Fokus pengalaman hidup yang saya maksud ialah dalam kegiatan dan karya saya dalam lukisan-lukisan sejak tahun 2005, setelah pasca Tsunami di Aceh. Apa yang saya saksikan di hari ke-empat setelah Tsunami di Banda Aceh, dan tanggal 7 Januari 2005, ketika ikut rombongan Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan ke Aceh, dari atas helikopter Chinook, dimulai dari Banda Aceh menelesur sampai ke Meulaboh, saya saksikan betapa dahsyatnya kehancuran akibat terjangan Tsunami di Aceh yang begitu banyak menelan korban dan kerusakan material dan moril. Talenta menggambar dan melukis yang saya miliki sejak kecil terpanggil untuk saya lukiskan apa yang saya saksikan, rasakan, dan harapkan, agar konflik di Aceh dapat cepat terselesaikan dan kesengasaraan akibat bencana Tsunami dapat segera teratasi.
Sekecil dan seterbatas kemampuan apapun yang saya miliki, saya ingin berbagi dan berharap untuk kita bersama beramal, bahwa kesengsaraan masyarakat akibat bencana konflik dan bencana alam, di Aceh dan di mana pun, perlu kita atasi bersama, termasuk yang akan saya bahas dalam makalah ini melalui upaya sentuhan kebudayaan: lukisan dan novel, serta dialognya untuk perdamaian di tengah dinamika politik, lintas-agama, kepercayaan dan perbedaan.
Ketika menjabat Sekjen D8 di Istanbul, Turkey, hidup tiga tahun (2007-2009) di kota Negara yang kaya dengan sejarah dan kebudayaan tempat bertemunya perdaban Timur dan Barat, multi-etnis dan agama, minat lukis saya bertambah dengan minat menulis novel. Kendati Turki, Negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam yang cukup maju dalam perekonomiannya sebagai anggota G-20, dan demokratis, sama seperti Indonesia, namun konflik antara Pemerintah Turki dan etnis suku Kurdi yang tergabung dalam pemberontakkan bersenjata dalam PKK terus berlanjut menahun sampai kini. Ini mengingatkan saya pada konflik di Aceh yang menahun sebelum perdamaian tercapai di tahun 2005.
Dari pengalaman hidup mengikuti upaya perdamaian dalam konflik dan upaya perdamaian di Aceh, serta pengalaman hidup di Turki yag menyaksikan pemberitaan korban dan kerugian yang begitu besar akibat konflik, menginsipirasikan saya untuk menulis novel berjudul: “From Tsunami with Love” atau “Dari Tsunami datangnya Cinta.”
Novel fiksi cinta berlatar belakang hubungan sejarah antara Kesultanan Aceh dengan Kesultanan Usmani (Ottoman) di abad ke XVI, dan abad ke XXI, mengantar saya membaca banyak sumber kepustakaan yang menyangkut dengan konflik kekuasaan antara Kerajaan Portugis dan Kesultanan Aceh
di kawasan Asia Tengara, yang bersekutu dengan Kesultanan Ottoman, di Samudra Hindia. Ini membuat minat saya lebih banyak lagi membaca sejarah jalur ekonomi, budaya, agama, perdagangan dan peradaban di Jalur Sutra yang menghubungi peradaban Timur, termasuk Tiongkok, Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Malaysia, India, Iran, Timur Tengah, dan sampai ke Turki, serta Eropa.
Saya berencana dalam masa pensiun saya setelah menjabat 35 tahun di pemerintahan ingin menekuni melukis dan menulis novel fiksi sejarah yang fokus pada kehidupan dan budaya di Jalur Sutra yang utamanya terkait dengan Indonesia, dalam 5 tahun kedepan, Insya Allah. Seperti contoh setelah novel pertama yang hampir rampung, menyusul ialah novel berjudul “Madam Tatar at the Silk Road” (bercerita peran putri turunan Tiongkok dari Majapahit, yang ikut berdagang dengan Laksamana Cheng Ho, sampai ke Tataristan dan Istanbul di era menjelang kemenangn Sultan Mehmet Fatih menaklukkan Byzantium mengubah Constantinopel menjadi Istanbul di abad ke XV); dan “Sultan Ngabdul Hamid of Java” (bercerita mengenai adopsi pembentukan system kemiliteran perajurit Pangeran Diponegoro dari sistim militer Janissary kesultanan Ottoman, Abdul Hamid).
Dari pengalaman yang saya tuangkan dalam “diplomasi publik” melalui lukisan dan novel percintaan berlatar belakang sejarah, saya berharap--seperti dikemukakan oleh Presiden RI ke-6, SBY, mengenai 10 tahap menangani konflik-- bahwa mencegah terjadinya konflik sedini mungkin, dan memelihara perdamaian setelah solusi konflik tercapai, sangatlah esensial bagi semua bangsa yang menghadapi ancaman konflik yang berkepanjangan dan sangat menelan biaya material, moril dan nyawa. Banyak cara yang bisa kita lakukan mencegah konflik bila kita memiliki niat keras melakukannya.
“Sustainability” pasca “disaster” setelah konflik melalui perdamaian yang bermartabat, dan bencana Tsunami atau bencana alam lainnya, bagi para pemimpin bangsa mutlak secepat mungkin melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi baik fisik maupun non-fisik seperti politik, hukum, ekonomi, dan budaya di sumber dan tempat kejadian konflik serta bencana. Dari pengalaman di Aceh, selama pemerintahan SBY dalam 1 dekade (2004-2014) upaya perdamaian telah dicapai, demikian pula upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pembangunan pasca Tsunami telah dilakukan dengan cukup baik, walaupun masih ada yang belum tercapai. Bagi masyarakat orang-per-orang bisa kita lakukan bersama seperti hari ini kita berkumpul dalam Konfrensi ini membahas issues “sustainability” pasca konflik yang telah terselesaikan dan Tsunami