Muhammadiyah dan Matarantai Pembaruan Islam

545 views
Skip to first unread message

Amin Sb

unread,
May 30, 2010, 3:34:20 AM5/30/10
to UMB Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
H.Subair, S.IP, M.Si
Dosen AI-Islam dan Kemuhammadiyahan
Universitas Muhammadiyah Buton

Untuk Kalangan Sendiri


Bagian Ke-1: gerakan pembaruan di dunia Islam

Muhammadiyah sejak kelahirannya di kampung Kauman Yogyakarta pada
tanggal 18 November 1912 Miladiyah atau 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah
memang memiliki karakter atau watak kuat sebagai gerakan tajdid. Kiai
Haji Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah dikenal pula sebagai
mujadid atau pembaru karena sejumlah gagasan dan langkah gerakannya
yang bersifat pembaruan.

Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaruan Islam. Bagaimana
hubungan Muhammadiyah dengan gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam?
Masalah ini perlu dikaji untuk mengetahui benang merah sejarah
pembaruan Islam, sekaligus keberadaan Muhammadiyah sebagai gerakan
Islam yang berwatak tajdid di Indonesia.

Kelahiran Muhammadiyah dan ketokohan Kiai Dahlan pada awal abad ke-20
di negeri tercinta ini memang benar-benar membawa pembaruan ketika
saat itu umat Islam berada dalam kondisi jumud (statis) dari segi
paham dan pemikiran keagamaan serta tertinggal dalam kondisi
kehidupan.

Bermacam-macam istilah diberikan untuk gerakan pembaruan di dunia
Islam. Selain istilah yang paling populer yaitu tajdid fi al-Islam
(pembaruan Islam) juga muncul istilah lain yakni kebangkitan Islam (al-
sahwa al-Islamy) atau revivalisme Islam (the revival of Islam),
gerakan pemurnian atau menghidupkan kembali paham salaf (muhyi atsari
al-salaf ), gerakan membangun dunia baru Islam (the new world of
Islam), modernisme Islam, reformisme Islam, dan sebagainya. Setiap
istilah memiliki pandangan atau konsep tertentu, namun untuk
Muhammadiyah sebenarnya bermuara pada sifat dan orientasi gerakan
pembaruan, yakni gerakan yang memperbarui cara pandang atau paham
tentang Islam guna menjawab persoalan-persoalan kehidupan yang
bersifat kekinian. Kendati dalam sejumlah hal memiliki kekhasan watak
dan fokus gerakannya, karena itu kelahiran Muhammadiyah sering
dikaitkan dengan gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam yang terjadi
sebelumnya.

Muhammadiyah merupakan mata rantai gerakan pembaruan Islam yang
memiliki spirit dan pemikiran yang terjalin dengan gerakan kebangkitan
Islam di dunia Islam khususnya yang dipelopori oleh Ibn Taimiyah,
Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh,
Muhammad Rasyid Ridha. Tokoh-tokoh ternama tersebut merupakan
lokomotif gerakan kebangkitan atau pembaruan di dunia Islam. Kiai Haji
Ahmad Dahlan memiliki semangat dan pemikiran yang lekat dengan para
pembaru Islam tersebut, kendati menurut sebagian pendapat pendiri
Muhammadiyah
itu jauh lebih dekat pemikiran dan gerakannya dengan Muhammad Abduh
ketimbang dengan lainnya.

Kelahiran gerakan pembaruan atau kebangkitan di dunia Islam tidak
terlepas dari situasi umat Islam sedunia yang kala itu mengalamai
kemunduran setelah berlalunya masa kejayaan atau keemasan Islam di
abad ke-7 sampai ke-13 Masehi. Sebagaimana sejarah menunjukkan bahwa
abad ke-13 Masehi merupakan era kemunduran peradaban Islam setelah
kekuasaan Islam di Spanyol (Cordova) jatuh ke tangan pihak Nasrani
usai kekalahan pasukan Islam di Las Navas de Tolosa tahun 1213 Masehi
dan puncaknya lagi pasca kejatuhan Baghdad pada tahun 1258 akibat
serangan tentara Mongol. Pasca kejatuhan Islam tersebut bukan hanya
dari segi politik dan militer dunia Islam terus mengalami kekalahan
dan pelemahan, tetapi juga mengimbas ke krisis akidah dan paham
keagamaan yang mengalami penyimpangan dan kejumudan.

Lothrop Stoddard (1966: 29) melukiskan dengan tepat, bahwa pada abad
ke-13 Masehi itu dunia Islam jatuh ke jurang keruntuhan yang terdalam.
Di manapun tidak ada tanda adanya tenaga sehat dan di mana-mana
terdapat kemacetan dan pembekuan. Kerusakan budi dan moral malah
parah. Apa yang masih tinggal dari kebudayaan Arab lenyap ditelan
kemewahan yang di luar batas oleh segolongan kecil maupun besar yang
juga mengalami degradasi. Pengajaran atau pendidikan pun terhenti.

Sejumlah universitas yang masih ada terdampar pada pembekuan.
Masyarakat muslim hidup miskin dan tak diacuhkannya. Pemerintahan
Islam menjadi despotik, kadang terjadi anarkhi dan berbagai
pembunuhan. Pegawai pemerintahan yang curang memeras dan merampas
rakyat habis-habisan. Petani dan orang kota patah semangat hidupnya
untuk bekerja dan berusaha. Pertanian dan perdagangan pun jatuh dan
merosot sekali. Sedangkan agama pun membeku, ketauhidan yang diajarkan
Nabi Muhammad telah diselubungi khurafat dan paham kesufian.Masjid-
masjid ditinggalkan golongan besar awam. Golongan awam itu menghias
diri dengan azimat, penangkal penyakit, dan tasbih sambil belajar pada
darwis-darwis dan menziarahi kuburan-kuburan orang-orang yang
dikeramatkan. Orang-orang awam itu tidak lagi hirau dengan akhlak yang
diajarkan Al-Quran, bahkan minum arak dan melakukan perbuatan-
perbuatan tercela. Akhlak merosot dan rusak kehormatan diri. Kota
Makkah dan Madinah tak lagi berwibawa. Pendek kata, kehidupan Islam
telah lenyap, meninggalkan ritus dan tak berjiwa, serta dilanda
kemunduran yang meluas. Jadi, sejak kejatuhan Cordova dan Baghdad
itulah dunia Islam diliputi kegelapan. Itulah era kemunduran peradaban
dan kebudayaan Islam.

Agama Islam kehilangan kemurniannya, artinya para pemeluknya tidak
lagi mempraktikkan Islam yang autentik (murni, aseli) sebagaimana
dicontohkan Nabi Muhammad dan generasi Salaf al-Shalih (generasi
sahabat, tabi;in, dan tabi;ut tabi;in). Praktik Islam melenceng dari
sumbernya yang utama, yakni Al-Qur;an dan Sunnah Nabi yang shahih
(maqbulah). Sementara itu pintu ijtihad ditututp rapat-rapat dan
sebaliknya taklid berkembang, sehingga umat Islam jatuh dalam
kejumudan (statis) dan kehilangan daya hidup serta kemajuan.

Kehadiran pasukan Mongol ke jantung peradaban Islam di Baghdad telah
menimbulkan dua kecenderungan. Pertama, masuknya praktik-praktik
kehidupan dan keagamaan yang bersifat mistis dan kemudian mencemari
akidah dan moral umat kala itu, yang banyak penyimpangan dari
kemurnian Islam. Kedua, kejatuhan politik Islam, sehingga umat Islam
menjadi lemah. Akibat dari dua hal tersebut kemudian umat Islam
menjadi krisis secara akidah, merosot secara moral, lemah secara
politik, dan jumud secara pemikiran dan kondisi kehidupan.

Dalam kondisi yang demikian itulah maka muncul gerakan untuk
memurnikan kembali Islam dan melakukan pembaruan dalam kehidupan
sebagaimana dipelopori oleh Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (1263-1328)
untuk memperbarui cara berpikir dan cara hidup umat Islam. Tema utama
pemikiran Ibn Taimiyah ialah gerakan al-ruju; ila Al-Qur-;an wa Al-
Sunnah, yakni mengajak kembali pada sumber ajaran Islam yang asli atau
murni yaitu Al-Qur;an dan As-Sunnah. Dengan tekanan pada pemurnian
akidah (tandhif al-;aqidah al-Islamiyyah), gerakan ini sering disebut
dengan muhyi atsar al-salaf, yakni menghidupkan kembali ajaran salaf
yang shalih, yakni praktik ajaran Islam zaman Nabi dan tiga generasi
sesudahnya yakni generasi para sahabat, tabi;in, dan tabi;ut tabi;in.

Jadi, konteks pemurnian Ibn Taimiyah saat itu memang karena ada
kondisi pencemaran praktik ajaran Islam dari syirk, tahayul, bid;ah,
dan khurafat sebagai pengaruh dari kehadiran bangsa Mongol dan juga
Persia yang membawa atau menghidupkan kembali paganisme. Gerakan dan
pemikiran pemikir Islam abad tengah ini memiliki spirit pula dengan
pemikiran Imam Ibn Hanbal, yang menghidupkan salafisme (salafiyyah),
tetapi sekaligus membuka pintu ijtihad. Keras dalam ajaran akidah,
tetapi terbuka pada ijtihad. Namun karena Ibn Taimiyah sendiri kaya
akan pemikiran, maka warna pemurnian Islam yang dibawanya bersenyawa
dengan spirit ijtihad dan orientasi pada membangkitkan kembali
kemajuan umat Islam dari kemunduran dan kejumudan.

Pembaruan yang dipelopori Ibn Taimiyah memperoleh dukungan kuat dan
dilanjutkan oleh muridnya Ibn Qayyim al-Djauziah (1292-1350) terutama
dengan tekanan pada pemurniannya, bahkan tiga abad setelah itu
digelorakan kembali oleh Muhammad bin Abdil Wahhab (1703-1787) di
jazirah Arabia dengan corak dan warna pemurnian yang lebih keras, yang
dikenal pula dengan gerakan Wahhabiyah atau Wahabi. Setelah itu,
gerakan pembaruan atau kebangkitan Islam memperoleh sentuhan politik
yang kuat dan meluas melalui tokoh pembaru Jamaluddin Al-Afghani
(1838-1797), kemudian di bidang pemikiran dan pendidikan oleh pembaru
dari Mesir Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya yang lebih keras
Syekh Muhammad Rashid Ridla (1856-1935). Sedangkan pembaruan di anak
benua India ialah Sayyid Ahmad Khan (1817-1897).

Dalam mata rantai pembaruan Islam di dunia muslim pasca kejatuhan
peradaban Islam itulah lahir Muhammadiyah sebagai salah satu pelopor
gerakan pembaruan Islam di Indonesia.


Bagian Ke-2: Khulafa ar-Rasyidin

Sejarah mencatat, bahwa, Nabi Muhammad bersama umat Islam selama 23
tahun telah berhasil meletakkan dasar-dasar Islam yang sangat kokoh
dan lebih dari itu membangun fondasi peradaban Islam yang berpuast di
Madinah Al-Munawwarah dengan sentrum keagamaan di Makkah Al-
Muakarramah di mana Ka;bah berdiri dengan tegak sebagai pusat kiblat.

Dunia Islam sebelum mengalami kemunduran justru telah mengukir
kejayaan selama sekitar lima abad dari tahun 661 hingga 1258 Masehi.
Ketika bangsa-bangsa Eropa tengah tertidur lelap dalam selimut
kegelapan, kala itu peradaban Islam telah menjulang dan meluas hingga
ke belahan dunia Timur dan Barat. Itulah yang disebut era The Golden
Age. Masa keemasan dan kejayaan Islam. Sejarah mencatat, bahwa, Nabi
Muhammad bersama umat Islam selama 23 tahun telah berhasil meletakkan
dasar-dasar Islam yang sangat kokoh dan lebih dari itu membangun
fondasi peradaban Islam yang berpuast di Madinah Al-Munawwarah dengan
sentrum keagamaan di Makkah Al-Muakarramah di mana Ka;bah berdiri
dengan tegak sebagai pusat kiblat. Setelah Rasulullah wafat (12 Rabiul
Awwal tahun 11 H/ 632 M), pada perkembangan berikutnya umat Islam
mengalami fase baru dengan terbentuknya sistem kekhalifahan Islam yang
utama (Khulafa ar-Rasyidin) di bawah kepemimpinan Abu Bakar As-
Shiddiq, Khalifah Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib. Era kekhalifahan yang terkenal itu terbilang cukup singkat
yaitu sekitar 30 tahun (11-41 H/632-661 M), tetapi, berhasil membangun
tatanan kehidupan umat Islam yang cemerlang bukan hanya dalam
kehidupan keagamaan tetapi juga kekuasaan politik atau pemerintahan.
Itulah generasi ideal dalam tatanan pemerintahan Islam, kendati sejak
era Ustman dan Ali mulai muncul benih-benih konflik, yang memengaruhi
bagi tumbuhnya konflik soal kekuasaan Islam pada periode-periode
berikutnya.

Perluasan Islam dimulai pasca perang Yarmuk (13 H / 634 M) di
pinggiran sungai Yordania, ketika pasukan Islam di bawah pimpinan Abu
Bakar dan kemudian diteruskan Umar bin Khattab berhasil menaklukan
Syiria, Palestina, Mesir. Di zaman Umar bin Khattab perluasan Islam
bahkan berlanjut hingga ke Irak, Lybia, dan Persia di kawasan Timur.
Pasca Khulafa Ar-Rasyidin Islam bahkan mengalami ekspansi yang luar
biasa di era dinasti kekhalifahan Bani Umayyah (41-132 H/661-749 M),
Abbasiyah (132-656 H/749-1200 M), Mamluk (648-923 H/1250-15-17 M), dan
Utsmaniyah (923-1342H/1517-1923 M). Saat itu umat Islam mengalami
ekspansi yang luar biasa, kendati kekuasaan-kekuasaan baru tersebut
lebih bercorak dinasti ketimbang sistem yang lebih demokratis
sebagaimana zaman Klulafa Ar-Rasyidin.

Pada masa kekhalifahan Islam tersebut terutama di era Banu Umayyah
Islam berkembang hingga ke Afrika Barat dan Utara (negeri-negeri
Maghribi), ke belahan Timur seperti Persia, India, Cina, hingga Asia
Tenggara. Lebih dari itu, Islam juga meluas Asia Tengah hingga ke
daerah-daerah yang kini berada di wilayah Rusia dan sekitarnya, bahkan
meluas lagi ke Spanyol hingga ke Perancis bagian selatan dengan
melintasi pegunungan Baranes tetapi tertahan di Toulon. Dari perluasan
yang spektakuler itulah, kendati di abad tengah mengalami kemunduran.
Islam kemudian berkembang menjadi agama yang dipeluk jutaan umat
manusia di seluruh dunia hingga ke zaman modern yang kini jumlahnya
sekitar 1,4 milyar jiwa di seluruh dunia.

Masa kejayaan Islam yang berlangsung beberapa abad itu ditandai pula
oleh kemajuan di bidang ilmu pengetahuan yang luar biasa, ketika dunia
Barat pada saat itu tengah tertidur lelap dalam selimut kegelapan.
Pemikiran dan karyakarya di bidang fiqih, ilmu kalam atau filsafat,
kedokteran, aljabar atau ilmu berhitung, sastra, sejarah, sosiologi,
ilmu politik (siasah), arsitektur, dan sebagainya muncul secara
spektakuler di era itu. Pada masa kejayaan itu, muncul empat pemikir
mazhab Islam yakni Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi;i, dan
Imam Ibn Hanbal yang begitu terkenal. Lahir pula pemikir-pemikir besar
seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Al-Khawarizmi, Ibn
Maskaweih, Ibn Batuta, Ibn Khaldun, Al-Mawardi, Ibn Hayyan, Ar-Razi,
Al-Ghazali, Al-Asy;ari, Al-Maturidi, Al-Hallaj, dan sebagainya yang
tidak mungkin disebut satu persatu secara lebih lengkap, yang di
kemudian hari di antara buah pemikirannya dikaji dan memberi inspirasi
bagi pemikir-pemikir di dunia Barat setelah bangkit di era Renasains.

Dunia Islam kala itu sungguh maju ilmu pengetahuannya, sehingga
mengalami puncak peradaban Islam. Sejarah Islam memang penuh dinamika
pasang dan surut. Masa kejayaan Islam mulai redup bahkan sirna dan
tibalah masa kemunduran, terutama pasca kejatuhan kekuasaan Islam di
Spanyol tahun 1213 M dan Baghdad tahun 1258 M. Kendati setelah itu
sempat muncul tiga kekuasaan Islam yaitu kekhalifahan Ustmani di
Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India; namun umat Islam secara
umum telanjur mengalami kemunduran. Kemunduran itu terjadi baik di
bidang kehidupan agama, politik dan pemerintahan, ilmu pengetahuan,
maupun dalam kehidupan ekonomi dan sosial-budaya. Inilah masa
kemunduran Islam. Kemunduran di bidang agama ditandai oleh berbagai
praktik-praktik syirik, tahayul, bid;ah, dan khurafat terutama
pengaruh tentara Mongol dan Persia. Mekar pula praktik-praktik tasawuf
yang memperlemah etos hidup kaum muslimin. Tertutupnya pintu ijtihad
sehingga umat Islam terjebak pada taklid dan kejumudan.

Pada saat yang sama muncul berbagai konflik teologis yang merambat
pada konflik politik atau sebaliknya dengan munculnya golongan-
golongan radikal dan pembangkangan golongan Khawarij, Syi;ah, dan
sebagainya; yang memperlemah kekuatan Islam sebagai jamaah atau ummah.
Konflik paham ke-Islaman kendati sampai batas tertentu wajar adanya
namun ketika berkolaborasi dengan rezim pemerintahan dan kepentingan
politik kemudian menimbulkan disintegrasi umat Islam yang sangat
tajam, bahkan, tidak jarang diwarnai kekerasan dan pertumpahan darah.
Islam akhirnya kehilangan ruh atau spirit sebagai agama pembebasan dan
kemajuan.

Kemunduran di bidang politik pemerintahan terjadi dengan kehadiran
tentara asing (pasukan Mongol dan penjajah Barat) ke negeri-negeri
muslim. Ketika pemerintahan Islam mulai terpecah-pecah dan mengalami
kemunduran secara internal, pada saat itu kekuasaan imperium Bizantium
dengan semangat Perang Salib mulai bangkit memanfaatkan keadaan untuk
melakukan pukulan balik terhadap Islam. Pasukan Perang Salib (489-692
H/1095-1292 M) untuk merebut kembali Palestina yang mereka klaim
sebagai tempat kelahiran nabi dan agama Nasrani pada tahun 1095 Masehi
berhasil merebut kembali Palestina dan Mesir, mereka bahkan berhasil
mendirikan negara-negara kecil di wilayah Mediterania di bawah
proteksi Perancis dan Inggris sehingga, di kemudian hari berhasil
menancapkan kekuasaannya di seluruh jazirah Timur Tengah. Keberhasilan
pasukan Salib itu bahkan mampu menciptakan pemerintahan Islam yang
menjadi bonekanya pada masa pemerintahan Saljuq, yang kala itu, memang
tengah terbagibagi ke dalam kerajaan-kerajaan kecil. Kendati, pada
perang Hiththin tahun 583/1187 pasukan Salib dapat dipukul mundur oleh
pasukan Shalahuddin Al-Ayyubi dan berhasil mengembalikan Baitul Maqdis
dan sebagian wilayah Syam ke pangkuan Islam.

Sementara itu kekuasaan Islam di Afrika Utara (Maghribi) sedang berada
dalam penindasan rezim Muwahhidun dan tidak peduli dengan nasib umat
Islam yang mulai terpuruk. Namun, pasukan Islam di Spanyol juga mulai
mengalami tantangan berat dari pasukan Kristen, sehingga
terkonsentrasi di wilayahnya. Dinasti Mamluk secara keseluruhan tengah
berjuang keras mempertahankan Syiria, Palestina, Mesir, dan jazirah
sekitarnya dari gempuran pasukan Salib. Sedangkan orang-orang
Fathimiyah di Mesir kala itu juga mulai bersekutu dengan pejuang-
pejuang Kristen dari Eropa itu (Qamaruddin Khan, 1983: 36). Kekuasaan
dan kejayaan Islam seolah tengah menunggu keruntuhan. Selain itu,
Perang Salib kedua (649 H /1251 M) yang digelorakan Raja Perancis
Louis IX pada tahun dan invasi pasukan Napoleon di Mesir pasca
Revolusi Perancis tahun 1789 di wilayah Mesir dan Afrika, juga diikuti
oleh kehadiran penjajah Inggris dan Belanda di sejumlah dunia muslim
di Asia Barat, Selatan, dan Tenggara benar-benar kian menenggelamkan
peradaban Islam dan umat Islam. Umat Islam sedunia, termasuk di
jazirah Timur Tengah, tidak hanya mengalami kemunduran tetapi, juga
menjadi negeri-negeri taklukan atau jajahan sehingga benar-benar
berada dalam kejatuhan dan kehancuran. Dalam situasi yang dikepung
dari luar dan mengalami disintegrasi di dalam itulah maka peradaban
Islam berada dalam krisis.

Masa kejayaan telah sirna, kemudian datanglah era kemunduran dan
kejatuhan peradaban Islam. Namun, sejarah memang tidak bersifat garis
lurus. Di tengah kejatuhan peradaan Islam itu pula muncul spirit baru
untuk bangkit kembali. Di era itulah muncul pemikir dan gerakan
kebangkitan (pembaruan) Islam. Di zaman pertengahan lahir pemikir
besar sekaligus menjadi inspirator pembaruan yakni Ibn Taimiyyah.
Sedangkan di era modern abad ke-19 lahir mujadid Jamaluddin Al-Afghani
dan para pembaru lainnya hingga meluas ke Indonesia, antara lain
dengan hadirnya pembaru dari Kauman yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan yang
melahirkan Muhammadiyah.

Bagian Ke-3: Ibn Taimiyah (1263-1328)

Pasca kejatuhan kekhalifahan Islam di Baghdad tahun 1258 masehi, umat
Islam mengalami kemunduran panjang di berbagai sektor kehidupan hingga
tahun 1800 masehi ketika penjajahan asing (Barat) semakin meluas di
negeri-negeri muslim. Kendati begitu masih terdapat masa kebangkitan
pada periode tersebut, yakni, dalam fase tahun 1500-1700 masehi dengan
bangkitnya tiga kekuasaan besar Islam yaitu dinasti Ustmani di Turki,
Safawi di Persia, dan Mughal di India. Namun, dengan kondisi kejatuhan
kekuasaan Islam secara luas, penjajahan asing, dan kejumudan di bidang
agama, periode panjang itu boleh dikatakan sebagai masa kemunduran
peradaban Islam setelah selama sekitar empat abad (650-1258 M)
mengalami masa dan puncak keemasan. Lebih-lebih setelah perang Salib,
kondisi umat Islam mengalami pelemahan secara politik, di samping
mengalami krisis keagamaan.

Pada periode yang kritis itulah lahir para pembaru (mujadid) di
sejumlah negeri Muslim, salah satu yang paling awal dan menonjol ialah
Ibn Taimiyah. Nama lengkapnya Taqiyyuddin Ahmad Ibnu Taimiyah, lahir
di Harran, sebuah kota kecil di Syiria pada hari Senin 10 Rabiul Awwal
(sebagian pendapat tanggal 12 Rabiul Awwal) tahun 661 hijriyah
bertepatan tahun 1263 Miladiyah) dan meninggal di penjara Damaskus
pada hari Ahad malam tanggal 20 Dzulqa‘dah tahun 728 H (1328 M).
Ayahnya bernama Syihabuddin, seorang ahli Hadits dan menjadi Khatib
terkenal di Masjid Besar Damaskus. Pamanya, Fakhruddin, juga seorang
ulama dan penulis yang masyhur di Damaskus. Kepada ayah dan pamannya
itulah Ibn Taimiyah menimba ilmu, untuk kemudian belajar ke guru dan
tempat lain setelah keluar dari Harran. Di kota Harran yang memiliki
tradisi keilmuan tinggi itulah Ibn Taimiyah menghabiskan masa kecilnya
selama enam tahun hingga kemudian pindah (mengungsi) ke Damaskus (ibu
kota Syam kala itu atau Syiria saat ini) karena serangan tentara
Mongol (Tartar) yang membabibuta ke kota kelahirannya itu. Di Ibukota
Syiria itulah Ibn Taimiyah mengasah ilmunya dan berkenalan secara
intensif dengan pemikiran Imam Ibn Hanbal atau mazhab Hanbali, yang
sejak lama di kota itu memang sudah berdiri lembaga pendidikan Hanbali
yang termasyhur yang didirikan oleh Abu Faraj Abdul Wahid Al-Faqih,
seorang murid qadhi Mazhab Hanbali yang ternama yaitu Abu Ya;la yang
hidup di akhir abad kelima hijriyah. Ibn Taimiyah memang sering
dihubungkan dengan penerus dan pemikir yang memiliki kaitan dengan
mazhab Hanbali. Pemikirannya untuk menghidupkan kembali ajaran salaf
al-shalih (tiga generasi terbaik sesudah Nabi) yang membawa misi
pemurnian akidah yang sering diklaim sebagai golongan yang selamat
(firqah najiyah) sebagaimana pesan Nabi mengenai lahirnya berbagai
golongan dalam Islam.

Gerakan untuk menghidupkan ajaran Salafiyah yang murni itulah yang
membawa persentuhan Ibn Taimiyah dengan mazhab Hanbali yang sejak awal
menggelorakan salafiyah. Karena itu, hingga batas tertentu, gerakan
salafiyah bahkan memperoleh napas baru di tangan Syeikh al-Islam Ibn
Taimiyah, yang menampilkan pemikiran dan gerakannya dengan begitu
cerdas dan cemerlang. Pemikirannya selain tentang tauhid, tafsir,
hadits, dan fiqih yang begitu luas dan mendalam, juga tentang politik
sebagaimana termaktub antara lain dalam karya utamanya As-Siyasah As-
Syar‘iyyah. Dia sangat keras pula menentang tasawuf, terutama
yang membawa paham wihdat al-wujud atau phanteisme. Dia juga pendobrak
pintu ijtihad yang ditutup rapat kala itu. Disinilah Ibn Taimiyah
menjadi sosok ulama dan pemikir besar yang menonjol dalam
menggelorakan gerakan Kembali pada Al-Qur;an dan As-Sunnah; (al-ruju;
ila al-Qur;an wa al-Sunnah), yang dikenal pula dengan gerakan
pemurnian Islam.

Gerakan pemurnian Islam yang dipelopori Ibn Taimiyah dan kemudian
mengilhami gerakan-gerakan pembaruan Islam babak berikutnya, memang
dinisbatkan pada ajaran Salaf al-Shalih, yakni ajaran Islam yang
dipraktikkan dan dianut di zaman Nabi, sahabat, tabi‘in, dan
tabi’ut tabi‘in hingga abad ke-3 hijriyah, yang dikenal
pula dengan gerakan Islam aseli (Harun Nasution, 2001: 19). Islam asli
atau murni tersebut belum tercemar oleh praktik-praktik syirk
(kemusyrikan), bid‘ah, tahayul, dan khurafat; yang di lingkungan
Muhammadiyah dikenal dengan TBC (Tahayul, Bid;ah, dan Churafat). Ibn
Taimiyah, sebagaimana Imam Ibn Hanbal dan madzhab Hanbali, memang
sosok yang cukup keras dalam menggelorakan pemurnian Islam tersebut.
Hal tersebut karena situasi kehidupan umat Islam kala itun memang
tengah berada dalam situasi penuh krisis. Dia berada di tengah zaman
ketika Islam yang autentik banyak tercemar oleh berbagai penyimpangan,
sehingga gerakan kembali pada Al-Qur;an dan As-Sunnah; yang
dikumandangkannya memang sangat kontekstual dengan zaman kritis saat
itu. Ketika itu (abad ke-7 dan ke-8 hijriyah), kala Ibn Taimiyah hadir
di pentas sejarah umat Islam yang penuh gejolak, umat Islam di Timur
(Baghdad) tengah berada dalam penguasaan tentara Mongol, yang sebagian
tentaranya banyak yang masuk Islam dan berpengaruh dalam kehidupan
penduduk Muslim saat itu, tetapi lebih banyak formalitas untuk
kepentingan politik. Lebih jauh lagi, timbul pencampuradukan praktik-
praktik Islam yang berbau TBC, sehingga Islam menjadi agama yang
diterlantarkan dan kehilangan kemurniannya sebagaimana zaman Nabi dan
generasi salaf. Pada masa itu pula kaum Muslimin tengah berhadapan
selain dengan pasukan Mongol, juga ekspansi Kristen dan penjajah
Eropa, serta di dalam terjadi perpecahan kekuasaan di tubuh umat Islam
sendiri (Qamaruddin Khan, 1971: 34). Dinasti Mamluk yang tengah
memegang tampuk kekhilafahan Islam tengah dilanda krisis, lebih-lebih
setelah kedatangan atau invasi tentara Mongol dan kebangkitan kembali
kekuasaan Bizantium untuk melakukan balas dendam melalui Perang Salib
guna merebut kembali Palestina dan daerah-daerah sekitarnya yang dulu
menjadi wilayah kekuasaannya ketika dulu ditaklukan Islam pada zaman
Khalifah Umar bin Khattab. Di era krisis itu pula Ibn Taimiyah
beberapa kali terjun ke medan perang membela Islam dan umat Islam,
sehingga dia pun bukan sekadar mujtahid tetapi juga mujahid Islam. Ibn
Taimiyah, selain menyuarakan kembali pada Islam generasi Salaf, juga
memelopori dibukanya pintu ijtihad. Jadi tidak semata-mata kembali ke
Islam murni, tetapi, juga mengajak tajdid atau pembaruan di tubuh umat
Islam kala itu. Dia bukan hanya fuqaha (yuris) yang menonjol, tetapi,
juga teolog terbesar abad tengah, sehingga dijuluki sebagai Syeikh al-
Islam. Lebih dari itu, Ibn Taimiyah bahkan dijuluki sebagai ;mujadid;
atau pembaru ternama di dunia Islam. Ratusan karya tulisnya luar
biasa, baik dalam bentuk makhthuthat (manuskrip) maupun risalah atau
buku, juga syair, sehingga merupakan pemikir dan tokoh paling menonjol
dalam sejarah pemikiran Islam klasik. Adz-Dzhaby seperti dikutip Ali
Sami An-Nasyyar (1995: vi-vii) melukiskan Ibn Taimiyah sebagai figur
pembaca yang berhasil, mahir dalam ilmu hadits dan fiqih pada usia
relatif muda, ahli tafsir, ushul fiqih, dan seluruh ilmu ke-Islaman
secara global, kecuali ilmu qiraat. Dia juga menguasai filsafat
sehingga mampu membongkar kelemahan filsafat, juga menguasai secara
sempurna masalah lughah, nahwu, dan sharaf. Dialah sosok mujtahid
muthlaq yang besar.

Dalam situasi Islam dan umat Islam yang terpuruk itulah Ibn Taimiyah
mengumandangkan gerakan pemurnian dan pembaruan Islam. Gerakan
tersebut membawa konsekuensi pula pada pergesekan Ibn Taimiyah dengan
sesama ulama dan penguasa di sejumlah negeri Muslim kala itu terutama
di Syiria dan sekitarnya (Mesir, Libanon, dan Palestina), lebih-lebih
karena pembawaannya yang keras dan tajam. Karena itu tercatat pula
bahwa Ibn Taimiyah semasa hidupnya penuh pergulatan, bahkan
persengketaan paham dengan ulama dan pemerintah di era dinasti
kekhalifahan kala itu, sehingga mengalami mihnah (penghakiman karena
perbedaan pandangan oleh penguasa atau kekuatan dominan) yang membuat
dirinya menjadi korban dan beberapa kali dipenjara. Kondisi yang penuh
gesekan dengan ulama pendukung kekuasaan dan yang sejak awal tidak
sepaham dengan Madzhab Hanbali, selain dengan penguasa Islam kala itu,
menghantarkannya pada nasib buruk hingga dipenjara beberapa kali. Di
penjara itu pula, di kota Damaskus, pada tanggal 20 Dzulqa;idah 1328
Hijriyah, syeikh al-Islam sang pembaru dari Harran itu wafat.

Kendati nasibnya tragis sebagai korban kesewenang-wenangan rezim ulama
dan penguasa kala itu, namun namanya harum hingga saat ini sebagai
sosok pembaru dan pelopor kembangkitan Islam yang sangat ternama dan
cemerlang di dunia Islam.


Sumber : Kontribusi dari : Dr. Haedar Nashir
Muhammadiyah Online
http://www.muhammadiyah.or.id
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages