Sebelumnya, masyarakat Tangerang dan Tanjung Kait didampingi rekan
Suma Mihardja sebagai penasehat hukum untuk memperoleh kembali hak
mengurus kelenteng ini. Ketika rekan-rekan berkunjung ke sana bersama
rekan Suma, kelenteng ini dalam keadaan yang menyedihkan sekali.
----------------------------------------------------------
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0712/19/metro/4090194.htm
Situs Sejarah
Kelenteng di Tanjung Kait yang Sangat Bersejarah
Lebih dari dua abad berdiri, lolos dari terjangan tsunami pascaletusan
Krakatau 1883, itulah riwayat Kelenteng Tanjung Kait atau Kelenteng
Qing Shui Zhu Shi (Tjoe Soe Kong dalam dialek Hokkian) di ujung utara
Tangerang, sekitar 50 kilometer barat kota Jakarta. Ketua Yayasan Tjoe
Soe Kong, Lim Kin Siang (67), yang ditemui pada Jumat (14/12),
mengatakan, berapa persisnya usia Kelenteng Tjoe Soe Kong tidak
diketahui pasti.
"Yang jelas, tahun 1792 Andries Teisseire, seorang pelaut Barat,
mencatat adanya kelenteng ini. Kelenteng ini memiliki dewa tuan rumah,
yakni Kongco Tjoe Soe Kong, seorang tabib yang hidup di zaman Dinasti
Song. Beliau berasal dari Cuanciu di Provinsi Hokkian. Beliau kerap
menolong orang tanpa meminta imbalan. Sewaktu beliau wafat, orang pun
menghormati dengan memujanya untuk mengingat jasa-jasanya bagi
manusia," kata Lim Kin Siang. Tjoe Soe Kong yang terlahir sebagai Tan
Ciu Eng, lanjutnya, meninggal pada masa Kaisar Wi Cong pada Dinasti Song.
Penghormatan terhadap Tjoe Soe Kong dirintis oleh para petani tebu
Tionghoa yang kemudian bermukim di Mauk, Tangerang. "Zaman kakek saya
kuil ini masih berupa gubuk sederhana. Sudah ada pemujaan terhadap
Empe Dato dan Dewi Neng," kata Tan Kian Hok (69). Kelenteng Tjoe Soe
Kong sejak itu menjadi awal pusat komunitas masyarakat Tionghoa di Mauk.
Ketika Gunung Krakatau meletus, banyak warga yang mengungsi di sekitar
kelenteng. Mereka, lanjut Kin Siang, lolos dari maut. "Kisah kelenteng
yang luput dari tsunami Krakatau diabadikan dalam lagu Gambang Kramat
Karam yang masih dimainkan oleh kelompok gambang keromong hingga
sekarang," kata Kin Siang.
Kelenteng itu memiliki keunikan karena adanya tempat keramat yang
menjadi tempat pemujaan terhadap tokoh lokal, seperti Dewi Neng. Warga
Betawi dan Sunda pun kerap berziarah ke tempat itu.
Peneliti Perancis Clauine Salmon dan Denis Lombard dalam buku
Klenteng-klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta mencatat, sosok
dewa-dewi lokal seperti Dewi Neng menjadi bagian penting dalam situs
kelenteng di Jakarta dan sekitarnya.
Cecep Ho (40), seorang umat, mengaku banyak orang dari pelbagai latar
belakang kerap mencari berkah di kelenteng itu. Kelenteng Tjoe Soe
Kong merupakan bagian dari bangunan ibadah Tri Dharma (Sam Kauw),
yakni Buddhisme, Taoisme, dan Khonghucu yang tergolong relatif asli di
tengah modernisasi Jakarta.
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah mengatakan, Kelenteng Tjoe Soe Kong
harus dilestarikan sebagai bangunan cagar budaya. "Ini merupakan
kekayaan wisata Provinsi Banten. Banten terkenal agamais, tetapi
menjaga pluralitas," kata Atut. (ONG)
Dengan hormat;
SEMOGA TULISAN semacam ini dapat dikumpulkan agar SEJARAH RITUS
tertentu dapat dilengkapi.
Barangkali ada yang masih mengenal Alm. Jeffrey Quah mantan bgn
Arsitektur Parahyangan yang meninggal waktu lagi menekuni SEJARAH
ARSITEKTUR KLENTENG - masih punya/ simpan artikel2 nya ?
Atau pengganti beliau yang sekarang - Juga Pimpinan Arsitektur
Parahyangan - lagi menekuni FENG SHUI - bisa menambah INPUT ? <Ma'af
lupa namanya - tapi saya dengar dari isteri saya - yang juag
mendalami Terapi CHI/ Alternatif ? >
WSEmoga diskusi ini berlanjut !
Salam;
Tony S
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Hendri Irawan"
emang ada kasus apaan?
sampe butuh penasehat hukum segala?
--- Hendri Irawan <henyung@yahoo.com> wrote:
> Sebelumnya, masyarakat Tangerang dan Tanjung Kait
> didampingi rekan
> Suma Mihardja sebagai penasehat hukum untuk
> memperoleh kembali hak
> mengurus kelenteng ini. Ketika rekan-rekan
> berkunjung ke sana bersama
> rekan Suma, kelenteng ini dalam keadaan yang
> menyedihkan sekali.
>
>
----------------------------------------------------------
>
>
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0712/19/metro/4090194.htm
>
> Situs Sejarah
> Kelenteng di Tanjung Kait yang Sangat Bersejarah
>
> Lebih dari dua abad berdiri, lolos dari terjangan
> tsunami pascaletusan
> Krakatau 1883, itulah riwayat Kelenteng Tanjung Kait
> atau Kelenteng
================ dipotong ============================
Bung Agoeng,
Setahu saya masalahnya sudah selesai. Kepengurusan kelenteng ini
kembali ke tangan masyarakat (umat).
Hormat saya,
Yongde
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, agung setiawan
<agoeng_set@...> wrote:
>
> emang ada kasus apaan?
>
> sampe butuh penasehat hukum segala?
>
> --- Hendri Irawan <henyung@...> wrote:
>
> > Sebelumnya, masyarakat Tangerang dan Tanjung Kait
> > didampingi rekan
> > Suma Mihardja sebagai penasehat hukum untuk
> > memperoleh kembali hak
> > mengurus kelenteng ini. Ketika rekan-rekan
> > berkunjung ke sana bersama
> > rekan Suma, kelenteng ini dalam keadaan yang
> > menyedihkan sekali.
> >
> >
> ----------------------------------------------------------
> >
> >
> http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0712/19/metro/4090194.htm
> >
> > Situs Sejarah
> > Kelenteng di Tanjung Kait yang Sangat Bersejarah
> >
> > Lebih dari dua abad berdiri, lolos dari terjangan
> > tsunami pascaletusan
> > Krakatau 1883, itulah riwayat Kelenteng Tanjung Kait
> > atau Kelenteng
>
>
> ================ dipotong ============================
>