Dari Kernet hingga Wikipedia ~Dani Ardiansyah~ Dari sekian banyak pekerjaan yang pernah saya lakoni, salah satunya adalah menjadi kernet angkot. Yup, sekitar 9 tahun ke belakang, pada awal-awal tahun 2000, saya pernah menjalani profesi tersebut. Peralihan ketahanan pangan dan finansial yang terjadi pada keluarga saya, membuat kami sekeluarga harus melakukan apa saja untuk tetap memenuhi kebutuhan hidup. Jika mencari penguatan terhadap istilah profesi bagi seorang kernet, maka bisa dirunutkan sedemikian rupa: Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. (Wikipedia) Setelah sejak lama Bapak saya menjadi sopir taksi, yang lumayan berhasil menghidupi keluarga dengan layak, karena --saat itu belum terlalu banyak taksi di Jakarta-- Bapak yang saat itu terpikirkan untuk berhenti menjadi sopir taksi dan beralih menjadi sopir angkot di kampung halaman, akhirnya melego satu buah mobil ex taksinya. FYI, perusahaan taksi tempat Bapak saya bekerja, memberlakukan sistem kredit untuk setiap pengemudinya. Jadi, setoran harian yang diserahkan kepada perusahaan sudah termasuk cicilan kredit untuk taksi tersebut. Taraaaa.. satu buah angkot secondpun menjadi milik keluarga kami saat itu. Sebetulnya, pilihan ini tidak terlalu cerdas, mengingat perbandingan pendapatan sopir taksi dan sopir angkot tentu jauh berbeda. Yang saya dengar dari cerita Bapak, seharian mengelilingi Jakarta dengan taksi dapat menghasilkan uang minimal Rp 100.000 bersih. Tentu jumlah tersebut lebih banyak jika dibandingkan pendapatan sopir angkot di jalanan utama kampung kami yang paling besar satu hari bisa menghasilkan uang minimal Rp 25.000. Tapi dengan keyakinan luar biasa, Bapak saya berkata: "Rejekimah Alloh nu ngatur. Moal pahili" (Rezeki Alloh yang mengatur, tidak akan tertukar). Dan itu menjadi mantera pamungkas yang berhasil menenangkan kegelisahan Ummi dan Kakak saya. Selepas dari SMP pada pertengahan 1997, sambil menanti liburan kelulusan untuk naik jenjang ke SMU, saya didaulat untuk menjadi kernet angkot oleh Bapak. "Daripada nonton tipi wae, mending ilu narik" katanya. (Daripada nonton TV terus, lebih baik ikut 'narik'). "Karacaaak.. Karacaaak.. Purasedaa.." Akhirnya saya bergelantungan juga di pintu angkot. Meneriakkan angkot main direction. Tanpa perlu menguasai pengetahuan dan diklat khusus di kawasan semi militer, saya dapat dengan mudah menguasai teknik menjadi kernet. Keyword pertama dari sebuah profesipun gugur. Kernet bukan lah sebuah profesi. Hiks. Entah jika ketahanan tubuh saya pada angin menjadi salah satu persyaratan sebuah profesi. Tapi saya tidak putus harapan, semoga ada hal-hal lain dari pekerjaan ini yang memiliki benang merah dengan syarat sebuah profesi menurut Wikipedia ini :D Karacak dan Puraseda yang saya teriakkan adalah sebuah desa di pertengahan kecamatan, dan satunya lagi nun jauh di sana. Dengan kondisi jalan berlubang yang tiada ampun, yang jika hari turun hujan, kita tidak bisa membedakan mana jalur angkot, mana selokan, dan mana areal persawahan :D. Semuanya tertutup air berwarna kecoklatan. "Genep opaat geneep opaat!" (enam empat enam empaat!). Instruksi terlazim yang senantiasa saya dengar dari kernet senior lainnya. Pun jumlah maksimal penumpang yang bisa diangkut di dalamnya hanya 9 setengah orang. Karena kursi di dekat pintu tak tuntas menjulur kedepan. Percaya Diri Tidak pernah sekalipun saya merasa tidak PD ketika saya menjalani profesi sebagai kernet. Bahkan, saya menjalaninya dengan optimis --untuk tidak mengatakan narsis-- sekali. Betapa tidak, angkot Bapak selalu sarat penumpang. Terutama anak-anak sekolah pada jam-jam pulang sekolah tentunya. Salah satu penumpang anak sekolah adalah tetangga saya. Darinya pula saya mengetahui bahwa ternyata, banyak anak-anak perempuan baik SMP maupun SMU titip salam buat saya. Bahkan ada yang sampai kirim surat cinta. OMG. Betapa GRnya saya saat itu. Jarang-jarang lho ada kernet jadi Idola. *Ahiiks..* Suka duka Kernet Tentu saja, jika rit demi rit (sebutan untuk perjalanan PP angkot, dari terminal awal hingga terminal akhir) mendapatkan penumpang yang silih berganti. Karena sesuai dengan sebuah peribahasa "turun satu naik seribu". Satu orang penumpang turun lalu berganti penumpang lainnya lebih menguntungkan daripada penumpang yang sama naik sejak awal dan turun di akhir perjalanan. Hujan adalah masa paceklik bagi sopir angkot di kampung saya. Karena biasanya, orang-orang malas berpergian pada waktu hujan. Alamat saya akan menggigil kedinginan sepanjang hari. Baju satu kering di badan.. Hai baju satu kering di badan. Hiks, Bang Haji Rhoma seakan tak peduli perasaan saya saat itu. Tidka Ada Asosiasi Perkernetan Nusantara, Kode Etik, Setifikasi dan Lisensi Tak ada empati atau kepekaan ber-asah, asih, asuh dalam dunia kernet. Kami berjuang sendiri-sendiri demi memenuhi ruang kosong tubuh angkot. Tak jarang, kami berebutan penumpang di terminal. Bahkan, seorang kernet senior yang saya kenal sempat adu jotos dengan kernet lainnya hanya kerana pilihan penumpang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan si kernet. Rupanya, perbedaan pendapat dalam hal ini tidak menjadi rahmat bagi para kernet, sebaliknya berarti musibah, karena angkotnya terancam kerontang. Bukti bahwa tidak ada rasa kekeluargaan diantara kernet di kampung saya. Apatah lagi sebuah asosiasi kernet Karacak Puraseda? Hiks, keyword selanjutnya gugur. Tidak ada asosiasi profesi perkernetan nusantara. Selain yel-yel enam empat enam empat, dan membayar uang jalur yang entah apa dasar hukumnya, saya tidak mendapati macam-mcam kode etik lain seperti yang terdapat dalam gerakan Pramuka. Tidak ada dasadharma dan tristya, tidak ada dresscode, ataupun sensitifitas kemanusiaan. Pun para penumpang angkot sudah menutup hidung, ketika salah satu kernet senior --yang tidak pernah tahu arti deodorant-- menggunting (istilah untuk meminta ongkos kepada penumpang) satu persatu, dengan ketiak terbuka lebar :D. Tidak ada kode etik dalam perkernetan ini. Yang lebih mengejutkan, Bustomi, salah satu kernet senior yang sudah malang melintang di terminal, dan tidak ada yang berani nyodok (istilah untuk angkot yang mengambil jatah penumpang angkot yang ngetem) di depan hidungnya, ternyata sama sekali tidak lulus sekolah dasar. How come? Jika saya menjadi kernet ketika baru saja lulus SMP, adalah wajar karena sopir angkotnya orang tua saya sendiri, KKN berpengaruh besar dalam hal ini. Tapi Bustomi? Siapapun koneksinya, pastilah ia orang yang sangat powerfull sehingga tanpa selembar ijazahpun dia bisa melenggang menjadi seorang kernet senior yang disegani. Hebat! Bukti lain bahwa sertfikasi dan lisensi tidak berpengaruh banyak dalam hal ini. Dan itu ada menjadi sebuah kesimpulan, bahwa kernet bukanlah sebuah profesi. Hiks. Namun demikian, demi melihat betapa tercukupinya hidup tetangga saya dengan penghasilan Suaminya yang seorang kernet, wisudanya seorang kawan yang ayahnya seorang kernet, bersihnya pakaian jama’ah jum’at yang baru saja rehat meng-kerneti, saya merasa harus merevisi definisi profesi yang ada di Wikipedia, hati, pikiran dan pandangan seseorang tentang profesi. Apapun itu, kernet sekalipun. Jakarta, 13 Agustus 2009 Dani Ardiansyah www.JasaPenerbitan.com www.CatatanKecil.Multiply.com |
Kang Dani, aku benar-benar tersenyum geli membayangkan dirimu jadi kernet idola remaja saat itu... Mungkin dirimu menjadi salah satu daya tarik para abg itu utk menumpang angkot Bapaknya Kang Dani dan justru dari situlah rezeki dari Allah mengalir.. ^_^
Well, aku benar-benar salut padamu, Kang Dani... pekerjaan pertama yang benar-benar tough dan menempa mentalmu menjadi sekuat baja... semangat juangmu yang tak kunjung padam ^_^
Aku jadi inget pekerjaan pertamaku adalah mengajar adik-adik kelasku bahasa Inggris waktu aku masih SMU... uangnya mungkin tidak seberapa jumlahnya, tapi aku senang sekali bisa bercanda dan bermain-main sambil belajar dengan mereka. Banyak hal yang kualami termasuk kiriman2 salam, puisi dan surat cinta, serta curhatan tengah malam dari murid-muridku itu... ^_^
Thanks for sharing Kang Dani... ^_^
Salam
Lia
Waks! Keren. Mau dong jd anak sekolah naik angkot kalo kernetnya sekeren abi nibras. Hehe.
Pantes gak gape nyopir. Lha wong expertnya jd kernet. Hehe.
--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Kang Dani <fil_ardy@...> wrote:
>
> Dari Kernet hingga Wikipedia
> ~Dani Ardiansyah~
>
>
> Dari sekian banyak pekerjaan yang pernah saya lakoni, salah satunya adalah menjadi kernet angkot. Yup, sekitar 9 tahun ke belakang, pada awal-awal tahun 2000, saya pernah menjalani profesi tersebut. Peralihan ketahanan pangan dan finansial yang terjadi pada keluarga saya, membuat kami sekeluarga harus melakukan apa saja untuk tetap memenuhi kebutuhan hidup.
>
> Jika mencari penguatan terhadap istilah profesi bagi seorang kernet, maka bisa dirunutkan sedemikian rupa: Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. (Wikipedia)
>
> Setelah sejak lama Bapak saya menjadi sopir taksi, yang lumayan berhasil menghidupi keluarga dengan layak, karena --saat itu belum terlalu banyak taksi di Jakarta-- Bapak yang saat itu terpikirkan untuk berhenti menjadi sopir taksi dan beralih menjadi sopir angkot di kampung halaman, akhirnya melego satu buah mobil ex taksinya. FYI, perusahaan taksi tempat Bapak saya bekerja, memberlakukan sistem kredit untuk setiap pengemudinya. Jadi, setoran harian yang diserahkan kepada perusahaan sudah termasuk cicilan kredit untuk taksi tersebut.
>
> Taraaaa.. satu buah angkot secondpun menjadi milik keluarga kami saat itu. Sebetulnya, pilihan ini tidak terlalu cerdas, mengingat perbandingan pendapatan sopir taksi dan sopir angkot tentu jauh berbeda. Yang saya dengar dari cerita Bapak, seharian mengelilingi Jakarta dengan taksi dapat menghasilkan uang minimal Rp 100.000 bersih. Tentu jumlah tersebut lebih banyak jika dibandingkan pendapatan sopir angkot di jalanan utama kampung kami yang paling besar satu hari bisa menghasilkan uang minimal Rp 25.000. Tapi dengan keyakinan luar biasa, Bapak saya berkata: "Rejekimah Alloh nu ngatur. Moal pahili" (Rezeki Alloh yang mengatur, tidak akan tertukar). Dan itu menjadi mantera pamungkas yang berhasil menenangkan kegelisahan Ummi dan Kakak saya.
>
> Selepas dari SMP pada pertengahan 1997, sambil menanti liburan kelulusan untuk naik jenjang ke SMU, saya didaulat untuk menjadi kernet angkot oleh Bapak. "Daripada nonton tipi wae, mending ilu narik" katanya. (Daripada nonton TV terus, lebih baik ikut 'narik').
>
> "Karacaaak.. Karacaaak.. Purasedaa.." Akhirnya saya bergelantungan juga di pintu angkot. Meneriakkan angkot main direction. Tanpa perlu menguasai pengetahuan dan diklat khusus di kawasan semi militer, saya dapat dengan mudah menguasai teknik menjadi kernet. Keyword pertama dari sebuah profesipun gugur. Kernet bukan lah sebuah profesi. Hiks. Entah jika ketahanan tubuh saya pada angin menjadi salah satu persyaratan sebuah profesi. Tapi saya tidak putus harapan, semoga ada hal-hal lain dari pekerjaan ini yang memiliki benang merah dengan syarat sebuah profesi menurut Wikipedia ini :D
>
> Karacak dan Puraseda yang saya teriakkan adalah sebuah desa di pertengahan kecamatan, dan satunya lagi nun jauh di sana. Dengan kondisi jalan berlubang yang tiada ampun, yang jika hari turun hujan, kita tidak bisa membedakan mana jalur angkot, mana selokan, dan mana areal persawahan :D. Semuanya tertutup air berwarna kecoklatan. "Genep opaat geneep opaat!" (enam empat enam empaat!). Instruksi terlazim yang senantiasa saya dengar dari kernet senior lainnya. Pun jumlah maksimal penumpang yang bisa diangkut di dalamnya hanya 9 setengah orang. Karena kursi di dekat pintu tak tuntas menjulur kedepan.
>
> Percaya Diri
>
> Tidak pernah sekalipun saya merasa tidak PD ketika saya menjalani profesi sebagai kernet. Bahkan, saya menjalaninya dengan optimis --untuk tidak mengatakan narsis-- sekali. Betapa tidak, angkot Bapak selalu sarat penumpang. Terutama anak-anak sekolah pada jam-jam pulang sekolah tentunya. Salah satu penumpang anak sekolah adalah tetangga saya. Darinya pula saya mengetahui bahwa ternyata, banyak anak-anak perempuan baik SMP maupun SMU titip salam buat saya. Bahkan ada yang sampai kirim surat cinta. OMG. Betapa GRnya saya saat itu. Jarang-jarang lho ada kernet jadi Idola. *Ahiiks..*
>
>
> Suka duka Kernet
>
> Tentu saja, jika rit demi rit (sebutan untuk perjalanan PP angkot, dari terminal awal hingga terminal akhir) mendapatkan penumpang yang silih berganti. Karena sesuai dengan sebuah peribahasa "turun satu naik seribu". Satu orang penumpang turun lalu berganti penumpang lainnya lebih menguntungkan daripada penumpang yang sama naik sejak awal dan turun di akhir perjalanan.
>
> Hujan adalah masa paceklik bagi sopir angkot di kampung saya. Karena biasanya, orang-orang malas berpergian pada waktu hujan. Alamat saya akan menggigil kedinginan sepanjang hari. Baju satu kering di badan.. Hai baju satu kering di badan. Hiks, Bang Haji Rhoma seakan tak peduli perasaan saya saat itu.
>
>
> Tidka Ada Asosiasi Perkernetan Nusantara, Kode Etik, Setifikasi dan Lisensi
>
> Tak ada empati atau kepekaan ber-asah, asih, asuh dalam dunia kernet. Kami berjuang sendiri-sendiri demi memenuhi ruang kosong tubuh angkot. Tak jarang, kami berebutan penumpang di terminal. Bahkan, seorang kernet senior yang saya kenal sempat adu jotos dengan kernet lainnya hanya kerana pilihan penumpang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan si kernet. Rupanya, perbedaan pendapat dalam hal ini tidak menjadi rahmat bagi para kernet, sebaliknya berarti musibah, karena angkotnya terancam kerontang. >
> Selain yel-yel enam empat enam empat, dan membayar uang jalur yang entah apa dasar hukumnya, saya tidak mendapati macam-mcam kode etik lain seperti yang terdapat dalam gerakan Pramuka. Tidak ada dasadharma dan tristya, tidak ada dresscode, ataupun sensitifitas kemanusiaan. Pun para penumpang angkot sudah menutup hidung, ketika salah satu kernet senior --yang tidak pernah tahu arti deodorant-- menggunting (istilah untuk meminta ongkos kepada penumpang) satu persatu, dengan ketiak terbuka lebar :D. Tidak ada kode etik dalam perkernetan ini.
>
> Yang lebih mengejutkan, Bustomi, salah satu kernet senior yang sudah malang melintang di terminal, dan tidak ada yang berani nyodok (istilah untuk angkot yang mengambil jatah penumpang angkot yang ngetem) di depan hidungnya, ternyata sama sekali tidak lulus sekolah dasar. How come? Jika saya menjadi kernet ketika baru saja lulus SMP, adalah wajar karena sopir angkotnya orang tua saya sendiri, KKN berpengaruh besar dalam hal ini. Tapi Bustomi? Siapapun koneksinya, pastilah ia orang yang sangat powerfull sehingga tanpa selembar ijazahpun dia bisa melenggang menjadi seorang kernet senior yang disegani. Hebat! Bukti lain bahwa sertfikasi dan lisensi tidak berpengaruh banyak dalam hal ini.
>
> Dan itu ada menjadi sebuah kesimpulan, bahwa kernet bukanlah sebuah profesi. Hiks.
>
> Namun demikian, demi melihat betapa tercukupinya hidup tetangga saya dengan penghasilan Suaminya yang seorang kernet, wisudanya seorang kawan yang ayahnya seorang kernet, bersihnya pakaian jama’ah jum’at yang baru saja rehat meng-kerneti, saya merasa harus merevisi definisi profesi yang ada di Wikipedia, hati, pikiran dan pandangan seseorang tentang profesi. Apapun itu, kernet sekalipun.
>
>
> Jakarta, 13 Agustus 2009
>
> Dani Ardiansyah
>
> www.JasaPenerbitan.com
> www.CatatanKecil.Multiply.com
>
Tabik,
--
"Open up your mind and fly!"
Nursalam AR
Penerjemah, Penulis & Editor
0813-10040723
021-92727391
www.nursalam.multiply.com
www.facebook.com/nursalam.ar
Wuih, mantab dah ceritanya.
Pasti jadi pengalaman yg seru bgt,ya.
Hehe, keinget suka meratiin sopir2 angkot yg ng0m0ng rit, sewa, 0ngkos, 6-4 6-4 :-D
--- In sekolah-kehidupan@yahoogroups.com, Kang Dani <fil_ardy@...> wrote:
>
> Dari Kernet hingga Wikipedia
> ~Dani Ardiansyah~
>
>
> Dari sekian banyak pekerjaan yang pernah saya lakoni, salah satunya adalah menjadi kernet angkot. Yup, sekitar 9 tahun ke belakang, pada awal-awal tahun 2000, saya pernah menjalani profesi tersebut. Peralihan ketahanan pangan dan finansial yang terjadi pada keluarga saya, membuat kami sekeluarga harus melakukan apa saja untuk tetap memenuhi kebutuhan hidup.
>
> Jika mencari penguatan terhadap istilah profesi bagi seorang kernet, maka bisa dirunutkan sedemikian rupa: Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. (Wikipedia)
>
> Setelah sejak lama Bapak saya menjadi sopir taksi, yang lumayan berhasil menghidupi keluarga dengan layak, karena --saat itu belum terlalu banyak taksi di Jakarta-- Bapak yang saat itu terpikirkan untuk berhenti menjadi sopir taksi dan beralih menjadi sopir angkot di kampung halaman, akhirnya melego satu buah mobil ex taksinya. FYI, perusahaan taksi tempat Bapak saya bekerja, memberlakukan sistem kredit untuk setiap pengemudinya. Jadi, setoran harian yang diserahkan kepada perusahaan sudah termasuk cicilan kredit untuk taksi tersebut.
>
> Taraaaa.. satu buah angkot secondpun menjadi milik keluarga kami saat itu. Sebetulnya, pilihan ini tidak terlalu cerdas, mengingat perbandingan pendapatan sopir taksi dan sopir angkot tentu jauh berbeda. Yang saya dengar dari cerita Bapak, seharian mengelilingi Jakarta dengan taksi dapat menghasilkan uang minimal Rp 100.000 bersih. Tentu jumlah tersebut lebih banyak jika dibandingkan pendapatan sopir angkot di jalanan utama kampung kami yang paling besar satu hari bisa menghasilkan uang minimal Rp 25.000. Tapi dengan keyakinan luar biasa, Bapak saya berkata: "Rejekimah Alloh nu ngatur. Moal pahili" (Rezeki Alloh yang mengatur, tidak akan tertukar). Dan itu menjadi mantera pamungkas yang berhasil menenangkan kegelisahan Ummi dan Kakak saya.
>
> Selepas dari SMP pada pertengahan 1997, sambil menanti liburan kelulusan untuk naik jenjang ke SMU, saya didaulat untuk menjadi kernet angkot oleh Bapak. "Daripada nonton tipi wae, mending ilu narik" katanya. (Daripada nonton TV terus, lebih baik ikut 'narik').
>
> "Karacaaak.. Karacaaak.. Purasedaa.." Akhirnya saya bergelantungan juga di pintu angkot. Meneriakkan angkot main direction. Tanpa perlu menguasai pengetahuan dan diklat khusus di kawasan semi militer, saya dapat dengan mudah menguasai teknik menjadi kernet. Keyword pertama dari sebuah profesipun gugur. Kernet bukan lah sebuah profesi. Hiks. Entah jika ketahanan tubuh saya pada angin menjadi salah satu persyaratan sebuah profesi. Tapi saya tidak putus harapan, semoga ada hal-hal lain dari pekerjaan ini yang memiliki benang merah dengan syarat sebuah profesi menurut Wikipedia ini :D
>
> Karacak dan Puraseda yang saya teriakkan adalah sebuah desa di pertengahan kecamatan, dan satunya lagi nun jauh di sana. Dengan kondisi jalan berlubang yang tiada ampun, yang jika hari turun hujan, kita tidak bisa membedakan mana jalur angkot, mana selokan, dan mana areal persawahan :D. Semuanya tertutup air berwarna kecoklatan. "Genep opaat geneep opaat!" (enam empat enam empaat!). Instruksi terlazim yang senantiasa saya dengar dari kernet senior lainnya. Pun jumlah maksimal penumpang yang bisa diangkut di dalamnya hanya 9 setengah orang. Karena kursi di dekat pintu tak tuntas menjulur kedepan.
>
> Percaya Diri
>
> Tidak pernah sekalipun saya merasa tidak PD ketika saya menjalani profesi sebagai kernet. Bahkan, saya menjalaninya dengan optimis --untuk tidak mengatakan narsis-- sekali. Betapa tidak, angkot Bapak selalu sarat penumpang. Terutama anak-anak sekolah pada jam-jam pulang sekolah tentunya. Salah satu penumpang anak sekolah adalah tetangga saya. Darinya pula saya mengetahui bahwa ternyata, banyak anak-anak perempuan baik SMP maupun SMU titip salam buat saya. Bahkan ada yang sampai kirim surat cinta. OMG. Betapa GRnya saya saat itu. Jarang-jarang lho ada kernet jadi Idola. *Ahiiks..*
>
>
> Suka duka Kernet
>
> Tentu saja, jika rit demi rit (sebutan untuk perjalanan PP angkot, dari terminal awal hingga terminal akhir) mendapatkan penumpang yang silih berganti. Karena sesuai dengan sebuah peribahasa "turun satu naik seribu". Satu orang penumpang turun lalu berganti penumpang lainnya lebih menguntungkan daripada penumpang yang sama naik sejak awal dan turun di akhir perjalanan.
>
> Hujan adalah masa paceklik bagi sopir angkot di kampung saya. Karena biasanya, orang-orang malas berpergian pada waktu hujan. Alamat saya akan menggigil kedinginan sepanjang hari. Baju satu kering di badan.. Hai baju satu kering di badan. Hiks, Bang Haji Rhoma seakan tak peduli perasaan saya saat itu.
>
>
> Tidka Ada Asosiasi Perkernetan Nusantara, Kode Etik, Setifikasi dan Lisensi
>
> Tak ada empati atau kepekaan ber-asah, asih, asuh dalam dunia kernet. Kami berjuang sendiri-sendiri demi memenuhi ruang kosong tubuh angkot. Tak jarang, kami berebutan penumpang di terminal. Bahkan, seorang kernet senior yang saya kenal sempat adu jotos dengan kernet lainnya hanya kerana pilihan penumpang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan si kernet. Rupanya, perbedaan pendapat dalam hal ini tidak menjadi rahmat bagi para kernet, sebaliknya berarti musibah, karena angkotnya terancam kerontang. Bukti bahwa tidak ada rasa kekeluargaan diantara kernet di kampung saya. Apatah lagi sebuah asosiasi kernet Karacak Puraseda? Hiks, keyword selanjutnya gugur. Tidak ada asosiasi profesi perkernetan nusantara.
>
> Selain yel-yel enam empat enam empat, dan membayar uang jalur yang entah apa dasar hukumnya, saya tidak mendapati macam-mcam kode etik lain seperti yang terdapat dalam gerakan Pramuka. Tidak ada dasadharma dan tristya, tidak ada dresscode, ataupun sensitifitas kemanusiaan. Pun para penumpang angkot sudah menutup hidung, ketika salah satu kernet senior --yang tidak pernah tahu arti deodorant-- menggunting (istilah untuk