Kembalinya Khilafah Bukan Mimpi di Siang Bolong

7 views
Skip to first unread message

daulah.khilaf...@gmail.com

unread,
Jan 29, 2009, 12:30:09 AM1/29/09
to Daulah.Khilafah.Islamiyyah
Bagi beberapa kalangan, gagasan bahwa seluruh umat Islam di dunia
dapat bersatu dalam satu Negara Islam di bawah bendera Khilafah
merupakan omong kosong. Baru-baru ini, beberapa ahli mengemukakan
pendapat yang menentang gagasan kemungkinan bersatunya umat Islam di
Abad ke-21. Mereka menukil contoh-contoh masa kini tentang
ketidakpaduan dan pengelompokan Dunia Islam sebagai bukti-bukti yang
mendukung gagasan mereka.

Antropolog Madawi ar-Rasheed yang bermukim di London mengatakan, “Saya
kira seisi Jazirah Arab telah terjerumus ke dalam kekerasan sektarian,
karena itu menurut saya, tidak mungkin Khilafah dapat terwujud…Kini,
pada Abad ke-21 ini, gagasan tersebut hanya impian di siang bolong
dari para aktivis Muslim.”

Seorang analis Saudi, Faris bin Houzam mengatakan, “Impian besar
mereka ialah untuk mendirikan satu Negara Islam, namun tidak ada satu
bukti pun yang dapat menunjukkan bahwa hal tersebut akan terwujud.”

Mubashar Akbar, seorang jurnalis dan penulis asal India, dalam salah
satu tulisannya yang dimuat Newsweek mengatakan, “Saya mendengar dari
para pengamat bahwa umat Islam hendak menegakkan kembali Khilafah.
Gagasan tersebut sungguh konyol.”

Beberapa alasan dalam pendapat yang menentang berdirinya Negara
Khilafah dapat kita rangkum sebagai berikut:

Umat Islam sedunia sangat beragam.

Paham Nasionalisme telah berakar kuat.

Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah yang terlalu mencolok dan tak
mungkin disatukan.

Umat Islam lebih suka hidup di bawah negara-bangsa (nation-state) yang
terpisah-pisah.

Amerika tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

1. Umat Islam Sedunia Sangat Beragam

Bahwa Dunia Islam terdiri atas beragam bahasa, makanan, pakaian, dan
tradisi-tradisi yang berbeda-beda, ini merupakan kenyataan yang tak
terbantahkan. Namun keragaman ini menjadi tidak bermakna apabila kita
berbicara tentang ‘Sistem Politik’ yang mengatur negara. Sistem
politik tidak memaksa orang untuk memakan makanan yang sama atau
berwarna kulit sama. Sistem politik mengurusi masalah aturan ekonomi,
politik, dan sosial dalam urusan kemasyarakatan. Dunia Islam saat ini
pada umumnya menjalankan sistem politik yang berasal dari Barat,
seperti merujuk Konstitusi Perancis, Konstitusi Inggris, Konstitusi
Belanda, yang menjadi landasan bagi kebanyakan negeri Muslim setelah
kemerdekaan palsu mereka pada Abad ke-20.

Mari kita ambil Irak sebagai contoh. Etnis Kurdi disana menginginkan
sebuah Negara Kurdi Merdeka. Namun ternyata masalah di Irak,
sebagaimana di Dunia Islam lainnya, bukan berkisar pada masalah
etnisitas semata, namun pada sistem pemerintahan yang dijalankan.
Saddam Hussein tidak hanya menekan bangsa Kurdi, namun ia secara
brutal juga menyiksa dan membunuhi ribuan rakyatnya sendiri, baik yang
beretnis Kurdi, Arab, Sunni, ataupun Syi’ah. Bahkan ia tega
mengeksekusi dua orang menantunya sendiri!

Budaya dasar bangsa Kurdi adalah Islam. Mereka berbagi budaya Islam
yang sama dengan yang dimiliki umat Islam lainnya, baik di Turki,
Irak, ataupun di Dunia Islam lainnya. Salahuddin al-Ayyubi adalah
salah seorang etnis Kurdi yang terkenal dalam sejarah. Ia tidak hanya
dicintai bangsa Kurdi, namun juga oleh seluruh Dunia Islam dari
berbagai etnis karena jasa besarnya membebaskan Masjid al-Aqsha di al-
Quds, kota suci ketiga dalam ajaran Islam.

Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya orang beriman saling mencintai dan berlaku baik antar
sesamanya, perumpamaannya ialah bagaikan satu tubuh, sehingga bila
salah satu anggota tubuh disakiti, seluruh tubuh (lainnya) akan ikut
merasakan sakit karenanya.” [Bukhari]

Selain itu, adakah aturan dalam syariat yang tidak mungkin diterapkan
pada seseorang karena etnisnya? Perhatikan, bagaimana umat Islam di
seluruh dunia -yang terdiri atas beragam warna kulit, berbangsa-
bangsa, dan bersuku-suku- sama-sama bias menjalankan shalat lima kali
sehari, berpuasa di bulan Ramadhan, memberikan shadaqah, dan
melaksanakan ibadah haji ke Makkah. Mereka semua bisa menikah,
mendidik anak-anak, berperang untuk mempertahankan tanah-tanahnya dari
pendudukan, membayar pajak, mendirikan perusahaan, dan menghukum
pelaku tindak pidana. Tidakkah fenomena itu menunjukkan bukti yang
amat jelas tentang persatuan Islam, dan kesanggupan Islam untuk
menyatukan seluruh pengikutnya?

2. Paham Nasionalisme Terlalu Berakar Kuat

“Coba saja tawarkan seorang Khalifah Pakistan pada orang Bangladesh,”
ujar Mubashar Akbar.

Sesungguhnya, seorang Khalifah bukanlah Khalifah Pakistan, atau
Khalifah Bangladesh, atau Khalifah Arab. Khalifah ialah seorang Muslim
yang menjadi pemimpin Negara Islam. Salah satu kelemahan nasionalisme
adalah hanya dapat menyatukan rakyat dari satu bangsa tertentu, dan
hanya bersifat temporer, (yaitu bisa menyatukan sebuah bangsa hanya)
pada saat mereka menghadapi aggressor atau adanya ancaman bersama.
Rakyat suatu bangsa tidak akan mengikuti pemimpin bangsa lain
sepanjang mereka memandang negeri asal sang pemimpin. Namun, Khalifah
adalah pemimpin yang mewakili kepentingan Islam secara keseluruhan,
bukan merepresentasikan kepentingan kelompok etnis, suku, klan, atau
bangsa, dan karena itu tidak terikat atau terbiaskan pada suatu suku,
keluarga, atau bangsa tertentu. Maka dari itu, Khalifah akan mampu
menyatukan umat Islam di seluruh dunia berdasarkan Akidah Islam.

Rasulullah saw bersabda:

“Dengarkan dan patuhilah pemimpin, sekalipun kalian dipimpin oleh
seorang budak Habsyi yang kepalanya seperti kismis.” [Bukhari]

Sebagai contoh, baik orang Bangladesh maupun orang Pakistan sama-sama
Muslim. Saat terjadi bencana gempa bumi di Pakistan, umat Islam di
Bangladesh dan dunia mengirimkan jutaan dolar untuk membantu korban
gempa. Mayoritas umat Islam tidak memandang batas buatan yang dibangun
oleh penjajah Barat dan dijaga oleh para penguasa korup berdasarkan
bendera (atau lambang) bangsa, hari kemerdekaan, dan garis perbatasan
palsu. Pada kenyataannya, para pemimpin itulah yang telah menebar
kebencian di antara sesama umat Islam. Umat Islam adalah satu kesatuan
yang berbagi kebudayaan Islam yang sama. Konsep umat Islam sangat
mendalam. Ini juga merupakan masalah besar bagi kekuatan Barat dalam
menerapkan kebijakan luar negeri kolonialis karena dukungan terhadap
perlawanan atas pendudukan yang mereka lakukan tidak hanya datang dari
populasi yang sama, namun dari seluruh Muslim di segala penjuru dunia.

Nasionalisme adalah sebuah konsep kuno yang merasuki Dunia Islam saat
terjadinya kemunduran intelektual pada abad ke-19. Di masa sekarang
ini, globalisasi memungkinkan meningkatnya volume perjalanan dan
komunikasi modern sehingga pesan Islam dapat sampai dengan cepat ke
seluruh dunia. Umat mendekati patriotisme, nasionalisme, dan rasisme,
akibat kecelakaan sejarah semata.

Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa yang menyeru kepada ashabiyah (nasionalisme/tribalisme)
atau yang berperang deminya, atau mati karenanya, maka ia tidak
termasuk golongan kami.” [Abu Dawud]

3. Perbedaan Sektarian

Banyak anggapan bahwa kawasan Syi’ah di Dunia Islam yang terdiri atas
Libanon, Suriah, Irak, dan Iran, bersatu untuk memerangi negara lain
yang Sunni di kawasan tersebut. Perang saudara yang terjadi di Irak
juga digambarkan sebagai konflik antara Sunni dan Syi’ah.

Perpecahan antara Sunni dan Syi’ah telah dibesar-besarkan oleh mereka
yang berkuasa di Dunia Islam maupun mereka yang berada di luar Dunia
Islam, yang mencoba mengail keuntungan dari situasi tersebut. Pada
kenyataannya, tidak pernah ada masalah antara Sunni dan Syi’ah sejak
sebelum invasi Amerika Serikat dan koalisinya ke Irak tahun 2003.
Kini, sebagai hasil dari pendudukan, terlepas dari asal golongan yang
Sunni maupun Syi’ah, beberapa orang saling serang antar sesamanya.
Penyebabnya jelas bukan akibat perbedaan antara Sunni dan Syi’ah,
namun karena pemerintahan Irak yang dibentuk atas dasar etnis dan
sekte. Masing-masing kelompok memiliki milisi sendiri yang kini saling
beperang demi kepentingan politik mereka sendiri, bukan demi
kepentingan Sunni atau Syi’ah.

Fenomena menarik yang perlu dicermati, kemenangan Hizbullah di Libanon
tidak dipandang sebagai kemenangan Syi’ah semata, namun sebagai
kemenangan Islam, yang didukung baik oleh Sunni maupun Syi’ah di
seluruh dunia. Manakala seorang pemimpin politik memainkan sentimen
Sunni dan Syi’ah sebagai kartu truf, berarti ia melakukan itu untuk
kepentingan dirinya sendiri. Semua itu tidak ada hubungannya sama
sekali dengan Islam. Upaya memanas-manasi isu sektarian yang dilakukan
oleh beberapa negeri Muslim seperti Saudi Arabia, hanyalah contoh dari
ketamakan dan keengganan mereka untuk mengutamakan kepentingan Islam
dan rakyat mereka sendiri. Karena itu, kita tidak usah kaget apabila
mendengar bahwa Saudi akan mempersenjatai milisi Sunni di Irak untuk
memerangi Syi’ah apabila Amerika meninggalkan Irak.

Diriwayatkan dari al-Ahnaf bin Qais:

“Saat aku beranjak hendak menolong orang ini (Ali bin Abu Thalib), Abu
Bakar menemuiku dan berkata, “Kemana engkau hendak pergi?” Aku jawab,
“Aku hendak menolong orang itu.” Ia berkata, “Kembalilah, karena
sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Apabila dua orang
Muslim saling berkelahi dengan pedang mereka dan salah satunya
terbunuh karenanya, maka tempat bagi keduanya adalah di dalam neraka.’
Lalu aku berkata, ‘Ya Rasulullah! Aku paham akan hukuman untuk yang
membunuh. Tapi bagaimana dengan yang terbunuh? (mengapa ia masuk
neraka juga?) Rasulullah saw bersabda, ‘Karena ia pun memiliki nafsu
untuk membunuh saudaranya’.”

4. Umat Islam Lebih Suka Hidup di bawah Negara-Bangsa yang Terpisah-
pisah

Mubashar Akbar berkata, “Bangsa-bangsa Arab disatukan oleh bahasa,
budaya, serta keyakinan yang sama, namun masih saja lebih suka untuk
hidup di bawah 22 negara yang berbeda. Mereka tidak mau berbai’at
kepada satu Khalifah Arab saja.”

Salah satu survey yang diadakan oleh The Centre for Strategic Studies
dari University of Jordan menghapus seluruh klaim tak berdasar yang
dibuat tuan Akbar tersebut. Menurut survey yang bertajuk Revisiting
the Arab Street: “Tanyakan apakah syariat harus menjadi satu-satunya
sumber hukum, salah satu sumber hukum, atau sama sekali menjadi sumber
hukum”. Mayoritas umat Islam meyakini bahwa syariat harus menjadi satu-
satunya sumber hukum. Dukungan akan hal ini terutama sangat kuat di
Yordania, Palestina, dan Mesir, di mana hampir dua-pertiga responden
Muslim menyatakan bahwa syariat harus menjadi satu-satunya sumber
hukum, sedangkan sepertiga lainnya yakin bahwa syariat setidaknya
harus menjadi salah satu sumber hukum.

Aspirasi dan perhatian perempuan Muslim, khususnya, tahun lalu
diungkap dalam salah satu jajak pendapat yang dilaporkan dalam New
York Times. Perhatian mereka ialah: kurangnya kesatuan antar bangsa-
bangsa Muslim, ekstrimisme dengan kekerasan, serta korupsi politik dan
ekonomi. Semua permasalahan tersebut hanya dapat dipecahkan oleh
Negara Khilafah.

Bukan umat Islam yang menginginkan hidup di bawah 22 negara yang
terpisah, namun justru berasal dari para pemimpin mereka yang korup.
Para penguasa di Dunia Islam saat ini adalah yang terburuk sepanjang
sejarah dunia. Mereka juga adalah orang-orang terkaya di dunia –
mendapat kekayaan dengan cara mencurinya dari umat yang mereka pimpin.
Apa yang diinginkan umat Islam adalah mengganti mereka semua.
Sayangnya, para penguasa tersebut memiliki teman-teman pada skala
tinggi yang tinggal di London dan Washington, yang dengan dukungan
merekalah para penguasa ini memerintah rakyatnya dengan tangan besi.

Terlepas dari kenyataan tersebut, para penguasa di Dunia Islam
sesungguhnya hidup dalam ketakutan. Rakyat mereka mulai tidak takut
lagi menghadapi penyiksaan dan penahanan brutal yang mereka lakukan,
serta mulai berani bicara terbuka untuk melawan mereka. Berbagai
demonstrasi marak terjadi di seluruh Dunia Islam. Mesir, yang secara
tradisional merupakan negara yang paling represif di Timur Tengah,
memiliki tokoh dari kalangan politisi, praktisi hukum, dan media yang
beroposisi pada pemerintahan brutal Husni Mubarak.

Rasulullah saw bersabda:

“Jihad terbaik adalah mengatakan kebenaran di depan penguasa yang
zalim.” [Abu Dawud dan Tirmidzi]

5. Amerika Tidak Akan Membiarkan Hal Ini Terjadi

Dalam pidatonya tentang Perang Global Melawan Teror, Presiden AS
George W. Bush berkata: “Mereka ingin mendirikan kekuatan politik
utopia di seluruh kawasan Timur Tengah yang mereka namakan “Khilafah” –
di mana semua diperintah berdasarkan ideologi mereka yang penuh
kebencian…saya tidak akan membiarkan ini terjadi – dan juga tidak ada
satu Presiden AS pun di masa mendatang yang akan membiarkan hal ini.”

Pernyataan arogan macam ini sama sekali tidak sejalan dengan kenyataan
yang terjadi di Dunia Islam. Perang Irak telah menyedot kekuatan
perang AS secara besar-besaran. Terlepas dari klaim pasca invasi bahwa
hantu Vietnam telah berlalu, Irak sekarang ini telah menjelma menjadi
Vietnam kedua bagi AS. Sekitar 100 serdadu AS mati sia-sia tiap
bulannya, dan Amerika juga menghadapi perlawanan keras dari seisi
penjuru negeri yang menginginkan mereka pergi. Pendudukan di
Afghanistan juga tidak berlangsung lebih baik karena ketidakmampuan
Amerika untuk mengamankan wilayah yang telah mereka duduki.

Para politisi AS yang lebih memahami situasi daripada Bush dapat
melihat jelas betapa terbatasnya kekuatan AS. Pat Buchanan, salah
seorang pendiri majalah The American Conservative dan penasehat bagi
tiga Presiden AS sebelumnya, Nixon, Ford dan Reagan, berkata, “Apabila
aturan Islam adalah gagasan yang disetujui oleh seluruh kekuatan
Islam, bagaimana mungkin pasukan terbaik di dunia dapat
menghentikannya?”

Tidak diragukan lagi bahwa umat Islam percaya kalau kemenangan (an-
nashr) datang dari Allah Swt bukan melalui sejumlah angka atau
sumberdaya materi. Bahkan sejumlah kecil umat Islam dapat mengatasi
kekuatan superpower yang besar bila mereka berpegang teguh pada tali
Allah dan berserah diri kepada-Nya. Kekalahan memalukan Israel dari
sekelompok milisi bersenjata Libanon tahun lalu adalah contoh jelas
dalam hal ini.

Rasulullah saw bersabda:

“Akan tiba suatu masa di mana umat ini dipermainkan oleh umat-umat
lain, seperti makanan di atas meja”. Seseorang lalu bertanya, “Apakah
jumlah kami saat itu sangat kecil?” Ia (Rasulullah) menjawab, “Tidak,
jumlah kalian sangat banyak saat itu. Namun kalian akan tercerai-berai
dan terbagi-bagi bagai makanan diperebutkan di atas meja, dan Allah
telah mengambil ketakutan pada kalian dari hati musuh-musuh kalian dan
menempatkan wahn di hati kalian.” Seseorang lalu bertanya, “Apa itu
wahn?” Rasulullah saw menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” [Abu
Dawud]

Sekitar 60 tahun yang lalu, bangsa-bangsa Eropa masih terlibat dalam
perang brutal antar sesama mereka. Kini mereka bersatu di bawah
bendera Uni Eropa dengan satu mata uang yang sama –sesuatu yang tak
terbayangkan beberapa dekade lalu. Bila Uni Eropa dengan
nasionalismenya yang kuat, serta perbedaan bahasa, dan tradisi yang
berbeda dapat bersatu, mengapa Dunia Islam tidak?

Apakah kemungkinan digantinya para diktator di Dunia Islam oleh Negara
Khilafah hanya merupakan fantasi bila ini merepresentasikan harapan
dari seluruh umat Islam? Tidak ada pemimpin Muslim di dunia ini yang
dipilih oleh rakyat mereka yang dapat memenangkan pemilu secara telak.
Mereka umumnya berkuasa melalui sebuah kudeta, seperti yang dilakukan
Jenderal Musharraf di Pakistan. Tak peduli betapapun kuatnya
pemerintah saat ini mencoba menekan gerakan politik dan kebudayaan
Islam, mereka tidak akan pernah mampu memadamkan gagasan ini. Gagasan
syariat dan pemerintahan Islam kini semakin mengakar di tengah umat
Islam, baik rakyat biasa maupun kalangan berpengaruh. Gagasan ini
semakin merasuk di tengah kalangan Angkatan Bersenjata, dan tinggal
masalah waktu untuk menanti salah seorang atau beberapa perwira senior
di Dunia Islam merasa cukup dengan situasi saat ini dan melakukan
tindakan yang benar –dengan menyingkirkan rezim-rezim saat ini, dan
menggantinya dengan seorang Khalifah Rasyid yang akan menerapkan
Qur’an dan Sunnah dengan benar.

Kalangan berpengaruh dan mereka yang ada dalam Angkatan Bersenjata di
Dunia Islam harus memahami bahwa bila mereka memfasilitasi tegaknya
kembali pemerintahan Islam melalui penegakan kembali lembaga Khalifah,
maka mereka akan segera memperoleh dukungan dari mayoritas umat Islam,
yang kemudian akan membantu mereka dengan berbagai cara.

Rasulullah saw bersabda:

“Masa kenabian akan tetap ada di tengah-tengah kalian selama Allah
menghendaki, kemudian Allah akan mengambilnya dari tengah-tengah
kalian. Kemudian akan ada (masa) Khilafah Rasyid (yang mendapat
petunjuk) yang berjalan selaras dengan kenabian. Khilafah itu akan
tetap ada di tengah-tengah kalian selama Allah menghendaki, kemudian
Allah akan mengambilnya dari tengah-tengah kalian. Setelah itu akan
ada (masanya) banyak pemimpin, dan itu akan tetap ada di tengah-tengah
kalian selama Allah menghendaki, kemudian Allah akan mengambilnya dari
tengah-tengah kalian. Setelah itu akan ada (masa) pemerintahan tirani,
dan akan tetap ada di tengah-tengah kalian selama Allah menghendaki,
kemudian Allah akan mengambilnya dari tengah-tengah kalian. Kemudian,
akan muncullah (masa) Khilafah Rasyid (kembali) yang berjalan selaras
dengan kenabian.” Kemudian beliau (Rasulullah) terdiam.” (Musnad Imam
Ahmad (v/273)).
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages