Google Groups no longer supports new Usenet posts or subscriptions. Historical content remains viewable.
Dismiss

Al Zaytun Sesat (6/27)

0 views
Skip to first unread message

Umar Abduh

unread,
Sep 14, 2002, 10:43:59 AM9/14/02
to
Al Zaytun Sesat (6/27)

Hanya dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun, NII struktural berhasil merekrut sekitar hampir seribuan orang. Sekitar tahun 1975 terbentuk struktur komandemen seluruh Jawa, dan semakin pesatlah perkembangan rekruitmen tersebut. Melalui rumor yang disebarkan NII, bahwa Libya akan memasok senjata kepada mujahidin NII, hal itupun akhirnya menggema sampai ke mana-mana. Rektuitmen secara bergerilya menciptakan suasana psikologis yang panas dan tegang di kalangan ummat. Apalagi sambutan ummat pun kala itu cukup antusias.
Ali Moertopo, hanya dengan ongkang-ongkang kaki, menunggu waktu yang tepat untuk memanen hasil benih yang ditebarkan berupa ide provokasi-agitatif tentang bahaya laten komunis, dan sedikit modal serta uang transport untuk para pentolan NII, dan membiarkannya bergerak melakukan konsolidasi organisasi.
Ali Moertopo yang memegang seluruh informasi, gerak-gerik dan langkah pemanfaatan kalangan NII untuk bergerak, bangkit mereorganisir diri tersebut, dalam satu genggamannya, menetapkan tanggal 7 Januari 1977, sebagai hari bersejarah bagi prestasi dirinya sendiri dalam menjalankan Komando Inteljen OPSUS, untuk meringkus seluruh jaringan kelinci percobaan dari proyek rekayasa pemberontakan NII dengan sandi Komando Jihad yang dibuat dan dijalinnya sendiri.
Liciknya, Ali Moertopo menyisakan beberapa pentolan yang ada di Jakarta dan Jawa Barat (seperti Adah Djaelani Tirtapraja, Aceng Kurnia, Ules Suja i, Toha Mahfudz, Tahmid Rahmat Basuki, Saiful Iman, Opa Musthapa, Seno alias Basyar, Ahmad Husein Salikun, Djarul Alam dan lain lain), agar terus bergerak melakukan rekruitmen dalam kondisi dan status mereka yang buron tersebut. Bahkan pada masa buron tersebut, pengukuhan resmi dan pengangkatan Adah Djaelani Tirtapraja menjadi Imam/Presiden NII, justru terjadi.
Ali Moertopo memang sangat tahu dan paham, secara psikososial dan untuk menyulut emosi orang-orang macam Adah Djaelani dkk yang nantinya pasti justru makin bersemangat untuk melakukan perlawanan atau dalam melampiaskan kemarahan, kalau bisa mungkin akan melakukan pembalasan kepada dirinya dan ABRI, atas pengkhianatan dan jebakan yang telah ia jalankan tersebut.
Benar saja. Adah Djaelani dkk setelah mengukuhkan diri sebagai Presiden justru kemudian malah ngumpet dan berlindung dalam struktur KW-9 yang baru dibentuknya sendiri dan saat itu dipimpin oleh Seno alias Basyar. Setelah main petak umpet selama lebih kurang tiga tahun, KW-9 diringkus semuanya. Kecuali beberapa orang antara lain AS Panji Gumilang yang waktu itu ganti nama menjadi Prawoto alias Abdus Salam dan sempat melarikan diri ke negeri Sabah, Malaysia, sambil membawa kabur harta jama ah.sebanyak Rp 2 Milliar. [23]
Pada tahun-tahun setelah pemberangusan NII dengan sandi Komando Jihad tahun 1977, hampir setiap tahun Ali Moertopo (Intelejen, ABRI) menangguk dan meringkus jaringan struktur NII yang dijalin dan dipeliharanya sendiri, sedikit demi sedikit. Tahun 1979-1980 dengan kasus teror Warman di Rajapolah, Tasikmalaya, Jawa Barat. Di Jawa Tengah, Abdullah Umar dengan perampokan gaji dosen UNS Solo (Universitas Sebelas maret). Di Jakarta, Adah Djaelani dkk dan elite KW-9 ditangkap Agustus tahun 1981, di Jawa Timur tahun 1982 ditangkap sebanyak 23 orang. Penangkapan berkala itu tidak pernah berhenti, hatta sampai ketika Ali Moertopo laknatullah tiba-tiba mampus mendadak.
Itu semua memang proyek ABRI yang sejak awal rezim Orde Baru eksis telah bermusuhan dengan NII serta Islam wal Muslimin, disamping untuk membangun opini bagi masyarakat, tentang pentingnya ketahanan Nasional, perlunya Asas Tunggal, betapa berbahayanya Islam fundamentalis serta segala macam gelar buruk dan menakutkan. Namun yang pasti adalah demi langgengnya kekuasaan dan posisi strategis mereka (Orde Baru) dalam struktur kemasyarakatan dan kenegaraan bangsa Indonesia.
Tahun 1984 sesaat setelah berhasil kaburnya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba asyir [24] ke Malaysia, gerakan Usrah-NII muda mulai diberangus, dimulai dari Solo dan Jogjakarta (Irfan Suryahardi Awwas [25] melalui kasus tabloid Ar-Risalah/Al-Ikhwan dan Ir. Syahirul Alim [26] dkk melalui kasus Pesantren Kilat), akhirnya meluas ke seluruh Jawa Tengah setelah bersamaan dengan meledaknya kasus Tanjung Priok (September 1984), Bom BCA (Oktober 1984), Bom Borobudur, Bom Gereja (sekolah seminari kristen) di Malang, serta Bom Bis Pemudi di Banyuwangi di penghujung tahun 1984. Itulah serangkaian keberhasilan Orde Baru di masa kejayaan Ali Moertopo laknatullah dan Benny Moerdani laknatullah dalam memposisikan ummat Islam untuk siap ke penjara dan atau dipenjarakan kapan saja mereka mau.
Seluruh aktivitas dan gerakan Islam seperti Abdul Qadir DJaelani dengan GPI-nya, Imran bin Zein dengan kasus Cicendo dan Woyla, Amir Biki dengan kasus Tanjung Priok, Nurhidayat dan Warsidi dengan kasus Talangsari (Lampung), Aceh maupun Ambon, dan yang lebih khususnya adalah NII, Komando Jihad serta Warman, sekali lagi perlu ditegaskan bahwa semuanya itu tak lepas dari cengkeraman dan genggaman intelejen/ABRI.
Jika pada masa kebangkitan kembali NII di bawah pimpinan Adah Djaelani dan seluruh jalur-jalur ke bawahnya, sangat dikuasai dan atau dalam genggaman intelejen/ABRI, maka apalagi yang mengaku NII pada masa kini! Logikanya adalah, jangankan NII yang tidak ada apa-apanya saat ini, NII di masa Kartosoewirjo saja tak mampu menolak kehadiran intelejen/TNI atau TRI, yang jaringan dan jalinannya kemudian membelit dan merusak citra TII, dengan sukses akhir berhasil meringkus pimpinan tertinggi NII Kartosoewirjo, dan menggiring sebagian besar pengikutnya bersujud ke pangkuan ibu pertiwi, [27] sampai dengan menanda-tangani surat pernyataan pengakuan bersalah kepada TNI-RI, menyalahkan NII termasuk kepada Kartosoewirjo sang Imam.
Akan halnya perkembangan NII yang nyaris berjalan tanpa pembinaan Tarbiyyah Islamiyah di dalamnya, tentu saja hal tersebut menjadikan masing-masing ummat atau anggota NII merasa bebas untuk melakukan pencerahan ilmu dan amal. Munculnya secercah kesadaran ini saja telah membuat porak-poranda struktur NII, maka terjadilah kemudian apa yang namanya perpecahan dalam NII.
Di awali oleh sikap Muhammad Sobari dkk melepaskan diri dari struktur kepemimpinan Adah Djaelani, disusul oleh Helmi Aminuddin (putra Danu Muhammad Hasan intelejen sipil binaan Ali Moertopo) yang kemudian bergabung dan menjadi agen gerakan Ikhwanul Muslimin qiyadah Sa id Hawwa yang ketika itu bermukim di Iraq. Sedangkan Haji Karim Hasan dan kawan-kawan mengambil sikap dan jalan yang berlainan pula.
Dari perpecahan itu akhirnya masing-masing kubu berjalan saling menolak, bahkan menafikan. Pak M. Sobari berkiprah melalui aktivitas dakwah dan akhirnya memiliki komunitas kelembagaan bernama Thoriquna. Sedangkan Helmi Aminuddin berkiprah dengan manhaj Tarbiyah Ikhwanul Muslimin.
Haji Abdul Karim Hasan menempuh jalan lain melalui aqidah (paham) yang sesat dan menyimpang, yaitu aliran Isa Bugis, akhirnya berhasil membangun komunitas LK (Lembaga Kerasulan) yang kemudian menjadi NII KW-9 atau NII Abu Toto. Akhirnya Abu Toto menjadi Imam NII faksi Adah Djaelani Tirtapraja setelah menerima posisi jabatan Imamah dalam NII atas penyerahan Adah Djaelani. Sejarah NII struktural (sabilillah) pun akhirnya kembali terpecah, namun komposisi penguasaan lapangan, tercatat NII Abu Toto Abdus Salam AS Panji Gumilang boleh dibilang lebih menonjol (mayoritas) dibanding faksi lainnya.

G. Perkembangan Ma had Al-Zaytun

Syahdan, untuk pertama kalinya dalam proses belajar mengajar di Al-Zaytun berjalan "tertib, lancar dan disiplin", para santri terlihat sangat patuh pada peraturan pesantren, bahkan kepatuhan anak-anak tersebut terkesan berlebihan dalam satu sisi namun kurang pada sisi lain. Hal yang berlebihan adalah, para santri memiliki kepatuhan yang demikian tinggi kepada aturan dan disiplin pesantren maupun para asatidz (guru) serta para pengurus Yayasan, sementara kepatuhan dan disiplin akhlaq serta peribadatan, ternyata sama sekali tidak ditanamkan.
Akibatnya, di dalam pelaksanaan shalat berjama'ah sangat terlihat, betapa masalah yang sebenarnya sangat fundamental ini ternyata dilaksanakan secara "serba asal". Demikian pula disiplin dan tertib pergaulan antara santri putra-putri, tidak ada batasan (hijab) sama sekali. Bebasnya dalam berhubungan antara santri putra-putri, menjadi pemandangan yang biasa di lingkungan Al-Zaytun, seperti sengaja tidak mendidik para santrinya untuk mencapai tingkat penguasaan nilai-nilai akhlaq al karimah-keshalihan. Kenapa? Karena sudah sejak awal antara santri putra-putri dibiasakan bergaul bebas dalam proses belajar di satu ruang kelas, bercanda-ria setelah shalat di lingkungan asrama yang tidak ada dinding pembatas sama sekali, bahkan di gedung Al-Musthafa lantai I khusus putra, lantai II separoh putra separoh putri tanpa ada dinding pembatas/hijab. Makan dan jajan berbaur bersama-sama di kantin, dan banyak lagi kejadian-kejadian "tak wajar" yang penulis perhatikan bila itu diukur dengan standar pesantren Islami. Bahkan, para pengajarnya (asatidz dan asatidzah) terlihat seperti memberi contoh yang tidak lazim untuk dilakukan di lingkungan pesantren ( seperti makan baso, ngobrol dan bercengkerama bersama di kantin). Praktis yang memisahkan hubungan santri putra-putri itu ketika saat istirahat atau tidur saja, itu pun masih cukup rentan, karena letak asrama antara santri putra-putri nyaris bisa dikata sama sekali tidak ada dinding pemisah.
Kurangnya disiplin para santri terhadap tata nilai (akhlaq) dan pranata {syari'ah) dalam perkara 'ubudiyah maupun mu'amalah tersebut, pada akhirnya menjadikan mereka terjebak pada sikap dan tindakan menyia-nyiakan (melalaikan) shalat, bukan pada pelaksanaan secara berjama'ahnya, akan tetapi benar-benar menganggap sepele terhadap arti dan pelaksanaan shalat secara lahiriyah.
Pada awal pembelajaran dilaksanakan, doktrin kepatuhan, mempercayai para asatidz dan Syaikh ma'had serta para pengurus Yayasan sebenarnya sudah mulai ditanamkan, namun tidak dilengkapi dengan menanamkan kesadaran beriman dan ber-Islam. Sering dijumpai oleh banyak penziarah (pada masa awal dahulu) jawaban yang aneh dan mengagetkan siapa pun, ketika pertanyaan tentang shalat diajukan kepada mereka.
Ketika tiba waktu Ashar, para santri yang bermain tidak menunjukkan tanda-tanda bersiap-diri untuk melaksanakan shalat ke Masjid secara berjama'ah, sebagaimana kebiasaan yang lazim berlaku di lingkungan pesantren mana pun, padahal suara adzan telah terdengar dikumandangkan. Sampai lebih dari satu jam kemudian, mereka masih juga belum shalat. Ketika hal tersebut ditanyakan kepada mereka, dijawab dengan enteng dan diplomatis: "Kan sudah ditanggung Imam [28] Atau, jwaban seperti ini: "Sekarang kan masih periode Makkah Jawaban yang seperti ini juga yang sering diberikan oleh para pegawai atau karyawan Ma'had Al-Zaytun.
Yang juga terlihat oleh penulis, para petugas keamanan (Tibmara dan Garda Ma'had) maupun pekerja bangunan terlalu asyik dengan tugasnya masing-masing. Dari mulai sebelum masuk waktu shalat Ashar tidak ada tanda-tanda menghentikan aktifitas mereka untuk melakukan shalat, hingga waktu menunjukkan pukul 17.15. Begitu usai bekerja, ternyata tidak ada seorang pun yang mampir ke masjid al-Hayat, akan tetapi terus pulang ke asrama atau mess karyawan yang letaknya bersebelahan dengan kompleks bangunan pesantren.
Di balik "kemegahan" Al-Zaytun ternyata masih tetap menyimpan berbagai masalah, baik masalah sosial maupun agama. Warga di empat desa yang mengitarinya sudah banyak yang mengeluh. Apalagi mereka mendapati banyak "keganjilan" yang selalu disuguhkan oleh komunitas ma'had, seperti terlihatnya para pekerja bangunan yang tidak shalat, begitupun mengenai praktek shalat masbuq yang berbeda (melanggar) ketentuan. Bahkan warga pernah menyaksikan, ada di antara para pengurus Yayasan Ma'had Al-Zaytun yang seusai buang air kecil (kencing) tidak beristinja' (tidak berbasuh alias tidak cebok). Itu terjadi pada saat melakukan pengukuran tanah warga yang akan dibeli. Ketika hal itu ditanyakan oleh salah seorang warga, pengurus Yayasan/Ma had Al-Zaytun menjelaskan bahwa sekarang ini kondisinya sedang berjuang dan sifatnya darurat.
Berdasarkan hasil penelitian penulis ke rumah-rumah warga di sekitar lokasi Ma'had Al-Zaytun berada, keresahan warga terhadap keberadaan ma'had dengan komunitasnya tidak bisa dielakkan. Ini pertanda bahwa kehadiran Ma'had Al-Zaytun sama sekali tidak membawa dampak positif bagi warga di sekitar lokasi.
Harapan Siti Puji Rahayu yang dimuat pada majalah Al-Zaytun edisi 9-2000 agar keberhasilan Al-Zaytun akan merembet ke masyarakat, rasanya tidak akan terpenuhi. Setetelah penulis langsung menangkap kesan dari masyarakat sekitar ma'had, ternyata harapan seperti itu bagai pungguk merindukan bulan. Begitu pula usulan agar ditumbuhkan kehidupan masyarakat di sekitar ma'had yang lebih baik, dapat dipastikan tidak akan pernah terwujud. Karena, walaupun Ma'had Al-Zaytun mempunyai banyak jenis kegiatan (pekerjaaan), tapi hal itu sama sekali tidak melibatkan masyarakat di sekitar.
Yusnanto (nama samaran) menuturkan, "Dulu, waktu pertama pembangunan saya pernah melamar kerja ke Al-Zaytun. Saat itu saya berpikir, apa salahnya orang desa turut bekerja setelah melihat begitu besarnya proyek pembangunan. Sayang, keinginan Yusnanto itu tidak terwujud. Ia memperoleh jawaban dari pengurus Al-Zaytun agar membuat permohonan izin terlebih dahulu dan mengurusnya ke Jakarta, karena seluruh proyek pekerjaan Ma had dikoordinir oleh ABRI. [29] Merasa dirinya ditakut-takuti, akhirnya Yusnanto membuang harapannya untuk bekerja di sana. [30]
Memang, komunitas Ma'had Al-Zaytun sangat lain dari yang lain dan terkesan eksklusif (tertutup). Seperti penuturan seorang warga, "Saya menjadi heran ketika teman saya sudah masuk menjadi komunitas Al-Zaytun, tiba-tiba teman itu sudah tidak nampak lagi batang hidungnya. Padahal ketika sama-sama beermain dia sangat akrab.
Kini bila berjumpa dia selalu membuang muka seakan-akan tidak pernah kenal. Bila disapa hanya berkata: "Eh, kamu." Setelah saya selidiki, ternyata teman saya itu katanya sudah berbai'at. Pantas saja. Bahkan sekarang ini dia seakan telah menganggap saya sebagai musuh."
Kejadian tersebut membuat saya jadi berpikir yang tidak-tidak, "Apakah orang Al-Zaytun ini kumpulan orang-orang teroris?
Tidak satu-dua kejadian saja yang membuat bingung masyarakat. Menurut pengakuan Isman (nama samaran), pernah pekerja ma'had berkata kepadanya bahwa dibangunnya Al-Zaytun adalah dalam rangka membangun Madinah kedua. [31]
Sikap tertutup (eksklusif) juga terlihat ketika mengadakan shalat Jum'at. Menurut pengalaman Jayadi (bukan nama sebenarnya) ketika ia hendak mengikuti shalat Jum'at di Al-Zaytun ternyata terlebih dahulu harus izin ke satpam dengan menyerahkan KTP. "Bagaimana ini, aturan bermasyarakat mereka ternyata tidak umum pelaksanaannya. Yang namanya shalat itu, bukankah boleh dilakukan di mana saja tanpa adanya larangan apapun."
Ditambahkannya, ternyata pihak Al-Zaytun juga kurang peduli terhadap para pekerja bangunan. Ketika ada peristiwa karyawan meninggal karena jatuh dari lantai tingkat ketika kerja, jenazahnya langsung dimasukkan ke sebuah mobil box lalu berangkat begitu saja, tanpa ada prosesi pemandian jenazah terlebih dahulu. Kemudian dibawa keluar lingkungan Al-Zaytun tidak tahu diantar entah kemana, dan itu terjadi berulang kali. Namun kini Al-Zaytun sudah memiliki mobil ambulance sendiri.
Bahkan bila melihat kehidupan rumahtangga para pekerja Al-Zaytun yang berada di tengah-tengah komunitas warga desa Suka Slamet, masyarakat desa Suka Slamet sampai sempat menilai mereka itu seperti tanaman bonsai. Mereka diharuskan hidup prihatin, siap menanggung segala penderitaan hidup. Makan hanya dengan lauk krupuk, bersayurkan kangkung rebus dan sedikit ikan asin namun memiliki pendirian, itu sebagai perwujudan dari sikap dan kesiapan jihad setiap saat. Ketika saya tanyakan kenapa sampai seperti itu, para istri mereka hanya menjawab: "Memang beginilah hidup dalam perjuangan, harus kuat dalam ujian dan cobaan kesederhanaan" Namun ketika ditanya perjuangan apa yang sedang diusahakan, mereka lantas terdiam dan tidak menjawab apa-apa. Karena memang ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Gaya hidup seperti ini pada akhirnya memprihatinkan dan selalu menjadi pembicaraan warga sekitar.
Tanggapan tentang komunitas Al-Zaytun serta implikasinya bagi warga desa Suka Slamet juga ditunjukkan Sabar Sembiring. Ia menjelaskan bahwa antara masyarakat dan komunitas Al-Zaytun terdapat kesenjangan hubungan yang sangat jauh sekali. Maksudnya, tidak ada dan tidak terjadi komunikasi sedikit pun. Karyawan yang tinggal di lingkungan warga tidak mau bermasyarakat. Mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang berada dalam lingkungan pedesaan. Yang sebenarnya para karyawan itu sendiri banyak sekali yang dari pedesaan. "Memangnya kita ini dianggap apa sich?" Demikian ungkapnya. [32]
Sabar menambahkan, bahwa sikap arogan selalu ditonjolkan, komunitas ma'had selalu sulit untuk diajak dialog. Padahal dialog adalah sarana komunilasi yang amat penting. Dalam setiap kesempatan acara musyawarah di desa mereka tidak mau hadir, selalu ada saja alasan untuk mengelak. Kalau ada ketegangan di antara kedua komunitas itu, pihak Al-Zaytun selalu mengumbar kata-kata. "Silahkan saja berdemo siapa sich yang berani!" Jauh sebelumnya pun, untuk membungkam keberanian warga, dibuatlah berbagai isu yang disebar di lingkungan warga, yang isinya menerangkan bahwa Syaikh Ma'had Al-Zaytun adalah seorang Jendral. Itu terbukti dengan ditempatkannya beberapa militer aktif sebagai Tibmara (Ketertiban, Keamanan dan Kesejahteraan) Al-Zaytun. Sesungguhnya kekurang-beranian warga untuk berdemo bukan karena takut kepada petugas, tetapi warga merasa takut kualat terhadap ajaran Rasulullah bila mendemo pesantren.

[23] Baca juga pengakuan Bapak Mohammad Soebari paba Bab II.
[24] Ustadz Abu Bakar Ba asyir kini Ketua AHWA (Ahlul Halli wal Aqdi) Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
[25] Irfan Suryahardy Awwas kini Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
[26] Kini Aktivis Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
[27] Untuk lebih jelasnya silakan baca pengantar buku Al Chaidar Sepak Terjang KW-9 Abu Toto, yang ditulis oleh Mufry.
[28] Maksudnya Syaikh al-Ma had Al-Zaytun, yaitu AS Panji Gumilang.
[29] Pernyataan itu menimbulkan dua kemungkinan. Pertama, untuk menakut-nakuti rakyat kecil seperti Yusnanto, agar tidak macam-macam. Kedua, memang benar-benar proyek yang dikoordinir ABRI.
[30] Wawancara penulis dengan Yusnanto, warga Suka Slamet, Haurgeulis, Indramayu, 14 Januari 2001.
[31] Wawancara penulis dengan Isnan, warga Suka Slamet, Haurgeulis, Indramayu, 14 Januari 2001.
[32] Wawancara penulis dengan Sabar Sembiring, warga Suka Slamet, Haurgeulis, Indramayu, 14 Januari 2001.

--
_______________________________________________
Get your free email from http://mymail.operamail.com

Powered by Outblaze

0 new messages