Mispersepi Barat terhadap Nasib Perempuan dalam Negara Khilafah

1 view
Skip to first unread message

daulah.khilaf...@gmail.com

unread,
Jan 29, 2009, 12:28:12 AM1/29/09
to Daulah.Khilafah.Islamiyyah
Perlakuan Negara Khilafah Terhadap Perempuan

Hingga saat ini masih sering dijumpai adanya kebingungan di kalangan
masyarakat Barat mengenai pembagian peran antara kaum laki-laki dan
kaum perempuan dalam kehidupan. Pada masa lalu, kaum perempuan
mempunyai kedudukan yang lebih rendah dibandingkan kaum laki-laki, dan
bahkan pernah disejajarkan dengan hewan atau dipandang sebagai
“makhluk yang tidak memiliki ruh”, atau dianggap hanya sebagai hak
milik kaum laki-laki. Sementara pada masa sekarang ini, berbagai
pergerakan dan organisasi perempuan berjuang melawan status quo untuk
mendapatkan status dan hak-hak yang sama sebagaimana kaum laki-laki.

Konflik semacam ini kerap timbul di antara kaum laki-laki dan
perempuan, karena karakteristik dan sifat alamiah kaum laki-laki dan
perempuan, berikut peran yang mereka mainkan dalam kehidupan ini
ditentukan berdasarkan pertimbangan akal manusia. Namun, tentu saja,
mustahil bagi manusia –yang pengetahuannya sangat terbatas ini– untuk
dapat memahami sepenuhnya sifat laki-laki dan perempuan yang sangat
rumit ini, serta perasaan dan karakteristik mereka yang sangat
berlainan. Sebagai akibatnya, muncul pemikiran-pemikiran yang keliru
mengenai bagaimana seharusnya kaum laki-laki dan perempuan saling
berinteraksi satu dengan yang lain. Peran masing-masing pihak belum
didefinisikan dengan jelas, dan hasilnya adalah timbulnya kekacauan di
tengah-tengah masyarakat.

Banyak masalah yang secara langsung bersumber dari ketidakjelasan ini,
baik berkenaan dengan peran kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam
keluarga, dalam masyarakat, maupun dalam dunia kerja. Inilah sebabnya
mengapa terjadi diskriminasi dan penindasan terhadap kaum perempuan,
runtuhnya bangunan keluarga, pelecehan seksual, prostitusi, perilaku
tak senonoh terhadap anak-anak, homoseksual, serta berbagai macam
penyakit sosial lainnya.

Pandangan Barat terhadap kaum perempuan seperti itulah yang kemudian
digunakan untuk meneropong ajaran Islam. Bahwa “Islam menindas kaum
perempuan”, sepertinya sudah menjadi opini yang kuat di kalangan
pengamat Barat. Hak-hak perempuan dalam Islam, khususnya yang hidup
dalam sistem Islam, menjadi topik perdebatan yang hangat sambil
melahirkan banyak mispersepsi.

Ada beberapa pernyataan yang menggelikan mengenai perlakuan Islam
terhadap perempuan, beberapa lagi cenderung khayalan dan menggelikan.

Ayaan Hirsi Ali, mantan anggota parlemen Belanda, yang berbohong
tentang pernikahannya demi memperoleh status kewarganegaraan Belanda,
adalah salah seorang yang disebut sebagai pejuang hak-hak perempuan.
Namanya mendadak terkenal setelah dia menulis skenario film berjudul
Submission yang disutradarai oleh Theo van Gogh, yang kemudian dibunuh
gara-gara film tersebut.

Judul film tersebut merupakan terjemahan langsung terhadap kata
“Islam” dan menggambarkan empat perempuan muslimah telanjang setelah
dipukuli dan diperkosa oleh saudara laki-laki dalam keluarga mereka.
Ayat-ayat al-Quran tentang perempuan kemudian diletakkan di tubuh
telanjang mereka. Orang yang pengetahuan Islamnya minim pun akan tahu
bahwa menuduh al-Quran memerintahkan pemerkosaan, khususnya oleh
kerabat, adalah klaim yang menggelikan.

Sayangnya, memang argumentasi seperti itulah yang banyak beredar saat
membahas hak-hak perempuan muslimah.

Komentar terkini Bush tentang Khilafah mengutip contoh-contoh dari
Taliban untuk menggambarkan Khilafah sebagai “negara dimana perempuan
dipenjara di rumah, dan para gadis tak bisa bersekolah, dan perempuan
terasing dari publik.”

Terlepas dari perkara benar-salahnya pemerintahan Taliban, bagaimana
sebenarnya Negara Khilafah memperlakukan kaum perempuan?

Penting untuk disadari bersama bahwa serangan terhadap cara Islam
memperlakukan perempuan bukan berasal dari kalangan perempuan
muslimah, melainkan dari kalangan non Muslim yang memandang masalah
tersebut sebagai orang luar. Hal itu membuat mereka merasa perlu untuk
“membebaskan” perempuan muslimah dari kungkungan penjara di rumah atau
dari hijab yang harus mereka kenakan. Tapi pandangan ini sama sekali
tidak mencerminkan pandangan mayoritas perempuan muslimah.

Dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh The Gallup Organization, dan
dilaporkan dalam artikel di New York Times – Muslim Women Don’t See
Themselves as Oppressed, Survey Finds – menunjukkan dengan jelas
bagaimana sesungguhnya aspirasi dan perasaan perempuan muslimah.
Keprihatinan mereka yang utama adalah kurangnya persatuan kaum Muslim,
kekerasan ekstrimisme, dan korupnya sistem politik dan ekonomi. Semua
itu adalah masalah-masalah yang akan diatasi oleh Khilafah.

“Hijab, atau kerudung, dan burqa, pakaian yang menutupi tubuh dan
wajah, yang dilihat oleh sebagian kalangan Barat sebagai alat
penindasan, tidak pernah disebut-sebut dalam jawaban para perempuan
itu terhadap pertanyaan terbuka dalam survey tersebut, demikian
menurut analis jajak pendapat itu.”

Survey tersebut juga menemukan bahwa “mayoritas perempuan yang menjadi
responden di tiap negara menyebutkan ‘keterikatan terhadap nilai-nilai
moral dan spiritual’ sebagai aspek terbaik dalam masyarakat mereka.”

Islam memiliki cara yang unik dalam memperlakukan masalah lelaki dan
perempuan. Dalam sistem dan agama “buatan manusia”, dimana manusia
(kebanyakan lelaki) memutuskan nilai-nilai mereka dan sistem
legislasinya, perempuan akan menjadi pihak yang tertindas dan
tereksploitasi. Lelaki tidak pernah bisa mengerti bagaimana rasanya
menjadi perempuan, lantas bagaimana bisa mereka membuat aturan bagi
perempuan?

Laki-laki dan Perempuan dalam Islam

Islam menjelaskan secara gamblang dan akurat tentang peran kaum laki-
laki dan perempuan dalam kehidupan ini, serta memberikan pedoman yang
rinci tentang bagaimana seharusnya mereka berinteraksi antara satu
dengan yang lain dalam setiap aspek kehidupan. Penjelasan dan
pembagian peran ini langsung berasal dari Allah Swt, Sang Pencipta
manusia. Oleh sebab itulah, maka penjelasan dan pembagian peran
tersebut benar-benar sesuai dengan kodrat manusia, dan tidak dikenal
adanya penindasan atau diskriminasi yang dilakukan oleh salah satu
pihak kepada pihak lainnya.

Umat manusia adalah kumpulan dari individu-individu manusia yang
memiliki berbagai naluri yang sama, yaitu naluri mempertahankan diri
(gharizatu al-baqa’), naluri beragama (gharizatu at-tadayyun), dan
naluri untuk mempertahankan keturunan (gharizatu an-nau’). Masing-
masing individu juga memiliki kebutuhan pokok yang sama, seperti
kebutuhan untuk makan, tidur, bernafas, dan sebagainya. Naluri dan
kebutuhan jasmani ini dimiliki oleh setiap individu, apa pun jenis
kelaminnya. Kaum laki-laki maupun kaum perempuan adalah makhluk Allah
Swt, dan dalam hal ini kedua belah pihak memiliki kedudukan yang sama.
Islam menjelaskan tujuan hidup manusia, yakni semata-mata untuk
beribadah kepada Allah Swt. Allah Swt berfirman:

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi (beribadah) kepada-Ku. (TQS. adz-Dzariyat [51]: 56)

Peribadatan ini dijalankan dengan menaati perintah-perintah Allah Swt
dan menjauhi segala larangan-Nya. Atas dasar ukuran ketaatan ini
seseorang akan dihisab pada Hari Penghisaban, untuk menentukan apakah
ia akan mendapatkan hadiah surga atau siksa di neraka. Hal ini terjadi
baik pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan, tanpa ada perbedaan
antara satu dengan yang lain. Di mata Allah Swt, kaum laki-laki dan
perempuan mempunyai kedudukan yang sama. Allah Swt berfirman di dalam
al-Qur’an:

Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berkata),
“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal
di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu
adalah keturunan dari sebagian yang lain.” (TQS. Ali Imran [3]: 195)

Namun harus dipahami bahwa Allah Swt menciptakan laki-laki dan
perempuan dengan fitrah yang berbeda, yang menyebabkan mereka
mempunyai peran yang berbeda dalam kehidupan ini. Hal ini disebabkan
karena ada sejumlah sifat yang hanya dimiliki oleh kaum laki-laki atau
kaum perempuan, yang tidak bisa dilakukan oleh lawan jenisnya. Sebagai
misal, kaum perempuan mempunyai potensi untuk mengandung dan menyusui
anak-anaknya; sementara laki-laki –yang secara fisik lebih kuat– tidak
bisa menjalankan fungsi tersebut. Salah satu dari sekian banyak
kesalahan yang kita dapati dalam sistem buatan manusia adalah bahwa
“kesetaraan” antara kaum laki-laki dan perempuan dimaknai dengan
“kesamaan”. Atas dasar konsep tersebut, maka laki-laki dan perempuan
didorong untuk saling berkompetisi dalam menjalani peran dan fungsi
yang sama.

Syariat Islam mencegah hal ini terjadi. Dalam beberapa aspek, yang
tidak dikhususkan bagi jenis kelamin tertentu, kaum laki-laki dan kaum
perempuan mengikuti aturan-aturan yang sama, seperti dalam hal shalat,
mengucapkan syahadat, atau shaum; kecuali pada saat-saat tertentu
dimana terdapat perbedaan akibat adanya sifat-sifat alamiah tertentu.
Jadi, pada saat menstruasi, kaum perempuan tidak melaksanakan shalat,
dan pada saat hamil mereka mendapatkan rukhshah (keringanan) untuk
tidak menjalankan ibadah shaum (meski harus menggantinya pada hari-
hari yang lain). Akan tetapi, pada aspek-aspek yang lain, yakni dalam
hal-hal yang berkaitan dengan jenis kelamin tertentu, kaum laki-laki
dan kaum perempuan mempunyai peran yang berbeda serta mengikuti aturan
yang berlainan pula. Misalnya adalah potensi untuk menjalani fungsi-
fungsi keibuan dan potensi untuk menjalankan fungsi-fungsi seorang
bapak. Jadi, bukannya terjadi kompetisi antara kaum laki-laki dengan
kaum perempuan, tetapi justru tercipta harmoni dan ketenangan.

Tujuan Sistem Pergaulan

Ada tiga tujuan utama sistem pergaulan dalam Islam. Ketiganya adalah:

Untuk menentukan peran kaum laki-laki dan kaum perempuan.

Untuk mengelola hubungan antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan,
serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul akibat hubungan ini.

Untuk mengatur struktur keluarga.

Semua hukum dan aturan yang wajib ditaati oleh umat manusia dalam
rangka memenuhi tujuan-tujuan tersebut telah ditetapkan oleh syariat.
Ada sejumlah aturan yang bersifat khas bagi kaum laki-laki atau kaum
perempuan, tapi ada pula aturan-aturan yang diaplikasikan oleh
keduanya.

Islam diturunkan dari Pencipta lelaki dan perempuan – Allah Swt.
Lelaki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah
Swt. Kalaupun ada perbedaan, maka itu hanya dalam hal ketaatan dan
ketundukan mereka terhadap Allah Swt. Ini menjamin bahwa perempuan
tidak tunduk terhadap hukum-hukum buatan manusia yang hanya cocok bagi
lelaki.

Islam mengakui bahwa lelaki dan perempuan memiliki perbedaan-perbedaan
alamiah, dan karena itu memiliki peran yang berbeda dalam kehidupan
bermasyarakat.

Berikut ini adalah beberapa poin penting terkait posisi perempuan
dalam sistem Khilafah.

Pendidikan

Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap orang, lelaki maupun
perempuan. Bahkan sangat penting bagi perempuan muslimah untuk
memiliki pendidikan Islami setinggi mungkin, karena merekalah yang
nantinya akan menjadi sumber pengetahuan pertama bagi anak-anaknya.

Negara Khilafah berkewajiban menyediakan layanan pendidikan dan
kesehatan terbaik bagi warganegaranya. Dengan begitu, maka diperlukan
banyak sekali perempuan yang berprofesi sebagai dokter, perawat, dan
guru untuk menjalankan peran dan tugas itu.

Ayat 173 dalam draf rancangan konstitusi Negara Khilafah (yang disusun
oleh Hizbut Tahrir) menyatakan:

“Negara berkewajiban mengajarkan hal-hal yang dibutuhkan manusia dalam
kehidupannya, baik laki-laki maupun wanita. Program wajib belajar
berlaku atas seluruh rakyat pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah. Negara wajib menjamin pendidikan bagi seluruh warga dengan
cuma-cuma, serta mereka diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan
tinggi secara cuma-cuma dengan fasilitas sebaik mungkin.”

Pekerjaan

Tugas utama perempuan adalah menjadi istri dan ibu. Dia tidak dibebani
tugas untuk bekerja menghidupi dirinya sendiri. Tugas tersebut
dibebankan kepada lelaki – baik itu lelaki yang menjadi suaminya
ataupun ayahnya, ataupun saudaranya. Jika seorang perempuan tidak
memiliki wali, maka dia berhak mendapat status sebagai kalangan yang
dilindungi negara, dan tidak wajib bekerja.

Namun demikian, perempuan tetap boleh bekerja dan memainkan peran lain
dalam kehidupan bermasyarakat, selain peran mereka dalam keluarga
seperti yang telah disebut di atas. Keberadaan dokter, guru, perawat,
hakim, polisi perempuan sangatlah penting bagi keberlangsungan
masyarakat. Dapat dibayangkan betapa rikuhnya seorang perempuan jika
harus membahas masalah-masalah yang khas perempuan dengan seorang
hakim lelaki, misalnya. Karena itulah keberadaan hakim perempuan,
khususnya dalam pengadilan keluarga, dibutuhkan oleh negara.

Bahkan jika seorang perempuan muslimah bekerja, dia tidak diwajibkan
untuk membelanjakan uangnya untuk keluarganya. Dia bisa menjadi orang
yang kaya raya, sedangkan kewajiban menafkahi keluarga tetap ada pada
lelaki yang menjadi suaminya, bukan pada dirinya. Suami ataupun
keluarga, tidak punya hak untuk menyentuh harta yang dikumpulkan oleh
perempuan tersebut. Tentu saja perempuan muslimah juga terikat
kewajiban ‘untuk membayar’ atas hasil pekerjaan mereka, entah itu yang
termasuk kharaj, ‘usyur, atau zakat. Sedangkan perempuan non Muslim
tidak dikenakan kewajiban membayar jizyah, bahkan seandainya mereka
memiliki pekerjaan.

Pemerintahan

Perempuan wajib menyuarakan opini politik mereka dan mendapat
kedudukan dalam pemerintahan Khilafah. Mereka bisa menjadi hakim,
kepala departemen pemerintahan, anggota Majelis Umat, dan mereka boleh
memberikan suara dalam pemilihan Khalifah. Karena adanya larangan yang
datang dari Allah Swt –yang lebih tahu diri mereka dibandingkan mereka
sendiri – mereka tidak dapat memegang posisi Khalifah ataupun jabatan-
jabatan pemerintahan (seperti Wali, Mu’awin Tafwidl, Amir Jihad).
Perempuan muslimah tidak mempermasalahkan hal ini karena mereka punya
kewajiban lain, yaitu menaati Allah Swt dan mendapatkan ridha-Nya.

Kehidupan Keluarga

Pelanggaran kehormatan, kekerasan domestik, dan penganiayaan terhadap
istri, adalah perkara-perkara yang dilarang oleh Islam. Tujuan
pernikahan adalah untuk mencapai kedamaian melalui hubungan kemitraan
antara suami dan istri.

Nabi Muhammad saw bersabda:

“Orang yang imannya paling sempurna di antara kalian adalah yang
paling berakhlak mulia, dan yang terbaik di antara kalian adalah yang
paling baik kepada istrinya.” (HR. Tirmidzi)

Hukum

Lelaki dan perempuan berkedudukan setara di hadapan hukum. Perbedaan
mereka hanya dalam hal jumlah saksi yang diperlukan ketika akan
menghukum seseorang. Secara umum, dua orang saksi perempuan setara
dengan seorang saksi lelaki. Ini tidak berarti bahwa perempuan
mendapat status setengah lelaki, seperti yang dituduhkan oleh sebagian
kalangan. Aturan ini bukan ditetapkan oleh lelaki, tapi oleh Allah Swt
yang telah menciptakan perempuan. Dalam hal ini, perempuan menerima
posisi ini dalam rangka ketaatannya kepada Allah Swt.

Banyak yang menyebut bahwa hukum perzinaan dalam Islam tidak adil
terhadap perempuan. Hal ini dikemukakan dengan mengambil kasus dari
Pakistan dan Taliban.

Hukum perzinaan sesungguhnya berlaku sama, bagi lelaki dan perempuan.
Untuk membuktikan kasus perzinaan, empat orang saksi terpercaya yang
kesaksiannya sedang diperiksa, harus bersaksi bahwa mereka memang
melihat langsung terjadinya perzinaan itu. Jika pihak penuduh tidak
dapat mengajukan empat saksi itu, maka dia sendirilah yang akan
mendapat hukum cambuk. Jika perempuan yang dituduh berzina itu
bersaksi di bawah sumpah bahwa dia diperkosa, maka keberadaan empat
orang saksi itu tidak akan berarti apa-apa, dan perempuan tersebut
tidak akan dikenai hukuman zina.

Perlu diketahui bahwa dalam peradilan biasa, umumnya yang dibutuhkan
untuk kasus pencurian dan pembunuhan adalah dua orang saksi. Adapun
perzinaan membutuhkan empat orang saksi yang harus melihat terjadinya
penetrasi. Pada prakteknya, hampir mustahil mendapatkan empat orang
saksi yang sesuai dengan ketentuan itu. Adapun bukti-bukti kasus
perzinaan pada masa-masa awal Khilafah adalah dengan jalan pengakuan,
bukan persaksian. Hukuman keras bagi pelaku zina (dirajam) adalah
hukuman yang menimbulkan efek jera, sekaligus menunjukkan kepada
masyarakat tentang mulianya nilai-nilai pernikahan.

Hijab

Dalam sistem Khilafah, perempuan diwajibkan mengenakan penutup kepala
(khimar) dan pakaian panjang (jilbab). Mereka tidak diwajibkan
menutupi wajah mereka, meskipun jika ingin, mereka boleh mengenakannya
sesuai pendapat fukaha yang mereka ikuti, demikian juga mereka
diperbolehkan memakai burqa bila memang berkehendak.

Hijab tidak menjadi masalah bagi perempuan muslimah, seperti yang
ditunjukkan dengan jelas dalam survey diatas. Barat memiliki obsesi
tersendiri dalam hal hijab ini dan pakaian perempuan secara umum. Di
Perancis, yang menjadi rumah bagi Chanel dan Yves Saint Laurent,
mereka sangat terobsesi melarang hijab. Karena melihat hijab sebagai
penindasan terhadap perempuan, mereka kemudian membuka pakaian mereka
dan berpakaian dengan cara yang menyenangkan mata para lelaki. Ini
sesuatu yang tidak akan ada dalam Negara Khilafah. Fakta bahwa negara
harus sampai melarang penggunaan hijab, menunjukkan meningkatnya
jumlah perempuan muslimah yang mencintai hijab dan ingin
mengenakannya. Hal itu juga menunjukkan kegagalan pandangan Barat
terhadap perempuan yang ingin dipaksakan agar menjadi “nilai-nilai
universal” untuk kemanusiaan.

Sebelum membuat kesimpulan tentang perempuan muslimah, pihak Barat
seharusnya bertanya terlebih dahulu kepada para muslimah itu, apa yang
sebenarnya mereka inginkan. Survey dari The Gallup Organization jelas-
jelas menyatakan bahwa yang diinginkan perempuan muslimah adalah Islam
dan kesatuan Muslim, yaitu tegaknya kembali Negara Khilafah.
Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages