Fwd: Re: Forward: Pernyataan Saya untuk Universitas Katolik Atma Jaya!!!!

51 views
Skip to first unread message

Vincent Liong

unread,
Sep 17, 2008, 7:53:53 AM9/17/08
to reza.a...@gmail.com, himps...@himpsijaya.org, psip...@himpsijaya.org, ber...@himpsijaya.org, buki...@yahoo.com, her...@yahoo.com, nug...@centrin.net.id, kristipo...@hotmail.com, hpra...@centrin.net.id, hasb...@ui.edu, wi...@cbn.net.id, trif...@yahoo.com, psk...@pacific.net.id, luk...@centrin.net.id, dya...@dnet.net.id, ari...@hexindo-tbk.co.id, but...@yahoo.com, durac...@yahoo.com, akas...@dnet.net.id, irma...@yahoo.com, cameo...@yahoo.com, psap...@gmail.com, hsus...@yahoo.com, msth...@cbn.net.id, akbar...@yahoo.com, ibur...@gmail.com, je...@ygy.centrin.net.id, widi...@link.net.id, dr...@plasa.com, tamanbi...@yahoo.com, hrdcon...@yahoo.com, piety...@yahoo.com, fid...@tarumanagara.ac.id, ch...@cheerful.com, ketty...@plasa.com, ama...@psy.uq.edu.au, pri...@cbn.net.id, kie...@yahoo.com, ades...@yahoo.com, ant...@cbn.net.id, erlin_...@yahoo.com, astrid....@tns-global.com, he...@ui.edu, mayk...@yahoo.com, gu...@makara.cso.ui.ac.id, lieke_...@yahoo.com, al...@rpe-engineering.com, koen_s...@yahoo.com.au, rah...@ismail.com, rah...@ismail.cc, sina...@yahoo.com, crela...@kasandra-associates.com, sah...@indosat.net.id, rita_h...@yahoo.com, fnd...@yahoo.com, cok...@titissampurna.com, melani...@yahoo.com, guey...@yahoo.com, indrawati...@db.com, agus.ha...@gmail.com, irwa...@yahoo.com, Alberth...@fmi.com, jak...@bpkpenabur.or.id, pro...@usindo.org, sing...@indo.net.id, esth...@yahoo.com, ani...@hotmail.com, tyas...@yahoo.com, arlen...@yahoo.com, ilham...@yahoo.co.id, medh...@yahoo.com, sukm...@yahoo.com, hay...@hotmail.com, miran...@yahoo.com, hmik...@yahoo.com, iwanj...@gmail.com, wi...@pakarya.com, rizka...@yahoo.com, sar...@ui.edu, ri...@bpkpenabur.or.id, meat...@yahoo.co.id, t_agu...@yahoo.com, rinny...@yahoo.com, supr...@indo.net.id, rima...@yahoo.com, didi_e...@yahoo.com, rahmit...@yahoo.com, neld...@yahoo.com, alberth...@yahoo.co.id, richard.n...@gmail.com, ges...@yahoo.com, melli...@yahoo.com, widy...@cbn.net.id, vincen...@yahoogroups.com, r-m...@yahoogroups.com, komunika...@yahoogroups.com, komunika...@googlegroups.com
--- On Wed, 17/9/08, Felix Lengkong <felixl...@yahoo.com> wrote:

From: Felix Lengkong <felixl...@yahoo.com>
Subject: Re: Forward: Pernyataan Saya untuk Universitas Katolik Atma Jaya!!!!
To: vincen...@yahoo.co.nz
Received: Wednesday, 17 September, 2008, 2:27 PM


Hai Vincent dan juga Reza,

Saya masih tetap mengikuti mailing list Psiko Transformatif, tapi tidak ikut nimbrung lagi karena sangat banyak mail yang tidak serius.

Anyway, tentang pernyataan Sdr. Reza tentang psiko tes itu saya setuju. Selama kuliah doktoral di bidang klinik dulu saya belajar tentang tes dan asesmen selama 4 semester dan saya berpraktikum khusus untuk tes dan asesmen selama 200 jam kerja di National Center for Mental Health, Manila. Untuk praktek untuk psikoterapi di tempat yang sama juga selama 200 jam. Selanjutnya untuk kedua-duanya (internship program) saya melewatkan 700 jam kerja di tempat yang sama.

Nah, selama praktikum dan internship program dan selama menangani klien-klien sekarang ini, saya mendapat kesan bahwa tes itu hanyalah alat bantu. Tampaknya melalaui pengalaman sebagai praktisioner kita akan mengembangkan semacam indra keenam untuk menangkap masalah dasar klien hanya melalui wawancara.

Tes itu merupakan warisan dari aliran filsafat empirisme yang sangat positivistik. Dalam dunia psikologi aliran ini diwakili oleh behaviorisme. Tentu mereka yang beraliran seperti existensialis atau humanis akan menentang pengandalan tes di dalam praktik konseling dan psikoterapi.

Dalam dunia kerja (bagian human resource development) kelompok behavioris itu masih sangat berperan. Khusus di atma jaya, kecenderungan ini baru belakangan khususnya setelah fakultas psikologi berdiri. Tampaknya sekarang ini, syarat tersebut menjadi sangat menentukan.

Apakah karyawan yang diterima sekarang ini jauh lebih baik daripada mereka yang dulu diterima seperti saya (tanpa tes)? Pertanyaan ini bisa dijadikan research question.

Well, jadikanlah pengalamanmu di atma jaya sebagai learning experience bukan pitfall (kejatuhan). Jika Anda benar berkepribadian baik dan berintelektualitas baik, saya yakin pengalaman itu tidak akan menjatuhkan (moral) Anda. Sebagai clinical psychologist saya beraliran kognitif. Sebagai seorang kognitifis saya melihat bahwa reaksi terhadap pengalaman (life experience) itu ditentukan oleh cara Anda memandang dirimu. Jika positif cara pandang diri Anda, maka pengalaman di atma itu hendaknya tidak menjatuhkan moral hidup Anda. Buktikanlah kepada mereka bahwa mereka salah dan tes itu salah menilai Anda.

Reaksi emosional Anda dapat saya pahami. Tapi jangan sampai aspek behavioral Anda ditentukan oleh aspek emosi. Ingat filosofi terapi morita di Jepang: emosi itu bagaikan awan dan hujan; Anda tidak perlu menunggu awan menghilang dan hujan berhenti untuk melakukan sesuatu yang bermakna. Gunakanlah faktor kognitif (yang waras) di dalam bertindak.

Barangkali dengan tes itu orang bermaksud menjadikan proses penerimaan karyawan itu menjadi sangat obyektif. Tapi, faktor subyektif juga bisa saja ikut berpengaruh. Dulu waktu saya di Rektorat, ada seorang dosen yang masuk (melalui saya). Saat mengikuti tes ia melaporkan bahwa keadaannya tidak fit. Saat tes pertama ia tidak lulus. Lalu, Purek I (atas saran saya) mengijinkan yang bersangkutan ikut tes lagi, dan berhasil. Tentu peristiwa ini tidak harus diikuti sekarang ini. Nah, ini pula salah satu unsur subyektif di dalam proses penerimaan karyawan. Maksud saya, menjadi hak prerogatif pimpinan apakah Anda mengikuti tes lagi atau tidak.

Akhirul kata: Atma Jaya tetap besar kendati orang-orangnya bisa saja kecil.

Salam,
Felix Lengkong


> --- On Mon, 9/15/08, Vincent Liong
> <vincen...@yahoo.co.nz> wrote:
>
> > From: Vincent Liong <vincen...@yahoo.co.nz>
> > Subject: Forward: Pernyataan Saya untuk Universitas
> Katolik Atma Jaya!!!!
> > To: bset...@atmajaya.ac.id, gis...@fp.atmajaya.ac.id,
> dwiri...@fp.atmajaya.ac.id, bene...@fp.atmajaya.ac.id,
> cath...@fp.atmajaya.ac.id, cl...@lpa.atmajaya.ac.id,
> dh...@lpa.atmajaya.ac.id, e.bo...@fp.atmajaya.ac.id,
> emsa...@fp.atmajaya.ac.id, evis...@fp.atmajaya.ac.id,
> han...@fp.atmajaya.ac.id, irw...@lpa.atmajaya.ac.id,
> mu...@fp.atmajaya.ac.id, lid...@fp.atmajaya.ac.id,
> li...@fp.atmajaya.ac.id, triw...@lpa.atmajaya.ac.id,
> magda...@fp.atmajaya.ac.id, mre...@fp.atmajaya.ac.id,
> mbwid...@fp.atmajaya.ac.id, ray...@fp.atmajaya.ac.id,
> ray...@fp.atmajaya.ac.id, esud...@fp.atmajaya.ac.id,
> sha...@fp.atmajaya.ac.id, wi...@fp.atmajaya.ac.id,
> jo.h...@fp.atmajaya.ac.id, rosa...@fp.atmajaya.ac.id,
> luk...@fp.atmajaya.ac.id, laurike...@atmajaya.ac.id,
> laurike....@atmajaya.ac.id,
> hubert...@atmajaya.ac.id, hubert...@yahoo.co.id,
> hubert...@yahoo.com, wilm...@makara.cso.ui.ac.id,
> sar...@ui.edu, woo...@centrin.net.id,
> luk...@centrin.net.id, felixl...@yahoo.com,
> takwi...@yahoo.com, ast...@psy.uq.edu.au,
> msth...@cbn.net.id, kasdin_...@yahoo.com,
> kasdi...@atmajaya.ac.id, isti...@yahoo.com,
> p...@tarumanagara.ac.id, war...@gmail.com,
> vinc...@yahoo.com
> > Date: Monday, September 15, 2008, 11:08 PM
> > Pernyataan Saya untuk Universitas Katolik Atma
> Jaya!!!!
> >
> > e-link:
> >
> http://rezaantonius.wordpress.com/2008/09/02/pernyataan-saya-untuk-universitas-katolik-atma-jaya-yang-sama-sekali-tidak-katolik/
> >
> > Reza Antonius Alexander Wattimena SS., Mhum., wrote:
> >
> >
> > Pernyataan Saya untuk Universitas Katolik Atma
> Jaya!!!!
> >
> >
> > Saya, Reza Antonius Alexander Wattimena, dan inilah
> > pernyataan saya….
> >
> > Saya mengajar di fak psikologi mulai februari 2007.
> Saya
> > mengajar satu mata kuliah, yakni filsafat ilmu.
> >
> > Saya diperkenalkan oleh salah seorang mahasiswa
> psikologi
> > pada waktu itu kepada pak Mikhael Dua, yang kemudian
> meminta
> > saya untuk mengajar filsafat ilmu pada waktu itu. Saya
> > mengajar satu kelas, dengan bayaran 200 ribu sebulan.
> >
> > Bayaran yang sangat kecil dan tidak manusiawi, tetapi
> saya
> > jalankan, karena saya anggap itu pekerjaan sambilan,
> sambil
> > saya menyelesaikan studi master saya di bidang
> filsafat dan
> > ilmu-ilmu kemanusiaan.
> >
> > Dalam perjalanan mengajar, saya mengutarakan keinginan
> saya
> > untuk bekerja sebagai dosen tetap di fak psikologi,
> dan Mba
> > Lena, yang waktu itu menjabat sebagai wadek I,
> memberikan
> > afirmasi kepada permintaan saya itu. Dia meminta saya
> secara
> > pribadi mengajukan lamaran ke Dekan Fak psi, Bu Rosa.
> >
> > Walaupun latar belakang saya filsafat dan ilmu-ilmu
> > kemanusiaan, Mba Lena dan Bu Rosa menyatakan, bahwa
> ada
> > kemungkinan saya bisa bekerja sebagai dosen tetap di
> fak
> > psikologi. Pernyataan itu saya pegang erat-erat, dan
> saya
> > bekerja sambil terus berharap.
> >
> > Waktu berjalan, dan saya dipanggil oleh fakultas untuk
> > diwawancarai oleh bagian psi pendidikan, yang memang
> pada
> > waktu itu sedang membutuhkan dosen. Saya ditolak. Saya
> tidak
> > kaget, karena saya menyadari bahwa keahlian saya
> berbeda
> > sangat jauh dengan kebutuhan psi pendidikan.
> >
> > Bu Rosa mengatakan, bahwa saya lebih cocok di bagian
> psi
> > sosial, dan meminta saya untuk menunggu kabar lebih
> jauh.
> > Saya sendiri sudah tidak lagi berharap.
> >
> > Waktu itu semester ganjil 2007 menjelang awal semester
> > genap 2008. Saya tetap mengajar untuk tetap mengisi
> waktu
> > sambil meraih gelar master saya, dan tidak lagi
> berharap
> > untuk mengajar di fak psi.
> >
> > Saya berpikir untuk bekerja sebagai jurnalis di
> berbagai
> > media, ataupun mengajar sebagai dosen tetap di
> universitas
> > lain. Akan tetapi, beberapa teman di fak psi bagian
> sosial
> > menyatakan, bahwa saya kemungkinan besar akan
> bergabung
> > dengan fak di bagian sosial.
> >
> > Harapan baru pun tumbuh. Saya coba bekerja sama dalam
> tim
> > dengan beberapa teman dari bagian sosial. Saya bekerja
> bukan
> > atas dasar uang, tetapi atas dasar persahabatan.
> >
> > Saya menemukan beberapa sahabat yang sangat berarti
> bagi
> > saya di bagian psi sosial, dan itulah salah satu
> alasan saya
> > tetap melanjutkan lamaran saya di fak psi atma jaya.
> >
> > Waktu berjalan, setelah melewati empat kali wawancara,
> saya
> > akhirnya diharapkan bertemu dengan warek I, yang
> kebetulan
> > adalah Mba Lena, orang yang sama yang memberikan lampu
> hijau
> > pertama kali kepada saya untuk bergabung dengan fak
> psi.
> >
> > Wawancara berjalan lancar, dan saya diminta untuk tes
> TOEFL
> > dan tes kesehatan. Itupun lulus dengan gemilang.
> Harapan
> > saya mulai bersinar untuk bergabung di fak psi.
> >
> > Saya diminta untuk memegang 9 kelas di fak psi dan 2
> kelas
> > di fak teknik atma jaya semester ganjil 2008. Saya
> juga
> > dipercaya untuk menjadi pembimbing akademik.
> >
> > Dari awal saya sudah menegaskan, bahwa saya hanya
> bersedia
> > mengajar di semester ganjil 2008, jika status saya
> sudah
> > tetap, dan bukan lagi honorer. Saya dijanjikan akan
> diangkat
> > pada 1 sept 2008 sebagai tetap, dan atas alasan itulah
> saya
> > stay di atma, berusaha bekerja habis2an untuk
> kepentingan
> > mahasiswa dan kepentingan fakultas.
> >
> > Semua tampak berjalan lancar sampai suatu ketika,
> bagian
> > kepegawaian menelp dna meminta saya untuk menjalani
> psikotes
> > seharian penuh. Saya bertanya, “Untuk apa?”
> >
> > Mereka menjawab, orang-orang yang tidak berasal dari
> fak
> > psi diharuskan untuk menjalani psikotes. Pertanyaan
> yang
> > muncul di kepala saya adalah, kenapa saya tidak diberi
> tahu
> > lebih awal? Sebenarnya, apa tujuan tes itu?
> >
> > Setelah berdiskusi dengan bu dekan dan warek I, saya
> diberi
> > tahu bahwa tes itu bertujuan untuk mengenali
> kepribadian dan
> > potensi akademik saya. Terus terang, saya menentang
> tes itu
> > dengan argumen, bahwa setelah bekerja selama satu
> setengah
> > tahun di atma, fakultas sudah tahu kepribadian saya di
> > tempat kerja, dan fakultas juga sudah mengetahui
> potensi
> > akademik saya.
> >
> > Saya telah menulis dua buku yang diterbitkan oleh
> penerbit
> > kanisius dan grasindo pada 2007 dan 2008, serta
> belasan
> > tulisan di berbagai jurnal ilmiah dan media. Judul
> buku itu
> > adalah Melampaui Negara Hukum Klasik, dan Filsafat dan
> > Sains. Saya rasa, potensi akademik saya tidak perlu
> > diragukan lagi.
> >
> > Akan tetapi, peraturan tetaplah peraturan. Walaupun
> > terpaksa, saya harus menjalani tes itu. Saya pun
> > menjalankannya, tentu dengan keadaan terpaksa.
> >
> > Pada waktu tes, saya sungguh merasa diperlakukan
> sebagai
> > kambing percobaan. Saya diperintah untuk mengisi
> macam-macam
> > hal yang saya tidak mengerti alasannya.
> >
> > Dari tes itu, saya menangkap salah satu kelemahan
> mendasar
> > displin ilmu psikologi, yakni cenderung untuk
> memperlakukan
> > manusia sebagai obyek. Manusia adalah obyek yang bisa
> > dihitung dan dimanipulasi demi kepentingan penelitian
> dan
> > tes.
> >
> > Hal inilah yang saya coba lawan di dalam kuliah-kuliah
> > saya, yakni kuliah fenomenologi eksistensial dan
> psikologi
> > budaya, maupun di dalam kuliah-kuliah lainnya. Saya
> selalu
> > menyatakan kepada mahasiswa, bahwa obyek kajian
> psikologi
> > itu manusia, yang mempunya historisitas, daging, dan
> darah.
> >
> > Manusia bukanlah barang yang bisa kalian hitung dan
> > manipulasi seenaknya demi kepentingan penelitian
> kalian. Dia
> > mungkin adalah ayah dari seorang anak, anak dari
> seorang
> > ibu. Bagi kalian, subyek penelitian mungkin bukan
> > siapa-siapa, tetapi bagi orang lain, subyek penelitian
> yang
> > kalian anggap barang itu mungkin adalah dunianya.
> >
> > Anyway, tes pun berlalu, saya pulang. Semester ganjil
> sudah
> > mulai, dan saya mulai aktif mengajar di fakultas.
> Setiap
> > hari, saya datang jam 6 pagi, dan pulang sekitar jam 4
> sore,
> > senin sampai Jumat.
> >
> > Hal berlangsung biasa. Saya, seperti biasa, selalu
> sangat
> > bersemangat di dalam mengajar dan menulis. Saya
> melakukan
> > aktivitas ini dengan senang hati, walaupun saya belum
> > diputuskan untuk menjadi dosen tetap, yang akan aktif
> mulai
> > 1 sept 2008.
> >
> > Saya terbenam di dalam rutinitas, menulis dan
> mengajar.
> > Sesuatu yang saya impikan dari dulu.
> >
> > Hal ini berlangsung lancar, sampai saya memutuskan
> untuk
> > menanyakan status lamaran saya kepada bu Rosa, dekan.
> Pada
> > waktu, gut feeling saya mengatakan, bahwa saya harus
> > bertanya mengenai ini. Jangan mengasumsikan apapun.
> Seorang
> > sahabat, teman dosen di fak psi, pernah berkata,
> > “assumption is the mother of all fuck up!”
> >
> > Bu Rosa menyatakan, bahwa lamaran saya ditolak, karena
> > alasan psiko tes yang jelek. Psiko tes menyatakan
> bahwa
> > kemampuan saya kurang, dan saya tidak mampu bekerja di
> dalam
> > tim, sesuatu yang menurut saya tidak benar.
> >
> > Saya sudah bekerja di dalam tim semenjak menginjakkan
> kaki
> > di fak psi. Saya juga aktif di berbagai organisasi
> sebelum
> > mulai mengajar di atma.
> >
> > Saya pernah bekerja di LSM HAM, dan di sana saya
> bekerja
> > dalam tim terus menerus. Saya, menurut psiko tes itu,
> juga
> > dianggap tidak mampu secara akademik.
> >
> > Padahal, saya menyelesaikan studi S1 dan S2 dalam 5
> tahun.
> > Saya juga sudah menulis dua buku dan belasan artikel
> di
> > berbagai media serta jurnal ilmiah.
> >
> > Hati saya hancur. Saya sangat kecewa.
> >
> > Ternyata, Warek I hanya melihat hasil tes, dan tidak
> > melihat variabel lainnya. Padahal, saya, dan beberapa
> teman
> > psikolog lainnya, berpendapat bahwa tes hanya
> merupakan
> > salah satu pertimbangan, dan bukan keseluruhan. Masih
> ada
> > hal-hal lainnya yang harus dilihat.
> >
> > Beberapa teman di bagian sosial juga berpendapat
> serupa.
> > Mereka menunjukkan kekecewaannya, dan tidak bisa
> berbuat
> > apa-apa.
> >
> > Inilah pernyataan saya:
> >
> > 1.Ada yang tidak beres dengan paradigma yang dipakai
> untuk
> > penerimaan dosen. Tes hanyalah salah satu faktor dari
> banyak
> > faktor lainnya, yang digunakan sebagai penilaian untuk
> > penerimaan dosen. Dan tes tidak pernah bisa
> menghancurkan
> > penilaian lainnya.
> >
> > Rupanya, rektorat atma jaya tidak melihat hal ini.
> Mereka
> > berpendapat, tidak peduli apa yang sudah dihasilkan
> dan
> > dilakukan oleh Reza untuk atma jaya, yang penting
> psiko
> > tesnya jelek, maka ia tidak berhak masuk menjadi dosen
> tetap
> > di atma jaya. Ia ditendang keluar.
> >
> > 2.Saya sudah hancur secara emosional, dan saya sadar,
> bahwa
> > saya tidak ada artinya di hadapan sistem yang bernama
> atma
> > jaya. Setelah saya pergi, fakultas akan mencari dosen
> > honorer pengganti saya. Dan semua akan berjalan
> seperti
> > semula. Saya akan hancur sendiri, dan atma jaya akan
> > berpretensi tidak pernah terjadi apa-apa.
> >
> > 3.Saya merasa, ada banyak problem teoritis di dalam
> psiko
> > tes. Sederhananya, tes tersebut tidak bisa memahami
> dan
> > mengenali saya. Oleh sebab itu, saya dianggap bodoh,
> tidak
> > kompeten, dan egois. Saya rasa, diperlukan sebuah alat
> tes
> > yang peka pada perbedaan kultur dan cara berpikir,
> sehingga
> > bisa lebih adil di dalam menilai orang. Jika hal ini
> tidak
> > disadari, psiko tes adalah sebuah alat ideologis yang
> sama
> > sekali tidak peka pada perbedaan budaya, dan punya
> intensi
> > untuk melestarikan kekuasaan kelompok sosial yang
> dominan.
> > Dengan kata lain, psiko tes menjadi kaki tangan
> kekuasaan
> > belaka. Saya tidak ingin hal ini terjadi.
> >
> > Anyway, saya sudah non aktif dari semua kegiatan di
> atma
> > jaya. Saya tahu, saya banyak membuat kesulitan pada
> wadek I
> > fak psikologi dan kepala jurusan fak teknik industri
> atma
> > jaya. Mereka harus mencari pengganti untuk sebelas
> kelas
> > yang saya tinggalkan.
> >
> > Harapan saya adalah, semoga hal ini menjadi perhatian
> > kawan2, bahwa ada yang tidak beres di rektorat atma
> jaya
> > sekarang ini. Jangan sampai ada “Reza-reza”
> berikutnya.
> >
> > Terima kasih dan salam hormat selalu,
> >
> > Reza Antonius Alexander Wattimena SS., Mhum.,
> >
> >
> > Need a holiday? Check out Yahoo!Xtra Travel -
> > http://nz.travel.yahoo.com/


Need a holiday? Check out Yahoo!Xtra Travel - http://nz.travel.yahoo.com/

Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages