Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (judul internasional The Sinking of the van der Wijck) adalah film drama romantis Indonesia tahun 2013 yang disutradarai oleh Sunil Soraya dan diproduseri oleh Ram Soraya. Film ini dialihwahanakan dari novel berjudul sama karangan Buya Hamka. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck mengisahkan tentang perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian. Diproduksi oleh Soraya Intercine Films, film ini dibintangi oleh Herjunot Ali, Pevita Pearce, Reza Rahadian, dan Randy Danistha.
Dengan biaya produksi yang tinggi, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck menjadi film termahal yang pernah diproduksi oleh Soraya Intercine Films.[6] Proses produksinya sendiri menghabiskan waktu selama lima tahun, dan penulisan skenarionya dilakukan selama dua tahun.[7] Film ini dirilis pada tanggal 19 Desember 2013.
Berlatar tahun 1930-an, dari tanah kelahirannya Makassar, Zainuddin (Herjunot Ali) berlayar menuju kampung halaman ayahnya di Batipuh, Padang Panjang. Di sana, ia bertemu dengan Hayati (Pevita Pearce), seorang gadis cantik jelita yang menjadi bunga di persukuannya. Kedua muda-mudi itu jatuh cinta. Namun, adat dan istiadat yang kuat meruntuhkan cinta mereka berdua. Zainuddin hanya seorang melarat yang tak bersuku; karena ibunya berdarah Makassar dan ayah berdarah Minang, statusnya dalam masyarakat Minang yang matrilineal tidak diakui. Oleh sebab itu, ia dianggap tidak memiliki pertalian darah lagi dengan keluarganya di Minangkabau. Sedangkan Hayati adalah perempuan Minang santun keturunan bangsawan.
Pada akhirnya, lamaran Zainuddin ditolak keluarga Hayati. Hayati dipaksa menikah dengan Aziz (Reza Rahadian), laki-laki kaya terpandang yang lebih disukai keluarga Hayati daripada Zainuddin. Kecewa, Zainuddin pun memutuskan untuk berjuang, pergi dari ranah Minang dan merantau ke tanah Jawa demi bangkit melawan keterpurukan cintanya. Zainudin bekerja keras membuka lembaran baru hidupnya. Sampai akhirnya ia menjadi penulis terkenal dengan karya-karya masyhur dan diterima masyarakat seluruh Nusantara.
Tetapi sebuah peristiwa tak diduga kembali menghampiri Zainuddin. Di tengah gelimang harta dan kemasyhurannya, dalam sebuah pertunjukan opera, Zainuddin kembali bertemu Hayati, kali ini bersama Aziz, suaminya. Pada akhirnya, kisah cinta Zainuddin dan Hayati menemui ujian terberatnya; Hayati pulang ke kampung halamannya dengan menaiki kapal Van der Wijck. Di tengah-tengah perjalanan, kapal yang dinaiki Hayati tenggelam. Sebelum kapal tenggelam, Zainuddin mengetahui bahwa Hayati sebetulnya masih mencintainya.
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck diadaptasi dari novel mahakarya sastrawan sekaligus budayawan Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau Hamka, dan menjadi film termahal yang pernah diproduksi oleh Soraya Intercine Films. Sutradara film ini, Sunil Soraya, menegaskan bahwa hal itu disebabkan karena harus membuat suasana cerita film seperti yang dikisahkan pada tahun 1930-an sesuai dengan era novel. Selain itu, juga banyak riset dan hal-hal lainnya yang wajib dipenuhi untuk mendapatkan gambar yang maksimal, yang juga membuat ongkos produksi tinggi.[8]
Observasi, proses praproduksi, pemilihan pemeran, sampai penulisan skenariopun dimulai sejak tahun 2008, yang artinya sudah berjalan selama lima tahun. Sunil menyatakan bahwa ia sempat ragu kalau film ini dapat diselesaikan karena cukup panjang prosesnya. Salah satu elemen tersulit adalah menemukan kapal yang menyerupai kapal Van der Wijck pada tahun 1930-an. Pada akhirnya, replika kapal dibuat ulang dengan memesan kapal dari Belanda, yang memang menjadi produsen asli kapal Van der Wijck.[9]
Untuk proses penyuntingan dilakukan selama 4-5 bulan setelah proses syuting selama 6 bulan dengan 300 adegan. Hasilnya, film ini berakhir dengan durasi selama 2 jam 49 menit. Seluruh kostum dalam film ini dibuat oleh perancang busana Samuel Wattimena. Sedangkan untuk penulisan skenario mengalami proses revisi selama beberapa kali karena sutradara ingin menyampaikan semangat dan pesan novel Hamka, tak hanya menyajikan kisah cinta biasa. Riset yang dilakukan untuk latar dan properti otentik seperti mobil, baju, dan barang-barang era 1930-an, juga membutuhkan waktu yang tak singkat.[10] Proses pengambilan gambarnya sendiri dilakukan di Medan, Padang, Surabaya, Lombok, dan Jakarta.[11]
Kesulitan lainnya adalah sang sutradara juga harus mencari laut yang tidak memiliki ombak kencang, karena kapal Van der Wijck dikisahkan tenggelam bukan karena ombak besar. Sementara tempat syuting lautnya kencang sekali. Akhirnya tim produksi mendatangkan tenaga ahli dari luar untuk menampilkan efek tenggelam tanpa menggunakan animasi. Salah seorang penulis skenario, Donny Dhirgantoro menjelaskan skenario ditulis selama dua tahun dengan riset yang mendalam. Bersama dengan Imam Tantowi, keduanya menyusun skenario yang sesuai dengan era tersebut mengenai kapal hingga adat Minang untuk menjadi bahan bagi para pemain film.[7]
Grup musik Nidji dipercaya sebagai pengisi jalur suara untuk film ini dengan mempersiapkan empat buah lagu. Gitaris Nidji, Andi Ariel Harsya, berperan sebagai produser untuk album jalur suara tersebut. Proses rekaman lagu-lagu tersebut melibatkan sahabat Nidji dari Inggris, Jason O`Bryan. Singel pertama yang dipilih berjudul Sumpah & Cinta Matiku. Nidji menyatakan memasukkan konsep pop Britania dengan unsur musik gregorian untuk memberi kesan megah dan kolosal.[3]
Setelah poster film ini dirilis, sejumlah masyarakat Minang yang tergabung dalam sebuah grup di jejaring sosial Facebook memrotes poster film ini yang menurut mereka tidak sesuai dengan adat dan budaya Minang yang sangat menjunjung tinggi ajaran Islam. Mereka mengklaim bahwa poster ini merupakan bentuk "pemerkosaan terhadap karya Hamka, karena Hayati yang diperankan oleh Pevita Pearce merupakan gadis Minang yang kuat adat dan agama, tidak memakai baju terbuka seperti yang ada di poster."[12]
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck berhasil mendatangkan penonton sebanyak 1.724.110 selama masa penayangannya pada tahun 2013. Oleh sebab itu, film terlaris tahun 2013 ini kembali diputar di bioskop pada tanggal 11 September 2014. Film ini telah diputar versi extendednya dengan durasi yang lebih panjang daripada versi yang diputar sebelumnya, yakni 3,5 jam.[5]
SUATU hari di tahun 1930. Sepasang bola mata Zainuddin (diperankan Herjunot Ali) dimanjakan keindahan alam Dusun Batipuh, Padang yang diapit Gunung Marapi dan Singgalang. Ia sengaja mendatanginya dengan menyeberangi lautan dari Makassar untuk menengok kampung halaman mendiang ayahnya. Selain itu, ia juga ingin belajar ilmu agama. Ia ditampung di rumah kerabat, Mande Jamilah (Jajang C. Noer).
Cinta lelaki yatim-piatu itu tak bertepuk sebelah tangan. Suatu hari, mereka bisa bertukar tutur untuk pertamakali selepas mengaji. Seiring waktu, asmara keduanya tumbuh subur lewat kalimat-kalimat elok dan puitis di surat-surat keduanya. Zainuddin kemudian mulai berani menyatakan cintanya dan ingin menikahi sang gadis.
Namun, itu bukan akhir cerita cintanya. Adegan-adegan itu sekadar pengantar film drama bertajuk Tenggelamnya Kapal van der Wijck yang diracik sutradara Sunil Soraya. Film yang diadaptasi dari novel dengan tajuk serupa karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Buya Hamka.
Hati Zainuddin remuk. Sudah cintanya terhalang aturan adat, ia merasa jadi orang buangan. Di Makassar, keluarga mendiang ibunya tak menerimanya karena ayahnya orang Minang yang menikah dengan keturunan bangsawan tanpa persetujuan. Di Batipuh pun Zainuddin tak diterima karena ibunya bukan orang Minang.
Sementara, Hayati pasrah dan hanya bisa menangis saat dijodohkan dengan pemuda flamboyan, Aziz (Reza Rahadian). Aziz merapakan anak pegawai Belanda di Padang Panjang yang gemar foya-foya dan berjudi. Dia lebih diterima tetua adat dan kerabat Hayati karena satu suku.
Berkebalikan dengan Zainuddin, kehidupan Hayati dan Aziz yang juga pindah ke Surabaya berubah 180 derajat. Aziz jatuh miskin. Aziz bunuh diri setelah pergi dan menitipkan Hayati di rumah Zainuddin karena malu.
Tak kerasan karena perasaan Zainuddin tak lagi seperti dulu, Hayati memilih balik kampung dengan menumpang kapal Van der Wijck. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Baiknya Anda saksikan sendiri di platform daring Mola TV.
Didominasi tone temaram dan kelam di babak awal, film ini perlahan berubah tone latar menjadi dominan warna monochromatic biru, lantas kuning, dan akhirnya jernih di pertengahan cerita. Inkonsistensi tone itu diperburuk dengan cara tim produksi melabrak banyak teori coloring yang tak sesuai dengan mood adegan maupun karakternya.
Aspek lain yang juga patut dipertanyakan adalah soal music scoring-nya. Kendati plot ceritanya banyak menggambarkan situasi tradisi dan adat Bugis maupun Makassar, tim produksi justru membanjirinya dengan iringan pop Inggris dan unsur musik Gregorian.
Hal lain yang cukup mengganggu adalah ketiadaan subtitle atau terjemahan di platform Mola TV. Padahal sutradara Sunil Soraya sudah cukup baik dalam menampilkan banyak dialog dengan logat dan bahasa Bugis dan Minang. Penonton yang bukan orang Minang atau Makassar bakal kesulitan memahami apa yang sedang dibicarakan para tokoh tanpa adanya subtitle bahasa Indonesia maupun Inggris.
Tim produksi seperti tak mau pusing mencari tahu atau menyediakan ruang untuk memberi kedalaman cerita. Ini amat berbeda dari Buya Hamka dalam novelnya. Untuk memberi keterangan detail waktu dan lokasi, Hamka tidak sembarangan. Ia mengutip beberapa laporan dari kantor berita Aneta bertanggal 20 Oktober 1936.
Kapal SS Van der Wijck sendiri merupakan kapal uap bercerobong satu milik Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Ia diberi nama SS Van der Wijck untuk menghormati Gubernur Jenderal Hindia Belanda periode 1893-1899, Carel Herman Aart van der Wijck.
Kapal sepanjang 97,5 meter, lebar 13,4 meter, dan bobot kotor 2.633 ton itu punya kapasitas angkut 1.801 ton kargo dan sekitar 1.000 penumpang yang terbagi dalam Kelas I, Kelas II, dan Kelas Geladak. Kapal itu dibuat oleh Maatschappij Fijenoord, Rotterdam pada 1921. Ia bertolak ke Jawa perdana pada akhir Desember 1921.
c80f0f1006