daulah.khilaf...@gmail.com
unread,Jan 29, 2009, 12:31:43 AM1/29/09Sign in to reply to author
Sign in to forward
You do not have permission to delete messages in this group
Either email addresses are anonymous for this group or you need the view member email addresses permission to view the original message
to Daulah.Khilafah.Islamiyyah
Adalah sangat jelas dalam sejarah Indonesia, bahwa syariah Islam
pernah secara formal diterapkan di bumi Nusantara . Saat itu para
Sultan menerapkan hukum Islam sebagai hukum negara. Hal ini membantah
pendapat segelintir orang dari kelompok liberal, bahwa di Indonesia
tidak pernah diterapkan syariah Islam secara formal oleh negara. Tidak
hanya itu, kesultanan di Indonesia memiliki hubungan yang jelas dengan
Khilafah Islam.
Tegaknya syariat Islam tidak lepas dari keberadaan penguasa kaum
Muslim yang menerapkan hukum Islam, menjaga akidah Islam, melindungi
kepentingan umat Islam, dan melakukan dakwah Islam. Penguasa tersebut
sering disebut sebagai khalifah, imam, amirul mukminin, atau sultan.
Terlepas dari soal penamaan ini, penguasa kaum Muslim pada dasarnya
adalah penguasa otoritatif yang diakui keberadaannya oleh kaum Muslim;
mereka menjaga dan membela kaum Muslim dari berbagai pihak yang
mencoba menganggu eksistensi kaum Muslim serta memelihara kaum Muslim
sedunia.
Para ahli sejarah mengakui, Kekhilafahan Islam itu memang ada dan
menjadi kekuatan politik real umat Islam. Setelah masa Khulafaur
Rasyidin, di belahan Barat Asia muncul kekuatan politik yang
mempersatukan umat Islam dari Spanyol sampai Sind di bawah
Kekhilafahan Bani Umayah (660-749 M), dilanjutkan oleh Kekhilafahan
Abbasiyah kurang lebih satu abad (750-870 M), serta Kekhilafahan
Utsmaniyah sampai 1924 M.
Adanya kekuatan politik di Asia Barat yang berhadapan dengan Cina
telah mendorong tumbuh dan berkembangnya perdagangan di Laut Cina
Selatan, Selat Malaka, dan Samudra Hindia.[1] Hal ini dengan
sendirinya memberi dampak bagi penyebaran Islam dan tumbuhnya kekuatan
ekonomi, karena banyaknya pendakwah Islam yang sekaligus berprofesi
sebagai pedagang.
Tulisan ini akan mengkaji pengaruh keberadaan Khilafah Islam yang
berpusat di Timur Tengah, khususnya pada masa Utsmaniyah, terhadap
kehidupan umat Islam di Nusantara. Kajian didasarkan pada suatu
kerangka analisis bahwa dengan adanya Khilafah, umat Islam berada di
bawah satu kepemimpinan. Khalifah merupakan pelindung kaum Muslim.
Para penguasa kaum Muslim di berbagai belahan dunia dengan sendirinya
akan mengakui dan tunduk pada Khalifah. Gangguan terhadap umat Islam
di suatu negeri dianggap sebagai gangguan terhadap seluruh kaum
Muslim; Khalifah akan berperan aktif mengamankannya.
Secara faktual, pada abad 16 dan 17, umat Islam di Kepulauan Nusantara
sedang menghadapi serangan penjajah asing, khususnya Portugis dan
Belanda. Kedatangan Portugis, sebagaimana diketahui, memiliki tujuan:
merampas kekayaan umat Islam (gold), menjalankan tugas suci
kristenisasi (gospel), dan melakukan pembalasan terhadap kaum Muslim
yang telah menduduki Spanyol dan Portugal sejak zaman Kekhilafahan
Bani Umayah (glory). Portugis ingin mewujudkan dominasi militer
terhadap komunitas umat Islam.[2]
Bertolak dari fakta-fakta inilah, penulis melihat adanya hubungan
antara Kekhilafahan Islam dan para Sultan di Kepulauan Nusantara.
Dua Pucuk Surat Pengakuan
Pengaruh keberadaan Khilafah Islam terhadap kehidupan politik
Nusantara sudah terasa sejak masa-masa awal berdirinya Daulah Islam.
Keberhasilan umat Islam melakukan penaklukan (futûhât) terhadap
Kerajaan Persia serta menduduki sebagian besar wilayah Romawi Timur,
seperti Mesir, Syria, dan Palestina di bawah kepemimpinan Umar bin al-
Khaththab telah menempatkan Khilafah Islam sebagai superpower dunia
sejak abad ke-7 M.
Ketika kekhilafahan berada di tangan Bani Umayyah (660-749 M),
penguasa di Nusantara—yang masih beragama Hindu sekalipun—mengakui
kebesaran Khilafah.
Pengakuan terhadap kebesaran Khilafah dibuktikan dengan adanya dua
pucuk surat yang dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah
masa Bani Umayah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyah dan surat
kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz.[3] Surat pertama ditemukan
dalam sebuah diwan (arsip, pen.) Bani Umayah oleh Abdul Malik bin
Umair yang disampaikan kepada Abu Ya‘yub ats-Tsaqafi, yang kemudian
disampaikan kepada Haitsam bin Adi. Al-Jahizh yang mendengar surat itu
dari Haitsam menceriterakan pendahuluan surat itu sebagai berikut:
Dari Raja al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah,
yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-
raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu,
kepada Muawiyah….[4]
Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329/860-940) dalam
karyanya, Al-Iqd al-Farîd. Potongan surat tersebut ialah sebagai
berikut:
Dari Raja Diraja…, yang adalah keturunan seribu raja.…kepada Raja Arab
(Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan
Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya
merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda
persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang
dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya hukum-
hukumnya.[5]
Ibnu Tighribirdi, yang juga mengutip surat ini dalam karyanya, An-
Nujûm azh-Zhâhirah fî Mulûk Mishr wa al-Qâhirah, memberikan kalimat
tambahan pada akhir surat ini, yakni, “Saya mengirimkan hadiah kepada
Anda berupa bahan wewangian, sawo, kemenyan, dan kapur barus.
Terimalah hadiah itu, karena saya adalah saudara Anda dalam Islam.”[6]
Namun demikian, sekalipun ada kalimat, “Saudara Anda dalam Islam,”
belum ada indikasi Maharaja Sriwijaya memeluk Islam. Maharaja yang
berkuasa pada masa itu ialah Sri Indravarman, yang disebut sumber-
sumber Cina sebagai Shih-li-t’o-pa-mo. Nama ini mengisyaratkan bahwa
ia belum menjadi pemeluk Islam.[7]
Sultan Rum, Khâdim al-Haramayn
Munculnya Kekhilafahan Islam Turki Utsmani, terutama setelah berhasil
melakukan penaklukan atas Konstantinopel yang merupakan ibu kota
Romawi Timur pada 857/1453, menyebabkan nama Turki melekat di hati
umat Islam Nusantara. Nama yang terkenal bagi Turki di Nusantara ialah
“Sultan Rum.”[8]
Sebelum kebangkitan Turki Utsmani, istilah Rum mengacu pada Byzantium,
dan kadang-kadang juga pada Kerajaan Romawi. Akan tetapi,setelah
kemunculan Turki Utsmani, istilah Rum beredar untuk menyebut
Kesultanan Turki Utsmani. Mulai masa ini, supremasi politik dan
kultural Rum (Turki Utsmani) menyebar ke berbagai wilayah Dunia
Muslim, termasuk ke Nusantara.[9]
Kekuatan politik dan militer Kekhilafahan Turki Utsmani mulai terasa
di kawasan Lutan India pada awal abad ke-16. Sebagai penguasa kaum
Muslim, Khalifah Turki Utsmani memiliki posisi sebagai khâdim al-
Haramayn (penjaga dua tanah haram, yakni Makkah dan Madinah). Pada
posisi ini, para penguasa Turki Utsmani mengambil langkah-langkah
khusus untuk menjamin keamanan bagi perjalanan haji. Seluruh rute haji
di wilayah kekuasaan Utsmani di tempatkan di bawah kontrolnya. Kafilah
haji dengan sendirinya dapat langsung menuju Makkah tanpa hambatan
berarti atau rasa takut menghadapi gangguan Portugis.
Pada tahun 954/1538, Sultan Sulaiman I (berkuasa 928/1520-66) melepas
armada yang tangguh di bawah komando Gubernur Mesir, Khadim Sulaiman
Pasya, untuk membebaskan semua pelabuhan yang dikuasai Portugis guna
mengamankan pelayaran haji ke Jeddah.[10]
Turki Utsmani juga mengamankan rute haji dari wilayah sebelah Barat
Sumatera dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudera Hindia.
Kehadiran angkatan laut Utsmani di Lautan Hindia setelah 904/1498
tidak hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara,
tetapi juga mengakibatkan semakin besarnya saham Turki dalam
perdagangan di kawasan ini. Pada gilirannya, hal ini memberikan
konstribusi penting bagi pertumbuhan kegiatan ekonomi sebagai dampak
sampingan perjalanan ibadah haji.
Pada saat yang sama, Portugis juga meningkatkan kehadiran armadanya di
Lautan India, tetapi angkatan laut Utsmani mampu menegakkan
supremasinya di kawasan Teluk Persia, Laut Merah, dan Lautan India
sepanjang abad ke-16. [11]
Dalam kaitan dengan pengamanan rute haji, Selman Reis (w 936/1528),
laksanama Turki di Laut Merah, terus memantau gerak maju pasukan
Portugis di Lautan Hindia, dan melaporkannya ke pusat pemerintahan
Khilafah di Istambul. Salah satu bunyi laporan yang dikutip Obazan
ialah sebagai berikut:
(Portugis) juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar yang
disebut Syamatirah (Sumatera)….Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang
kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai
pelabuhan Malaka yang berhadapan dengan Sumatera….Karena itu, ketika
kapal-kapal kita sudah siap dan, insya Allah, bergerak melawan mereka,
maka kehancuran total mereka tidak terelakkan lagi, karena satu
benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat
membentuk perlawanan yang bersatu.[12]
Laporan ini memang cukup beralasan, karena pada tahun 941/1534, sebuah
skuadron Portugis yang dikomandoi Diego da Silveira menghadang
sejumlah kapal asal Gujarat dan Aceh di lepas Selat Bab el-Mandeb pada
Mulut Laut Merah.
Membebaskan Malaka dan Menaklukan Daerah Batak
Sebagaimana disebutkan dalam berbagai buku sejarah, Semenanjung Malaka
diduduki Portugis pada Abad ke-16. Ternyata hal ini juga menjadi
perhatian Turki Utsmani.
Pada tahun 925/1519, Portugis di Malaka digemparkan oleh kabar tentang
pelepasan armada Utsmani untuk membebaskan Muslim Malaka dari
penjajahan kafir. Kabar ini, tentunya, sangat menggembirakan kaum
Muslim setempat.[13]
Ketika Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar naik tahta Aceh pada
tahun 943/1537, ia kelihatan menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta
bantuan militer kepada Turki, bukan hanya untuk mengusir Portugis di
Malaka, tetapi juga untuk melakukan futûhât ke wilayah-wilayah yang
lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak. Al-
Qahhar menggunakan pasukan Turki, Arab, dan Abesinia.[14] Pasukan
Turki terdiri dari 160 orang, ditambah 200 orang tentara dari Malabar.
Mereka membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Selanjutnya
al-Qahhar dikirim untuk menaklukkan wilayah Batak di pedalaman
Sumatera pada tahun 946/1539.
Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dan Batak,
melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki
bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani di Kairo.[15]
Seorang sejarahwan Universitas Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib,
mengakui adanya bantuan Turki Utsmani untuk melakukan futûhât terhadap
wilayah sekitar Aceh. Menurut Thaib, hal ini merupakan ekspresi
solidaritas umat Islam yang memungkinkan bagi Turki melakukan serangan
langsung terhadap wilayah sekitar Aceh.[16]
Demikianlah, hubungan Aceh dengan Turki sangat dekat. Aceh seakan-akan
merupakan bagian dari wilayah Turki. Persoalan umat Islam Aceh
dianggap Turki sebagai persoalan dalam negeri yang harus segera
diselesaikan.
Nuruddin ar-Raniri, dalam Bustân as-Salâthîn, meriwayatkan, bahwa
Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar mengirim utusan ke Istambul
untuk menghadap ‘Sultan Rum’. Utusan ini bernama Husain Effendi yang
fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah
haji.[17] Pada Juni 1562, utusan Aceh tersebut tiba di Istambul untuk
meminta bantuan militer Utsmani guna menghadapi Portugis. Ketika duta
itu berhasil lolos dari serangan Portugis dan sampai di Istambul, ia
berhasil mendapat bantuan Turki, yang menolong Aceh membangkitkan
kebesaran militernya sehingga memadai untuk menaklukkan Aru dan Johor
pada 973/1564.[18]
Khalifah dan Gubernurnya di Aceh
Dalam kaitan dengan utusan Aceh tersebut, Farooqi menemukan sebuah
arsip Utsmani yang berisi sebuah petisi dari Sultan Alauddin Riayat
Syah kepada Sultan Sulaiman al-Qanuni yang dibawa Husain Effendi.
Dalam surat ini Aceh mengakui penguasa Utsmani sebagai khalifah Islam.
Selain itu, surat ini melaporkan tentang aktivitas militer Portugis
yang menimbulkan masalah besar terhadap para pedagang Muslim dan
jamaah haji dalam perjalanan ke Makkah. Karena itu, bantuan Utsmani
sangat mendesak untuk menyelamatkan kaum Muslim yang terus dibantai
Farangi (Portugis) kafir.[19]
Khalifah Sulaiman al-Qanuni wafat tahun 974/1566. Akan tetapi, petisi
Aceh mendapat dukungan Sultan Salim II (974-82/1566-74), yang
mengeluarkan perintah Kekhilafahan untuk melakukan ekspedisi besar
militer ke Aceh. Sekitar September 975/1567, Laksamana Turki di Suez,
Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan
sejumlah ahli senapan api, tentara, dan artileri. Pasukan ini
diperintahkan berada di Aceh selama masih dibutuhkan oleh Sultan.[20]
Namun, dalam perjalanan, armada besar ini hanya sebagian yang sampai
Aceh karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang
berakhir pada tahun 979/1571.[21] Menurut catatan sejarah, pasukan
Turki yang tiba di Aceh pada tahun 1566-1577 sebanyak 500 orang,
termasuk para ahli senjata api, penembak, dan para teknisi. Dengan
bantuan ini, Aceh menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1568.[22]
Kehadiran Kurtoglu Hizir Reis bersama armada dan tentaranya dengan
sendirinya disambut dengan sukacita oleh umat Islam Aceh. Mereka
disambut dengan upacara besar. Kurtoglu Hizir Reis kemudian diberi
gelar sebagai gubernur (wali) Aceh,[23] yang merupakan utusan resmi
Khalifah yang ditempatkan di daerah Aceh.
Bendera Turki di Kapal Aceh
Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani terus berlanjut, terutama untuk
menjaga keamanan Aceh dari serangan Portugis. Menurut seorang penulis
Aceh, pengganti al-Qahhar kedua, yakni Sultan Mansyur Syah
(985-98/1577-88) memperbarui hubungan politik dan militer dengan
Utsmani.[24] Hal ini dibenarkan oleh sumber-sumber historis Portugis.
Uskup Jorge de Lemos, sekretaris Raja Muda Portugis di Goa, pada tahun
993/1585 melaporkan kepada Lisbon bahwa Aceh telah kembali berhubungan
dengan Khilafah Utsmaniyah untuk mendapatkan bantuan militer guna
melancarkan serangan baru terhadap Portugis. Penguasa Aceh berikutnya,
Sultan Alauddin Riayat Syah (988-1013/1588-1604) juga dilaporkan telah
melanjutkan hubungan politik dengan Turki. Dikatakan, Khilafah
Utsmaniyah bahkan telah mengirimkan sebuah bintang kehormatan kepada
Sultan Aceh dan memberikan izin kepada kapal-kapal Aceh untuk
mengibarkan bendera Turki.[25]
Kapal-kapal atau perahu yang dipakai Aceh dalam setiap peperangan
terdiri dari kapal kecil yang gesit dan kapal-kapal besar. Kapal-kapal
besar atau jung yang mengarungi lautan hingga Jeddah berasal dari
Turki, India, dan Gujarat. Dua daerah terakhir ini merupakan bagian
dari wilayah Kekhilafahan Turki Utsmani. Menurut Court, kapal-kapal
ini cukup besar, berukuran 500 sampai 2000 ton.[26] Kapal-kapal besar
yang berasal dari Turki, yang dilengkapi meriam dan persenjataan
lainnya dipergunakan Aceh untuk menyerang penjajah dari Eropa yang
menganggu wilaya-wilayah Muslim di Nusantara.[27] Aceh benar-benar
tampil sebagai kekuatan besar yang sangat ditakuti Portugis karena
diperkuat oleh para ahli persenjataan dari Kekhilafahan Turki sebagai
bantuan Khalifah terhadap Aceh.[28]
Menurut sumber-sumber Aceh, Sultan Iskandar Muda (10116-46/1607-36)
mengirimkan armada kecil yang terdiri dari tiga kapal, yang mencapai
Istambul setelah dua setengah tahun pelayaran melalui Tanjung Harapan.
Ketika misi ini kembali ke Aceh, mereka diberi bantuan sejumlah
senjata, 12 pakar militer, dan sepucuk surat yang merupakan keputusan
Khilafah Utsmaniyah tentang persahabataan dan hubungan dengan Aceh.
Kedua belas pakar militer tersebut disebut pahlawan di Aceh. Mereka
dikatakan sangata ahli sehingga mampu membantu Sultan Iskandar Muda
tidak hanya dalam membantu membangun benteng tangguh di Banda Aceh,
tetapi juga istana kesultanan.[29]
As-Singkeli dan Qanun Syariah di Aceh
Sebagai bagian Khilafah Islam, Aceh menerapkan syariat Islam sebagai
patokan kahidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, Aceh banyak
didatangi para ulama dari berbagai belahan Dunia Islam lainnya. Syarif
Makkah mengirimkan ke Aceh utusannya, seorang ulama bernama Syaikh
Abdullah Kan’an sebagai guru dan muballig. Sekitar tahun 1582, datang
dua orang ulama besar dari negeri Arab, yakni Syaikh Abdul Khair dan
Syaikh Muhammad Yamani. Di samping itu, di Aceh sendiri lahir sejumlah
ulama besar, seperti Syamsuddin as-Sumatrani dan Abdur Rauf as-
Singkeli. [30]
Abdur Rauf Singkel mendapat tawaran dari Sultan Aceh, Safiyatuddin
Shah untuk menduduki jabatan kadi/ hakim (qâdhi) dengan sebutan Qadhi
al-Malik al-Adil yang sudah lowong beberapa lama karena Nuruddin ar-
Raniri kembali ke Ranir (Gujarat). Setelah melakukan berbagai
pertimbangan, Abdur Rauf menerima tawaran tersebut.[31] Karena itu, ia
resmi menjadi kadi/hakim (qâdhi) dengan sebutan Qadhi al-Malik al-
Adil. Selanjutnya, sebagai seorang kadi/hakim, Abdur Rauf diminta
Sultan untuk menulis sebuah kitab sebagai patokan (qânûn) penerapan
syariat Islam.[32] Buku tersebut kemudian diberi judul Mir’ah al-
Thullâb.
Menurut Abdur Rauf, naskah Mir’ah ath-Thullâb mengacu pada kitab Fath
al-Wahhâb karya Abi Yahya Zakariyya al-Ansari (825-925 H). Sumber lain
yang digunakan untuk menulis buku ini ialah: Fath-al-Jawwâd, Tuhfah al-
Muhtâj, Nihâyah al-Muhtâj, Tafsîr al-Baydawi, al-Irsyâd, dan Sharh
Shahîh Muslim.[33]
Mir’ah ath-Tullâb mengandung semua hukum fikih Imam asy-Syafi’i,
kecuali masalah ibadah. Peunoh Daly dalam disertasinya hanya
menguraikan sebagian kandungan Mir’ah ath-Thullâb, terdiri dari: Hukum
Nikah, Talak, Rujuk, Hadanah (Penyusuan), dan Nafkah. Namun, terlepas
dari itu, Aceh sebagai bagian dari Khilafah Islam memiliki qânûn
(undang-undang) penerapan syariat Islam yang ditulis oleh Abdur Rauf
as-Singkeli.
Penutup
Banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan yang dekat antara Aceh
dan Khilafah Utsmani. Aceh seakan-akan dianggap sebagai bagian dari
wilayah Turki Utsmani. Persoalan yang menimpa umat Islam di Aceh
seakan-akan dianggap sebagai persoalan umat Islam secara keseluruhan.
Khilafah Utsmani melindungi wilayah Aceh serta membantu Aceh melakukan
futûhât dan dakwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Maman Kh.kandidat
doktor dan staf pengajar UIN Syarief Hidayatullah)