Oleh Yuni Ikawati
Pengukuran kemiringan gedung di
Jakarta telah dilakukan pada Gedung I Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
serta Gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Keduanya miring. Namun, apakah
kemiringannya masih dalam batas wajar?
Pengukuran struktur gedung di
Jakarta pertama kali dilakukan pada Gedung I Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) tahun 2002. Hasilnya, gedung berlantai 21 yang dibangun pada
1974 itu miring 1 derajat ke arah timur atau ke Jalan MH Thamrin di
depannya.
Penelitian itu terkait dengan penetapannya sebagai gedung
percontohan oleh (dahulu) Departemen Pekerjaan Umum untuk memenuhi Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2002 yang mengatur keamanan konstruksi serta keselamatan—antara
lain kelengkapan sistem pemadam kebakaran, kenyamanan, dan kemudahan akses.
"Jika gedung ini belum memenuhi persyaratan, akan dilakukan perancangan ulang
dan perbaikan," ujar Pariatmono Sukamdo, pakar konstruksi dari
BPPT.
Gedung I BPPT sebelumnya milik Advanced Technology Pertamina.
Penyerahan kepada BPPT dilakukan tahun 1978 bertepatan dengan berdirinya badan
riset itu. Selain Gedung I BPPT, Gedung DPR juga termasuk proyek percontohan
(sekarang) Kementerian PU. Dalam pengukuran juga diketahui miring. Ini dikuatkan
dengan hasil pengukuran Tim Kelompok Kerja Geodesi Institut Teknologi Bandung
(ITB) yang menggunakan electronic total station yang terdiri dari
teodolit elektronis dipadukan dengan pengukur jarak elektronis.
Tim yang
terdiri dari Heri Andreas, Irwan Gumilar, dan M Gamal, Selasa (4/5),
mengungkapkan, Gedung DPR miring sekitar 7,5 menit atau 0,12 derajat. Hasil ini
jauh dari isu sebelumnya, yaitu miring sebesar 8 derajat. Ini diungkapkan
Hasanuddin Z Abidin, Ketua Kelompok Kerja Geodesi ITB.
Menurut
Pariatmono, kini Asisten Deputi Bidang Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Kementerian Riset dan Teknologi, kemiringan dua gedung di bawah 1 derajat masih
dalam batas wajar atau tidak sampai mengganggu kenyamanan
penggunanya.
Kemiringan itu merupakan dampak proses konsolidasi lapisan
tanah dalam yang menerima tingkat pembebanan yang relatif tinggi.
Derajat
kemiringan berbeda karena kondisi lapisan tanah dalam yang berbeda. Kemiringan
Gedung BPPT lebih besar dibandingkan dengan Gedung DPR. Penurunan tanah di BPPT
yang berada di wilayah tengah Jakarta lebih besar dibandingkan dengan Gedung DPR
yang berada di selatan. Kawasan BPPT dan sekitarnya terdiri dari batuan muda
atau endapan sungai yang tengah mengalami proses konsolidasi.
Berdasarkan
data pengukuran Dinas Pengembangan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, penurunan
permukaan tanah di kawasan pusat Jakarta 60-80 cm, sedangkan di kawasan selatan
sekitar 40 cm.
Penurunan ini diakibatkan volume pengambilan air tanah
hingga lapisan akuifer yang dilakukan terus-menerus tanpa ada pengisian kembali.
Semakin ke utara, tingkat eksploitasi air tanahnya semakin
tinggi.
Berkurangnya air tanah itulah yang menyebabkan penurunan tanah
yang lingkupnya kawasan. Menurut peneliti BPPT, Samsuhadi Samoen, penurunan muka
tanah di Jakarta antara satu kawasan dan yang lain tidak
merata.
Penurunan tanah di Jakarta yang terdiri dari tanah endapan
diikuti oleh intrusi atau perembesan air laut dari utara yang terus bergerak
masuk ke darat. Intrusi di kawasan selatan, menurut Samsuhadi, susah terdeteksi
karena bercampur dengan air purba yang juga asin yang meluas hingga ke
Bogor.
Pengukuran kondisi
Peraturan berwujud UU No
28/2002 mengharuskan setiap pengelola gedung bertingkat di Indonesia memeriksa
kondisi gedung terhadap empat aspek tersebut.
Untuk itu, perlu ada
dokumentasi gambar teknis struktur dari setiap gedung. Di Jakarta, yang paling
pesat pembangunan gedung-gedung tingginya, hingga kini belum memiliki sistem
informasi bangunan (building information system) yang menyimpan semua
data tersebut.
Pariatmono, yang juga Kepala Pusat Informasi Riset Bencana
Alam, menegaskan, informasi ini penting untuk simulasi dan skenario kebencanaan,
terutama ketahanan gedung, terhadap gempa. Ketiadaan dokumen ini mempersulit
pemecahan masalah dan perbaikan gedung.
Menurut Hari Sasongko, Ketua
Badan Pengawasan Pembangunan DKI Jakarta, dokumen teknis setiap bangunan yang
mendapat izin mendirikan bangunan di Jakarta sebenarnya tersimpan di Dinas Arsip
DKI.
Dokumen itu meliputi gambar konstruksi struktur bawah dan atas,
desain arsitektur, serta instalasi di dalam bangunan yang terdiri dari
kelistrikan dan perpipaan serta akses transportasi di dalam gedung. Di DKI kini
ada lebih dari 700 gedung di atas delapan lantai. Kelayakan bangunan di DKI
diperiksa pengkaji teknis setiap lima tahun. Gedung pemerintah diperiksa
Kementerian PU.
Audit bangunan
Berdasarkan UU No
28/2002, lanjut Pariatmono, semua gedung seharusnya diaudit untuk standardisasi.
Kini belum ada perusahaan yang menangani audit prasarana gedung.
Hal lain
yang harus dilengkapi adalah peta zonasi untuk gempa skala mikro. Dari kajian,
diketahui daerah yang terbanyak korbannya adalah sekitar Jakarta Utara. Selain
itu, pembuatan rute darurat juga diprioritaskan di Jakarta Pusat, lokasi pusat
pemerintahan.
Untuk itu, perlu skenario akses mencapai daerah itu dalam
periode emas, yaitu 1-2 jam. Jalur evakuasi perlu ditentukan dan diamankan.
Jalur tersebut harus diperkuat agar tetap berfungsi
pascabencana.
Pemasangan akselerometer di gedung-gedung bertingkat
diperlukan untuk mengetahui kinerja gedung terhadap beban dinamis, termasuk
gempa.
Jika ada akselerometer, dapat diketahui perilaku dinamis gedung,
apakah sama atau tidak dengan analisis dinamis seperti yang telah dilakukan
sebelum gedung dibangun. Hingga kini, sayangnya belum ada panduan cara memasang
akselerometer di gedung tinggi. Pemasangan akselerometer di Gedung BPPT oleh
Kementerian Riset dan Teknologi, antara lain, ditujukan untuk membuat panduan
semacam itu, ujar Pariatmono. (KOMPAS
Cetak