Perlakuan Negara Khilafah Terhadap Non Muslim

39 views
Skip to first unread message

daulah.khilaf...@gmail.com

unread,
Jan 29, 2009, 12:35:18 AM1/29/09
to Daulah.Khilafah.Islamiyyah
Masih banyak orang yang menganggap bahwa penerapan hukum Islam atas
non-Muslim hanya berujung pada kerusuhan, pertumpahan darah, dan
perpecahan. Ada ketakutan di kalangan non-Muslim, seolah-olah hidup di
bawah naungan hukum Islam akan menjadi awal kehancuran kehidupan
mereka. Di Dunia Islam, ketakutan ini dimanfaatkan untuk
menjustifikasi diambilnya langkah-langkah keras untuk menangani
aktivis Muslim yang menyerukan penerapan hukum syariat dengan
menegakkan Negara Khilafah.

Negara-negara Barat imperialis, bersama-sama dengan media dan para
penguasa di Dunia Islam yang menjadi antek-antek mereka, dibarengi
dengan pengawasan ketat terhadap para pengemban dakwah, memanfaatkan
isu-isu seperti penerapan hukum syariat untuk mengolok-olok dan
menyerang gagasan penerapan Islam. Mereka masih khawatir jika hukum
syariat Islam diterapkan secara benar, hal ini akan melahirkan negara
yang keadidayaannya tidak pernah tersaingi oleh negara manapun.
Bersatunya begitu banyak orang, dengan latar belakang yang sangat
beragam tidak pernah terjadi kecuali di era Khilafah.

Karena itu, kita paham, mengapa negara-negara Barat imperialis
memiliki agenda untuk merusak citra Islam, (yaitu) supaya Islam tidak
dipandang sebagai alternatif bagi ideologi Kapitalis. Untuk memperoleh
gambaran yang jernih perihal nasib orang-orang non-Muslim dalam Negara
Khilafah, harus dijelaskan kepada kaum Muslim maupun non Muslim,
bagaimana Negara Khilafah memperlakukan orang-orang non Muslim yang
ada di wilayah kekuasaan Negara Khilafah Islam. Ini diperlukan, agar
kekhawatiran dan kesalahpahaman berbagai pihak bisa hilang dengan
sendirinya, sekaligus dapat meng-counter berbagai tuduhan keji dari
musuh-musuh Islam yang tidak suka dengan kembali diterapkannya syariat
Islam.

Non-Muslim adalah Ahlu Dzimmah

Allah Swt menurunkan syariat Islam kepada Rasulullah saw sebagai
rahmat bagi seluruh umat manusia, apapun warna kulit, agama, ras, dan
segala latar belakang mereka.

Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi
rahmat bagi semesta alam. (TQS. al-Anbiya [21]: 107)

Jika kita kaji syariat dengan baik, maka kita akan melihat betapa
syariat Islam telah memberikan panduan rinci bagaimana menangani
urusan kaum Muslim, juga non-Muslim, yang hidup di bawah naungan
Negara Khilafah. Penerapan syariat terhadap non-Muslim merupakan
metode praktis dakwah Islam kepada non-Muslim. Adakah cara yang lebih
baik bagi non-Muslim untuk melihat kebenaran Islam selain dengan hidup
berdasarkan sistem Islam itu sendiri, dan mengalami kedamaian dan
keadilan hukum Allah Swt?

Dalam hukum Islam, warganegara Khilafah yang non-Muslim disebut
sebagai dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti
“kewajiban untuk memenuhi perjanjian”. Islam menganggap semua orang
yang tinggal di Negara Khilafah sebagai warganegara Negara Islam, dan
mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada
diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan
melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda
mereka.

Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:

“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan
keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi
surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”.
(HR. Ahmad)

Imam Qarafi menyinggung masalah tanggung jawab negara terhadap ahlu
dzimmah. Ia menyatakan, “Kaum Muslim memiliki tanggung jawab terhadap
para ahlu dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin
mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian,
memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka
dalam kehidupan bertetangga, sekalipun kaum Muslim memang memiliki
posisi yang lebih tinggi dari mereka. Umat Islam juga harus memberikan
masukan-masukan pada mereka berkenaan dengan masalah yang mereka
hadapi dan melindungi mereka dari siapa pun yang bermaksud menyakiti
mereka, mencuri dari mereka, atau merampas hak-hak mereka.”

T.W. Arnold, dalam bukunya The Preaching of Islam, menuliskan
bagaimana perlakuan yang diterima oleh non-Muslim yang hidup di bawah
pemerintahan Daulah Utsmaniyah. Dia menyatakan, “Sekalipun jumlah
orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi
Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada
mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat
mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen”.

Arnold kemudian menjelaskan; “Perlakuan pada warga Kristen oleh
pemerintahan Ottoman -selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan
Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya
tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan
Transilvania, serta negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian
menggantikan kedua negara tersebut juga lebih suka tunduk pada
pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang
fanatik; kaum protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah
Turki, dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada
hukum Islam… kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan
selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan
kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”

Kategori non-Muslim

Syariat Islam berlaku untuk semua ahlu dzimmah. Ahlu dzimmah mencakup
seluruh mu’ahid (orang-orang yang terikat perjanjian dengan Negara
Khilafah) dan musta’min (individu yang memasuki wilayah Negara
Khilafah dengan ijin), selain dari para diplomat yang diperlakukan
berdasarkan perjanjian bersama dengan negara lain.

Ada dua kategori ahlu dzimmah. Pertama adalah Ahli Kitab, dan kategori
kedua adalah umat-umat agama lainnya. Ahli Kitab terdiri atas umat
Yahudi dan Kristen. Syariat menyatakan bahwa umat Islam diperbolehkan
memakan binatang-binatang sembelihan mereka, dan para lelaki Muslim
diperbolehkan menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab. Sementara umat
agama lainnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan Ahli Kitab,
namun binatang sembelihan mereka tidak boleh dimakan oleh umat Islam,
dan perempuan-perempuan mereka tidak boleh dinikahi oleh lelaki
Muslim. Bukti untuk hal ini ialah:

Non-Muslim Berhak Menjalankan Kepercayaan Mereka

Allah Swt menyatakan:

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (TQS. al-Baqarah
[2]: 256)

Ayat tersebut menyatakan bahwa Negara Islam tidak diperbolehkan
memaksa orang-orang non-Islam untuk meninggalkan kepercayaan mereka.
Namun umat non-Muslim harus menerima Islam bila telah meyakini akidah
Islam secara intelektual. Ini terbukti melalui fakta bahwa hingga hari
ini masih ada komunitas Yahudi dan Kristen yang tinggal di kawasan
Timur Tengah walaupun Negara Islam telah berkuasa di kawasan tersebut
selama 1300 tahun.

Kita melihat penerapan peraturan ini secara praktis selama masa
pemerintahan Khilafah Utsmaniyah. T.W. Arnold dalam bukunya The
Preaching of Islam, menyatakan bahwa Uskup Agung Kristen dan Sinoda
Agung bebas memutuskan segala hal yang berkenaan dengan keyakinan dan
dogma tanpa menerima intervensi apapun dari negara. Hal ini justru
tidak pernah terjadi pada masa pemerintahan para Kaisar Byzantium.

Non-Muslim Mengikuti Aturan Agama Mereka dalam Hal Makanan dan Pakaian

Dalam hal makanan dan pakaian, umat non-Muslim berhak mengikuti aturan
agama mereka tentang tata kehidupan publik.

Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: “Islam membolehkan ahlu dzimmah
meminum minuman keras, memakan daging babi, dan menjalankan segala
aturan agama mereka dalam wilayah yang diatur oleh syariat.”

Maka, selama hal tersebut dilakukan secara privat dan tidak dilakukan
di ruang publik, Negara Islam tidak punya urusan untuk mengusik
masalah-masalah pribadi mereka. Namun bila, misalnya seorang ahlu
dzimmah membuka toko yang menjual minuman keras, maka dia akan dihukum
berdasarkan aturan syariat Islam.

Urusan Pernikahan dan Perceraian Antar Non-Muslim Dilakukan Menurut
Aturan Agama Mereka

Umat non-Islam diijinkan untuk saling menikah antar mereka berdasarkan
keyakinannya. Mereka dapat dinikahkan di Gereja atau Sinagog oleh
Pendeta atau Rabbi. Mereka juga dapat bercerai menurut aturan agama
mereka.

Syariat membolehkan seorang lelaki Muslim untuk menikahi perempuan
Ahli Kitab. Al-Qur’an menyatakan:

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu
halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-
Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya, dan ia di
hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (TQS. al-Maidah [5]: 5 )

Dengan demikian, maka masalah pernikahan, perceraian, dan masalah-
masalah keluarga lainnya, termasuk anak-anak, harus diurus berdasarkan
syariat Islam.

Non-Muslim Wajib Mengikuti Syariat Islam dalam Masalah Hubungan Sosial
Kemasyarakatan

Masalah lain dan aturan-aturan lain yang digariskan syariat Islam,
seperti sistem sanksi, sistem peradilan, sistem pemerintahan, ekonomi,
dan kebijakan luar negeri, diterapkan oleh Negara Islam pada semua
orang secara sama, tanpa memandang Muslim atau non-Muslim.

Sistem Sanksi

Muslim dan non-Muslim wajib dikenakan hukuman karena kejahatan yang
mereka lakukan berdasarkan hukum Islam. Beberapa contoh di bawah ini
jelas menunjukkan hal tersebut.

· Nabi Muhammad saw bersabda: “Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad
mencuri, akan kupotong tangannya.”

· Umar bin Khaththab ra menghukum puteranya sendiri ketika ia menjabat
sebagai Khalifah.

· Ibnu Umar meriwayatkan: “Dua orang Yahudi didakwa karena berzina dan
dibawa ke hadapan Nabi saw, beliau kemudian memerintahkan agar mereka
dirajam.”

· Anas meriwayatkan: “Seorang Yahudi membunuh seorang gadis dengan
batu, Rasulullah saw pun kemudian membunuhnya.”

· Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: “Bila seorang Muslim membunuh
siapapun dari kalangan ahlu dzimmah, maka dia wajib dihukum dengan
dibunuh pula, ini berlaku baik pada perempuan maupun lelaki.”

Sistem Peradilan

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (TQS. al-Maidah [5]: 8 )

Di mata hukum, tidak ada perbedaan antara non-Muslim dengan Muslim.
Hakim (qadli) wajib mencermati pembuktian yang disyaratkan menurut
syariat semata, bukan menurut aturan lain. Ada banyak contoh yang
menunjukkan bagaimana non-Muslim dapat mengalahkan seorang Muslim di
pengadilan.

Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, sejumlah Muslim menyerobot
tanah yang dimiliki oleh seorang Yahudi dan mendirikan masjid di atas
tanah tersebut. Ini jelas melanggar hak Yahudi tersebut sebagai ahlu
dzimmah. Umar kemudian memerintahkan agar masjid tersebut dirubuhkan
dan tanah tersebut dikembalikan pada orang Yahudi tersebut.

Dalam kasus lainnya, pada masa pemerintahan Imam Ali, seorang Yahudi
mencuri baju zirah milik Khalifah. Ali kemudian mengadukan Yahudi
tersebut ke pengadilan dan membawa puteranya sebagai saksi. Hakim
menolak gugatan sang Khalifah, dan menyatakan bahwa seorang anak tidak
dapat dijadikan saksi dalam perkara yang melibatkan ayahnya di
pengadilan. Setelah menyaksikan keadilan tersebut, si Yahudi kemudian
mengaku bahwa ia memang mencuri baju tersebut dan kemudian memeluk
Islam.

Sistem Ekonomi

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang
telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan
agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-
Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh,
sedang mereka dalam keadaan tunduk. (TQS. at Taubah [9]: 29)

Non-Muslim wajib membayar pungutan tahunan yang disebut jizyah.
Sebagai balasannya, Negara Khilafah berkewajiban melindungi mereka.
Ali menyatakan, “Dengan dibayarkannya jizyah, maka harta mereka sama
nilainya dengan harta kita, dan darah mereka pun seperti darah kita.”

Jizyah diambil dari orang-orang dewasa yang sehat akalnya. Jizyah
tidak dikenakan pada anak kecil, orang gila, atau wanita. Besaran
jizyah tidak diatur secara pasti, namun diserahkan pada opini dan
ijtihad Khalifah. Khalifah wajib mempertimbangkan aspek-aspek
kesejahteraan dan kemiskinan, sehingga tidak memberatkan kaum dzimmi.

Rasulullah saw pernah mengangkat Abdullah bin Arqam untuk mengurusi
masalah jizyah para ahlu dzimmah, dan kala beliau hendak beranjak
pergi, Nabi saw memanggilnya kembali dan menyatakan, “Siapapun yang
menindas seseorang yang terikat perjanjian (mu’ahid), atau
membebaninya melebihi kemampuannya dan menyakitinya, atau mengambil
apapun yang menjadi haknya tanpa keikhlasan darinya, maka aku akan
menuntut orang (penindas) tersebut pada Hari Perhitungan.” (HR. Abu
Dawud)

Sebagai contoh, jizyah pada masa Umar bin Khaththab adalah sebagai
berikut:

* 4 dinar untuk golongan kaya (setara £108,00)
* 2 dinar untuk golongan menengah (setara £54,00)
* 1 dinar untuk golongan miskin (setara £27,00)

Pungutan ini tidak sama dengan pajak, seperti sistem perpajakan yang
amat menindas saat ini. Secara finansial, kesejahteraan ahlu dzimmah
terjaga di bawah Negara Islam, dan mereka pun berhak menggarap
berbagai bisnis dan melakukan perdagangan.

Cecil Roth, dalam bukunya The House of Nasi: Dona Gracia, menyatakan
bahwa perlakuan pada kaum Yahudi di bawah pemerintahan Ottoman telah
menarik perhatian kaum Yahudi dari berbagai negeri Eropa Barat.
Wilayah Islam pun menjadi lahan emas. Dokter-dokter Yahudi dari
Akademi Salanca dipekerjakan untuk mengurusi Sultan dan para Wazir. Di
berbagai tempat, industri pembuatan gelas dan penempaan logam menjadi
bidang-bidang yang dimonopoli kaum Yahudi, dengan pengetahuan mereka
dalam penguasaan bahasa asing, mereka merupakan kompetitor utama bagi
para pedagang Venesia.

Hukum syariat menyatakan: “Non-Muslim dari kalangan Ahli Kitab
memiliki hak yang sama dengan Muslim untuk apapun yang berasal dari
Baitul Mal.” Maka, kaum miskin ahlu dzimmah pun berhak mendapatkan
bantuan dari Baitul Mal (Kas Negara).

Kondisi ini jelas tidak sama dengan dunia Barat maupun Timur saat ini,
yang membatasi imigran dalam hal perekonomian, bersikap rasis pada
mereka, serta membuat aturan ketat yang mencegah masuknya kaum
imigran. Negara Islam tidak menerapkan kebijakan macam itu. Siapapun
yang ingin menjadi warga dari Negara Islam memiliki hak dan kewajiban
yang sama dengan warganegara lainnya. Sultan Bayazid II menyikapi
masalah pengusiran kaum Yahudi yang dilakukan oleh Ferdinand, Raja
Katolik Spanyol, dengan mengeluarkan pernyataan, “Bagaimana mungkin
Ferdinand dapat disebut ‘bijak’, dia telah memiskinkan wilayah
kekuasaannya guna memperkaya dirinya.” Sultan kemudian menerima
pengungsi Yahudi dengan tangan terbuka. Sama halnya dengan diterimanya
kaum Yahudi di Turki setelah Konstantinopel dibebaskan oleh Islam di
bawah Muhammad Sang Penakluk (Muhammad al-Fatih)

Non-Muslim Tidak Berhak Memegang Posisi Pengambil Kebijakan

Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang
kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (TQS. an-Nisa [4]:
141)

Ayat ini mengekspresikan larangan bagi non-Muslim (orang kafir) untuk
memegang pos-pos kekuasaan atas umat Islam. Selain itu, kaum non
Muslim tidak berhak berpartisipasi dalam pemilihan Khalifah.

Majelis Umat

Siapapun yang memiliki kewarganegaraan, bila ia dewasa dan berakal
sehat, memiliki hak untuk menjadi anggota Majelis Umat. Dalam hal ini,
dia memiliki hak untuk memilih anggota-anggota Majelis, baik perempuan
maupun lelaki, baik Muslim maupun non Muslim.

Kaum non Muslim berhak menjadi anggota Majelis Umat, untuk menampung
aspirasi kalangan mereka terhadap perlakuan hukum oleh penguasa pada
diri mereka, atau untuk mengoreksi kesalahan implementasi hukum Islam
atas diri mereka. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar ra. berbincang dengan
seorang Yahudi bernama Finhas yang diajaknya untuk masuk Islam. Finhas
kemudian menjawab, “Demi Allah Abu Bakar, kita tidak memerlukan Allah
sebagaimana Ia membutuhkan kita, dan kita tak perlu meminta bantuan-
Nya sebagaimana Ia meminta bantuan pada kita. Kita tidak memerlukan-
Nya, sementara Dia memerlukan kita. Bila Dia benar-benar Maha Kaya,
Dia tak akan meminta pinjaman uang pada kita sebagaimana yang
dikatakan oleh temanmu. Dia (Rasulullah saw) melarangmu melakukan
riba, namun membolehkan kami (Yahudi) melakukannya, dan bila Dia benar-
benar Maha Kaya, Dia tak akan membolehkan kami melakukannya.” Dalam
hal ini, Finhas mengomentari firman Allah:

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezeki), dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan. (TQS. al-Baqarah [2]: 245)

Abu Bakar tidak terima dengan pelecehan tersebut. Ia memukul wajah
Finhas dengan keras sambil berkata, “Demi Allah, bila tidak ada ikatan
perjanjian antara engkau dan kami (umat Islam), aku akan membunuhmu,
engkau adalah musuh Allah!” Finhas kemudian pergi dan mengadukan
pemukulan yang dilakukan Abu Bakar kepada Nabi saw. Nabi saw
mendengarkan pengaduannya, lalu menanyai Abu Bakar tentang insiden
tersebut. Abu Bakar menceritakan pada Nabi saw tentang apa yang
terjadi, namun Finhas kemudian membantah bahwa dia telah melakukan
pelecehan. Segera setelah itu, Allah Swt menurunkan wahyu:

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang
mengatakan; ‘Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya’. Kami akan
mencatat perkataan mereka itu dan perbuatan mereka membunuh Nabi-nabi
tanpa alasan yang benar, dan Kami akan mengatakan (kepada mereka);
‘Rasakanlah olehmu azab yang membakar’. (TQS. Ali Imran [3]: 181)

Abu Bakar adalah salah seorang pembantu Rasulullah saw pada saat
insiden tersebut terjadi, dan Finhas adalah seorang dzimmi. Rasulullah
saw mendengarkan pengaduan Finhas atas Abu Bakar, sekalipun yang
diadukannya adalah dusta. Karena itu, bila pengaduan diajukan oleh
seseorang yang terikat perjanjian dengan negara, maka pengaduan
tersebut perlu didengarkan, karena dia terikat perjanjian sebagai ahlu
dzimmah.

Namun, non-Muslim tidak berhak menyuarakan opini mereka atas hal-hal
yang berkenaan dengan hukum, karena hukum Islam merupakan turunan dari
akidah Islam. Kaum non-Muslim meyakini doktrin yang asing dan
bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu, opini mereka tidak
dibutuhkan dalam masalah hukum.

Anggota Majelis dari kalangan non-Muslim tidak memiliki hak untuk
mengkaji pengadopsian yang dilakukan Khalifah dalam hal hukum dan
peraturan Islam, karena mereka tidak mengimani ajaran Islam. Hak
mereka hanyalah untuk menyuarakan opini mereka atas ketidakadilan
penguasa terhadap mereka, bukan dalam mengekspresikan opini atas hukum
dan peraturan Islam.

T.W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam, menyatakan: “Kala
Konstantinopel kemudian dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan
Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani.
Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras, dan untuk itu dikeluarkan
sebuah Dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung
yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan para
penerusnya. Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya.
Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga
berhak meminta perhatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk
menyikapi para gubernur yang tidak adil.”

Militer

Perlindungan pada ahlu dzimmah merupakan kewajiban bagi seluruh umat
Islam. Ahlu Dzimmah tidak diwajibkan bergabung dalam kemiliteran dan
berperang untuk membela Negara Islam.

Ibnu Hazm menyatakan, “Salah satu hak yang dimiliki oleh ahlu dzimmah
adalah bilamana Negara Islam diserang dan mereka tinggal di wilayah
Islam, maka umat Islam wajib melindungi mereka mati-matian. Dalam hal
ini, perlakuan lemah lembut adalah hak para ahlu dzimmah.”

Namun bila mereka mau, mereka dapat menjadi bagian dari tentara Islam
dan berhak mendapat gaji atas kerja mereka. Namun mereka tidak
diizinkan untuk memegang posisi pemimpin pasukan dalam kemiliteran.

Pegawai Negeri Sipil

Siapa pun yang memiliki kewarganegaraan dan memiliki kemampuan, lelaki
ataupun perempuan, Muslim ataupun non-Muslim, dapat dipilih sebagai
direktur atau pegawai departemen administratif. Ini diambil dari
aturan tentang pekerja (ijarah), yang membolehkan mempekerjakan orang,
terlepas dari apa pun agamanya. Riwayat-riwayat tentang pengupahan
tidak mengatur kelompok-kelompok tertentu secara spesifik:

Rasulullah saw sendiri pernah mempekerjakan seorang lelaki non-Muslim
dari Bani ad-Dail. Ini menunjukkan bahwa mempekerjakan seorang non-
Muslim diperbolehkan, sebagaimana mempekerjakan seorang Muslim.

Kebijakan Luar Negeri

Kebijakan luar negeri Negara Islam adalah mengemban dakwah Islam ke
seluruh penjuru dunia. Metode yang ditempuh adalah melakukan jihad
pada negara lain. Tujuannya adalah untuk melenyapkan penghalang yang
merintangi penerapan aturan Islam dan menunjukkan pesan Islam pada
seluruh rakyatnya.

Motivasi penaklukkan negeri-negeri lain semata-mata digerakkan oleh
keinginan untuk mencari keridlaan Allah Swt. Penaklukkan tidak boleh
dilakukan demi perolehan materi. Karena itu, bila Negara Islam
menaklukkan negara lainnya, Negara Islam tidak akan menindas rakyatnya
dengan mencuri kekayaan alamnya.

Dalam bukunya, al-Kharaj, Abu Yusuf (yang kepala Qadli di masa
pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid) memberikan laporan sebagai
berikut: “Setelah ditandatanganinya perjanjian dengan rakyat Suriah
dan mengumpulkan jizyah dan kharaj, Abu Ubaidah menerima berita bahwa
pasukan Byzantium telah menyiapkan pasukan untuk menyerang. Berita ini
memberikan efek yang dahsyat pada Abu Ubaidah dan umat Islam. Dia
mengirimkan pesan pada para penguasa kota-kota yang telah membuat
perjanjian, meminta mereka mengembalikan pembayaran jizyah dan kharaj,
dengan satu perintah pada mereka, ‘Kami kembalikan pada kalian uang
kalian yang telah dibayarkan pada kami, karena adanya berita yang
menyebutkan pasukan musuh hendak menyerang kami, namun, bila Allah
memberikan kemenangan pada kami atas musuh, kami akan menaati janji
kami dengan mereka yang terikat perjanjian dengan kami.’ Ketika hal
ini disampaikan pada kaum ahlu dzimmah dan uang mereka dikembalikan,
mereka berkata pada umat Islam, “Semoga Tuhan mengembalikan kalian
pada kami, dan memberikan kemenangan pada kalian atas mereka!”

Wilayah-wilayah yang Tak Boleh Ditempati Non-Muslim

Non-Muslim tidak diperbolehkan tinggal di Jazirah Arab, karena Umar
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku akan mengusir kaum
Yahudi dan Kristen dari Semenanjung Arabia, dan tidak boleh ada yang
tinggal di sini kecuali umat Islam” (HR. Muslim)

Yahya meriwayatkan padaku dari Malik dari Ibnu Shihab, bahwa
Rasulullah saw bersabda, ‘Tidak boleh ada dua agama di Jazirah
Arab.’ (al-Muwaththa). Selain itu, Yahudi tidak boleh tinggal di al-
Quds, karena Ijma para sahabat ketika penandatanganan perjanjian
antara Umar bin Khaththab dengan umat Kristen Iliya (al-Quds) saat dia
menyatakan, “Tak seorang Yahudi pun boleh tinggal di Iliya.”

Integrasi Kaum Non-Muslim ke dalam Khilafah

Atas dasar hal ini, jelas bahwa kaum non-Muslim dapat terintegrasikan
dengan baik dalam masyarakat Islam. Agama-agama Yahudi, Kristen, dan
lainnya hanya memiliki aturan yang membahas masalah manusia dengan
Tuhan dan manusia dengan dirinya sendiri. Dalam dua jenis hubungan
tersebut, hukum Islam memungkinkan non-Muslim untuk mengikuti
keyakinan mereka sendiri; maka, tak ada konflik dengan non-Muslim.

Dalam hubungan sesama manusia, misalnya dalam hubungan kemayarakatan,
kaum non-Muslim tidak memiliki aturan yang mengatur masalah ini.
Karena itu, mereka harus mengadopsi sebuah sistem untuk kehidupan
mereka di tengah-tengah masyarakat. Sistem Islam, bilamana diterapkan,
sejauh ini merupakan sistem yang paling berhasil dalam
mengintegrasikan non-Muslim ke dalam masyarakat Islam. Berbagai
pemberontakan dan perpecahan yang dilakukan kaum non-Muslim yang hidup
di Negara Islam pada zaman dahulu, seperti kaum Kristen di Yunani dan
Libanon, terjadi karena adanya campur tangan Inggris dan Perancis yang
mendukung pemberontakan tersebut sebagai salah satu upaya
menghancurkan Negara Khilafah.

Dengan melakukan kajian atas peraturan Islam terhadap kaum non-Muslim,
kita dapat melihat bahwa Negara Khilafah bukanlah sesuatu yang perlu
ditakuti oleh kaum non-Muslim. Khilafah adalah sebuah negara yang akan
membawa mereka keluar dari kegelapan dan penindasan sistem kapitalis,
menuju cahaya dan keadilan Islam. Perlakuan Khilafah pada kaum non-
Muslim semacam inilah yang kemudian membuat banyak orang memeluk agama
Islam. Jumlah orang yang pindah agama sangat besar sekali hingga
akhirnya seluruh suku di Jazirah Arab memeluk Islam. Para penguasa
negara pada masa lalu pun banyak yang menulis surat kepada Khalifah
agar menerapkan Islam atas mereka. Inilah sebabnya mengapa orang
Kristen Ashsham berperang di sisi umat Islam dalam menghadapi serangan
Tentara Salib Eropa yang hendak menyerang negara mereka. Di India pada
1920, bahkan banyak umat Hindu yang bergabung dengan gerakan Khilafah
yang mencoba mengembalikan tegaknya Negara Khilafah!

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat
manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah
dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia
adalah Maha Penerima taubat. (TQS. an-Nashr [110]: 1-3)
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages