Muhammadiyah dan Matarantai Pembaruan Islam Bagian (2)

116 views
Skip to first unread message

Mod

unread,
May 30, 2010, 3:44:08 AM5/30/10
to UMB Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
H.Subair, S.IP, M.Si
Dosen AI-Islam dan Kemuhammadiyahan
Universitas Muhammadiyah Buton

Untuk Kalangan sendiri

Bagian Ke-4: Muhammad Ibn Abdil Wahhab

Kemunduran dunia Islam baik dalam lapangan keagamaan maupun politik
dan peradaban pasca kejatuhan Baghdad dan Andalusia sungguh meluas dan
berlangsung beberapa abad. Umat Islam tertidur lelap dalam kejumudan
dan ekspansi negara-negara Barat, hingga lahirlah gerakan pembaruan
fase kedua. Di antara gerakan pembaruan yang lahir pada fase kedua itu
(abad ke-18) ialah gerakan Wahabiah yang dipelopori oleh Muhammad Ibn
Abdil Wahhab di Nejd, Saudi Arabia. Nejd adalah daerah yang tergolong
pedesaan dan menjadi sumber pasokan makanan bagi kota Mekkah, Madinah,
dan Tha;if. Corak kehidupan desa sangat mewarnai alam pikiran Wahhab
kecil. Kala itu, Nejd sesudah era Nabi dan Khulafa ar-Rasyidin berada
dalam kekuasaan dinasti Umayyah dan kemudian Abbassiah. Kehidupan umat
kala itu, berada dalam suasana perpecahan aliran dan politik,
sedangkan dalam kehidupan beragama juga mengalami penyimpangan dari
akidah Islam yang murni. Dari pedesaan Nejd itulah lahir pembaru
Muhammad bin Abdil Wahhab untuk pemurnian Islam.

Kehadiran gerakan pembaruan Muhammad Ibn Abdil Wahhab merupakan mata
rantai dengan pembaruan sebelumnya yang dipelopori Ibn Taimiyah, juga
dengan gerakan pembaruan sesudahnya yang dipelopori Jamaluddin Al-
Afghani, Muhammad Abduh, dan lain-lain, di berbagai wilayah dunia
muslim. Dalam rentang tahun 1258 usai kejatuhan Baghdad hingga tahun
1800 Masehi dunia Islam memang berada dalam kemunduran yang sangat
serius dan meluas. Memang sempat lahir Ibn Taimiyah yang membangkitkan
tajdid atau pembaruan fase pertama setelah era kemunduran itu
berlangsung, tetapi setelah itu umat Islam benar-benar mengalami
kejatuhan sampai kemudian lahir gerakan pembaruan abad ke-18 Masehi.

Pada rentang abad yang panjang itu, Islam dan umat Islam memang
mundur. Apalagi setelah kejatuhan tiga kerajaan besar yakni dinasti
Ustmani di Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India pada rentang
tahun 1500-1800 Masehi, baik di Timur maupun di Barat umat Islam benar-
benar jatuh ke lembah kemunduran. Di Spanyol usai kekalahan di
Andalusia umat Islam bahkan dipaksa masuk Kristen. Sementara di
jazirah Arabia, Turki, Persia, dan India Islam mengalami kemunduran di
bidang akidah dengan maraknya berbagai praktik kemusyrikan, bid;ah,
dan tahayul sebagai akibat dari semakin menjauhnya spirit Islam dari
sumbernya yang aseli serta pengaruh praktik-praktik keagamaan lama
yang bangkit kembali. Praktik tasawuf yang kian mekar juga ikut
memperlemah kaum muslimin kala itu, sehingga Islam kehilangan spirit
ajarannya yang dinamis. Konflik Sunni dan Syi;ah juga kian meluas di
tengah terpuruknya dunia Islam dalam lapangan politik dan
pemerintahan.

Sementara taklid kian meluas dan pintu ijtihad ditutup rapat, sehingga
umat Islam benar-benar terpuruk dalam kejumudan dan kemunduran. Dalam
kondisi Islam yang penuh pencemaran dan kemunduran itu, lahir gerakan
pembaruan yang dipelopori Muhammad Ibn Abdil Wahhab di jazirah Arab,
yang tekananya lebih pada pemurnian ajaran Islam dengan corak gerakan
yang terbilang keras. Muhammad Ibn Abdil Wahhab ingin mengembalikan
Islam pada sumbernya yang asli yaitu Al-Qur;an dan Hadits Nabi yang
autentik sebagaimana jejak Salaf al-Shalih yang dikumandangkan Ibn
Taimiyah dan para pengikut Mazhab Ibn Hanbal sebelumnya. Dalam kaitan
ini Muhammad Ibn Abdil Wahhab boleh dikatakan sebagai pelanjut
pembaruan Ibn Taimiyah dengan tekanan pada pemurnian yang lebih
praktis bahkan keras. Artinya, gerakan untuk mengembalikan umat pada
ajaran Islam yang murni bukan sekadar mengembalikan pada dua sumber
ajarannya semata yaitu Al-Qur;an dan Sunnah Nabi, sekaligus melakukan
gerakan pemberantasan terhadap praktik-praktik syirik dan bid;ah yang
meluas kala itu secara langsung dan keras, seperti pemusnahan bangunan-
bangunan kuburan yang dikeramatkan.

Muhammad Ibn Abdil Wahhab lahir di daerah Uyainah di wilyah Nejd
(Nejed) pada tahun 1115 H/1707 M dan wafat tahun 1206 H/1792 M di kota
yang sama. Dia putra dari seorang hakim dan ulama ternama di kota
Uyainah, dan dalam usia dini sudah hafal Al-Qur’an dan belajar
agama dari ayahnya. Setelah belajar ilmu agama secara mendalam, Wahhab
menjadikan Ibn Taimiyah sebagai rujukan pemikirannya, terutama dalam
bidang tauhid, serta menyandarkan fikihnya pada Imam Ibn Hanbal. Dia
berusaha keras untuk menghidupkan kembali ajaran Salaf al-Shalih,
terutama untuk ;tandhif al;aqidah al-Islamiyyah;, memurnikan akidah
Islam. Di antara karya-karyanya ialah Kitab Tauhid, Kasyf asy-
Syubuhat, Kitab al-Kabair, Kitab al-Iman, Mukhtashar Inshaf, asy-Syahr
al-Kabir, dan Mukhtashar Sirah Ibn Hisyam (Ahmad Al-Usairy, 2007:
383). Muhammad bin Abdil Wahhab sempat berkelana dan menimba ilmu ke
Madinah, Makkah, Basrah, dan Persia, untuk kemudian kembali ke kota
kelahirannya dengan semangat kemarahan terhadap praktik-praktik Islam
yang dinilainya penuh penyimpangan. Sejak kepulangan dari
pengelanaannya di sejumlah daerah di luar Nejd, Muhammad bin Abdil
Wahhab bergelora untuk mengembalikan umat Islam pada ajaran Islam yang
murni atau aseli (Stoddard, ibid.: 31), yakni Islam sebagaimana
dipraktikkan sejak zaman Nabi hingga generasi sahabat dan tabi;in pada
abad ke-3 Hijriyah (Nasution, 2001: 17).

Pemuda dari Nejd ini benar-benar gundah menyaksikan praktik-praktik
Islam terutama di bidang akidah di daerah-daerah yang dikunjunginya
banyak dicemari oleh kemusyrikan, pemujaan terhadap para wali, dan
pengeramatan kuburan-kuburan. Muhammad Ibn Abdil Wahhab juga prihatin
dengan taklid yang menimpa umat Islam kala itu, dan menggelorakan
kembali dibukanya pintu ijtihad, kendati untuk gerakan ini tidak
begitu menonjol sebagaimana Ibn Taimiyah dan pembaru sesudahnya,
karena tekanan Wahhab tampaknya jauh lebih ke gerakan kembali pada Al-
Qur;an dan Sunnah Nabi yang bersifat pemurnian. Pada saat itu umat
Islam selain banyak mempraktikkan syirik, bid;ah, dan tahayul/
khurafat; serta berkembangnya tasawuf yang dipandang mencemari
kemurnian tauhid dan memperlemah vitalitas hidup kaum muslimin. Wahhab
bahkan sangat gundah dengan penyimpangan aqidah umat Islam itu. Dalam
kaitan inilah corak pembaruan yang bersifat pemurnian menjadi fokus
utama pembaruan Muhammad Ibn Abdil Wahhab.

Pandangan Muhammad Ibn Abdil Wahhab tentang tauhid dan aspek-aspek
lain yang bertumpu pada ;ruju ila Al-Qur;an wa al-Sunnah; yang
bercorak pemurnian yang cukup keras berkisar pada hal-hal berikut
ini:
(1) Yang boleh dan harus disembah hanyalah Tuhan, dan orang yang
menyembah Tuhan selain Allah telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh;
(2) Kebanyakan orang Islam bukan lagi penganut paham tauhid yang
sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan lagi dari Tuhan,
tetapi dari syekh atau wali dan dari kekuatan ghaib, orang yang
demikian juga telah menjadi musyrik;
(3) Menyebut nama Nabi, syekh atau malaikat sebagai perantara dalam
doa juga merupakan syirk;
(4) Meminta syafaat selain kepada Tuhan adalah juga syirik;
(5) Bernazar selain dari Tuhan juga syirik;
(6) Memperoleh pengetahuan selain dari Al-Qur’an, Hadist, dan
qiyas (analogi) merupakan kekufuran;
(7) Tidak percaya kepada qada dan qadar Tuhan juga merupakan
kekufuran; (8) Demikian pula menafsirkan Al-Qur;an dengan takwil
(interpretasi bebas) adalah kufur (Nasution, 2001: 16-17).

Dengan gerakan pemurnian dan pemikiran-pemikirannya yang keras itu
maka Mumammad Ibn Abdil Wahhab melakukan tindakan-tindakan yang keras,
lebih-lebih setelah dirinya bergabung atau bekerjasama dengan
Pangeran Muhammad bin Su;ud pada tahun 1157 H/1744 M yang di kemudian
hari melahirkan dinasti atau rezim pemerintahan Saudi Arabia yang
berdiri pada tahun 1139 H/1737 M – 1179 H/1765 M hingga saat
ini. Kerjasama dengan dinasti Su;udiyah memberikan topangan kekuatan
bagi Muhammad bin Abdil Wahhab terutama dalam melawan pihak-pihak yang
menentang gerakannya yang keras. Termasuk dalam menopang gerakan
menghancurkan
bangunan kuburan-kuburan yang dikeramatkan oleh sebagian umat Islam
saat itu baik di Medinah, Nejd, dan sekitarnya maupun di luar itu
seperti di Najef (kuburan Ali) dan Karbala (kuburan Hussein) yang
dikeramatkan kaum Syi;ah. Tak kecuali, membongkar kubah kuburan Nabi
di Madinah (Stoddard, ibid.: 34).

Sejak persekutuan atau perjanjian kerjasama itulah, gabungan antara
pemurnian Muhammad bin Abdil Wahhab dan ekspansi kekuasaan Saudiyah di
bawah Pangeran Su’ud, melahirkan gerakan Wahhabiah yang selain
melakukan perluasan kekuasaan Saudi Arabia ke wilayah-wilayah lain
juga melakukan pemberantasan terhadap praktikpraktik keagamaan yang
dipandang syirk, bid’ah, tahayul, dan khurafat dengan tegas dan
keras. Ekspansi kekuasaan Su’udiyah juga memperoleh legitimasi
untuk membendung ekspansi dinasti Ustmaniyah Turki yang dipandangnya
mengancam masyarakat Arab sekaligus membawa praktik-praktik Islam yang
tidak murni lagi. Sejak itu pula kota suci Makkah dan Madinah atau
Saudi Arabia menjadi pusat kekuasaan dan penyebaran Wahhabiah ke
seluruh penjuru dunia Islam dengan corak Islam ;murni; yang tegas dan
keras itu.

Dalam analisis Mukti Ali (1990: 333-334), gerakan Muhammad bin Abdil
Wahhab merupakan ;usaha pemurnian yang keras dan sederhana. Misinya
langsung, yaitu kepada Islam klasik. Ia menolak kerusakan dan
kelonggaran yang terdapat dalam kehidupan Islam waktu itu. Ia menolak
kehangatan batin dan keshalihan tasawuf. Ia menolak intelektualisme
bukan hanya dalam filsafat tetapi juga dalam ilmu kalam. Ia menolak
semua karena semata-mata menekankan kepada hukum. Hukum klasik yang
diikuti oleh Wahabiah adalah langsung, kaku, mengikuti madzhab Hanbali
dengan dibersihkan dari segala macam bid‘ah yang terjadi dalam
perjalanan sejarahnya. Mengikuti hukum secara penuh, keras dan utuh
dan mendirikan masyarakat di mana hukum itu berjalan itulah Islam, dan
lainnya adalah salah;. Dengan watak dan orientasi gerakan pemurniannya
yang keras dan sederhana itulah, dan setelah bekerjasama dengan dinasi
Su;ud, maka Wahhabiah berkembang menjadi aliran gerakan Islam yang
menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, lebih-lebih melalui prosesi
ibadah haji di mana seluruh umat Islam berdatangan ke dua kota suci
(Makkah dan Madinah) tempat Wahhabiah itu lahir dan tumbuh. Di
Indonesia istilah Wahhabi bahkan melekat dengan corak Islam yang keras
itu, lebih-lebih melalui gerakan Paderi di Sumatra Barat. Muhammadiyah
dengan gerakan memberantas;TBC; (tahayul, bid;ah, dan churafat) di
masa lalu juga sering diidentikkan dengan gerakan Wahhabi itu, kendati
Kiai Haji Ahmad Dahlan tidak mirip gerakan dan pemikirannya dengan
Muhammad bin Abdil Wahhab dan lebih dilekatkan dengan Muhammad Abduh
pembaru dari Mesir.
---------------

Bagian Ke-5: Jamaluddin Al-Afghani

Tak ada tokoh pembaru yang begitu kuat karakternya dan dinamis
pergerakannya selain Jamaluddin Al-Afghani. Tokoh pembaru ini
dilahirkan di Afghanistan tahun 1839, karena itu dinamanya melekat
nama Afghani. Karir hidupnya dimulai sejak usia 22 tahun ketika
diangkat menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan. Kemudian pada
tahun 1864 menjadi penasihat Sher Ali Khan. Setelah itu bahkan, oleh
Muhammad Azam diangkat menjadi Perdana Menteri bersamaan dengan
kedatangan penjajah Inggris ke Afghanistan. Karena kedatangan penjajah
setelah mendukung kekuatan penentang penjajah, Afghani pada tahun 1869
pindah ke India.

Jamaluddin Al-Afghani adalah sosok pembaru yang paling kuat energi
pergerakannya. Dia bagaikan burung Rajawali, hijrah dari satu negara
ke negara lain dan di setiap wilayah yang dikunjunginya selalu
menimbulkan kegoncangan politik. Tak ada tokoh pembaru yang begitu
kuat karakternya dan dinamis pergerakannya selain Jamaluddin Al-
Afghani. Tokoh pembaru ini dilahirkan di Afghanistan tahun 1839,
karena itu dinamanya melekat nama Afghani. Karir hidupnya dimulai
sejak usia 22 tahun ketika diangkat menjadi pembantu Pangeran Dost
Muhammad Khan. Kemudian pada tahun 1864 menjadi penasihat Sher Ali
Khan. Setelah itu bahkan, oleh Muhammad Azam diangkat menjadi Perdana
Menteri bersamaan dengan kedatangan penjajah Inggris ke Afghanistan.

Karena kedatangan penjajah setelah mendukung kekuatan penentang
penjajah, Afghani pada tahun 1869 pindah ke India. Ketika India jatuh
ke tangan Inggris, Al-Afghani tidak lama di India, dia di akhir tahun
1869 itu kemudian menuju ke Mesir dengan naik kapal laut melalui
terusan Suez. Di Mesir yang pertamakali itu pada awalnya dia berniat
untuk berhenti dari pergerakan politik dan kemudian menekuni dunia
keilmuan selama di Mesir. Di negeri seribu menara itulah Afghani
sempat menjadi ;guru; diskusi berbagai kalangan, termasuk pada
mahasiswa dan akademisi dari Universitas Al-Azhar, yang di
antara ;murid;-nya yang paling menonjol dan kemudian menjadi tokoh
pembaru yaitu Muhammad Abduh dan juga pahlawan Mesir Sa;ad Zaglul
Pasha. Tidak lama Afghani tinggal di Mesir yang pertama itu, kemudian
mengembara ke Istambul Turki pada tahun 1870. Dia disambut oleh
Perdana Menteri Turki, Ali Pasya, dan diberinya jabatan sebagai
Anggota Dewan Pengajaran Kerajaan. Namun, di Turki pun tidak lama
karena difitnah oleh sebagian ulama yang tidak suka kepadanya,
sehingga, dia kemudian harus meninggalkan Istambul dan pergi ke Mekkah
untuk menunaikan haji. Dalam menunaikan haji itulah Afghani tergerak
oleh suasana menyatunya umat Islam seluruh dunia, sehingga, lahirlah
gagasan untuk menggerakkan Jami;ah Islamiyyah, ikhtiar untuk
mempersatukan umat Islam sedunia yang oleh para ahli Barat kemudian
disebut Pan-Islamisme.

Konsep Jami;ah Islamiyah Jamaluddin berbeda dari pandangan tentang Pan-
Islamisme pada umumnya. Pan-Islamisme dalam pandangan umum merupakan
kosep persatuan umat Islam sedunia dalam bentuk kekhalifahan Islam
dalam dua bentuk yaitu solidaritas Islam buah dari ibadah haji dan
kekhalifahan (Stoddard, ibid: 46-47). Spirit Jami;ah Islamiyah bagi
Jamaluddin memang persatuan umat Islam seluruh dunia, tapi, tidak
menghendaki satu kepala negara atau satu khalifah untuk seluruh dunia
sebagaimana konsep Pan-Roma yang berlaku di dunia Kristen.

Konsep satu khalifah atau satu kepala negara untuk dunia Islam menurut
Jamaluddin tidaklah mungkin. Jami;ah Islamiyah menghendaki persatuan
umat Islam sebagai kekuatan bersama untuk membebaskan dirinya dari
penjajahan dan membangun kekuatan bersama (Mukti Ali, 1990: 192). Al-
Afghani sungguh resah menyaksikan dunia Islam yang tidak bersatu,
tetapi juga terbelakang. Karena itu, selain mengumandangkan ide
Jami’ah Islamiyah, dia juga menggelorakan semangat pembaruan
dengan membuka pintu ijtihad dan melakukan gerakan kembali pada ajaran
Islam yang murni, yakni Al-Quran dan As-Sunnah. Bagi Jamaluddin, umat
Islam mundur karena meninggalkan ajaran agamanya, dan karena banyak
mengikuti ajaran dari luar Islam. Agama Islam sekadar menjadi ucapan
di lisan dan tulisan di atas kertas, tidak diwujudkan dalam kenyataan.

Kemunduran umat Islam juga karena perpecahan di dalam, yang
memperlemah persaudaraan. namun, karena situasi zaman yang penuh
penindasan dan kehadiran penjajahan yang semakin meluas, maka
Jamaluddin Al-Afghani jauh lebih kuat tekanan gerakannya pada
perjuangan politik ketimbang mengembangkan pembaruan keagamaan.
Kekuatan pembaruan Al-Afghani justru pada gerakan Jami‘ah
Islamiyah-nya yang melintasi negara, madzhab, dan golongan. Afghani
juga pembaru yang membangkitkan jiwa pergerakan Islam.

Tahun 1871 setelah naik haji Al-Afghani tergerak lagi untuk kembali ke
Mesir, lebih-lebih karena kerinduannya bertemu dengan Muhammad Abduh
dan menetap cukup lama. Dia bertemu, berdiskusi, dan melakukan
pergerakan untuk mendobrak pemikiran yang jumud dan sekaligus
membangkitkan umat dan kekuatan Islam untuk maju serta melawan
penjajahan. Dia bangkitkan jiwa agama untuk kemajuan dan pergerakan
hidup umat Islam. Agama yang bukan retorika dan kata-kata, tetapi
tindakan. Tahun 1876, Al-Afghani terjun lagi ke pergerakan politik di
Mesir. Dia bertemu dengan Putra Mahkota Taufik dan kemudian pada tahun
1879 membentuk Partai Nasional (Al-Hizb Al-Wathani) dengan
menggelorakan semboyan “Mesir untuk Orang Mesir; sebagai bentuk
perlawanan terhadap penjajahan Inggris.
Kerjasamanya dengan Pangeran Taufik berhasil menggulingkan Khedewi
(penguasa) Ismail Pasha dan digantikan oleh Putra Mahkota Taufik. Tapi
ironi atau tragedi politik terjadi, justru setelah Taufik menjadi
Khedewi di Mesir atas tekanan Inggris kemudian Al-Afghani diusir dari
Mesir karena dikhawatirkan akan terjadi pemberontakan yang lebih luas
bukan hanya ancaman terhadap pemerintahan baru tetapi juga terhadap
penjajah Inggris. Teman seperjuangan itu setelah berkuasa berubah
haluan dan kemudian menjadi memusuhi Al-Afghani. Karena itu tahun 1879
Al-Afghani diusir keluar Mesir dan pindah ke India.

Pada tahun 1879 itulah, Afghani keluar dari Mesir dan pindah lagi ke
India. Dia tinggal Heydirabad selama tiga tahun. Di kota ini pula dia
sempat menulis buku “Ar-Raddu ‘ala al-Dahriyyin”
(Menolak Naturalisme). Dia berkomunikasi pula melalui surat dengan
Abduh yang dibuang ke Beirut (Libanon) dan kemudian kembali ke Mesir
setelah itu. Dia menghimpun para mahasiswa dan kaum muslimin untuk
menyatukan pandangan pembaruan dan penyatuan umat. Karena mulai
menghimpun massa, maka pemerintah Inggris khawatir lagi sebagaimana
terjadi di Mesir, maka Jamaluddin diusir lagi dari India. Pada tahun
1883 Afghani akhirnya pindah ke London (Inggris), tetapi tidak lama
karena merasa berada di negeri yang paling memusuhi dirinya, maka dia
kemudian pindah ke Paris (Perancis). Di kota Paris itulah Afghani
menghimpun para imigran muslim dari Mesir, India, Syiria, Afrika
Utara, dan lain-lain untuk sebuah gagasan menggalang persaudaraan atau
persatuan Islam seluruh dunia.

Di salah satu jantung kota Eropa itulah Jamaluddin kemudian
menerbitkan majalah Al-Urwat Al-Wutsqa yang ternama itu, yang kemudian
tersebar ke seluruh dunia Islam seperti Mesir, Iran, Turki, India,
termasuk ke Indonesia. Namun, majalah Al-Urwat itu kemudian dibreidel
oleh pemerintah Perancis yang bekerjasama dengan Inggris karena,
dianggap menyebarkan virus perlawanan Islam terhadap penjajahan Barat
dan menjadi ancaman baru, setelah majalah tersebut terbit sebanyak
delapanbelas nomor dari tahun 1883 hingga 1884.

Setelah Al-Urwat Al-Wustqa distop dan sahabatnya Muhammad Abduh di
Beirut kemudian, di Mesir mulai menarik diri dari kegiatan politik
untuk menekuni bidang pendidikan, Jamaluddin merasa menyendiri. Kala
itu, tahun 1885, Jamaluddin tiba-tiba memperoleh undangan Raja Iran
Muhammad Syah untuk datang ke Iran. Akhirnya dia hijrah ke Iran. Watak
perjuangan dan penentangannya terhadap penjajah muncul kembali setelah
Sultan Nasiruddin Syah yang menggantikan Muhammad Syah bekerjasama
dengan penjajah Inggris. Di sana dia menggerakkan perlawanan terhadap
penjajahan Inggris dan menggulingkan Syah Nasiruddin yang pro-Inggris.
Di Iran itulah dia menetap selama tiga tahun, namun, setelah Syah
dibunuh oleh pengikut setia Al-Afghani, dia harus meninggalkan Iran
dan kemudian pindah ke Istambul (Turki) tahun 1892. Kedatangannya ke
Istambul sebenarnya juga atas undangan Sultan Abul Hamid yang tengah
memerlukan dukungan dari negeri-negeri muslim yang tengah terancam
oleh kehadiran penjajah Eropa, yang mengancam eksistensi Kekhalifahan
Ustmani yang berpusat di Turki kala itu.

Kehadiran Jamaluddin Al-Afghani di Istambul saat itu sebagai tokoh
pemersatu sekaligus kharismatik di dunia Islam, sungguh diperlukan
untuk memperkuat posisi Abdul Hamid dan dinasti Ustmani dari ancaman
penjajah Barat. Tapi sayang, karena perbedaan paham antara Afghani
dengan Sultan yang cukup tajam soal ide demokrasi versus teokrasi,
maka Afghani kemudian disisihkan secara politik. Al-Afghani seolah
menjadi tahanan negara, yang tidak bisa lagi melakukan aktivitas
pergerakan politik seperti sebelumnya, juga tidak bisa meninggalkan
Istambul, sehingga lama kelamaan menjadi terisolasi.

Dalam kondisi terisolasi itulah Jamaluddin Al-Afghani, tokoh pembaru
dan musuh terbesar Inggris itu kemudian menghembuskan napasnya yang
terakhir tahun 1897 di Turki. Kematian Jamaluddin dan kuburannya masih
simpangsiur, sebagian sumber menyebutkan di Iran. Pembaru dari
Afghanistan ini memang menyisakan kontroversi dalam sejarah hidupnya,
dia bahkan tidak sempat menikah. Namun satu hal, bahwa jejak pembaruan
Al-Afghani sungguh membekas ke seluruh dunia Islam. Karena gerakannya
yang tiada henti dalam membangkitkan kesadaran dan perlawanan terhadap
penjajah Inggris, sosok pembaru yang pemberani dari Afghanistan ini
bahkan dijuluki sebagai ;musuh terbesar Inggris;. Pemikiran dan buah
pembaruan Sayyid Jamaluddin Al-Afghani dalam membangkitkan kesadaran
politik dan persatuan umat Islam sedunia bahkan terukir kokoh dan
terus menjadi inspirasi dunia Islam sepanjang zaman.
----------


Bagian Ke-6: Abduh Pembaru Moderat

Di antara pembaru dunia Islam yang termasuk cemerlang pemikirannya,
dialah Muhammad Abduh. Karakter pemikiran dan kiprah pembaruan tokoh
dari Mesir ini relatif memiliki kemiripan dengan pemikiran Kiai Haji
Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Muhammad Abduh lahir di sebuah desa Mahallah Nasr, di Mesir hilir pada
tahun 1849 pada era Mesir di bawah kekuasaan Muhammad Ali (1805-1849).
Menurut sementara pendapat, tahun kelahiran Abduh tidak begitu pasti,
ada yang bilang satu tahun lebih tua dari itu, karena masa
kelahirannya situasi Mesir berada dalam masa pergolakan dan kedua
orang tuanya tidak terlalu mementingkan soal tempat dan tanggal lahir
(Nasution, 2001: 49). Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah,
keturunan Turki yang lama menetap di Mesir, sedangkan ibunya keturunan
Arab yang nasabnya sampai ke suku bangsa Umar bin Khattab. Dari ayah
dan ibunya Abduh kecil belajar membaca dan menulis, sebagai bekal awal
untuk belajar Al-Qur;an dan menuntut ilmu di kemudian hari. Setelah
itu pendidikan Abduh diserahkan ke seorang guru, hingga dua tahun
mampu menghafal Al-Qur;an dan kemudian pada tahun 1862 dikirim untuk
belajar agama di sebuah daerah bernama Tanta, di dekat Ismailiyah,
dalam asuhan Syekh Ahmad.

Abduh tidak lama belajar di Tanta karena merasa tidak puas dengan
metode pengajaran yang diterimanya yang lebih banyak bertumpu pada
hafalan dan kurang mengasah penalaran atau pemahaman. Dia pulang
kampung dan dalam usia 16 tahun kemudian menikah. Belum lama menikah,
Abduh dipaksa orang tuanya untuk kembali ke Tanta. Dalam masa
keengganan belajar itulah Abduh bertemu dan dididik oleh paman ayahnya
bernama Syekh Darwisy, hingga bangkit kembali untuk belajar dan
mencintai buku serta ilmu. Tahun 1866 akhirnya Abduh meneruskan studi
ke Al-Azhar di Cairo, dan di situlah dia bertemu, berguru, dan
berteman dengan Jamaluddin Al-Afghani untuk pertama kalinya. Ketika
Jamaluddin Al-Afghani datang kembali ke Mesir untuk kedua kalinya
tahun 1871 dan menetap lama di Cairo, Abduh termasuk murid setia dan
paling disayang Afghani. Dari Afghani itulah Abduh menimba ilmu dan
pikiran-pikiran pembaruan, termasuk aktif dalam kancah politik
perjuangan Islam. Tahun 1877 Abduh selesai kuliah di Al-Azhar,
kemudian mengajar di almamaternya, selain mengajar pula di Darul Ulum.

Aktivitas politik Abduh bersama Afghani di bawah komando Urabi Pasya
dalam melawan penguasa Turki dan penjajah Inggris yang menguasai Mesir
kala itu (tahun 1882) mengantarkan tokoh Mesir ini dibuang ke Beirut.
Dari Beirut Aduh sempat pergi ke Paris (Perancis) pada tahun 1884. Di
negeri Eropa itulah keduanya sempat menerbitkan majalah Al- Urwat Al-
Wutsqa untuk beberapa edisi. Tahun 1885 dia kembali lagi ke Beirut
hingga tahun 1888. Sejak itulah Abduh lebih berkonsentrasi mengajar
dan meminta ijin kepada Afghani untuk berhenti melakukan aktivitas
politik, yang membuat guru dan sahabat perjuangannya itu marah besar
terhadap Abduh. Tapi Abduh tetap pada pendiriannya hingga benar-benar
berhenti berpolitik, bahkan dia mengeluarkan pendapatnya yang
terkenal, ;aku berlindung kepada Allah dari politik;, yang
menggambarkan suasana batin anti-politik.

Berhenti berpolitik, Abduh pada tahun 1888 kembali ke Mesir. Dia
kembali ke Al-Azhar tetapi tidak diperbolehkan mengajar karena
dikhawatirkan akan memengaruhi mahasiswa Al-Azhar. Namun diperbolehkan
bahkan diangkat menjadi anggota Majelis A‘la Al-Azhar, yang di
kemudian hari berhasil melakukan perubahan-perubahan atau pembaruan di
tubuh universitas tertua di dunia Islam tersebut. Tahun 1899 Abduh
diangkat menjadi Mufti di negeri seribu menara itu hingga akhir
hayatnya pada tahun 1905. Tafsirnya yang terkenal, Al-Manar, tidak
sempat selesai, hingga pada bagian selanjutnya diteruskan oleh
muridnya, Muhammad Rasyid Ridla. Tafsir yang mengubah alam pikiran
dunia Islam itu memang menjadi karya bersama Abduh dan Ridla, yang
menyebarkan virus pembaruan bagi siapapun yang membacanya, termasuk
bagi Kiai Haji Ahmad Dahlan ulama muda dari Yogyakarta saat itu.

Karya-karya Abduh yang terkenal antara lain kitab Risalat Al-Tauhid,
Tafsir Al-Manar bersama Rasyid Ridla, Al-Islam Din al-Ilm wa al-
Madaniyah, Tafsir Juz ‘Amma, Tafsir Surat Wa al-‘Asyri, Al-
Islam wa al-Nashraniyyah, dan lain-lain. Abduh bahkan memiliki murid
dan pengikut yang melanjutkan pemikirannya seperti Rasyid Ridla,
Muhammad Farid Wazdi, Tantawi Jauhari, Qasim Amin, Sa’ad Zaglul,
Ahmad Lutfi al-Sayyid, Ali Abd al-Raziq, dan Thaha Husain. Pemikiran-
pemikiran mereka sangat maju, dengan berbagai variasi dan coraknya
masing-masing.

Adapun ide-ide pembaruan Muhammad Abduh (Nasution, ibid: 55-56; Mukti
Ali, 1990: 347-348) antara lain sebagai berikut.

Pertama, menyangkut pembaruan pemikiran keagamaan. Menurut Abduh, umat
Islam mengalami kemunduran karena dihinggapi kejumudan dan tradisi,
sehingga kehidupannya menjadi statis dan tidak mengalami perubahan
serta kemajuan. Karena itu umat Islam perlu melakukan pembaruan dengan
jalan kembali kepada ajaran Islam yang murni sebelum banyak
pertentangan, mengembangkan akal pikiran dan ilmu pengetahuan sebagai
kunci untuk kemajuan. Akal pikiran harus dibebaskan dari taklid. Abduh
memandang ajaran Islam yang bersifat ibadah tidak dapat diperbarui
karena sudah jelas, tetapi hal-hal yang bersifat muamalat perlu
disesuaikan dengan tuntutan zaman. Dalam hal ini maka, ijtihad menjadi
penting dan merupakan keniscayaan untuk dikembangkan di tubuh umat
Islam. Para ulama tradisional perlu mempelajari ilmu-ilmu dan
peradaban modern sehingga dapat memahami Islam dengan intrepretasi
baru dan berijtihad, sekaligus dapat membawa kemajuan berpikir umat.

Kedua, masalah pendidikan. Abduh termasuk pembaru yang memiliki
perhatian besar terhadap pembaruan pendidikan sebagai tonggak untuk
kemajuan umat Islam. Dia mengeritik umat yang tenggelam dalam
kebodohan dalam kungkungan tradisi yang membuahkan umat terbelakang
dan mudah dibodohi oleh penguasa. Abduh juga mengeritik kebiasaan
taklid terhadap ulama dan pemujaan yang berlebihan terhadap wali dan
syekh yang berkembang di tubuh umat Islam. Karena itu, diperlukan
pembaruan sistem pendidikan di lingkungan umat Islam yang sesuai
dengan kebutuhan zaman. Ilmu pengetahuan harus dikembangkan dan
sekolah-sekolah modern harus dibuka. Khusus di Al- Azhar menganjurkan
pembaruan bahasa dan sastra Arab yang lebih baik. Selain menuntut
pembaruan metode pengajaran, Abduh juga memasukkan ilmu-ilmu modern,
dan agar para ulama mempelajari peradaban modern, sehingga memiliki
pengaruh besar untuk pembaruan dan kemajuan umat Islam. Integrasi
pendidikan agama dan umum merupakan keniscayaan untuk menghilangkan
dualisme dalam sistem pendidikan Islam.

Ketiga, dalam politik. Abduh setelah diangkat menjadi anggota Majelis
Syura berhasil menjembatani kesenjangan lembaga ini dengan pemerintah
untuk kebaikan rakyat. Abduh juga menerima paham atau sistem demokrasi
karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dia menekankan
pentingnya pendidikan politik bagi rakyat melalui sekolah, surat
kabar, dan penerangan agar mengetahui hak-haknya. Abduh juga
berpandangan bahwa pemerintah harus benarbenar memperhatikan aspirasi
rakyat. Penguasa siapa pun dimungkinkan salah maka, rakyat boleh
menyadarkannya, tetapi apabila pemerintahnya adil maka wajib
menaatinya. Di belakang hari Abduh benar-benar berhenti dari aktivitas
politik, bahkan menjauhi dunia politik.

Keempat, menghadapi serangan pemikiran Barat. Abduh berpandangan hal-
hal dari Barat atau dunia modern boleh diambil sejauh tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Islam bahkan agama yang sesuai
dengan kemodernan. Namun, Abduh juga menangkis dan membela serangan
pemikir-pemikir Barat yang salah paham dan keliru pandangannya tentang
Islam. Di satu pihak Abduh mengajak umat Islam untuk berpikiran maju
dan Islam itu harus mampu menghadapi dan menyesuaikan diri dengan alam
pikiran modern, di pihak lain dia kritis terhadap pemikiran Barat.

Dari gambaran sekilas tentang Muhammad Abduh, maka tampak jelas
pembaru dari Mesir yang satu ini sosok dan pemikirannya sangat maju
sekaligus moderat. Abduh berbeda dari Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil
Wahhab, dan Jamaluddin Al-Afghani, yang mampu menyerap dan sekaligus
melakukan adaptasi kritis terhadap pemikiran dunia modern. Abduh boleh
dikatakan sebagai jembatan antara pemikiran klasik dan kontemporer
dalam peralihan abad ke-19 dan ke-20, sehingga kental pembaruan dengan
corak reformisme atau modernisme Islam.
-----
Bagian Ke-7: Persambungan dan Perubahan

Pasca Abduh dan di luar Mesir bertumbuhan pembaru di dunia Islam
dengan corak masing-masing. Benang merahnya sama, bagaimana Islam
sebagai ajaran mampu menjawab tantangan zaman dan umat Islam sebagai
pemeluknya hidup dalam kemajuan. Di Mesir selain Muhammad Abduh muncul
Muhammad Rasyid Ridla, murid dan kawan Abduh yang meneruskan gagasan-
gagasannya. Ridla lahir tahun 1865 di Lebanon tetapi, sebagian besar
hidupnya dihabiskan di Mesir hingga wafat tahun 1935. Perjumpaan
dengan Al-Afghani dan Abduh membuat dirinya menyerap pikiran-pikiran
pembaruan.

Pada mulanya tertarik pada politik sebagaimana Afghani, tetapi atas
nasihat Abduh akhirnya, Ridla tidak mengambil jalan politik dan
menekuni dunia pemikiran di bidang pembaruan keagamaan, pendidikan,
dan sosial sebagaimana Abduh. Namun, berbeda dengan Abduh, Ridla masih
percaya pada konsep negara Islam berupa kekhalifahan sebagai kekuatan
pemersatu umat, kendati dia mengeritik keras dan kecewa terhadap
praktik absolutisme kekhalifahan Islam kala itu. Abduh di ujung
hayatnya, kecewa dan gagal mengajak khalifah Turki Usmani dan kerajaan
Arab Saudi untuk tidak kerjasama dengan Inggris dan Perancis yang
menjajah dunia Islam kala itu.

Ridla memelopori terbitnya majalah Al-Manar yang memuat pikiran-
pikiran pembaruan, lebih-lebih pemikiran Muhammad Abduh. Dia bahkan
mengajak umat Islam untuk membarui tafsir atau pemahanan tentang Al-
Qur;an, tidak jumud sebagaimana ulama-ulama tradisional. Karena itu,
Ridla mengusulkan dan kemudian disetujui gurunya (Abduh) untuk
menyusun tafsir Al-Qur;an yang kemudian dimuat secara rutin dalam Al-
Manar. Lahirlah Tafsir Al- Manar yang memuat tafsir Abduh tentang ayat-
ayat Al-Qur;an, tetapi karena Abduh wafat terhenti sampai ayat ke-125
surat An-Nisaa;, yakni jilid III Tafsir Al-Manar. Selebihnya, Tafsir
Al-Manar merupakan karya Rasyid Ridla baik berdasarkan pelajaran atau
tafsir Muhammad Abduh sewaktu memberikan ulasan di Al-Azhar maupun
murni tafsir Ridla sendiri. Dalam sejumlah hal, Ridla berbeda tafsir
dengan Abduh, jika Abduh lebih ;liberal; sedangkan Ridla
cenderung ;tekstual; dalam memahami ayat-ayat yang memerlukan
penafsiran.

Rasyid Ridla sebagaimana Abduh mengeritik umat Islam yang jumud dan
mengajak untuk kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, yang tidak
tercemar oleh praktik syirik, bid’ah, dan khurafat. Dia juga
mengeritik paham tasawuf yang membuat hidup umat Islam terjebak pada
fatalisme. Ridla juga sepaham dengan Abduh untuk memajukan pemikiran
melalui ijtihad dan kerja akal. Tetapi berbeda dengan Abduh, Ridla
lebih terbatas dalam memberi ruang pada akal dan masih terikat kuat
pada pemikiran Ibn Hanbal, Ibn Taimiyyah, dan Muhammad bin Abdil
Wahhab. Ridla tidak sebagaimana Abduh juga lebih terbatas dalam
menerima pemikiran Barat, kendati mengakui pentingnya kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern sebagaimana negeri-negeri Barat.
Sikap lebih keras terhadap Barat tampak pada pemikiran Ridla.
Pemikiran pembaruan Rasyid Ridla tidak se-berani dan se-maju pemikiran
Muhammad Abduh.

Pemikiran pembaruan di Mesir pasca Abduh dan Ridla dikembangkan oleh
Farid Wajdi, Tantawi Jauhari, Qasim Amin, Sa;ad Zaglul, Ahmad Luthfi
al-Sayyid, Ali Abdul Raziq, dan Taha Husain (Nasution, ibid: 69). Dua
nama yang disebut belakangan, Raziq dan Taha bahkan lebih liberal
ketimbang Abduh. Sebagian kalangan seperti Munawwir Sadjzali bahkan
mengkategorisasikan Raziq dan Taha ke dalam aliran ;sekuler; karena
pandangannya yang sangat pro-modern Barat dan menganut
paham ;pemisahan; agama dari negara. Pemikiran serupa juga berkembang
di Turki, yang melahirkan gerakan Turki Muda, terutama di kemudian
hari pada pemikiran Mustafa Kamal At-Taturk yang dikenal dengan tokoh
“sekularisasi” Islam di Turki. Pemikiran Mustafa Kamal
sebenarnya bukan membuang agama dari kehidupan politik-kenegaraan,
tetapi mengeliminasi atau menghilangkan kekuasaan agama dari ranah
politik-kenegaraan. Islam sebagai agama tidak sama dan sebangun dengan
institusi negara.

Di belahan dunia yang lain, di India lahir pula pembaruan yang
dipelopori oleh Syah Waliyullah al-Dehlawi (1703;1781 M) dan Sir
Sayyid Ahmad Khan (1817;1898 M). Waliyullah dan juga Ahmad Khan
sebagaimana pembaru Islam lainnya prinsip pemikirannya sama untuk
kembali pada Islam yang murni, membebaskan umat dari kebekuan dan
masalah internal, serta menghadapi penjajahan. Waliyullah lebih
melihat pada persoalan internal umat ketimbang ke luar, dia memadukan
pemikiran pemurnian dengan tasawuf, sehingga gerakan pemurniannya
lebih lentur dan berbeda dengan Abdil Wahhab.Waliyullah menghendaki
masyarakat Islam yang kuat dan kejayaan Islam sebagaimana zaman
dinasti Monggul di India.

Adapun Ahmad Khan lebih maju lagi pemikirannya. Sebagaimana Abduh,
Khan menghargai akal sebagai alat untuk menafsirkan ajaran Islam
sesuai dengan kemajuan zaman, hingga baik Abduh maupun Ahmad Khan
sering dituding penganut Mu;tazilah. Ahmad Khan juga memandang
pentingnya pembaruan sosial dalam kehidupan umat Islam, menghilangkan
perbudakan, dan diperbolehkannya wanita untuk ke luar ranah publik dan
tidak setuju dengan cadar bagi perempuan muslimah sebagaimana
ditemukan di negeri-negeri Arab.

Khan memandang Islamisasi tidak harus total dalam arti lebih
menekankan pada aspek-aspek yang belum Islam untuk di-Islamkan,
sehingga pendekatannya lebih adapftif atau akomodatif dan tidak
frontal sebagaimana Wahhabiah. Ahmad Khan juga menganjurkan umat Islam
bebas dari taklid dan meniru kemajuan modern Barat, bahkan dia memilih
pendekatan akomodatif terhadap Inggris ketimbang konfrontatif. Khan
juga membolehkan umat Islam bergaul dengan pemeluk agama lain,
termasuk Kristen. Dia menganjurkan toleransi sesama umat beragama,
bahkan memandang Bible sebagaimana Al-Qur;an, juga mengajarkan
moralitas kemanusiaan, dan memandang agama sebagai urusan pribadi yang
tidak boleh diganggu gugat.

Bagi Ahmad Khan, Islam merupakan ajaran yang sesuai dengan pemikiran
dan keperluan kemajuan zaman modern. Kita masih dapat mencatat pembaru
Islam lainnya di belahan dunia Islam, termasuk Muhammad Iqbal dari
Pakistan. Pemikir dan pujangga Islam dari Pakistan yang dulu pecahan
dari India itu menawarkan rekonstruksi pemikiran Islam di dunia
muslim.

Api pembaruan Islam yang mengalir bagaikan air bah yang tak terbendung
itu merambah dan masuk pula ke Indonesia. Waktu itu, Indonesia masih
merupakan negeri Nusantara dan berada dalam kungkungan penjajahan
Belanda. Melalui persentuhan ibadah haji, kontak pemikiran secara
langsung, dan bacaan-bacaan pemikiran pembaruan di dunia Arab kala
itu, lahirlah para pembaru dan gerakan pembaruan Islam di Indonesia
dengan berbagai ragam orientasi dan karakter pemikiran. Terdapat
persambungan (kontinyuitas) antara pembaruan Islam di Indonesia dengan
di dunia Islam sebelumnya, tetapi juga terdapat perbedaan atau
perubahan (diskontinyuitas) yang menampilkan corak yang khas. Sebagian
ahli seperti Abubakar Atjeh (1970: 5) menyebutnya sebagai Gerakan
Salafiyah di Indonesia dengan konotasi gerakan pemurnian (Salafiyah)
plus “pembaruan dalam Islam; atau ;tajdid fi al-
Islam;, ;Reformisme;, atau; Aliran Kebangkitan Dalam Islam.

;Gerakan Kaum Muda;, dan sebagainya. Sedangkan pakar lainnya seperti
Deliar Noer dan para peneliti asing menyebutnya sebagai Gerakan Modern
Islam atau ;Modernisme Islam;. Spirit dasarnya sama, yakni memurnikan
ajaran Islam sesuai dengan sumbernya yang asli (Al-Qur;an dan Sunnah
Nabi), dan mengembangkan ijtihad dalam berbagai aspek dan orientasi
pemikiran atau pembaruan Islam.

Tokoh-tokoh pembaruan Islam di Indonesia antara lain Haji Rasul, Abdul
Karim Amrullah, Djamil Djambek, dan sebelumnya para tokoh Paderi
dengan gerakan pemurniannya di ranah Minangkabau, termasuk Palimo Kayo
yang mendirikan Sumatra Thawalib. Di pulau Jawa dalam kurun lebih
akhir di era awal abad ke-20 lahir Cokroaminoto yang melahirkan
Syarikat Islam, Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah, A. Hassan dengan
Persatuan Islam-nya, Achmad Surkati yang membentuk Al-Irsyad, dan lain-
lain.

Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya memiliki
tempat yang spesifik dalam matarantai gerakan pembaruan di dunia Islam
itu. Di satu pihak Kyai dari Kauman Yogyakarta itu menyerap dan
berinteraksi dengan pikiran-pikiran besar para pembaru seperti Ibn
Taimiyyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad
Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridla. Tetapi pada saat yang sama melakukan
kreasi dan menampilkan corak pembaruan Islam yang lebih berwajah
kultural dan moderat. Sehingga Muhammadiyah yang lahir tahun 1912 itu
mampu bertahan dan meluas bukan hanya sebagai alam pikiran namun,
sekaligus sebagai organisasi gerakan pembaruan Islam yang melembaga
dan mengakar kuat di bumi Indonesia.

Sumber : Kontribusi dari : Dr. Haedar Nashir
Muhammadiyah Online
http://www.muhammadiyah.or.id
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages