La Guruda
unread,Jul 1, 2010, 10:41:54 AM7/1/10Sign in to reply to author
Sign in to forward
You do not have permission to delete messages in this group
Either email addresses are anonymous for this group or you need the view member email addresses permission to view the original message
to UMB Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
Kiriman dari : Muh.Fadli Rusli.
Sahabat Rasulullah, pernah pula langsung berdakwah di Nusantara.
Melacak sejarah masuknya Islam ke Indonesia bukanlah urusan mudah. Tak
banyak jejak yang bisa dilacak. Ada beberapa pertanyaan awal yang bisa
diajukan untuk menelusuri kedatangan Islam di Indonesia. Beberapa
pertanyaan itu adalah, darimana Islam datang? Siapa yang membawanya
dan kapan kedatangannya?
Ada beberapa teori yang hingga kini masih sering dibahas, baik oleh
sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri.
Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Timur
Jauh termasuk ke Nusantara.
Teori pertama diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam
masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-
tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal
masuknya Islam di Nusantara.Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises,
Snouck mengatakan teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak
terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-
masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan,
teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara
wilayah Nusantara dengan daratan India.Sebetulnya, teori ini
dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari
Universitas Leiden. Namun, nama Snouck Hurgronje yang paling besar
memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya adalah, karena
Snouck dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam. Teori ini diikuti
dan dikembangkan oleh banyak sarjana Barat lainnya.
Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai
tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan
budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan
penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang
dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu
asulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula
tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan
Husein. Ada pula pendukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan
bahasa yang diyakini datang dari Iran. Misalnya jabar dari zabar, jer
dari ze-er dan beberapa yang lainnya.Teori ini menyakini Islam masuk
ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang dijamah
adalah Samudera Pasai.
Kedua teori di atas mendatang kritikan yang cukup signifikan dari
teori ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa
Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau
Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13,
melainkan pada awal abad ke-7. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk
ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa khulafaur
rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspidesinya ke Nusantara
ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali
bin Abi Thalib memegang kendali sebagai amirul mukminin.Bahkan sumber-
sumber literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7,
sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di
perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim
dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk komunitas-komunitas
Muslim. Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu
disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta
Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31
Hijirah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang
dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul
Mukminin. Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa
mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti
kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa
kepemimpinan Utsman bin Affan. Biasanya, para pengembara Arab ini tak
hanya berlayar sampai di Cina saja, tapi juga terus menjelajah sampai
di Timur Jauh, termasuk Indonesia. Jauh sebelum penjelajah dari Eropa
punya kemampuan mengarungi dunia, terlebih dulu pelayar-pelayar dari
Arab dan Timur Tengah sudah mampu melayari rute dunia dengan
intensitas yang cukup padat. Ini adalah rute pelayaran paling panjang
yang pernah ada sebelum abad 16. Hal ini juga bisa dilacak dari
catatan para peziarah Budha Cina yang kerap kali menumpang kapal-kapal
ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 untuk pergi
ke India. Bahkan pada era yang lebih belakangan, pengembara Arab yang
masyhur, Ibnu Bathutah mencatat perjalanannya ke beberapa wilayah
Nusantara. Tapi sayangnya, tak dijelaskan dalam catatan Ibnu Bathutah
daerah-daerah mana saja yang pernah ia kunjungi.
Kian tahun, kian bertambah duta-duta dari Timur Tengah yang datang ke
wilayah Nusantara. Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta
Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke
negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa
perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton.Tentu saja, tak hanya ke
negeri Cina perjalanan dilakukan. Beberapa catatan menyebutkan duta-
duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau Sribuza atau yang lebih kita
kenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sangat bisa diterima karena
zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu
ekspedisi yang akan menuju ke Cina tanpa melawat terlebih dulu ke
Sriwijaya. literatur kuno Arab yang berjudul Aja’ib al Hind yang
ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuzi pada tahun 1000
memberikan gambaran bahwa ada perkampungan-perkampungan Muslim yang
terbangun di wilayah Kerajaan Sriwijaya.
Hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di Timur Tengah terus
berlanjut hingga di masa khalifah Umar bin Abdul Azis. Ibn Abd Al
Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid yang dikutip oleh Azyumardi Azra
dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII menyebutkan ada proses korespondensi yang berlangsung
antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah yang
terkenal adil tersebut. “Dari Raja di Raja [Malik al Amlak] yang
adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu raja;
yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di
wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu
wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga
menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan
tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda
hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak,
tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada
saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan
menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya,” demikian antara lain
bunyi surat Raja Sriwijaya Sri Indravarman kepada Khalifah Umar bin
Abdul Azis.
Diperkirakan hubungan diplomatik antara kedua pemimpin wilayah ini
berlangsung pada tahun 100 hijriah atau 718 masehi.Tak dapat diketahui
apakah selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau tidak. Tapi
hubungan antara Sriwijaya Dan pemerintahan Islam di Arab menjadi
penanda babak baru Islam di Indonesia.
Jika awalnya Islam masuk memainkan peranan hubungan ekonomi dan
dagang, maka kini telah berkembang menjadi hubungan politik keagamaan.
Dan pada kurun waktu ini pula Islam mengawali kiprahnya memasuki
kehidupan raja-raja dan kekuasaan di wilayah-wilayah Nusantara. Pada
awal abad ke-12, Sriwijaya mengalami masalah serius yang berakibat
pada kemunduran kerajaan. Kemunduran Sriwijaya ini pula yang
berpengaruh pada perkembangan Islam di Nusantara. Kemerosotan ekonomi
ini pula yang membuat Sriwijaya menaikkan upeti kepada kapal-kapal
asing yang memasuki wilayahnya. Dan hal ini mengubah arus perdagangan
yang telah berperan dalam penyebaran Islam. Selain Sabaj atau Sribuza
atau juga Sriwijaya disebut-sebut telah dijamah oleh dakwah Islam,
daerah-daerah lain di Pulau Sumatera seperti Aceh dan Minangkabau
menjadi lahan dakwah. Bahkan di Minangkabau ada tambo yang mengisahkan
tentang alam Minangkabau yang tercipta dari Nur Muhammad. Ini adalah
salah satu jejak Islam yang berakar sejak mula masuk ke Nusantara. Di
saat-saat itulah, Islam telah memainkan peran penting di ujung Pulau
Sumatera. Kerajaan Samudera Pasai menjadi kerajaan Islam pertama yang
dikenal dalam sejarah. Namun ada pendapat lain dari Prof. Ali Hasjmy
dalam makalahnya pada Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Aceh yang digelar pada tahun 1978.
Menurut Ali Hasjmy, kerajaan Islam pertama adalah Kerajaan Perlak.
Masih banyak perdebatan memang, tentang hal ini. Tapi apapun, pada
periode inilah Islam telah memegang peranan yang signifikan dalam
sebuah kekuasaan. Pada periode ini pula hubungan antara Aceh dan
kilafah Islam di Arab kian erat. Selain pada pedagang, sebetulnya
Islam juga didakwahkan oleh para ulama yang memang berniat datang dan
mengajarkan ajaran tauhid. Tidak saja para ulama dan pedagang yang
datang ke Indonesia, tapi orang-orang Indonesia sendiri banyak pula
yang hendak mendalami Islam dan datang langsung ke sumbernya, di
Makkah atau Madinah. Kapal-kapal dan ekspedisi dari Aceh, terus
berlayar menuju Timur Tengah pada awal abad ke-16. Bahkan pada tahun
974 hijriah atau 1566 masehi dilaporkan, ada lima kapal dari Kerajaan
Asyi (Aceh) yang berlabuh di bandar pelabuhan Jeddah.
Ukhuwah yang erat antara Aceh dan kekhalifahan Islam itu pula yang
membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Makkah. Puncak hubungan baik
antara Aceh dan pemerintahan Islam terjadi pada masa Khalifah
Utsmaniyah. Tidak saja dalam hubungan dagang dan keagamaan, tapi juga
hubungan politik dan militer telah dibangun pada masa ini. Hubungan
ini pula yang membuat angkatan perang Utsmani membantu mengusir
Portugis dari pantai Pasai yang dikuasai sejak tahun 1521. Bahkan,
pada tahun-tahun sebelumnya Portugis juga sempat digemparkan dengan
kabar pemerintahan Utsmani yang akan mengirim angkatan perangnya untuk
membebaskan Kerajaan Islam Malaka dari cengkeraman penjajah.
Pemerintahan Utsmani juga pernah membantu mengusir Parangi (Portugis)
dari perairan yang akan dilalui Muslim Aceh yang hendak menunaikan
ibadah haji di tanah suci.
Selain di Pulau Sumatera, dakwah Islam juga dilakukan dalam waktu yang
bersamaan di Pulau Jawa. Prof. Hamka dalam Sejarah Umat Islam
mengungkapkan, pada tahun 674 sampai 675 masehi duta dari orang-orang
Ta Shih (Arab) untuk Cina yang tak lain adalah sahabat Rasulullah
sendiri Muawiyah bin Abu Sofyan, diam-diam meneruskan perjalanan
hingga ke Pulau Jawa. Muawiyah yang juga pendiri Daulat Umayyah ini
menyamar sebagai pedagang dan menyelidiki kondisi tanah Jawa kala itu.
Ekspedisi ini mendatangi Kerajaan Kalingga dan melakukan pengamatan.
Maka, bisa dibilang Islam merambah tanah Jawa pada abad awal
perhitungan hijriah.Jika demikian, maka tak heran pula jika tanah Jawa
menjadi kekuatan Islam yang cukup besar dengan Kerajaan Giri, Demak,
Pajang, Mataram, bahkan hingga Banten dan Cirebon.
Proses dakwah yang panjang, yang salah satunya dilakukan oleh Wali
Songo atau Sembilan Wali adalah rangkaian kerja sejak kegiatan
observasi yang pernah dilakukan oleh sahabat Muawiyah bin Abu Sofyan.
Peranan Wali Songo dalam perjalanan Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
sangatlah tidak bisa dipisahkan. Jika boleh disebut, merekalah yang
menyiapkan pondasi-pondasi yang kuat dimana akan dibangun pemerintahan
Islam yang berbentuk kerajaan. Kerajaan Islam di tanah Jawa yang
paling terkenal memang adalah Kerajaan Demak. Namun, keberadaan Giri
tak bisa dilepaskan dari sejarah kekuasaan Islam tanah Jawa.
Sebelum Demak berdiri, Raden Paku yang berjuluk Sunan Giri atau yang
nama aslinya Maulana Ainul Yaqin, telah membangun wilayah tersendiri
di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur. Wilayah ini dibangun menjadi
sebuah kerajaan agama dan juga pusat pengkaderan dakwah. Dari wilayah
Giri ini pula dihasilkan pendakwah-pendakwah yang kelah dikirim ke
Nusatenggara dan wilayah Timur Indonesia lainnya. Giri berkembang dan
menjadi pusat keagamaan di wilayah Jawa Timur. Bahkan, Buya Hamka
menyebutkan, saking besarnya pengaruh kekuatan agama yang dihasilkan
Giri, Majapahit yang kala itu menguasai Jawa tak punya kuasa untuk
menghapus kekuatan Giri.
Dalam perjalanannya, setelah melemahnya Majapahit, berdirilah Kerajaan
Demak. Lalu bersambung dengan Pajang, kemudian jatuh ke Mataram. Meski
kerajaan dan kekuatan baru Islam tumbuh, Giri tetap memainkan
peranannya tersendiri. Sampai ketika Mataram dianggap sudah tak lagi
menjalankan ajaran-ajaran Islam pada pemerintahan Sultan Agung, Giri
pun mengambil sikap dan keputusan. Giri mendukung kekuatan Bupati
Surabaya untuk melakukan pemberontakan pada Mataram. Meski akhirnya
kekuatan Islam melemah saat kedatangan dan mengguritanya kekuasaan
penjajah Belanda, kerajaan dan tokoh-tokoh Islam tanah Jawa memberikan
sumbangsih yang besar pada perjuangan. Ajaran Islam yang salah satunya
mengupas makna dan semangat jihad telah menorehkan tinta emas dalam
perjuangan Indonesia melawan penjajah. Tak hanya di Jawa dan Sumatera,
tapi di seluruh wilayah Nusantara.
Muslim Indonesia mengantongi sejarah yang panjang dan besar. Sejarah
itu pula yang mengantar kita saat ini menjadi sebuah negeri Muslim
terbesar di dunia. Sebuah sejarah gemilang yang pernah diukir para
pendahulu, tak selayaknya tenggelam begitu saja. Kembalikan izzah
Muslim Indonesia sebagai Muslim pejuang. Tegakkan kembali kebanggaan
Muslim Indonesia sebagai Muslim bijak, dalam dan sabar.
Kita adalah rangkaian mata rantai dari generasi-generasi tangguh dan
tahan uji. Maka sekali lagi, tekanan dari luar, pengkhianatan dari
dalam, dan kesepian dalam berjuang tak seharusnya membuat kita lemah.
Karena kita adalah orang-orang dengan sejarah besar. Karena kita
mempunyai tugas mengembalikan sejarah yang besar. Wallahu a’lam.
(Oleh Herry Nurdi/Sabili)