasan
itu untuk biaya perang, maka saya bersedia memberi fatwa untuk
membenarkan tuanku mengambil harta rakyat.”Itulah jawaban Imam Nawawi
kenapa ia enggan mengeluarkan fatwa. Intinya, beliau tidak membenarkan
khalifah mengambil harta rakyat selama kekayaannya sendiri masih dapat
dipergunakan.

Mendengar jawaban tersebut, al-Malik al-Zahir murka kepada Imam
Nawawi. Akhirnya ia mengusir ulama yang kharismatik itu keluar dari
Damsyik. Imam Nawawi pun memilih hengkang dari negerinya. Kemudian
suatu ketika para ‘ulama Syam berusaha menjemput beliau agar kembali
ke Damsyik. Namun beliau tidak mau dengan berkata: “Saya tidak akan
kembali ke Damsyik selama khalifah masih berkuasa”.

Sikap Imam Nawawi ini membuktikan bahwa beliau bukanlah seorang ulama’
yang mencari kebenaran untuk dirinya saja, tapi demi kemaslahatan
umat. Beliau tidak menjual ilmu yang dimiliki demi harta benda dunia.
Seluruh hidupnya dicurhakan untuk ilmu demi masyarakat. Beliau yang
memimpin ummat bukan ummat yang memimpinnya. Berani mengeluarkan fatwa
tanpa memandang bulu, walaupun fatwanya itu meyusahkan posisinya.
Inilah bukti bahwa beliau adalah ulama’ pewaris nabi (warithatul
anbiya’).

Sepanjang hayatnya banyak menulis, mengarang, mengajar dan menasihati.
Inilah yang telah mengangkat ketinggian peribadinya.
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages