Forward komplain dosen di Fak. Psi. Atma Jaya

36 views
Skip to first unread message

Vincent Liong

unread,
Sep 15, 2008, 2:41:50 PM9/15/08
to vincen...@yahoogroups.com, r-m...@yahoogroups.com, komunika...@yahoogroups.com, komunika...@googlegroups.com, kompat...@yahoogroups.com, x69x...@yahoo.com, isti...@yahoo.com, ferret...@yahoo.com, ant...@hotmail.com
e-link: http://rezaantonius.wordpress.com/2008/09/02/pernyataan-saya-untuk-universitas-katolik-atma-jaya-yang-sama-sekali-tidak-katolik/
Reza Antonius Alexander Wattimena SS., Mhum., wrote:

Pernyataan Saya untuk Universitas Katolik Atma Jaya!!!!


Saya, Reza Antonius Alexander Wattimena, dan inilah pernyataan saya….

Saya mengajar di fak psikologi mulai februari 2007. Saya mengajar satu mata kuliah, yakni filsafat ilmu.

Saya diperkenalkan oleh salah seorang mahasiswa psikologi pada waktu itu kepada pak Mikhael Dua, yang kemudian meminta saya untuk mengajar filsafat ilmu pada waktu itu. Saya mengajar satu kelas, dengan bayaran 200 ribu sebulan.

Bayaran yang sangat kecil dan tidak manusiawi, tetapi saya jalankan, karena saya anggap itu pekerjaan sambilan, sambil saya menyelesaikan studi master saya di bidang filsafat dan ilmu-ilmu kemanusiaan.

Dalam perjalanan mengajar, saya mengutarakan keinginan saya untuk bekerja sebagai dosen tetap di fak psikologi, dan Mba Lena, yang waktu itu menjabat sebagai wadek I, memberikan afirmasi kepada permintaan saya itu. Dia meminta saya secara pribadi mengajukan lamaran ke Dekan Fak psi, Bu Rosa.

Walaupun latar belakang saya filsafat dan ilmu-ilmu kemanusiaan, Mba Lena dan Bu Rosa menyatakan, bahwa ada kemungkinan saya bisa bekerja sebagai dosen tetap di fak psikologi. Pernyataan itu saya pegang erat-erat, dan saya bekerja sambil terus berharap.

Waktu berjalan, dan saya dipanggil oleh fakultas untuk diwawancarai oleh bagian psi pendidikan, yang memang pada waktu itu sedang membutuhkan dosen. Saya ditolak. Saya tidak kaget, karena saya menyadari bahwa keahlian saya berbeda sangat jauh dengan kebutuhan psi pendidikan.

Bu Rosa mengatakan, bahwa saya lebih cocok di bagian psi sosial, dan meminta saya untuk menunggu kabar lebih jauh. Saya sendiri sudah tidak lagi berharap.

Waktu itu semester ganjil 2007 menjelang awal semester genap 2008. Saya tetap mengajar untuk tetap mengisi waktu sambil meraih gelar master saya, dan tidak lagi berharap untuk mengajar di fak psi.

Saya berpikir untuk bekerja sebagai jurnalis di berbagai media, ataupun mengajar sebagai dosen tetap di universitas lain. Akan tetapi, beberapa teman di fak psi bagian sosial menyatakan, bahwa saya kemungkinan besar akan bergabung dengan fak di bagian sosial.

Harapan baru pun tumbuh. Saya coba bekerja sama dalam tim dengan beberapa teman dari bagian sosial. Saya bekerja bukan atas dasar uang, tetapi atas dasar persahabatan.

Saya menemukan beberapa sahabat yang sangat berarti bagi saya di bagian psi sosial, dan itulah salah satu alasan saya tetap melanjutkan lamaran saya di fak psi atma jaya.

Waktu berjalan, setelah melewati empat kali wawancara, saya akhirnya diharapkan bertemu dengan warek I, yang kebetulan adalah Mba Lena, orang yang sama yang memberikan lampu hijau pertama kali kepada saya untuk bergabung dengan fak psi.

Wawancara berjalan lancar, dan saya diminta untuk tes TOEFL dan tes kesehatan. Itupun lulus dengan gemilang. Harapan saya mulai bersinar untuk bergabung di fak psi.

Saya diminta untuk memegang 9 kelas di fak psi dan 2 kelas di fak teknik atma jaya semester ganjil 2008. Saya juga dipercaya untuk menjadi pembimbing akademik.

Dari awal saya sudah menegaskan, bahwa saya hanya bersedia mengajar di semester ganjil 2008, jika status saya sudah tetap, dan bukan lagi honorer. Saya dijanjikan akan diangkat pada 1 sept 2008 sebagai tetap, dan atas alasan itulah saya stay di atma, berusaha bekerja habis2an untuk kepentingan mahasiswa dan kepentingan fakultas.

Semua tampak berjalan lancar sampai suatu ketika, bagian kepegawaian menelp dna meminta saya untuk menjalani psikotes seharian penuh. Saya bertanya, “Untuk apa?”

Mereka menjawab, orang-orang yang tidak berasal dari fak psi diharuskan untuk menjalani psikotes. Pertanyaan yang muncul di kepala saya adalah, kenapa saya tidak diberi tahu lebih awal? Sebenarnya, apa tujuan tes itu?

Setelah berdiskusi dengan bu dekan dan warek I, saya diberi tahu bahwa tes itu bertujuan untuk mengenali kepribadian dan potensi akademik saya. Terus terang, saya menentang tes itu dengan argumen, bahwa setelah bekerja selama satu setengah tahun di atma, fakultas sudah tahu kepribadian saya di tempat kerja, dan fakultas juga sudah mengetahui potensi akademik saya.

Saya telah menulis dua buku yang diterbitkan oleh penerbit kanisius dan grasindo pada 2007 dan 2008, serta belasan tulisan di berbagai jurnal ilmiah dan media. Judul buku itu adalah Melampaui Negara Hukum Klasik, dan Filsafat dan Sains. Saya rasa, potensi akademik saya tidak perlu diragukan lagi.

Akan tetapi, peraturan tetaplah peraturan. Walaupun terpaksa, saya harus menjalani tes itu. Saya pun menjalankannya, tentu dengan keadaan terpaksa.

Pada waktu tes, saya sungguh merasa diperlakukan sebagai kambing percobaan. Saya diperintah untuk mengisi macam-macam hal yang saya tidak mengerti alasannya.

Dari tes itu, saya menangkap salah satu kelemahan mendasar displin ilmu psikologi, yakni cenderung untuk memperlakukan manusia sebagai obyek. Manusia adalah obyek yang bisa dihitung dan dimanipulasi demi kepentingan penelitian dan tes.

Hal inilah yang saya coba lawan di dalam kuliah-kuliah saya, yakni kuliah fenomenologi eksistensial dan psikologi budaya, maupun di dalam kuliah-kuliah lainnya. Saya selalu menyatakan kepada mahasiswa, bahwa obyek kajian psikologi itu manusia, yang mempunya historisitas, daging, dan darah.

Manusia bukanlah barang yang bisa kalian hitung dan manipulasi seenaknya demi kepentingan penelitian kalian. Dia mungkin adalah ayah dari seorang anak, anak dari seorang ibu. Bagi kalian, subyek penelitian mungkin bukan siapa-siapa, tetapi bagi orang lain, subyek penelitian yang kalian anggap barang itu mungkin adalah dunianya.

Anyway, tes pun berlalu, saya pulang. Semester ganjil sudah mulai, dan saya mulai aktif mengajar di fakultas. Setiap hari, saya datang jam 6 pagi, dan pulang sekitar jam 4 sore, senin sampai Jumat.

Hal berlangsung biasa. Saya, seperti biasa, selalu sangat bersemangat di dalam mengajar dan menulis. Saya melakukan aktivitas ini dengan senang hati, walaupun saya belum diputuskan untuk menjadi dosen tetap, yang akan aktif mulai 1 sept 2008.

Saya terbenam di dalam rutinitas, menulis dan mengajar. Sesuatu yang saya impikan dari dulu.

Hal ini berlangsung lancar, sampai saya memutuskan untuk menanyakan status lamaran saya kepada bu Rosa, dekan. Pada waktu, gut feeling saya mengatakan, bahwa saya harus bertanya mengenai ini. Jangan mengasumsikan apapun. Seorang sahabat, teman dosen di fak psi, pernah berkata, “assumption is the mother of all fuck up!”

Bu Rosa menyatakan, bahwa lamaran saya ditolak, karena alasan psiko tes yang jelek. Psiko tes menyatakan bahwa kemampuan saya kurang, dan saya tidak mampu bekerja di dalam tim, sesuatu yang menurut saya tidak benar.

Saya sudah bekerja di dalam tim semenjak menginjakkan kaki di fak psi. Saya juga aktif di berbagai organisasi sebelum mulai mengajar di atma.

Saya pernah bekerja di LSM HAM, dan di sana saya bekerja dalam tim terus menerus. Saya, menurut psiko tes itu, juga dianggap tidak mampu secara akademik.

Padahal, saya menyelesaikan studi S1 dan S2 dalam 5 tahun. Saya juga sudah menulis dua buku dan belasan artikel di berbagai media serta jurnal ilmiah.

Hati saya hancur. Saya sangat kecewa.

Ternyata, Warek I hanya melihat hasil tes, dan tidak melihat variabel lainnya. Padahal, saya, dan beberapa teman psikolog lainnya, berpendapat bahwa tes hanya merupakan salah satu pertimbangan, dan bukan keseluruhan. Masih ada hal-hal lainnya yang harus dilihat.

Beberapa teman di bagian sosial juga berpendapat serupa. Mereka menunjukkan kekecewaannya, dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Inilah pernyataan saya:

1.Ada yang tidak beres dengan paradigma yang dipakai untuk penerimaan dosen. Tes hanyalah salah satu faktor dari banyak faktor lainnya, yang digunakan sebagai penilaian untuk penerimaan dosen. Dan tes tidak pernah bisa menghancurkan penilaian lainnya.

Rupanya, rektorat atma jaya tidak melihat hal ini. Mereka berpendapat, tidak peduli apa yang sudah dihasilkan dan dilakukan oleh Reza untuk atma jaya, yang penting psiko tesnya jelek, maka ia tidak berhak masuk menjadi dosen tetap di atma jaya. Ia ditendang keluar.

2.Saya sudah hancur secara emosional, dan saya sadar, bahwa saya tidak ada artinya di hadapan sistem yang bernama atma jaya. Setelah saya pergi, fakultas akan mencari dosen honorer pengganti saya. Dan semua akan berjalan seperti semula. Saya akan hancur sendiri, dan atma jaya akan berpretensi tidak pernah terjadi apa-apa.

3.Saya merasa, ada banyak problem teoritis di dalam psiko tes. Sederhananya, tes tersebut tidak bisa memahami dan mengenali saya. Oleh sebab itu, saya dianggap bodoh, tidak kompeten, dan egois. Saya rasa, diperlukan sebuah alat tes yang peka pada perbedaan kultur dan cara berpikir, sehingga bisa lebih adil di dalam menilai orang. Jika hal ini tidak disadari, psiko tes adalah sebuah alat ideologis yang sama sekali tidak peka pada perbedaan budaya, dan punya intensi untuk melestarikan kekuasaan kelompok sosial yang dominan. Dengan kata lain, psiko tes menjadi kaki tangan kekuasaan belaka. Saya tidak ingin hal ini terjadi.

Anyway, saya sudah non aktif dari semua kegiatan di atma jaya. Saya tahu, saya banyak membuat kesulitan pada wadek I fak psikologi dan kepala jurusan fak teknik industri atma jaya. Mereka harus mencari pengganti untuk sebelas kelas yang saya tinggalkan.

Harapan saya adalah, semoga hal ini menjadi perhatian kawan2, bahwa ada yang tidak beres di rektorat atma jaya sekarang ini. Jangan sampai ada “Reza-reza” berikutnya.

Terima kasih dan salam hormat selalu,

Reza Antonius Alexander Wattimena SS., Mhum.,


Need a holiday? Check out Yahoo!Xtra Travel - http://nz.travel.yahoo.com/

Vincent Liong

unread,
Sep 16, 2008, 5:22:11 AM9/16/08
to reza.a...@gmail.com, himps...@himpsijaya.org, psip...@himpsijaya.org, ber...@himpsijaya.org, vincen...@yahoogroups.com, r-m...@yahoogroups.com, komunika...@yahoogroups.com, komunika...@googlegroups.com, buki...@yahoo.com, her...@yahoo.com, nug...@centrin.net.id, kristipo...@hotmail.com, hpra...@centrin.net.id, hasb...@ui.edu, wi...@cbn.net.id, trif...@yahoo.com, psk...@pacific.net.id, luk...@centrin.net.id, dya...@dnet.net.id, ari...@hexindo-tbk.co.id, but...@yahoo.com, durac...@yahoo.com, akas...@dnet.net.id, irma...@yahoo.com, cameo...@yahoo.com, psap...@gmail.com, hsus...@yahoo.com, msth...@cbn.net.id, akbar...@yahoo.com, ibur...@gmail.com, je...@ygy.centrin.net.id, widi...@link.net.id, dr...@plasa.com, tamanbi...@yahoo.com, hrdcon...@yahoo.com, piety...@yahoo.com, fid...@tarumanagara.ac.id, ch...@cheerful.com, ketty...@plasa.com, ama...@psy.uq.edu.au, pri...@cbn.net.id, kie...@yahoo.com, ades...@yahoo.com, ant...@cbn.net.id, erlin_...@yahoo.com, astrid....@tns-global.com, he...@ui.edu, mayk...@yahoo.com, gu...@makara.cso.ui.ac.id, lieke_...@yahoo.com, al...@rpe-engineering.com, koen_s...@yahoo.com.au, rah...@ismail.com, rah...@ismail.cc, sina...@yahoo.com, crela...@kasandra-associates.com, sah...@indosat.net.id, rita_h...@yahoo.com, fnd...@yahoo.com, cok...@titissampurna.com, melani...@yahoo.com, guey...@yahoo.com, indrawati...@db.com, agus.ha...@gmail.com, irwa...@yahoo.com, Alberth...@fmi.com, jak...@bpkpenabur.or.id, pro...@usindo.org, sing...@indo.net.id, esth...@yahoo.com, ani...@hotmail.com, tyas...@yahoo.com, arlen...@yahoo.com, ilham...@yahoo.co.id, medh...@yahoo.com, sukm...@yahoo.com, hay...@hotmail.com, miran...@yahoo.com, hmik...@yahoo.com, iwanj...@gmail.com, wi...@pakarya.com, rizka...@yahoo.com, sar...@ui.edu, ri...@bpkpenabur.or.id, meat...@yahoo.co.id, t_agu...@yahoo.com, rinny...@yahoo.com, supr...@indo.net.id, rima...@yahoo.com, didi_e...@yahoo.com, rahmit...@yahoo.com, neld...@yahoo.com, alberth...@yahoo.co.id, richard.n...@gmail.com, ges...@yahoo.com, melli...@yahoo.com, widy...@cbn.net.id
Hal yang perlu diperhatikan:
1. Sarat administrative menjadi pegawai di fakultas Psikologi UAJ itu apa? Misalnya: apakah lulusan filsafat(non psikologi) boleh menjadi disen tetap di Psikologi. Seingat saya ketika saya kuliah di Psikologi UAJ tahun 2005-2007 ruang kantor dosen matakuliah dasar, matakuliah psikologi dan matakuliah yang berhubungan dengan filsafat gedung dan departemennya berbeda.
2. Jenis Psikotest apa yang digunakan tepatnya? Jadi bisa diteliti apa jenis psikotestnya sesuai dengan tujuan diri subject di-test. Misalnya: test untuk calon siswa, test untuk pegawai negeri, test untuk dosen, dlsb tentunya berbeda alat test yang digunakan sesuai dengan persyaratan fungsional kegiatan/pekerjaan itu.

Tiap organisasi punya aturan mainnya sendiri-sendiri, jadi sebagai orang luar mengkritisi aturan main interen organisasi psikologi bisa jadi malah urusan tambah besar. Jadi kalau mau mengkritisi pelajari dulu hukum organisasi tsb baru jelaskan berdasarkan hukum yang berlaku tsb. Psikologi adalah korps jadi perlu hati-hati dalam berkomunikasi dengan korps bilamana kita di luar korps …
(baca tulisan: Kesadaran dan Kepastian Tidak Ada Hubungannya e-link: http://groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/3965 )

Saya tunggu jawabannya ttg dua pertanyaan di atas.


Ttd,
Vincent Liong (founder of kompatiologi)

--email sebelumnya--

Inilah pernyataan saya:


We have the leading experts share advice, tips, and personal experiences here - http://nz.lifestyle.yahoo.com/health/

Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages