JAKARTA – Masyarakat Uni Eropa sudah mulai merasakan dampak dari sanksi blok tersebut terhadap Rusia. Hal itu diungkapkan oleh Presiden Parlemen Eropa, Roberta Metsola, Jumat (10/6/2022).
Dia mencatat, penerapan sanksi terhadap Moskow telah menimbulkan pertanyaan ihwal keberlanjutan model keuangan Uni Eropa. Menurut dia, penanganan dampak sanksi itu terhadap masyarakat Benua Biru membutuhkan ongkos yang tidak sedikit.
“Warga kita sudah mulai merasakan efek (sanksi terhadap Rusia). Anda berdiskusi di parlemen tetapi juga di tingkat Eropa bagaimana cara melawannya (efek tersebut),” ujar Metsola dalam pidatonya di KTT Demokrasi Kopenhagen, hari ini.
“Apakah model pembiayaan kita sesuatu yang dapat kita pertahankan? Bisakah kita mengeluarkan lebih banyak uang tidak hanya untuk pertahanan, tetapi juga dalam pengganjal tagihan listrik yang tidak bisa dibayar (oleh masyarakat Eropa)?” kata Metsola.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Rusia meluncurkan operasi militer khusus di Ukraina pada 24 Februari, setelah Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk (DPR dan LPR) meminta bantuan untuk membela diri dari provokasi pasukan Kiev. DPR dan LPR adalah dua wilayah yang memisahkan diri dari Ukraina.
Rusia mengklaim, tujuan dari operasi khususnya adalah untuk demiliterisasi dan “denazifikasi” Ukraina.
Negara-negara Barat menanggapi agresi militer Rusia itu dengan menjatuhkan sanksi komprehensif terhadap Moskow, termasuk embargo terhadap produk energi Rusia. Akan tetapi, tindakan Barat itu ibarat senjata makan tuan, karena menyebabkan inflasi tinggi dan melonjaknya harga konsumen di seluruh dunia. (Web Warouw)
JAKARTA- Sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap Rusia gara-gara serangan militer ke Ukraina, membuat pertukaran mata uang Rusia dengan mata uang China meroket. Demi menghindari dampak sanksi AS, Rusia memaksa mitra-mitra dagangnya tidak bertransaksi menggunakan dolar AS.
Untuk membayar berbagai komoditas impor, negara-negara mitra dagang Rusia diminta menggunakan mata uang rubel. Pada sisi lain, pertukaran mata uang itu dengan mata uang negara sekutu Rusia seperti China, melonjak pesat.
Mengutip Bloomberg, pertukaran rubel dengan yuan dalam tiga bulan terakhir melonjak lebih dari 1.000 persen, yakni menjadi setara USD 4 miliar.
Pada Mei 2022 misalnya, diperkirakan pertukaran rubel-yuan mencapai 25,91 miliar yuan atau setara USD 3,9 miliar. Pertukaran yang terjadi di pasar spot Moskow secara bulanan itu, melonjak 12 kali lipat dibandingkan Februari 2022, saat Rusia pertama kali menyerang Ukraina.
Seiring dengan itu, pertukaran dolar-rubel turun ke level terendah dalam 10 tahun terakhir. Akibatnya rubel menguat 118 persen terhadap dolar AS, terhitung sejak Maret 2022 hingga Mei 2022.
“Pemain utama di pasar transaksi yuan-rubel adalah perusahaan dan bank, tetapi ada juga minat yang tumbuh dari investor ritel,” kata pengamat pasar uang di bank Rusia, Sberbank CIB, Yuri Popov, dikutip Sabtu (11/6).
“Volume transaksi rubel-yuan di pasar spot bursa Moskow telah melonjak. Ini karena kekhawatiran sanksi, serta niat Rusia dan China untuk mendorong penggunaan mata uang nasional dalam perdagangan bilateral,” tambahnya.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, eksodus massal merek-merek internasional asal AS dan negara Barat, membuat bisnis Rusia beralih ke barang-barang produk China. Ketegangan antara China dan AS terkait masalah Taiwan, juga mendorong peningkatan penggunaan yuan di pasar global. (Calvin G. Eben-Haezer)