Jakarta
- Ada sejumlah versi terkait yang sebenarnya terjadi pada malam Gerakan 30
September atau peristiwa G30S. Salah satu versi menyatakan bahwa Soeharto
merupakan salah satu dalang di balik peristiwa ini.
Soeharto
sendiri memberi pernyataan terkait keberadaan dirinya di malam G30S pada
sejumlah wartawan internasional dan dalam buku. Salah satunya disampaikan di
autobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang ia susun bersama
G. Dwipayana dan Ramadhan K.H.
Soeharto
menyatakan, pada tanggal 30 September 1965 sekitar pukul 9 malam, dirinya
bersama istri berada di RSPAD Gatot Subroto. Ia menuturkan tengah menengok
anaknya, Tomy (4), yang dirawat di RS karena tersiram air sup panas.
"Kira-kira
pukul sepuluh malam saya sempat menyaksikan Kolonel Latief berjalan di depan
zaal tempat Tomy dirawat," tulis Soeharto dalam bab Mengatasi
"G.30.S/PKI"
Kolonel
Latief yang dimaksud adalah Kolonel Abdul Latief, tentara yang menjadi saksi
peristiwa G30S. Latief kelak dituduh terlibat dalam peristiwa G30S, ditangkap
pada 2 Oktober 1965. Ia dipenjara pada 11 Oktober 1965, lalu dibebaskan pada 25
Maret 1999 setelah Soeharto lengser dari kursi Presiden.
Baca
juga:
Posisi
Soekarno Saat Peristiwa G30S PKI, Bareng Dewi Lalu ke Halim Naik
VW
Soeharto
menuturkan, sekitar pukul 00.15 tengah malam ia lalu disuruh istri untuk cepat
pulang ke rumah di Jalan Haji Agus Salim karena teringat Mamik, anak bungsunya
yang baru berusia satu tahun. Ia pun meninggalkan Tomy, sementara istrinya tetap
menunggui di rumah sakit.
Ia
lalu berbaring dan bisa cepat tidur di rumah. Namun, tanggal 1 Oktober 1965
sekitar pukul 04.30, ia kedatangan Cameraman TVRI Hamid.
Soeharto
mencatat, Hamid memberi memberi tahu bahwa terdengar tembakan di beberapa
tempat. Soeharto mengaku belum berpikir panjang saat itu. Namun selang 30 menit,
tetangganya, Mashuri, memberi tahu bahwa ia juga mendengar tembakan di beberapa
tempat.
"Setengah
jam kemudian datanglah Broto Kusmardjo, menyampaikan kabar yang mengagetkan,
mengenai penculikan atas beberapa Pati Angkatan Darat," tulis Soeharto. Ia pun
bersiap dengan pakaian lapangan.
Soeharto
menambahkan, pukul 06.00 pagi, Letkol Sadjiman, atas perintah Pak Umar
Wirahadikusumah (Panglima Kodan V/Djayakarta ke-1) melaporkan, bahwa di sekitar
Monas dan Istana banyak pasukan yang tidak dikenalnya.
"Kepada
Letkol Sadjiman saya sempat berkata bahwa saya sudah mendengar tentang adanya
penculikan terhadap Pak Nasution dan Jenderal A. Yani serta Pati AD lainnya,"
kata Soeharto.
Saat
itu, Soeharto menjabat Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad)
berpangkat mayor jenderal.
Ia
pun menyahuti Sadjiman, "Segera kembali sajalah, dan laporkan pada Pak Umar,
saya akan cepat datang di Kostrad dan untuk sementara mengambil pimpinan Komando
Angkatan Darat."
Soeharto
di Malam G30S: Kesaksian Soebandrio
Setelah
peristiwa G30S, mantan Wakil Perdana Menteri Indonesia dr. H. Soebandrio divonis
hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa dengan dakwaan terlibat gerakan
tersebut. Vonis sosok yang dianggap pendukung Soekarno ini lalu dikurangi jadi
hukuman penjara seumur hidup, kemudian dibebaskan pada 1995 karena alasan
kesehatan.
Sebelum
meninggal pada 2004, Soebandrio menuliskan kesaksiannya terkait keberadaan
Soeharto dan ucapannya dalam Kesaksianku tentang G30S.
Berdasarkan
cerita Latief pada Soebandrio saat sama-sama dipenjara, Latief bertemu dengan
Soeharto tepat tanggal 30 September 1965.
Malam
itu, pukul 23.00 WIB di RSPAD Gatot Subroto, Soeharto menunggu anaknya, Hutomo
Mandala Putera atau Tomy Soeharto, yang ketumpahan sup panas dan dirawat di
sana.
Latief
lalu menemui Soeharto untuk melaporkan bahwa akan ada penculikan para jenderal
pada pukul 04.00 WIB, sekitar 5 jam dari waktu ia melapor. Menurut Latief,
Soeharto saat itu tidak menanggapi.
Soebandrio
menulis, sebenarnya yang akan melapor pada Soeharto saat itu ada tiga orang,
yakni Latief, Brigjen Soepardjo, dan Letkol Untung. Sebelum menghadap Soeharto,
Latief bertemu dengan Soepardjo dan Untung.
"Soepardjo
dan Untung datang ke rumah saya malam itu (30 September 1965) pada pukul 21.00
WIB. Soepardjo sedang ada urusan, sedangkan Untung kurang berani bicara pada
Soeharto," kata Latief seperti dikutip Soebandrio.
"Soepardjo
lantas mengatakan pada saya, 'Sudahlah Tif (Latief), kamu saja yang menghadap.
Katakan pada Pak Harto, kami sedang ada urusan," imbuhnya.
Baca
juga:
Detik-detik
Peristiwa G30S PKI Versi Pengakuan Letkol Untung dkk
Sebelum
peristiwa G30S meletus, Latief dan Soeharto pernah mengadakan pertemuan penting.
Latief melapor isu soal Dewan Jenderal yang ternyata sudah diketahui oleh
Soeharto.
Pada
waktu yang sama, Letkol Untung juga menemui Soeharto soal Dewan Jenderal yang
akan melakukan kup. Berbeda dengan Latief, Untung sebagai salah satu komandan
Pasukan Kawal Istana Cakra Bhirawa menambahkan, ia memiliki rencana mendahului
gerakan Dewan Jenderal dengan menangkap mereka lebih dahulu.
"Apa
jawab Soeharto? Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan
ragu-ragu, kata Soeharto," tulis Soebandrio merekam cerita yang
didapatnya.
Bahkan,
menurut catatan Soebandrio, Soeharto menawarkan bantuan pasukan pada Untung yang
diterimanya dengan senang hati. Pasukan tersebut benar-benar dikirim beberapa
hari sebelum 1 Oktober 1965 yang terdiri dari batalyon pasukan asal Semarang,
Surabaya, dan Bandung. Meski pada akhirnya, Soeharto mengelak bahwa pasukan
tersebut didatangkan untuk persiapan Hari ABRI 5 Oktober.
Pertemuan
kedua yakni, 2 hari sebelum 1 Oktober 1965, Latief menemui Soeharto di kediaman
Soeharto di Jalan H. Agus Salim. Ia melaporkan lagi kepada Soeharto bahwa Dewan
Jenderal akan melakukan kudeta pada Presiden dan Dewan Jenderal akan diculik
oleh pasukan Cakrabirawa.
"Apa
reaksi Soeharto? Dia tidak bereaksi. Tapi karena saat itu ada tamu lain di rumah
Pak Harto, maka kami beralih pembicaraan ke soal lain, soal rumah," catat
Soebandrio mengutip perkataan Latief.
Simak
Video "Lukas Tumiso, Eks Tapol Penyintas Pulau Buru"
(twu/rah)
Baca
artikel detikedu, "Soeharto di Malam G30S: Pengakuan Diri dan Versi Kesaksian
Soebandrio" selengkapnya