Jirowes vs PLTSa

14 views
Skip to first unread message

Anita SA Arif

unread,
Jun 22, 2016, 9:10:43 PM6/22/16
to greenli...@googlegroups.com
Teman-teman, masalah sampah di permukiman adalah bagian dari target penanganan dan perwujudan Permukiman Berkelanjutan dalam 100-0-100.

Pendekatan jalan pintas yang mengatasi masalah hanya di permukaan, bisa jadi bumerang bahkan bom waktu... Mari bersikap lebih kritis terhadap upaya2 pembangunan yang tidak ekologis, karena tidak ekologis = tidak sustainable.

PENGOLAHAN SAMPAH dengan TEKNOLOGI PEMBAKARAN

Tinjauan terhadap Perlindungan Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat

Insinerator itu tergolong teknologi termal konvensional atau generasi pertama. Biasanya tanpa dilengkapi alat pencegah pencemaran udara yang canggih, hanya seadanya saja.

Generasi kedua teknologi termal adalah gasifikasi dan pirolisis, pembakaran sistem tertutup (kata orang Sunda mah dikekeb), menggunakan tekanan. Biasanya dilengkapi dengan alat pencegah pencemaran udara yang cukup canggih.

Generasi ketiga adalah plasma arc, lebih canggih dari pirolisis dan gasifikasi tapi prinsipnya sama.

Semua teknologi termal menghancurkan sampah menjadi abu dan menghasilkan asap dengan porsi yang berbeda. Tapi mau skala kecil, menengah atau besar, semua teknologi termal menghasilkan DIOKSINs dan FURANs sbg produk samping. Terutama jika sampah yg dibakar terdiri dari sampah campuran yang mengandung bahan berKLORIN (banyak dijumpai dalam produk plastik).⁠⁠⁠⁠

Dioxins dan furans ini ada di semua komponen emisi dan lepasan (asap/gas, abu, abu terbang maupun kerak/slag). Hanya konsentrasinya saja yang berbeda-beda.

Dioxins dan furans termasuk golongan POPs (Persistent Organic Pollutants) atau tepatnya UPOPs (Unintentional POPs) dan disepakati sbg polutan global yang harus dieliminasi dan dihindarkan pembentukan/lepasannya.

Kesepakatan global-nya dituangkan dalam Konvensi Stockholm yang ditandatangani oleh lebih dari 170 negara pada tahun 2001 dan diberlakukan mulai 2004.

Indonesia meratifikasi Konvensi Stockholm tahun 2009, dan diundangkan dlm UU RI No.19/2009.

Indonesia belum punya Nilai Ambang Batas dioxins dan furans untuk PLTSa. Yang ada hanya untuk insinerator sampah medis dan PLTU.

Laboratorium untuk periksa dioxins dan furans juga belum ada di Indonesia, jadi harus dikirim ke Singapore atau Selandia Baru.

Harga per sampel adalah USD 1500. Padahal emisi dan lepasan dioxins keluar terus menerus sepanjang PLTSa dioperasikan. Jadi kadar/konsentrasinya bisa berfluktuasi/turun-naik.

Lha kalau periksa 1 atau 10 sampel saja per tahun, bagaimana operator bisa menjamin racun POPs terkendali (monitoring+evaluasi)-nya ?

Lalu kalau abu, abu terbang dan kerak hasil pembakaran dimanfaatkan kembali sebagai batako, bata atau bahan urugan, itu racun POPs akan terlepas sedikit demi sedikit masuk ke dlm tanah dan cemari air tanah.

Apakah pemerintahan Jokowi/KLHK bisa menjamin kasus/angka penderita kanker akan turun atau tidak naik setelah PLTSa diobral di 7-40 kota?

Sekarang aja (data 2014) di Indonesia ada lebih dari 100,000 kasus penyakit kanker (rupa2) per tahun.

Kalau angka ini meningkat setelah PLTSa dibangun, siapa yang akan menanggung semua Beban biaya sosial dan lingkungan?

Dalam implementasi Konvensi Stockholm, ada banyak panduan yang bisa diadopsi dan diterapkan semua negara anggota (parties to Stockholm Conv). Diantaranya adalah Guidance to BAT/BEP (Best Available Technology/Best Environmental Practices) to eliminate POPs.

Dalam BAT/BEP guidance, countries/parties disarankan dengan sangat untuk lakukan tahapan2 dan langkah2 minimisasi, pencegahan, daur ulang, green design/redesign products, bikin TPA/landfill yang benar sebelum putuskan bikin insinerator/WTE.

Negara yg sudah meratifikasi Konvensi Stockholm s/d bulan kemarin udah 128 negara. Indonesia sudah submit/menyerahkan dokumen National Implementation Plan update tahun 2014.
Jadi masih menunjukkan 'keseriusan' atau masih purapura serius komitmen laksanakan kesepakatan...

Tapiiiiiiiiii..... apa yang ditulis dalam buku, beda dgn yang dikerjakan di lapangan!

Kita sebagai masyarakat sipil bisa cuplik janji/komitmen pemerentah di dalam NIP 2014 lalu tanyakan: ini janjimu, lha kok skrg ingkar...?

Kudu dikasih lagu dangdut: "...kau yang berjanji, kau yang mengingkari..."

Dalam advokasi Konvensi Stockholm, IPEN bbrp kali juga bikin poster: KEEP the PROMISE!!! Untuk mengingatkan pemerintah negara2 anggota/parties yg sudah meratifikasi, dan submitted NIP janji untuk eliminasi dan pengurangan POPs, agar tidak ingkar janji.

Sampah di negara lain beda karakteristik dan komposisinya dengan sampah kita. Sebagian besar negara maju, sampahnya > 50% sampah kemasan/kering yang mudah dibakar
Periode 70-80an banyak yang bangun insinerator, lalu 90an mulai pada pakai gasifikasi pirolisis dg energy recovery (PLTSa). Lalu 2000an pakai plasma arc dan energy recovery.

Mulai tahun 2000an, beberapa negara Eropa yang menerapkan 3R, green design, dan sukses promosi/implementasi zero waste, mulai kekurangan 'suplai' sampah utk instalasi insineratornya.

Tahun 90an di US dan Eropa, banyak insinerator ditutup karena protes warga yg terkena polusi.

Waktu pabrik sampah/PLTSa, mulai kekurangan suplai dari dalam negeri, mereka meng-IMPOR sampah dari negara tetangga untuk dibakar...

Untuk di Indonesia, sebetulnya gerakan 3R, pilah di sumber, diet kantong kresek/plastik, komposting, sudah menuju jalan dan arah yang benar.

Jadi ada instruksi nasional harus dibakar demi dapet listrik, kita harus proteksi program2 yg sudah jalan dan on-track, jangan dibawa ke insinerator/PLTSa 7-40 kota.

Jadi tersesat, dan salah implementasi kebijakan yang sudah ada sebelumnya dan sudah mulai berjalan.

Di Eropa dan US, standar teknologi terpasang dan baku mutu sudah sangat ketat dan diperketat plus dipantau terus dengan ketat. Plus pemantauan dan advokasi masyarakat sipil cukup kuat.

Insinerator Batam atau Bangka-Belitung (punya adiknya Ahok) konon membakar sampah limpahan dari Singapura. Mohon klarifikasi dan konfirmasi kawan Walhi Babel/Eknas ya...

Kita 'ngimpor' sampah demi kelangsungan bisnis daur ulang dan konspirasi mafia sampah di negara maju.

Ada sampah2 yg tidak boleh 'dibuang' ke negara2 berkembang, terutama yg mengandung B3, diatur dgn Konvensi Basel. Indonesia juga sudah ratifikasi.

Tahun 2011, Indonesia mengembalikan 89 kontainer limbah metal scrap dari UK dan Belanda karena campuran metalnya tercemar polutan chemicals.

Itu untuk bahan baja industri Steel Indonesia, dan sebetulnya masuk ekonomi lingkar (Circular Economy). Sama dengan impor sampah plastik untuk campuran produksi plastik baru.

Syaratnya, sampah2 tsb TIDAK mengandung kontaminan B3 lebih dari 10% (harus check lagi).

Waktu kita teriak2 soal kontainer itu (2011), 2500an kontainer ditahan di Tj. Priok untuk diperiksa.

Tapi lalu KLH didemo oleh para pekerja industri baja karena produksi jadi tertahan. Menteri Perindustrian minta supaya KLH "melongarkan" syarat kontaminan, "...jangan ketat2-lah..." katanya.

Akhirnya ya dilepas lagi. Tidak ada cerita hasil proses pengadilan siapa didenda apa dan ijinnya bagaimana. Masalah disimpan di bawah karpet.

Tapi kita berhasil mendesak pemulangan/repatriasi 89 dari 112 kontainer ke UK. Yuyun Ismawati melobi UK Env. Agency supaya tarik kembali.

Pertanyaan orang UKEA: ini siapa "whistle blower"-nya? Tidak kebagian amplop ya? Kita kan sudah kirim kayak beginian ber-tahun2 dan setiap minggu ada 40 kontainer keluar UK.....

Hadehhh!

Sumber: WAG Chat #TolakInsinerator

mobile/WA: +6287887751781
skype id: anita.arif3
twitter: @AthenaAnetha
fb: Anetha Athena

BaliFokus Foundation
South Denpasar, Bali, Indonesia
http://www.balifokus.asia

Reply all
Reply to author
Forward
0 new messages